Pipi Helena merona, senyum bahagia tersungging di bibir manisnya manakala ia tak sengaja menemukan kotak kecil berisikan liontin cantik dengan permata berwarna merah muda, di dalam saku celana suaminya Darta saat ia sedang merapikan pakaian di dalam lemari.
Hatinya kian berdebar ketika mengingat bahwa besok adalah hari ulang tahun dirinya. Helena segera meletakkan kembali kotak itu ketika ia mendengar suara suaminya berteriak memanggil-manggil namanya.
"Helen! Helen! Kamu di mana, Sayang?"
"Iya, Pa. Mama di sini ...." seru Helena.
Darta masuk ke dalam kamar dan bergegas menuju ruang khusus pakaian yang berada di dalam kamar itu.
"Mama ngapain di situ?" tanya Darta gugup.
Helena menyadari nada suara suaminya yang gugup, namun ia berpura-pura bersikap biasa karena ia tak ingin membuat suaminya kecewa karena kejutan yang gagal.
Helena tersenyum ke arah Darta. ''Mama lagi merapikan pakaian yang berserakan di lantai, Pa."
"Oh ... ngapain Mama repot, kan ada mbak Ima."
Darta menarik tangan isterinya untuk bangkit berdiri dan menggiringnya untuk duduk di ranjang.
"Nggak papa, Pa. Cuma sedikit kok, lagian Mama bosan nggak ada kerjaan." jawab Helena.
"Papa lelah sekali tolong bikinkan *teh tiway untuk papa, Ma." Darta sengaja menyuruh Helena untuk ke dapur karena ada suatu hal yang ingin dilakukannya.
"Baik, Pa. Tunggu sebentar ya." ucap Helena.
Setelah Helena keluar, Darta bergegas menuju ruang pakaian untuk mengecek kotak yang ia sembunyikan. Setelah melihat kotak tersebut masih tersimpan rapi, ia segera kembali ke sofa kecil di ujung ranjang dan berpura-pura membaca koran.
"Ini teh tiwaynya, Pa." ucap Helena sambil meletakkan secangkir teh tiway di atas meja kecil di depan Darta.
Darta menyesap teh itu sedikit lalu memandang ke arah Helena, "Besok malam kita makan di luar ya."
"Iya, Pa." jawab Helena santai sambil memainkan handphone di tangannya.
Helena menyembunyikan wajahnya yang merona bahagia dengan berpura-pura tunduk dan sibuk memainkan handphonenya. Padahal, bibirnya ingin sekali berteriak-teriak dan kakinya ingin sekali melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah besar.
Helena meletakkan Handphone itu di atas meja dan pamit pada suaminya. "Pah, mama jemput Angel dulu ya."
"Iya. Hati-hati ya, Ma. Papa juga mau istirahat sebentar." ucap Darta.
Setelah Helena menghilang dari balik pintu, Handphone Darta berdering. Ia segera menjawab panggilan itu, terdengar suara seseorang yang sedikit memaksa untuk bertemu. Dengan perasaan malas dan hati yang dongkol ia segera keluar dari kamar untuk menemui orang tersebut.
"Mama!" Gadis manis berusia lima tahun itu berlari ke arah Helena dan memeluk pinggangnya dengan erat.
Helena menunduk mencium kedua pipi Angel, anak semata wayangnya. Lalu Helena melonggarkan pelukan gadis itu dan menggendongnya sambil berjalan menuju ke arah parkiran mobil.
"Hari ini anak cantik mama belajar apa, Nak?" tanya Helena.
"Hari ini Angel belajar menggambar dan mewarnai bunga, Ma." jawab Angel penuh energi.
"Terus, anak cantik mama dapat bintang berapa hari ini?" Lanjut Helena lagi.
"Bintang lima dong, Ma." Pamer Angel.
Helena mencium pipi Angel dan menatap bangga pada anaknya itu, "Wuih. *Dayang mama hebat."
"Iya, dong. Angel ...." seru Angel bangga.
Helena membuka pintu mobil lalu mendudukkan Angel di kursi sebelah kiri. Kemudian ia segera bergegas menuju kursi sebelah kanan untuk memegang kemudi.
Honda jazz berwarna merah muda dengan tempelan stiker Hello Kitty yang cantik melaju dengan pelan meninggalkan TK Tunas Mekar tempat Angel bersekolah.
Helena memperlambat laju kendaraannya dan menghentikannya saat tiba di lampu merah UNIKARTA. Kedua jari telunjuknya sibuk mengetuk-ngetuk kemudi yang ia pegang sambil bersenandung kecil, sementara kedua matanya tetap fokus ke arah traffic light yang ada di depannya.
Namun fokusnya sedikit terganggu ketika Angel berteriak smabil melambai- lambai ke arah keluar jendela.
"Papa! Papa! Ini Angel, Pa!"
Saat Helena ingin melihat ke arah yang ditunjuk oleh Angel tiba-tiba klakson dari arah belakang berseru berkali-kali. Dengan terpaksa Helena menjalankan Honda jazz yang dikendarainya tanpa sempat melihat apa yang dihebohkan oleh puterinya itu.
Dengan penuh rasa penasaran Helena bertanya pada Angel.
"Angel , tadi Angel ngelihat siapa?"
"Papa." jawab Angel singkat.
"Di mana, Nak?" tanya Helena lagi.
"Di bengkel." jawab Angel sambil memainkan boneka Hello Kitty.
"Sama siapa?" Lanjut Helena semakin penasaran.
"Tante Anas."
Jawaban Angel yang terakhir cukup membuat Helena terkejut dan bertanya-tanya. Untuk apa suaminya berada di bengkel bersama sepupunya Anas. Bukankah tadi Darta bilang kalau ia ingin beristirahat karena kelelahan. Sedangkan Anas sendiri bukannya ada di kampung, kenapa Anas tak mengabarinya bila ia akan datang kemari.
"Kamu yakin Nak, kalau itu tadi papa sama tante Anas?" selidik Helena.
Angel hanya mengerucutkan bibirnya dan mengangkat bahunya untuk menjawab pertanyaan Helena. Melihat reaksi Angel yang demikian Helena hanya bergumam lirih.
"Hmm ... mungkin Angel salah lihat ...."
Pintu gerbang yang menjulang tinggi bak istana terbuka ketika Helena menekan sebuah tombol pada remote control kecil untuk membuka dan menutup pintu gerbang rumahnya. Dua orang sekuriti segera berdiri dan memberi hormat ketika ia melewati gerbang tersebut.
Setelah memarkirkan mobilnya, Helena segera mengeluarkan Angel dan menggendongnya sambil berlari kecil menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam rumahnya.
Helena memanggil mbak Ima dan menyerahkan Angel untuk diurus olehnya. Lalu ia segera berlari menuju ke kamar untuk mengambil Handphone yang ia tinggal di atas meja kecil.
"Halo, Pa. Papa di mana?" tanya Helena ketika ia sudah mendengar suara Darta.
"Papa lagi di luar, ada rapat mendadak dengan kontraktor." jawab Darta.
"Benaran? Papa nggak bohong, kan?" Selidik Helena.
"Serius, Ma. Lagian tadi Papa mau ngabarin mama, tapi handphonenya mama tinggal di kamar." jawab Darta.
"Oh iya, Pa." ucap Helena.
"Oh iya, Ma. Tadi pas papa di jalan papa ketemu Anas di jalan, mobilnya rusak. Terus papa panggil mobil derek untuk bawa mobilnya, lalu papa antar Anas ke bengkel." terang Darta pada Helena.
"Memangnya mobil Anas kenapa, Pa?" tanya Helena.
"Nggak tau. Katanya tiba-tiba mogok." jawab Darta.
Helena tersenyum lega dengan kejujuran suaminya. "Terus, sekarang Anas gimana?"
"Nggak tau. Setelah mobil derek datang, papa langsung pergi karena papa buru-buru mau ketemuan sama kontraktor." jawab Darta.
"Terus pa--"
"Sudah dulu ya, Ma. Kolega papa sudah datang."
Belum sempat Helena meneruskan perkataannya, Darta langsung memotong dan menutup teleponnya. Helena merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil memikirkan beberapa hal yang mengganjal di dalam pikirannya.
*teh tiway \= teh yang terbuat dari bawang tiway ( bawang hutan khas suku Dayak )
*dayang \= panggilan sayang untuk anak perempuan suku Dayak
Malam ini, kecantikan Helena tampak begitu sempurna di mata Darta. Kulitnya yang putih bersih nampak bersinar dibalut dress merah muda berhiaskan permata yang indah.
Panjang kain yang hanya sebatas lutut menampilkan kakinya yang begitu jenjang menggoda, bertumpu di atas heels yang berwarna senada. Rambutnya yang digelung bak bangsawan Inggris membuat tampilannya semakin elegan.
Lengannya yang indah dan jemarinya yang lentik diulurkan ke arah Darta.
"Aku sudah siap sayang."
Darta menyambut uluran tangan Helena dan mengecup punggung tangannya dengan lembut sambil menatap Helena dengan mesra.
"Kamu cantik malam ini bagaikan Puteri Bulan."
Helena tersipu malu dan membuat pipinya semakin merona. Darta menggandeng tangan Helena dan membawanya turun ke arah mobil yang terparkir di halaman rumah mereka. Membuka pintu mobil dan mempersilahkan Helena untuk masuk.
"Silahkan masuk, My Queen."
"Terima kasih, sayang." ucap Helena manja.
Darta memacu pelan mobilnya yang mewah melewati gerbang yang menjulang tinggi, menyusuri daerah asri yang jauh dari pemukiman. Istana Darta memang terletak jauh dari pemukiman penduduk Kutai Kartanegara.
Rumah mewah bernuansa etnik Dayak berdiri megah di area kebun buah milik Darta. Pondasi bangunan yang tinggi dari halaman membuat beberapa anak tangga yang dihiasi bebatuan asli dari pedalaman Kalimantan berjejer rapi antara halaman parkir dan pintu masuk.
Dua buah patung *Timang dengan posisi berdiri terletak di sisi kiri dan kanan pintu masuk. Pada dinding sebelah kanan terukir ukiran seorang gadis Dayak yang sedang menari dengan gemulai. Dan di sebelah kiri ada ukiran seorang pemuda Dayak yang sedang meniup *sumpit.
Ornamen-ornamen ukiran khas suku Dayak menghiasi beberapa sudut bangunan dan pintu gerbang. Rumah mewah itu di kelilingi pagar tembok yang tinggi, dan di bagian belakang tembok rumahnya terdapat gerbang kecil yang menghubungkan rumah Darta dan pondok kecil yang ada di kebun buah-buahan miliknya itu.
Pohon Durian, Cempedak, Lay, Rambutan, dan Langsat terawat rapi di kebun buah milik Darta yang ada di belakang rumahnya. Dan pondok kecil yang terbuat dari kayu Ulin yang berada di tengah-tengah kebun merupakan tempat favorit Darta untuk merefleksikan tubuhnya yang lelah.
Di dalam pondok itu tersimpan berbagai jenis senjata antik dan senjata untuk berburu khas suku Dayak. Beberapa binatang langka yang diawetkan, yang ia dapatkan secara ilegal tertata rapi di beberapa sudut ruangan dan tergantung di dinding-dinding pondoknya.
Ada satu kamar khusus untuk menyimpan benda antik dan benda pusaka di salah satu ruangan pondok itu, tak ada satupun orang yang boleh masuk ke ruangan itu termasuk Helena isterinya, hanya Darta Ingan yang boleh masuk kesana.
Dulu, Darta Ingan adalah pemuda miskin anak seorang buruh penores karet di perkebunan karet milik tuan Apung Igit ayah Helena. Sempat menghilang setelah diusir oleh ayah Helena yang mengetahui hubungan terlarang antara Helena dan Darta.
Setelah tujuh tahun menghilang Darta Ingan akhirnya kembali lagi ke salah satu kampung hulu Mahakam tersebut sebagai lelaki yang sukses dan kaya. Berkat kekayaannya tersebut Darta berhasil memikat hati ayah Helena dengan membantu menyelamatkan perkebunannya yang hampir disita oleh bank.
Lewat bantuannya tersebut Darta Ingan berhasil menikah dengan wanita pujaan hatinya Helena Igit. Namun sayang, di saat ia sudah menjadi orang yang sukses kedua orang tuanya tak sempat menikmatinya. Setahun kepergian Darta ibunya meninggal, lalu disusul oleh ayahnya dua tahun kemudian.
Setahun setelah mereka menikah tuan Apung meninggal, dan mewariskan semua perkebunan karet dan kelapa sawitnya kepada Helena yang kemudian dikelola oleh Anastasia Huvang sepupu Helena, karena kepindahan mereka ke kota.
Darta dan Helena yang sama-sama yatim piatu memutuskan untuk tinggal di kota Kutai Kartanegara. Selain sedih mengingat kenangan tentang orang tua mereka yang terus terbayang di kampung, Darta juga ingin tinggal lebih dekat dengan kantornya yang ada di kota.
Bisnis kontraktornya sedang berkembang pesat. Banyak tender pembangunan yang ia menangkan, dan hal itu membuatnya lelah harus bolak-balik dari pedalaman Mahakam menuju ke kota.
Laju mobil mewah Darta melambat memasuki area parkir sebuah restoran yang cukup terkenal di kota itu. Setelah memarkirkan mobilnya, Darta menggandeng tangan Helena menuju ke lantai dua.
Di lantai dua berbentuk balkon yang luas tersebut Helena di sambut dengan tatanan dekorasi yang serba merah muda dan suasana yang romantis. Sebuah lilin beraroma wangi dengan bentuk hati berwarna merah muda mengelilingi kue ulang tahun yang indah bertuliskan 'Happy Birthday My Wife, Helena' di atasnya.
Helena duduk menghadap ke arah sungai, memandangi Pulau Kumala yang mengapung di tengah-tengah sungai Mahakam dan Jembatan Gerbang Dayaku yang berdiri kokoh melintasi sungai Mahakam. Gedung Puteri Karang Melenu terpampang jelas nun jauh di seberang sungai di balik pulau Kumala.
Suasana semakin romantis dengan alunan musik yang membuat cinta semakin bersemi malam ini, khususnya di hati Helena. Darta menatap lembut ke arah Helena.
"Kamu suka, Sayang."
Helena mengangguk haru tanpa bisa berucap sepatah katapun.
"Selamat ulang tahun, Sayang." ucap Darta sambil mengecup punggung tangan Helena.
Darta membungkuk dihadapan Helena dan membuka kotak kecil yang ia keluarkan dari saku jasnya. Darta kemudian menyematkan benda itu di jari manis Helena.
"Ini cincin berlian termahal yang khusus aku belikan di luar negeri untukmu."
Helena terdiam ketika Darta menyematkan cincin berlian itu di jari tangannya. Dia merasa heran karena yang ia temukan kemarin berbeda dengan yang ia terima malam ini.
"Kenapa bengong? Kamu nggak suka, Sayang?" tanya Darta.
"Eh, e ... Nggak kok, Pa. Mama suka." jawab Helena.
"Mama cuma kaget dan bahagia aja, Pa." Lanjut Helena lagi.
"Syukurlah ... ayo, tiup lilinnya dulu." ucap
Darta sambil menuntun Helena untuk meniup lilin angka tiga puluh lima yang tertancap di atas kue.
Setelah selesai meniup lilin dan ritual ulang tahun lainnya, mereka melanjutkan dengan makan malam. Darta meletakkan sendok makannya, merogoh kantong celananya, dan menyodorkan amplop coklat ke arah Helena.
"Ini, kejutan spesial lainnya untuk kamu Sayang."
Dengan bingung, Helena membuka dan melihat isi dari amplop tersebut. Helena memandang takjub ke arah suaminya.
"Ini serius, Sayang."
"Serius. Bukankah, ini yang selalu kami impikan." jawab Darta.
Helena behambur ke arah Darta dan memeluknya erat, sebuah kecupan ia daratkan di pipi suaminya itu.
"Makasih, Sayang."
Mereka pun melanjutkan makam malam yang sempat tertunda. Helena tersenyum bahagia sambil melirik ke arah amplop cokelat yang berisikan tiket perjalanan ziarah ke Yerusalem dan Vatikan.
Setibanya di rumah, Darta langsung menggendong Helena menuju ke tempat peraduan. Gairah yang sudah menggebu-gebu sejak ia melihat Helena memakai dress itu, ingin segera ia lepaskan.
Darta dan Helena bercumbu mesra, hasrat dan gairah mereka yang sudah membara di ubun-ubun terasa ingin meletus bagai gunung berapi. Namun, ketika Darta ingin memasukkan sesuatu yang membuat hasratnya begitu membara itu tiba-tiba melemah tak berdaya. Darta bingung, dan Helena sangat kecewa dengan Darta. Malam itu pun Helen tertidur dengan kekecewaan dan hasrat yang tertahan.
Saat Helena sudah tertidur lelap, Darta diam-diam pergi ke suatu tempat untuk melepaskan hasrat yang tertunda. Dan ia kembali sebelum Helena bangun dari tidurnya.
Esoknya, Helena bangun dengan perasaan yang amat malas. Hatinya masih kecewa dengan Darta, dipandanginya lelaki yang masih tertidur pulas di depannya itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu semalam ...." ucapnya lirih.
Sebuah ketukan di pintu kamar memaksanya turun dari ranjang. Helena bergerak dengan gontai untuk membuka pintu, ia terkejut dengan suara seseorang yang berteriak saat pintu sudah terbuka.
"HAPPY BIRTHDAY, BABE ...."
Anastasia Huvang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memegang kue ulang tahun.
"Anas!" pekik Helena.
kedua saudara sepupu itu saling berpelukan dan bercipika- cipiki ria. Setelah itu, Helena mengajak Anas untuk duduk dan bercerita di ruang keluarga.
*Timang : Macan
*Sumpit : senjata tradisional Kalimantan yang digunakan dengan cara di tiup
"Kapan kamu tiba di sini, Nas? Kok kamu nggak ngasih kabar ke aku kalau kamu mau datang ke sini?" Helena memberondong Anas dengan beberapa pertanyaan.
Anastasia Huvang tersenyum memandang wajah Helena yang manyun, "Kemarin, Len."
"Siang kemarin? Kenapa nggak langsung ke sini? Terus kamu nginap di mana?" Tanya Helena yang masih memberondong.
"Iya, aku sengaja nggak langsung ke sini, dan nggak ngasih ucapan sama kamu karena aku mau ngasih kejutan untuk kamu." jawab Anas.
"Nginapnya?" tanya Helena.
"Aku nginap di Grand ELTY semalam." jawab Anas lagi.
Helena memandang kesal pada Anas sambil mencubit pinggang sepupunya itu.
"Hhmmm. Pantesan satu pun nggak ada pesan dari kamu ngasih ucapan buat aku, ku pikir kamu sibuk. Oh, ya. Gimana kabar *Itak."
Anas meringis kesakitan. "Aww ... sakit. Iya, ampun deh."
"Itak kurang sehat akhir-akhir ini, sering sakit-sakitan. Tapi, setiap kali ku ajak berobat selalu di tolak dengan alasan memang penyakit orang tua." Lanjut Anas lagi setelah Helena melepaskan cubitannya.
Helena memperbaiki posisi duduknya dengan menyenderkan tubuhnya di sofa, menarik nafas berat dan menghembuskannya dengan wajah sedih.
"Aku nggak tahu gimana lagi caranya untuk membujuk Itak, supaya mau ikut tinggal di sini bersamaku."
"Sabar, Len. Semoga suatu hari nanti, Itak berubah pikiran dan mau tinggal di sini bareng kamu. Untuk sementara biarlah dia tinggal di mana dia suka, lagian dia tinggal bersamaku dan *Tereq Deby bukan tinggal dengan orang lain." Ucap Anas sambil mengelus pundak Helena.
Helena menunduk sedih.
"Iya sih, Dia bilang nggak suka dengan udara di kota, dia lebih senang dengan udara di kampung. Tapi, kan aku nggak enak sama kamu yang harus merawat dia sementara aku cucu aslinya malah di sini."
"Udah nggak usah dipikirin, pakai acara nggak enak segala lagi. Walaupun Itak Wek adik dari nenekku, aku sudah menganggap Itak Wek sebagai nenek kandungku karena dia yang sudah merawat aku dari kecil" Anas tersenyum tulus.
Helena tersenyum lalu memeluk Anas dan mengucpakan terima kasih. Setelah itu dia kembali bertanya pada Anas.
"Oh, ya. Kemarin Angel ngeliat kamu di bengkel di dekat simpang UNIKARTA. Itu betulan kamu?"
"Oh, iya. Pas aku baru nyampe di area Bukit Biru tiba-tiba mobil aku mogok. Untung si Darta lewat terus aku numpang dia ke bengkel dan Darta manggil mobil derek buat angkut mobil aku, terus pas udah di bengkel dia langsung buru-buru pergi, katanya sih ada pertemuan penting. Sampai-sampai aku nggak sempat ngucapin terima kasih." terang Anas.
"Hmm. Padahal aku sempat mikir kalau si Angel salah lihat loh." ucap Helen.
Helena lega karena kebimbangannya tentang pikiran jahat yang merasuki kepalanya terjawab sudah. Ia menyesal dan merasa bersalah karena sudah mengira Anas dan suaminya bermain sesuatu dibelakangnya.
Darta keluar dari kamar dan mencari Helena, karena saat ia membuka matanya isterinya itu sudah tak ada disampingnya. Ia berjalan menuju ke arah ruang keluarga karena indera pendengarannya menangkap suara orang yang sedang berbincang di sana.
Ia penasaran siapa yang sedang berbincang dengan isterinya sepagi ini, Darta sedikit terkejut saat melihat Anas sedang berbincang dengan isterinya, Helena. Darta ingin mundur dan kembali ke kamar, saat ia sudah memutar badannya ternyata Helena sudah menyadari kehadirannya.
"Kamu sudah bangun, Pa?" ucap Helena.
Darta berusaha mengendalikan kegugupannya sebelum menjawab, "Iya, baru aja, Ma."
"Sini, Pa. ngobrol dulu." Panggil Helena.
Darta melangkahkan kakinya menuju ke arah Helena, lalu ia duduk disamping isterinya itu. Helena menggandeng lengan Darta, namun dilepas perlahan oleh Darta.
"Loh. Kenapa, Pa?" tanya Helena bingung.
"Malu, Ma. Ada Anas." bisik Darta.
"Santai aja, Ta. Pakai sok-sokan malu segala, aku sudah biasa kali jadi obat nyamuk kalian, sampai jadi tumbal untuk alasan Helena bohong ke Papi Apung dulu. Ngakunya cari jamur sawit bareng aku padahal pacaran sama kamu."
Ucapan Anas disambut tawa oleh Helena, sementara Darta hanya terdiam malu.
"Kamu masih ingat aja, Nas." ucap Helena sambil berusaha meredakan tawanya.
"Harusnya kalian banyak-banyak terima kasih sama aku, kalau nggak ada aku mungkin kalian nggak akan selamat sampai sekarang." ucap Anas.
"Iya, benar. Kamu paling banyak jasanya dalam hubungan kami, kalau nggak ada kamu entah bagaimana nasib kami." ucap Helena sambil menatap dan memeluk suaminya.
"Iya, Ma." ucap Darta mengelus kepala Helena yang terbenam di dadanya sambil menatap Anas penuh arti.
Anas tersenyum sinis pada Darta. Kehadiran Mbak Ima meredakan tatapan dan senyuman mereka.
"*Tabeq, Nyonya. Sarapannya sudah siap."
"Makasih, Mbak. Oh iya, Angel sudah siap Mbak?" ucap Helena pada Mbak Ima pembantunya.
"Sudah, Nyonya. Angel sudah duduk di meja makan, tabeq deh Nyonya." jawab Mbak Ima.
Helena mengangguk, lalu mengajak suami dan sepupunya Anas untuk sarapan. Mereka bertiga melanjutkan obrolannya kembali di ruang makan.
"Jadi kapan kamu berangkat ziarahnya, Len?'' tanya Anas setelah mendengar Helena menceritakan tentang ziarahnya.
"Lima hari lagi." jawab Helena.
"Terus Angel gimana?" tanya Anas lagi.
"Sebenarnya, aku mau minta tolong sama kamu di sini dulu selama sebulan, untuk bantu Mbak Ima jagain Angel. Soalnya Darta juga lagi banyak pertemuan di luar kota beberapa minggu ke depan, gimana kamu bisa nggak?" tanya Helena kembali.
"Sebenarnya aku mau sih nemanin dayang cantik ini," ucapnya sambil menatap Angel di depannya, lanjutnya. "Tapi aku nggak bisa lama-lama ninggalin Itak Wek, apalagi Itak Wek sering sakit-sakitan sekarang."
"Iya, sih. Rencananya, aku juga mau doain Itak Wek di sana nanti. Sekalian pulang ziarah aku mau bawa Itak Wek kesini bagaimanapun caranya, aku mau ngerawat Itak Wek di sini aja." ucap Helena.
"Kapan kamu kembali ke kampung." tanya Darta pada Anas.
"Kenapa? Kamu sudah mau ngusir aku?" goda Anas.
"Nggak. kalau bisa nginap aja di sini sampai Helen berangkat, apa kamu nggak mau ngantar Helen ke bandara? Sekalian aku anterin kamu ke kantor pusat dan ngenalin kamu sama kepala direksi-direksi yang ada di sana, biar nanti kalau ada urusan kantor kamu langsung kesana tanpa harus menunggu aku lagi." jawab Darta.
"Betul banget, Nas. gimana, mau ya?" tawar Helen.
"Oke." jawab Anas singkat.
"Ma, Angel sudah siap." ucap Angel menyela pembicaraan mereka.
"Oke, dayang Mama. Yuk, Mama antar ke depan. Salim dulu sama Papa dan Tante Anas." perintah Helen.
Angel beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Darta, mencium kedua pipi dan punggung tangan Darta kemudian berpaling ke pintu depan.
"Loh. Tante Anas nggak disalamin." tegur Helen.
Angel hanya terdiam tanpa mau menatap Anas, Helena kembali menegur Angel.
"Nggak boleh gitu, nggak sopan. Ayo." perintahnya lagi.
Dengan berat Angel melangkahkan kakinya untuk mendekati Anas dan memegang tangan Anas lalu menciumi punggung tangannya. Kemudian Angel segera kembali ke ibunya.
"Maaf ya, Nas. Maklum Angel agak pemalu." ucap Helen.
"Nggak papa, maklum anak-anak. Kamu juga nggak pernah bawa dia ke kampung makanya dia nggak kenal sama keluarganya sendiri." jawab Anas.
Helen tersenyum hambar, kemudian ia menuntun Angel berjalan menuju parkiran, di parkiran Mas Didik supir mereka sudah siap menunggu lalu kemudian mereka berangkat setelah Angel masuk ke dalam mobil.
Di Bandara.
Helena memeluk Anas dengan erat.
"Doain aku ya, Nas. Semoga perjalananku lancar tanpa ada halangan apa pun dan titip Darta sama Angel ya." ucap Helena.
"Pasti, Len." bisik Anas sambil melepaskan pelukannya.
Kemudian Helena memeluk Darta. "Pa--"
Getaran dan nada dering Handphone Helena membuat ia tak melanjutkan ucapannya. Ia menjawab panggilan itu setelah melihat nama yang tertera. Helena menangis setelah menutup teleponnya, Darta dan Anas saling berpandangan bingung.
"Kenapa, Ma." tanya Darta bingung.
"Pa, Mama nggak jadi berangkat. Mama mau pulang kampung sekarang, Tereq Deby telepon katanya Itak Wek sakit keras. Mama mau pulang sekarang Pah ...." Helena menangis sambil memeluk Darta.
"Oke, kita pulang sekarang." ucap Darta.
Helena dan Anas mengangguk setuju.
*Itak \= Nenek
*Tereq \= Tante
*Tabeq \= Maaf/ permisi
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!