NovelToon NovelToon

Lex Talionis

Prologue

05:47 PM. Cemetery.

Helena Hwang.

Nama itu tertera jelas di atas nisan.

Di sekeliling pemakaman terdapat dua pria yang berdiri paling depan dan di sekeliling mereka terdapat banyak pria berpakaian serba hitam nan bertubuh besar yang bertugas menjaga bos mereka. Entah itu bos mereka yang bernama Xavier Kim ataupun Dominic Hwang. Mengingat jika dua orang pria muda itu bermusuhan dan berbahaya, maka dibutuhkan penjagaan yang ketat.

Kabar beredar jika dua klan mafia besar itu berselisih memanglah benar. Tapi untuk menghargai jasad yang berada di dalam tanah sana, mereka memilih untuk mengabaikan ego masing-masing demi memperingati kematian Helena.

Perlu di ingatkan lagi. Hanya untuk sementara. Sebab tak lama setelah ini pun, pertikaian akan terjadi lagi di antara mereka.

"Sudah lima tahun berlalu dia pergi, sementara itu yang membunuhnya masih juga tidak di temukan dan hidup bebas berkeliaran. Bukankah ini tidak adil baginya?"

Xavier membuka pembicaraan di antara mereka yang sedari tadi hanya saling terdiam dengan pikiran masing-masing.

Dominic terkekeh sinis dengan masih mengunyah permen karet yang berada di mulutnya. "Kau benar. Sepupuku yang malang. Bahkan si pembunuhnya itu kini tengah memperingati kematiannya. Dia berada disini juga. Lebih tepatnya sedang berdiri di sampingku" sinisnya membuat Xavier menghela nafas gusar.

Marcus Yoon yang berstatus sebagai orang kepercayaan Xavier, bergerak maju dan sontak membuat pengawal-pengawal Dominic juga lebih berjaga-jaga.

"Harus aku katakan berapa kali lagi padamu? Xavier bukan pembunuh Helena!" bela Marcus tak terima karena Xavier terus di fitnah selama lima tahun terakhir ini.

Gerakan salah satu tangan Xavier menggantung di udara membuat Marcus yang sudah membuka mulut hendak kembali berbicara menjadi terdiam. Itu adalah perintah agar berhenti berbicara. Suasana lebih mencekam ketika Dominic dan Xavier mulai berhadapan dengan jarak lumayan dekat. Semua orang sudah bersiap dengan pistol yang berada di tangan mereka. Waspada jika terjadi sesuatu di antara Xavier dan Dominic.

"Bukan aku yang membunuhnya" ucap Xavier tenang berusaha penuh menahan emosi dan Dominic menanggapinya dengan kekehan sinis.

"Aku tidak percaya"

"Kau pikir aku tega membunuh calon istriku sendiri?"

"Tidak ada yang tidak mungkin bagimu. Dulu kau tidak benar-benar ingin menikah dengannya. Perjodohan kalian terjadi karena demi memperbaiki hubungan antara dua kelompok yang bermusuhan. Jadi, adakah alasan agar aku tidak mencurigaimu sebagai pembunuh sepupuku?"

"Tapi, aku benar-benar tidak membunuhnya!" desis Xavier dengan suara mulai meninggi.

"Terserah apa katamu, faktanya aku selalu ingin mencurigaimu. Namun, tidak sampai kau membuktikannya dengan menemukan si pembunuh yang sebenarnya itu. Bila memang terbukti kau bukan pembunuhnya, maka aku akan berhenti menganggumu. Begitu pula sebaliknya. Jika kau belum juga menemukan pembunuh sebenarnya itu, aku akan tetap menciptakan pertikaian di antara kelompok kita"

"Apa kau sedang memberiku tantangan?!"

Dominic mengendikkan bahunya acuh dengan raut wajah mengejek. "Bisa di katakan begitu. Bukankah kau suka tantangan?!"

Xavier menyeringai. "Aku terima tantanganmu!"

Kemudian mereka saling melemparkan tatapan tajam nan bengis cukup lama. Ditemani angin berhembus kencang dan langit yang mulai gelap.

Sebuah peristiwa menyakitkan akan menghasilkan pembalasan dendam. Adalah siklus biasa bagi orang-orang yang hidupnya berisi tentang kebencian.

Perang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja menurut mereka. Tentu dengan mengatasnamakan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan, yaitu kematian.

Hanya menerima ketentuan takdir bukanlah hal yang bisa mereka lakukan begitu saja. Itu sepertinya tidak berlaku bagi insan-insan yang jiwanya sudah terlalu dikuasai oleh setan.

Dengan tanpa sadar sebenarnya yang dilakukan mereka hanyalah memperburuk keadaan. Menyangkut pautkan seseorang yang tidak bersalah dan menghancurkannya sebagai luapan kemarahan.

...TO BE CONTINUED...

...Laurine Jung...

...Xavier Kim...

...Dominic Hwang...

...Hans Kim...

...Marcus Yoon...

...Lucien Jung...

...Andrew Jung...

...Helena Hwang...

01. Laurine Jung

08:45 AM. TJ Group Office.

Seorang wanita bergaya elegan nan modis tengah duduk di kursi yang mengarah langsung pada layar besar berjarak sekitar beberapa langkah di hadapannya.

Mata bulat cantik namun terkesan tajamnya membidik tampilan grafik yang tertampil di sebrang sana. Tidak lupa juga dengan sorot wajah dingin yang membuat orang-orang di sekitar terlihat begitu menyeganinya.

Menyimak serius rapat dan pertemuan merupakan hal yang biasa Laurine lakukan selama lima tahun belakangan ini. Tugas Chief Executive Officer bersifat konseptual dan terkadang juga dituntut untuk memiliki praktik yang bagus dalam teknis. Usianya memang masih tergolong muda untuk memegang jabatan tinggi seperti ini, terlebih lagi Laurine juga seorang wanita. Tapi, sebenarnya usia dan gender bukanlah halangan serius.

Selama ini kecantikan wanita seakan berkiblat pada seberapa indah paras. Sampai kemudian lupa, ada kepintaran yang juga memainkan peranan penting pada definisi seorang wanita cantik.

Karena kecantikan pada hakikatnya tidak selalu dikaitkan dengan sesuatu yang terdapat pada fisik semata. Ada juga kecantikan yang bisa dirasakan dari pola pemikirannya.

Laurine memang suka merias diri seperti wanita lain pada umumnya, namun Laurine juga tidak lupa untuk menunjukan bakatnya dalam berbisnis.

"Pembangunan mal cabang baru sudah mencapai enam puluh lima persen" kata karyawan pria paruh baya yang bernama Harvey dan Laurine mengangguk-nganggukan kepalanya mengerti.

"Oke. Pastikan pembangunannya segera selesai. Aku tidak ingin ada kesalahan apapun. Terus awasi mereka semua yang bekerja untuk proyek mal itu dan pastikan tidak ada yang memakan gaji buta dengan bekerja tidak benar, tapi mendapatkan upah yang besar. Aku benci orang-orang seperti itu"

"Baik, Presdir"

"Lalu bagaimana dengan fasilitas baru yang kita tambahkan di The Jung International School?" tanya Laurine pada Philip, karyawan pria lain dengan ciri berkacamata.

"Tim kami meninjau langsung komentar para siswa-siswi disana dan mereka semua merespon dengan sangat baik"

"Bagus. Aku suka cara kerja kalian"

Kemudian Laurine beralih pada wanita yang duduk tidak jauh dari kursinya. "Tuan Lee" panggilnya.

Sekretaris pria berumur empat puluh tiga tahun itu sontak menoleh seraya menegakkan badan. "Ya, Presdir?"

"Apa jadwalku setelah ini?"

Edmund segera membuka lembaran-lembaran buku catatannya. "Ada pertemuan penting dengan salah satu calon investor sore nanti. Tapi, sebelum itu, ada beberapa berkas yang membutuhkan persetujuan Anda"

Laurine mengangguk dan beranjak dari duduknya diikuti oleh beberapa pegawainya yang lain.

"Baiklah. Rapat selesai sampai di sini. Aku harap kalian bekerja dengan baik dan bisa memberi kontribusi bagus pada TJ Group"

Kemudian Laurine segera pergi dari ruangan besar nan mewah itu. Di belakang, Edmund dengan sigap mengikuti dari belakang.

Pegawai-pegawai yang juga kebetulan berada di sana dan tidak sengaja menatap Laurine, menundukkan kepala hormat dan ada juga yang memberi sapaan ramah.

Namun, membalas sapaan dengan ramah bukanlah hal yang akan Laurine lakukan. Hanya melirik sembari tetap berjalan dengan punggung tegap dan dagu terangkat.

Tidak heran jika orang-orang memiliki impresi sebagai wanita berkelas tinggi bagi siapapun yang melihatnya.

...***...

09:01 AM. Penthouse.

Pemandangan menyegarkan di pagi hari adalah salah satu hal yang Xavier sukai. Tapi, tetap saja itu tidak bisa menggantikan suasana gelap yang benar-benar menjadi favoritnya. Hampir semua pekerjaannya di lakukan saat malam hari. Jadi di hari yang cerah seperti ini, Xavier memilih untuk memanfaatkannya dengan bersantai.

Salah satu tangannya terulur mengambil kopi di atas meja dan menyesapnya seraya arah mata masih terarah fokus ke sebuah koran.

Sedangkan Marcus duduk di kursi lain seraya memainkan ponsel tanpa membuka suara sebelum Xavier yang terlebih dulu mengajaknya berbicara.

Hanya bunyi suara membalikkan halaman koran yang menggema memenuhi ruangan sunyi itu.

"Media bodoh!" sinis Xavier.

"Kau sudah membaca beritanya?" Marcus bertanya dan Xavier mengangguk sebagai jawaban.

"Mereka bodoh sekali! Berusaha mencari identitasku bahkan menduga-duga orang yang tak tahu apa-apa, heh?!"

Xavier berdecak sinis. "Aku tidak bisa habis pikir bagaimana orang seperti mereka menjadi wartawan dengan kemampuan seperti itu"

Pandangan Xavier menyusuri tiap kata yang terdapat dalam koran tersebut. Berita yang di maksud adalah perihal sindikat klan mafia Black Clan yang kini di pimpin olehnya.

Kelompok yang kini di pimpin Xavier itu memang sangat tertutup dan misterius. Wajar saja masyarakat umum penasaran.

"Itu bukan salah mereka. Kau sendiri yang terlalu pintar bersembunyi" sahut Marcus terkekeh.

Kedua sudut Xavier terangkat tipis mendengar pujian Marcus lalu melipat koran dan menyimpannya di atas meja.

"Melihat berita sialan itu membuatku tiba-tiba teringat keselamatan Ayahku di tempat persembunyiannya sekarang ini. Apa dia di sana baik-baik saja?"

"Keadaan Paman Hans baik-baik saja. Rumah itu terletak di tengah-tengah hutan dengan keamanan yang ketat. Aku bisa pastikan jika tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi di sana. Bahkan Dominic pun tidak akan mengetahui keberadaannya"

Lantas Xavier menghela nafas lega. Merasa tenang mendengarnya. Sampai kemudian dirinya teringat keadaan seseorang lainnya yang begitu berarti baginya.

"Lalu wanita itu? Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier dengan sedikit ragu sebenarnya.

Marcus tersenyum samar. "Laurine juga dalam keadaan baik. Seperti yang sudah aku laporkan, semalam sempat ada sebuah mobil yang hampir saja akan menabrak mobilnya. Tapi, anggota kita yang kau tugaskan menjaganya dengan cepat menghalau mobil itu"

"Apa suruhan Anthony lagi?"

"Iya. Sesaat setelah kejadian itu, aku segera memberi suruhan Anthony itu dengan pelajaran berupa beberapa peluru yang menghiasi hampir sekujur tubuhnya. Sesuai perintahmu, Bos besar"

Senyum miring perlahan tercetak di wajah Xavier. "Bagus. Memang tidak ada yang boleh menyakiti wanitaku. Kalaupun ada, hanya aku yang boleh melakukannya"

"Omong kosong! Menyakiti apanya? Selama ini kau justru melindunginya. Dasar budak cinta!" sindir Marcus.

"Kali ini aku bersungguh-sungguh. Dan selama ini aku melindunginya untuk memastikan dia masih hidup saat datang waktunya aku menyiksanya nanti. Dendamku padanya sudah terlalu besar dan tujuh tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk membiarkannya hidup tenang setelah apa yang dia lakukan padaku dulu"

Marcus menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berdecak pelan. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu"

Ini adalah perasaan aneh dan membingungkan. Xavier yang begitu cinta sekaligus benci secara bersamaan.

Itu karena kejadian menyakitkan yang pernah terjadi pada keduanya di masa lalu. Sesuatu yang terasa sakit dan akan sulit untuk di sembuhkan.

Adalah sebuah kesialan ketika Xavier menjatuhkan hati pada Laurine. Perasaan membingungkan yang akan membuat dirinya dan si wanita idaman tertarik ke arah takdir romansa menyedihkan.

...***...

04:23 PM. TJ Group Office.

Elevator membawa Laurine dan Edmund ke lantai tujuh belas. Beberapa menit yang lalu Laurine baru saja menemui seorang investor di ruangan khusus untuk menemui para investor dan kini hendak melanjutkan pekerjaannya yaitu menandatangani beberapa berkas penting di ruangan kerja pribadinya.

Berbeda dengan suasana lantai lainnya yang ramai karena banyaknya pegawai, suasana lantai paling atas itu begitu sepi dan hanya ada satu meja orang kepercayaan Laurine dan ruangan milik sang pimpinan perusahaan.

"Tadi Anda hebat sekali, Presdir. Pengetahuan dan kecapakan bicara Anda berhasil meyakinkan investor yang di kenal pelit dalam menanamkan modal. Mengagumkan!" ungkap Edmund kagum sebelum Laurine memasuki ruangannya.

Sesaat Laurine menghentikkan langkahnya seraya kembali menatap Edmund dan tersenyum tipis.

"Terima kasih atas pujiannya, Tuan Lee. Kau juga ikut mengambil peranan dalam kesuksesanku sekarang ini"

Edmund membungkukan badannya sopan. "Adalah sebuah kehormatan bisa melayani Anda"

Lantas Laurine beralih membuka kenop pintu. Baru saja memasuki ruangan kerja pribadi itu, Laurine sedikit terkejut ketika mendapati sosok pria tengah duduk di kursi kebesaran miliknya. Mungkin jika yang melakukannya orang lain akan Laurine marahi habis-habisan karena berani menduduki kursi pimpinan perusahaan. Namun, sayangnya dia adalah Paman Laurine.

Tentu saja Laurine masih mengerti kesopanan sekalipun sikapnya terkesan dingin. Jadi, Laurine hanya diam membiarkan salah satu keturunan Jung itu melakukan hal yang sebenarnya membuatnya kesal.

Laurine mengubah arah jalannya menuju jendela besar lalu menatap datar keramaian kota seraya bersidekap dada.

"Apa kabarmu?" tanya Anthony membuka pembicaraan dengan sedikit memutar kursi yang di dudukinya dan menatap Laurine yang sama sekali tidak menatapnya.

"Baik"

"Tidak ingin menanyakan kabarku juga sebagai bentuk balasan kesopanan aku yang mengkhawatirkan keadaanmu?"

"Apa itu penting? Jika menanyakan kabar Paman akan membuat perusahaan mengalami peningkatan signifikan, maka aku akan menanyakannya setiap detik. Tapi sayangnya tidak, bukan?" sinis Laurine tajam tanpa menoleh dan hanya berfokus menatap ke arah luar sana.

Anthony mengumpat dalam hati seraya mengepalkan tangan pertanda kesal. Tapi, tidak lama setelah itu kembali tersenyum.

"Tubuhmu terlihat lebih kurus dari yang terakhir aku lihat seminggu lalu. Kenapa? Apa urusan perusahaan adalah alasannya?"

Pertanyaan Anthony kembali terlontar. Pria yang berjarak usia sebelas tahun dengan Laurine itu seolah memberi perhatian lewat perkataan manisnya.

Padahal kenyataannya tidak. Dalam setiap kata-kata yang di ucapkannya sebenarnya sarat akan kebencian dan Laurine tidak bodoh untuk dapat mengetahuinya.

"Jika memang iya, maka--"

"Maka mundur saja dari posisi pimpinan perusahaan" sela Laurine dengan gaya bicara mengikuti Anthony yang membuat Pamannya itu seketika terdiam membeku.

"Laurine, kau terlalu muda untuk memegang tanggung jawab sebesar ini. Habiskan saja masa mudamu dengan bersenang-senang seperti orang lain. Biarkan Paman yang melakukannya untukmu" lanjutnya kentara sedang mengejek.

Perlahan Laurine membalikkan badan dan melemparkan tatapan tajam nan menghunus pada Anthony.

"Kau selalu mengatakan itu padaku selama lima tahun terakhir. Apa kau sendiri tidak lelah, Paman?"

"Apa maksudmu? Aku--" ucapan Anthony kembali terpotong ketika Laurine menyela.

"Aku bersungguh-sungguh. Jadi percayakan saja semuanya padaku"

Lagi-lagi Laurine mengikuti gaya bicara Anthony. Ejekan yang cukup membuat lawan bicaranya tidak berkutik.

"Apa tidak ada serangkaian kata-kata yang lebih bagus lagi untuk kau tunjukkan padaku? Aku bosan mendengarnya. Seperti..."

Laurine menggantungkan ucapannya dan terlihat berdehem-dehem mempersiapkan suaranya sebelum kembali membuka mulut dengan masih meniru gaya bicara Anthony.

"'Anak sialan!', 'Berani-beraninya dia menempati posisi yang selama ini aku inginkan!', 'Aku berjuang keras selama hampir seumur hidupku, tapi dia dengan mudahnya mendapatkan semua itu!', 'Lihat saja, suatu hari akan aku hancurkan dia!'"

Anthony menghela nafasnya gusar dengan kepala menunduk tidak berani menatap Laurine karena merasa dipermalukan.

"Kemana serangkaian kata-kata menakjubkan yang biasa kau katakan di belakangku itu, Paman? Jujur saja aku lebih suka mendengar umpatan kejujuran daripada rayuan kemunafikan"

Masih di tempatnya, Anthony hanya terdiam. Lidahnya kelu tidak mampu membalas sindiran tajam Laurine.

"Jadi, tolong lebih pintarlah lagi jika memang ingin menjadi seorang Pimpinan Perusahaan. Karena dibutuhkan orang-orang terpilih yang cerdas untuk menempati posisi ini. Entahlah. Daripada kesal, aku lebih kasihan padamu. Sepertinya kebanyakan waktumu kau habiskan untuk berandai-andai dibanding membuat otakmu pandai"

Terlihat Laurine lebih mendekatkan diri dan menepuk-nepuk bahu Anthony. "Sadarlah! Kau tidak sebanding denganku!" desis Laurine.

Kemudian Laurine melangkah pergi dari sana seraya tersenyum miris merasa puas karena berhasil membuat Anthony kesal.

"Dah, Paman"

Lambaian tangan Laurine terlihat sebelum menutup pintu secara kasar hingga menimbulkan suara cukup keras.

Meninggalkan Anthony yang sedang berteriak murka tidak terima akan penghinaan Laurine. Laurine dan segala ucapan pedas yang keluar dari mulut ranumnya itu memang luar biasa.

...TO BE CONTINUED...

...laurine's style👇🏻...

...fyi, laurine ini suka paku baju hitam atau dominan hitam...

02. Xavier Kim

09:57 PM. Black Clan Headquarters.

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

Suara pukulan demi pukulan terus terdengar di ruangan bernuansa menyeramkan itu. Darah terciprat kemana-mana. Menandakan jika siksaan yang diterima bukanlah main-main.

Sedangkan tidak jauh dari sana, seorang pria muda hanya berdiri angkuh dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana.

Mata tajam Xavier terus memandang James, si penyusup yang tengah dihujami bogeman keras oleh para anak buahnya.

"Jangan biarkan dia mati sebelum mengatakan orang yang mengirimnya kesini untuk mencuri informasi tentang kelompok kita"

Pria-pria bertubuh besar itu mengangguk dan kembali memukuli James.

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

"Kau salah, Xavier! Bahkan sampai benar-benar sekarat pun, aku tidak akan mengatakannya padamu!" decih James kemudian meludah darah.

Xavier terkekeh pelan. "Aku apresiasi kesetiaanmu. Tapi, apa kau tidak merasa sakit hati? Majikanmu mungkin sedang menikmati champagne ditemani pelacur, sedangkan kau disini sedang dihajar habis-habisan"

Terlihat tatapan James menyendu sebelum tubuhnya kembali dipukuli.

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

"Sudah hampir tiga hari kau dihajar. Jadi, mana orang yang kau maksud akan segera menghabisiku itu?"

Tidak ada respon. Xavier tahu betul jika James tengah merasakan sakit luar biasa hingga membuka mulut pun sulit akibat pukulan-pukulan tanpa henti itu.

"Andai anak buahku yang berada di posisimu, mungkin aku akan turun tangan untuk menjemputnya. Walaupun kejam, setidaknya aku setia. Lalu bagaimana dengan pemimpinmu? Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kau masih tidak mau berubah pikiran dengan jujur padaku?"

James menggeleng keras kepala dan membuat Xavier sangat murka.

"Kali ini hajar dia sampai mati!" titah Xavier mutlak lalu mundur beberapa langkah.

Kemudian anak buahnya segera menurut dan kembali memukuli James dengan kekuatan yang tentu lebih besar dari sebelumnya.

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

BUGH!!! BUGH!!! BUGH!!!

"Asal kau tahu, sejujurnya aku sudah tahu siapa yang menyuruhmu. Hanya saja aku butuh kejujuranmu. Tapi, kau terlalu mempertahankan egomu hingga mengorbankan nyawamu sendiri. Padahal tadinya aku berbaik hati hendak mengampunimu"

"P-pembohong! K-kau hanya menakutiku!" bentak James di sisa-sisa kesadarannya.

"Berhenti" titah Xavier seraya mendekat dan membuat para anak buahnya yang tengah memukuli James, menyingkir untuk mempersilahkan Tuan mereka.

Dengan sengaja salah satu kaki Xavier menginjak kuat dada James yang sudah terkapar tidak berdaya.

"Bukankah yang kau salah satu anggota kelompok mafia Alpha Familia? Dan yang mengirimmu adalah pemimpinmu? Dominic Hwang?"

Keterkejutan terlihat jelas di raut wajah James, namun tidak lama setelahnya Xavier menendang tubuhnya keras hingga menghantam tembok.

BUGH!!!

Suara tulang yang patah terdengar bersamaan dengan teriakan terakhir James sebelum nyawanya benar-benar melayang.

Terlihat Xavier mengeluarkan sebuah bunga mawar hitam dari balik jas yang di pakainya. Melakukan ritual pada jasad-jasad yang dia bunuh seperti biasanya. Xavier menyimpan bunga mawar hitam itu tepat di samping jasad James dengan seringai mematikan.

"Selamat bersenang-senang di neraka" gumamnya lalu dalam sesaat hanya memandang dingin tubuh kaku James.

Patut di akui memang, dari semua musuh Xavier yang begitu banyaknya, Dominic paling begitu berhaya. Hanya ada satu pemimpin kelompok gelap yang benar-benar berani menyerang Black Clan bertubi-tubi seperti ini. Yaitu Alpha Familia yang kini di pimpin oleh Dominic.

Ternyata Dominic memang membuktikan ucapannya kala itu yang mengatakan akan terus menganggu Xavier sampai fakta kematian sepupunya terungkap.

"Jadikan kepalanya sebagai pajangan untuk kenang-kenangan!" pesan Xavier santai kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Semua orang yang mendengar itu mengangguk paham meskipun sebenarnya bergidik ngeri menyaksikan kekejaman seorang Xavier Kim.

...***...

10:10 PM. The Jung Hospital.

Hati Laurine teriris ketika melihat pemandangan menyedihkan sang kakak kembarnya.

Lucien Jung. Nama itu tertera jelas di papan identitas pasien.Wajah semakin memucat dan tubuh semakin mengurus seiring berjalannya waktu.

Hidup pria itu hanya bergantung pada ventilator yang memegang peran penting untuk membantunya agar tetap bernafas.

Memang tidak akan menyembuhkannya,

tapi setidaknya ada asupan oksigen yang cukup untuk tetap bertahan hidup dalam keadaan koma seperti ini.

"Hai..." panggil Laurine pelan.

Tidak ada jawaban. Hanya suara dari elektradiograf yang terdengar begitu jelas.

"Aku datang"

Beginilah rutinitas lain Laurine selama lima tahun terakhir. Selalu menyempatkan ke sini di sela kesibukannya sebagai Pimpinan sebuah perusahaan besar.

"Kapan kau bangun?"

Laurine mengusap lembut tangan dingin yang tertancap infus itu.

"Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa kau baik-baik saja? Apa kau bermimpi buruk? Apa kau kesepian? Apa hari ini adalah hari terakhirmu? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memutari otakku setiap saat"

Helaan nafas panjang terdengar sebelum Laurine melanjutkan perkataannya. Salah satu tangan Laurine yang satunya lagi terulur mengusap-ngusap pelan dahi Lucien dengan lembut.

"Kau masih tidak mau bangun juga, ya? Sebenarnya apa yang sedang kau mimpikan disana sampai tidak mau kembali? Apa disana lebih menyenangkan?"

Kemudian Laurine memajukan bibirnya seperti kesal diiringi kekehan pelan.

"Dasar licik! Sepertinya kau di sana sedang berbahagia, sedangkan adik kembarmu di sini tengah menanggung derita"

Perlahan senyum Laurine menghilang. Lalu di gantikan dengan sorot mata menyendu dan terlihat memerah seperti menahan tangis.

"Mana janjimu yang katanya ingin menjagaku itu? Nyatanya sekarang malah aku yang menjagamu. Aku hanya memilikimu saja. Tidak ada satupun orang yang bisa aku percayai selain dirimu. Apa kau tidak merasa kasihan padaku?"

"Jadi, ayo bangun. Tidurmu sudah terlalu lama. Di sini aku sendirian dan merasa begitu kesepian. Aku butuh seorang perlindungan. Kumohon. Kabulkankah permintaanku yang satu ini. Anggap saja sebagai balasan aku yang dulu selalu mematuhi perintahmu, termasuk menjauhi pria yang aku cintai"

...***...

00:36 AM. Penthouse.

Hari sudah berganti dan derajat cuaca di pagi buta semakin rendah. Xavier memejamkan matanya di bawah guyuran air shower. Menghilangkan bau menyengat dan percikan darah yang terdapat pada beberapa bagian anggota badannya akibat penyiksaan yang dilakukannya pada penyusup suruhan Dominic tadi.

Berusaha menikmati dinginnya air yang menjalar. Seraya berharap segala beban dan penat juga dapat luntur oleh gemericik air yang membasahi seluruh tubuhnya.

Namun sekeras apapun Xavier berusaha, kenangan masa lalu indah ataupun buruk tetap bersarang di bagian otak hipokampus sana. Sebuah memori kelam yang bertransformasi menjadi trauma. Lalu menumbuhkan keinginan untuk membalasnya dengan hal yang tidak jauh lebih menyakitkan juga.

"Maukah kau menjadi kekasihku?"

Keterkejutan terpancar jelas di wajah Laurine. Terdiam sesaat sebelum akhirnya menganggukan kepalanya pelan yang membuat seketika Xavier tersenyum lebar. Kilasan-kilasan kejadian masa lalu kembali terputar jelas di pikiran Xavier seiring dengan rasa sesak di hatinya.

"Ayo kita berpisah"

Bersamaan dengan kata yang baru saja terucap dari mulut Laurine, dunia Xavier seolah berhenti saat itu juga. Lalu kesadaran Xavier perlahan kembali ke dunia nyata.

"ARGH!!!"

Xavier berteriak keras hingga menggema seraya melayangkan pukulan keras pada tembok di hadapannya.

BUGH!!!

Punggung tangan kanannya pun mengeluarkan darah. Tapi, sejujurnya bukan itu yang menurutnya menyakitkan. Selama ini terluka di bagian tubuh, bukanlah hal yang harus Xavier permasalahkan. Bagi Xavier adalah hal yang biasa. Sedari kecil Xavier dididik untuk tetap berusaha keras bertahan hidup saat fisiknya terluka, namun tidak diajarkan jika hatinya yang terluka. Terlebih lagi karena cinta.

Maka sekarang Xavier kebingungan mendahulukan yang mana dulu. Tetap mencintai ataupun melanjutkan kebencian yang sudah menguasai logika. Laurine berhasil membuat Xavier gila. Itulah inti dari ikatan takdir mereka yang tidak berujung. Oleh karena itu, Xavier akan melakukan apapun agar Laurine kembali bersamanya. Meskipun itu harus dengan cara yang salah.

...TO BE CONTINUED...

Tepuk tangan dulu dong buat Laurine si femme fatale kita yang berhasil membuat Xavier menggila🤪

Mau kasih penjelasan sedikit ni. Jadi pemeran utama laki-laki ini mungkin terlihat tidak berperikemanusiaan. Dia seorang pemimpin mafia berkuasa yang pemarah, kejam dan licik. Pokonya yang jahat-jahat, ada sama dia.

Tapi, kalo udah kesentuh hatinya tuh ibarat bayi yang manja ketergantungan sama ibunya. Kaya gitu lah Xavier ke Laurine. Muka aja rocker tapi sebenarnya sikap Xavier tuh lembut kok. Ya ke Laurine aja tapi sih. Terus si Xavier ini tuh setiaaa banget. Ketemu sama Laurine sepuluh tahun lalu dan pacaran sekitar tiga tahun. Mereka putusnya tujuh tahun lalu, tapi Xavier masih juga belum move on dari Laurine. Padahal logikanya dia bisa ngedapetin cewek manapun.

Alasannya berarti ya bukan sekedar suka fisik aja kok, tapi hatinya juga. Percayalah sosok Laurine yang dulu beda jauh sama sosok Laurine yang sekarang. Mereka kaya dua sosok berbeda lah pokonya dan pasti ada penyebabnya di balik itu semua.

Segitu aja penjelasan singkat aku tentang kisah masa lalu mereka. Karena yang bakal aku kembangkan ceritanya di part-part selanjutnya adalah tentang kisah masa depan mereka.

See u next chapter!❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!