NovelToon NovelToon

Namamu Rahasia

Riuhnya pagi

Sudah menjadi hal biasa dalam sebuah rumah tangga, apalagi bila sudah mempunyai anak yang menginjak masa sekolah, pagi adalah masa-masa krusial nan menghebohkan. Tak ada yang namanya santai berleha-leha menonton televisi apalagi memainkan ponsel. Semua tergesa mengejar waktu.

Sama seperti yang terjadi di keluarga kecil ini. Pagi mereka riuh, semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seorang wanita paruh baya tengah menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga dan si suami yang berjalan mondar-mandir sibuk mencari kaos kaki belum lagi sepasang anak yang mulai beranjak remaja sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

"Ma, liat topi adek nggak?" tanya si anak laki-laki yang memakai seragam SMP itu setengah merengek.

"Yang sekolah siapa sih? Tiap hari pasti ada aja barang yang hilang," dumal ibunya sembari menyusun piring di meja makan.

"Kemarin adek letak atas meja ma, kok bisa nggak ada sih?" Ia menggaruk kepala dan celingukan mencari ke kolong meja.

"Dibawa kecoak kali," sahut sang kakak yang memakai seragam putih abu-abu itu dengan enteng.

"Kalo nggak mau bantu nyari diem deh," sungut si adik sebal. Ia masih mondar-mandir mencari topi.

"Setiap hari pasti ada aja yang hilang, hari ini topi, kemarin dasi, kemarinnya lagi tali pinggang, salah-salah telingamu pun lupa tempatnya dimana." Si kakak masih saja gencar menggoda si adik.

"Sayang, lihat dompet aku nggak?" Lelaki paruh baya datang dari lantai dua dengan langkah sedikit terburu-buru sembari memasang jam tangan.

"Hadeh, ini lagi, nggak anak nggak bapak semua pada pelupa. Ada apa dengan lelaki dirumah ini?" pekik si anak berseragam putih abu-abu dengan ekspresi lebay. Perempuan paruh baya yang memegang predikat sebagai ibu itu hanya terkekeh geli.

"Kak, berani komentar, papa potong uang jajan!" ancam si papa yang membuat sang kakak terdiam dan gantian si adik yang tertawa.

"Semua sarapan dulu, bosen mama tiap hari ada aja kelakuan kalian yang kehilangan barang." Perintah si mama mutlak dan wajib di ikuti oleh seluruh anggota keluarga.

Si anak laki-laki berjalan menuju meja makan walau mata masih berkeliaran begitu pula si papa yang masih sibuk memeriksa isi tas kerjanya, berharap benda bernama dompet tiba-tiba muncul.

"Tapi ma topi aku, aku nggak bisa nelen sarapan kalo topi aku belum ketemu," rengek si anak laki-laki masih berusaha mendapatkan benda yang di cari.

"Dompet juga sayang, kemana ya? Nggak tenang mau sarapan."

"Duduk, makan," tegas si mama. Semua langsung mengambil posisi siap dan menekuri piring masing-masing.

Si mama meninggalkan mereka yang tengah sarapan dan menuju ke lantai dua tempat dimana kamarnya dan kamar anak-anak berada. Pertama yang ia tuju adalah kamarnya sendiri dan membuka laci di lemari. Ada sebuah dompet di lemari yang sedari tadi sibuk dicari oleh suaminya. Dia sendiri yang meletakkannya disana tetapi ia juga yang lupa.

Tempat kedua yang ia tuju adalah kamar anak laki-laki nya, ada topi menggantung di sebelah gitar dan si mama langsung mengambilnya. Benar kata anak perempuannya, ada apa dengan para lelaki di rumah ini? Mengapa semua mempunyai sifat pikun?

Setelah mendapatkan apa yang dicari, si mama langsung turun dari lantai dua dan menyerahkan benda yang dicari anak dan suaminya kehadapan mereka.

"Makasih mama," ucap mereka kompak sambil tersenyum sumringah.

Tepat pukul tujuh pagi, semua bergegas berangkat ke tujuan masing-masing. Papa yang kekantor dan anak-anak ke sekolah. Tinggallah si mama yang akan beres-beres rumah karena tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga.

Seperti itulah rutinitas yang di jalani si mama yang bernama Niken itu setiap harinya. Kehadiran suami yang menemaninya selama hampir tujuh belas belas tahun ini mampu membahagiakan hatinya juga kehadiran dua buah cinta mereka membuat hidup Niken kian bermakna.

***

"Ma, kakak tidur sama mama ya?" pinta anak perempuan Niken yang bernama Marsya.

Si adik yang mendengar permintaan kakaknya tak mau kalah. Ia yang sedang mengerjakan tugas langsung berlari menghampiri mama nya dan memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.

"Adek juga ya ma, selagi papa nggak dirumah, udah lama adek nggak tidur sama mama," pinta anak bungsu Niken yang bernama Marcel itu juga tidak mau kalah.

"Ish apaan sih Cel, ini khusus cewek-cewek tau, emang kamu nggak malu ya, udah sunat tidur sama mama," omel Marsya sebal karena adiknya pasti akan mengganggu momen curhat yang akan dilakukannya.

"Emang kakak juga nggak malu ya, udah tau cowok, kerjaannya telponan sampek malam tapi masih tidur sama mama." Marcel pun mengomel tak mau kalah.

"Eh sembarangan aja kalo ngomong, mana ada aku telponan sampek malam. Fitnah itu." Marsya berujar sebal sembari melirik mamanya. Selama ini ia memang sering telponan diam-diam setiap malam dan kadang sampai lupa waktu.

"Ma, sepertinya mulai besok nggak cuma lantai bawah yang dikasih cctv ma, tapi lantai atas juga, tiap kamar, biar tau kelakuan kakak kayak gimana." Marcel memberi saran yang tentu saja membuat Marsya melotot sebal dan Niken menggeleng, tak setuju dengan ide itu.

"Kurang kerjaan banget sih, emang kamu kira beli cctv itu nggak pake duit." Marsya menolak mentah-mentah ide itu walaupun alasan yang di berikan tidak masuk akal. Papanya pasti tidak sayang untuk menggelontorkan uang bila memang dirasa cctv perlu di pasang di tiap kamar mereka.

"Boleh ya ma, selagi papa tugas keluar kota, kalo ada papa kita nggak bisa manja-manjaan sama mama, papa pasti nggak mau kalah," bujuk Marcel mengabaikan tingkah kakaknya yang melemparinya dengan bantal sofa, masih sebal dengan ide cctv yang tercetus di pikiran Marcel.

"Iya boleh, kerjakan dulu tugas sekolah kalian. Mama tunggu sampai jam sepuluh, kalo jam sepuluh tugas sekolah belum selesai, mama kunci pintu," ucap Niken. Marsya dan Marcel langsung berlari ke meja belajar masing-masing dan segera menyelesaikan tugas sekolahnya sedangkan Niken beranjak menuju kamar untuk bertukar kabar sebentar dengan suaminya.

"Ma, dulu mama gimana sih kok bisa ketemu dan menikah sama papa?" tanya Marsya penasaran.

Tepat di jam sepuluh, Marsya dan Marcel berlari tergesa masuk ke kamar mamanya dan berebut ingin tidur di samping sang mama, akhirnya Niken mengalah tidur ditengah agar dapat memeluk anak-anaknya. Mereka juga sempat mengobrol dengan papanya yang saat ini tengah berada di luar kota dan menginap selama seminggu.

Kadang Niken sendiri heran, anak-anaknya sudah beranjak remaja dan dewasa tetapi masih sangat manja dan kelakuannya cenderung masih kekanak-kanakan.

"Takdir," celetuk Marcel yang langsung mendapat tatapan maut kakaknya.

"Ma, cerita dong, kisah cinta mama sama papa sampai akhirnya bisa menikah," desak Marsya lagi. Niken masih diam dan mengelus pelan rambut anak-anaknya.

"Di selipin cerita mantan mama juga nggak papa," sahut Marcel yang dijawab tawa oleh Marsya dan Niken pun ikut tersenyum.

"Yakin mau denger cerita mama? Entar bosan?"

"Enggaklah ma," sahut Marsya dan Marcel kompak.

"Gimana kalau dimulai dari mama SMP? Banyak kisah menarik yang mama kira lucu."

Anak-anaknya mengangguk antusias membuat Niken tersenyum dan menarik napas panjang.

"Tapi ini udah jam sepuluh lewat. Besok aja deh. Mama janji akan cerita tapi besok." Niken nyengir disertai tatapan kecewa anak-anaknya.

Kelas 7b

Niken sedang bersih-bersih gudang yang tampak berserak dan menjadi sarang nyamuk. Gudang ini memang jarang di buka karena hanya berisi pakaian bekas dan juga tumpukan kardus yang Niken sendiri lupa apa isinya. Ketika sedang menyusun kembali barang-barang, suara Marsya dan Marcel yang ternyata sudah pulang sekolah dan berganti baju menyapa gendang telinganya.

"Kalian sudah makan siang?" tanya Niken sembari menumpuk kardus berdebu.

"Sudah dong. Mama lagi ngapain sih?" tanya Marcel yang ikut masuk kedalam gudang disusul Marsya.

"Mau mama semprot pakai pembasmi nyamuk. Banyak banget nyamuknya. Kalian ngapain? Udah sana diluar aja, banyak debu!"

"Mau lihat-lihat," ucap Marcel cuek sementara Marsya bergegas mengambil sapu dan ikut membantu mamanya membersihkan debu.

Marcel iseng membuka salah satu kardus dan menemukan banyak sekali buku yang ternyata isinya masih sangat bersih.

"Wah, ada buku alumni mama!" seru Marcel girang.

"Mana?" tanya Marsya antusias. Ia meletakkan sapunya dan bergegas menghampiri Marcel. Niken sendiri memilih cuek walau ia sempat mengernyit, buku alumni mama yang di maksud Marcel.

"Ma, mama kan tadi malam janji mau cerita masa lalu mama," sahut Marsya mengingatkan yang didukung oleh anggukan antusias dari Marcel.

"Awas, mama mau semprot racun. Kalian keluar aja. Abis ini mama mandi dan mendongeng untuk kalian."

Niken mengusir anak-anaknya dan ketika mereka sudah pergi menjauh, ia segera menyemprotkan pembasmi nyamuk dan menutup pintu gudang setelahnya. Marsya dan Marcel menunggunya di ruang keluarga dan Niken pun segera mandi.

"Teman-teman mama banyak ya," komentar Marcel ketika ia membuka-buka buku alumni mamanya yang ia bawa dari gudang itu.

"Lumayan banyak. Satu kelas aja berisi dua puluh delapan orang. Sementara untuk alumni mama ada delapan kelas."

"Mama hitungan jumlah temen mama?" tanya Marsya heran. Ia saja tidak tau, dalam satu kelasnya teman-temannya ada berapa.

"Nggak di hitung tapi udah terbiasa meneliti. Mama kan pernah jadi sekretaris kelas waktu SMP."

"Beneran ma?" tanya Marcel takjub padahal menurut Niken, jadi sekretaris kelas itu biasa saja dan justru melelahkan.

"Cerita dong, ma. Cerita!" Marcel menggoyang lengan mamanya dengan antusias begitupun dengan Marsya yang memandangnya dengan mata berbinar dan penuh harap.

"Yakin ini mau denger cerita mama?"

"Yakin dong!" Marsya dan Marcel menjawab kompak.

Baiklah!

Kisah ini akan panjang dan diharapkan untuk tidak bosan mengikutinya.

***

"Sudah sana masuk, tuh udah banyak yang masuk gerbang," perintah om Uno. Niken menoleh ke kanan dan ke kiri. Bingung sendiri.

"Takut om," cicit Niken.

"Takut apa? Gurunya baik-baik kok," sahut om Uno menenangkan.

"Kalo aku nggak nemu temen gimana?" risau Niken.

"Pasti dapatlah. Mana mungkin dari sekian ratus murid disini nggak ada yang mau temenan sama kamu." Lagi-lagi om Uno menenangkan Niken yang masih saja tampak risau.

"Ya sudah deh om, aku masuk dulu." Niken berlalu meninggalkan om Uno yang juga akan bersiap berangkat bekerja.

Hari pertama masuk sekolah yang menegangkan!

Awal masuk sekolah dan tidak mengenal siapa-siapa. Itulah yang sedang dialami oleh Niken Aryani. Sekolah baru dan belum mendapatkan teman baru. Syukurlah disekolah ini tidak pernah diadakan MOS sehingga Niken tidak merasa semakin menyedihkan lagi dari ini.

Sebenarnya Niken agak menyesal memilih sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya bahkan saking jauhnya, Niken sampai harus pindah provinsi. Karena dengan memilih sekolah yang jauh itu artinya Niken harus menghadapi konsekuensi tidak ada satupun teman dari sekolah lamanya yang ia kenal juga bersekolah disini. Tapi menyesal pun tidak ada gunanya. Toh dia sudah sampai disini, mendaftar sebulan yang lalu dan telah resmi menjadi murid SMP Budaya seminggu yang lalu bahkan dia telah berdiri didepan gerbang sekolahnya.

Dengan menenteng ransel dipundak, Niken menoleh ke kanan dan ke kiri melihat aktivitas murid lainnya berlalu lalang. Ada yang sudah mengendarai sepeda motor, ada yang diantar oleh orang tuanya, ada yang naik angkutan umum bahkan tak sedikit pula yang berjalan kaki.

Setelah puas mengamati keadaan sekitar, Niken berjalan menuju kelasnya sembari berharap segera menemukan teman baru. Dengan bermodal bertanya kepada murid lainnya dimana kelasnya berada akhirnya disinilah Niken berada, di kelas 7B. Setelah tadi terdampar terlebih dahulu di Mading sekolah untuk melihat dikelas mana dia ditempatkan.

Lagi-lagi masih tanpa teman bahkan setelah Niken duduk manis dibangkunya. Diliriknya bangku yang berada tepat di sebelahnya. Kosong. Dilihat juga keadaan kelasnya yang riuh oleh suara murid lainnya. Kontras sekali dengan keadaannya.

Kebanyakan dari mereka duduk bergerombol membentuk aliansi masing-masing walaupun ada juga yang sedang mengobrol tapi setidaknya mereka berdua dan ada teman tidak seperti Niken. Niken jadi berpikir, ini gue yang terlalu kuper atau murid disini yang terlalu sombong sih? Nggak ada gitu yang mau ngajak gue kenalan?

Disaat Niken masih menoleh ke kanan dan ke kiri sembari meratapi nasibnya, masuk seorang siswi kurus tinggi berambut panjang. Awalnya dia sempat berhenti sejenak dipintu masuk tapi dengan santai dan gestur yang seolah dia sudah menguasai dunia, dia menghampiri siswi yang tengah duduk sendiri.

"Hai." Niken yang merasa ada suara didekatnya seketika menoleh.

"Boleh duduk disini? Bangku lainnya udah pada penuh."

Niken tersenyum dan mengangguk mengiyakan.

"Boleh. Kebetulan emang gue belum dapat teman."

"Adila."

"Niken."

Entah Adila ini terlalu ramah atau memang dia sudah kenal dengan sebagian anak kelas ini, dia terus menebar senyum dan langsung mengajak ngobrol teman yang duduk di depan dan belakangnya sedetik setelah dia duduk di bangkunya.

"Dari SD mana?" Niken menolehkan kepalanya kearah Adila.

Setelah puas mengobrol dengan teman lainnya, mungkin Adila baru ingat bahwa ada makhluk lain yang butuh ditemani dan diajak ngobrol.

"SD 020." Adila mengernyitkan dahi.

"SD mana itu?" Karena merasa asing dengan nama sekolah yang disebut Niken.

"SD di Riau."

"Ooohhh. Lumayan jauh itu. Kalau gue dari SD Pelita Jaya." Padahal Niken tidak ada bertanya. Adila menyebutkan nama SD nya pun, Niken tidak tau SD Pelita Jaya itu dimana keberadaannya. Tapi biarlah toh Niken memang butuh teman yang cerewet mengingat kepribadiannya yang pendiam dan kaku.

"Kok bisa kesasar disini?"

Belum sempat Niken menjawab terdengar suara lonceng berbunyi. Semua murid berhamburan keluar. Adila refleks menggandeng lengan Niken mengikuti murid lainnya.

"Mau kemana?" Niken bertanya heran melihat semua murid yang berhamburan keluar sembari menyibukkan soal dasi. Niken jadi melirik kerah bajunya dan tergantung dasi disana. Hanya tergantung tanpa terpasang dengan benar. Niken tidak bisa memakainya.

Adila yang mendengar pertanyaan Niken mengernyitkan dahi kembali. Mungkin dipikirannya makhluk aneh darimana ini?

"Lo lupa hari ya Nik? Ini kan hari senin, ya waktunya upacara lah."

Seketika Niken merasa jadi manusia paling bego sedunia.

Fisik lemah

Sesampainya dilapangan semua siswa-siswi menuju kebarisan yang telah disediakan berdasarkan kelompok kelas. Berhubung kelas 7B belum memiliki ketua kelas alhasil guru langsung yang mengarahkan dimana mereka harus berdiri menantang matahari. Sebenarnya untuk seluruh kelas 7, guru langsung yang membimbing karena struktur kelas yang belum terbentuk.

Setelah posisi barisan didapatkan, kembali kemasalah awal. Dasi. Murid-murid kelimpungan bagaimana cara memakai dasi. Karena jelas sekali dasi SD dan dasi SMP berbeda.

Niken lebih panik lagi, harus kepada siapa dia meminta tolong. Adila satu-satunya teman yang dikenalnya berada dibarisan paling belakang karena postur tubuhnya yang tinggi sedangkan Niken harus berbesar hati karena berkat tubuh pendeknya dia berada dibarisan depan walaupun masih berada diurutan ketiga.

"Boleh minta tolong pasangin dasi nggak?" Niken memberanikan diri meminta tolong kepada teman perempuan yang berada disamping kanannya karena ketika dia mengamati murid lainnya hanya teman disamping kanannya inilah yang pasangan dasinya paling rapi.

"Wadoh, gue nggak bisa masang dasi, ini aja tadi emak gue yang masangin, minta pasangin Salsa aja ini." Yang dimintai tolong malah mengalihkan ke teman yang berada dibelakang Niken.

Niken menoleh dan mendapati teman yang berdiri dibelakangnya melongo bingung karena tiba-tiba ditunjuk tapi yang lebih penting perempuan yang mempunyai tinggi sebelas dua belas dengan Niken itu telah terpasang dasi dikerahnya.

"Gue? Ngapain?" tanyanya bingung.

"Pasangin dasi."

"Tapi nggak bisa rapi."

"Nggak papa kok walaupun nggak rapi." Niken menyahut cepat. Daripada dasinya tidak terpasang bisa-bisa dia terkena hukuman.

Teman yang berdiri dibelakangnya itu akhirnya memasangkan dasi walaupun ragu awalnya.

"Hehehe maaf ya gue juga baru belajar masang dasi tadi pagi, masih agak-agak lupa cara masangnya gimana," ucapnya setelah ketiga kalinya dasi yang berada di kerah Niken gagal terpasang. Niken hanya tersenyum maklum. Sudah syukur ada yang mau berbaik hati masangin dasinya.

"Nama gue Salsa, nama lo siapa?" Sembari masih mencoba melilitkan dasi, teman Niken yang baru ketahuan namanya itu bertanya.

"Niken."

"Bisa nggak sih Sa? Daritadi kok nggak selesai-selesai? Lo mau masangin dasi atau mau nyekek anak orang. Bongkar pasang bongkar pasang." Niken dan Salsa kompak menoleh kearah anak perempuan yang dasinya dipasangkan oleh emaknya itu.

"Nah yang cerewet ini namanya Marwah." Marwah cemberut kepada Salsa karena disebut cerewet tapi seketika sumringah ketika menghadap Niken.

"Hai nama gue Marwah." Marwah melambaikan tangan riang padahal jarak mereka hanya dua langkah.

"Gue Niken." Niken tersenyum melihat keriangan Marwah. Tak jauh beda dengan keriangan yang ditampilkan Adila.

"Dah selesai." Salsa berseru riang karena hasil praktek dasinya berjalan lancar dan hasilnya lumayan rapi. Setelah sepuluh menit berlalu.

"Ya ampun udah hampir satu jam kita berdiri disini upacara baru mau dimulai. Sebenernya niat upacara nggak sih ini?" Marwah menggerutu sembari mengibaskan kerahnya yang sudah mulai berkeringat.

"Sabar Mar, ini upacara." Salsa menyahut santai sembari mengelus-elus lengan tangan Marwah. Marwah melirik Salsa sengit.

Niken pun sebenarnya sudah mulai resah. Matahari sudah beranjak naik, diperkirakan sekarang sudah pukul 9 dan upacara baru saja dimulai. Keringat dingin sudah mulai menjalari pelipis dan punggung Niken.

Niken punya anemia. Dia paling tidak kuat bila harus berlari ataupun berdiri diterik matahari seperti ini. Pandangan matanya biasanya akan berkunang-kunang dan kepalanya mulai terasa pusing. Dan benar saja begitu pengibaran bendera masih berjalan setengah tiang, Niken sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya.

Gubrak!!!

Niken pun pingsan.

***

"Gimana rasanya pingsan Ma?" tanya Marcel disela-sela Niken  masih menceritakan sekelumit masa SMP nya yang memalukan.

"Ya kayak orang tidur biasa. Nggak sadar apa-apa," ujar Niken tenang, berbeda dengan Marsya yang sebal sekali dengan adiknya yang bernama Marcel itu. Karena berkat pertanyaan tidak pentingnya, cerita mamanya jadi terhenti.

"Aku belum pernah pingsan," celetuk Marcel lagi.

"Abaikan dia ma, lanjutkan ceritanya," sebal si kakak.

Niken mengangguk dan menatap langit-langit kamar, menggali kembali memori puluhan tahun lalu.

***

Niken membuka mata dan menatap sekeliling. Semua ruangan ini serba putih dan samar-samar ia mencium bau obat-obatan. Ada tirai tertutup berwarna kuning di sebelahnya. Niken menghela napas karena sudah menyadari dimana dirinya saat ini berada. Bagi Niken tidak ada yang lebih memalukan lagi selain pingsan dihari pertama masuk sekolah. Masih menyandang status murid baru, belum kenal siapa-siapa. Niken sudah siuman dan sekarang sedang berada di UKS.

"Makan cemilan dulu dek, biar ada tenaganya." Niken melirik name tag yang terpasang di baju siswi yang menyapanya itu. Kakak kelas yang bernama Diah itu menyodorkan satu cup berisi tiga buah kue putu ayu. Niken menerimanya walaupun dia tidak lapar. Niken menyempatkan memakan sarapan yang dibuat tantenya sebelum berangkat ke sekolah tadi pagi.

"Makasih kak."

"Teh manisnya diatas nakas ya." Niken mengangguk.

"Upacara belum selesai kak?" Niken bertanya karena tidak tersedia jam dinding di ruangan ini. Niken jadi tidak bisa memperkirakan kapan dia bisa masuk kelas.

"Belum. Biasanya sih kalau udah kepsek yang ngasih pidato bakalan lama dek. Syukurlah adek pingsan jadi nggak perlu berdiri lama-lama dipanas-panasan."

Sumpah, Niken tidak ingin pingsan walaupun harus berdiri berjam-jam di lapangan dan kepanasan.

"Ada gitu pingsan yang harus disyukurin?" Niken bertanya heran yang hanya dijawab Diah dengan tawa.

"Aku aja daftar jadi anggota PMR biar nggak perlu panas-panasan. Males banget harus upacara, mending disini ngadem dibawah AC. Eh jangan ditiru ya!" Diah memberi ancaman yang justru bernada kocak ditelinga Niken.

"Yang bawa aku kesini tadi siapa kak?" Niken bertanya lagi karena tidak mungkin Diah yang mengangkat dirinya sampai ke UKS.

"Anak PMR yang cowok. Udah tugas mereka ngangkatin murid-murid yang pingsan."

Niken menganggukkan kepalanya. Niken dan pingsan saat upacara sepertinya dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Saat SD pun Niken sering pingsan saat upacara. Maka dari itu Niken tidak pernah mengikuti ekskul apapun semasa SD. Niken terkenal dengan fisiknya yang lemah.

"Udah nggak usah ngerasa nggak enak gitu. Justru cowok-cowok PMR pada seneng kalo yang pingsan cewek, selain nggak terlalu berat bobot tubuhnya, mereka juga jadi bisa lirik-lirik mana yang sekiranya cantik dan bisa jadi gebetan."

Niken baru akan menjawab ucapan Diah bahwa dirinya masih dibawah umur dan tidak mengerti apa yang dibicarakan Diah ketika suara lonceng berbunyi. Niken langsung beranjak dan memakai sepatunya yang tergeletak dibawah ranjang. Entah siapa yang melepaskannya. Mungkin Diah.

"Kamu mau masuk kelas? Nggak ngadem dulu?"

"Enggak deh kak. Aku mau langsung ke kelas aja. Nggak enak kak, aku kan masih anak baru."

Padahal alasan sebenarnya karena tidak adanya teman yang menemaninya ngadem di UKS. Kak Diah sudah pasti kembali ke kelasnya karena jam pelajaran akan dimulai. Ngadem sendirian dan bisa-bisa ditemani makhluk astral penghuni UKS, ihh lebih baik Niken kembali ke kelas saja.

"Kak, bisa minta tolong antar aku ke kelas 7B nggak? Aku nggak tau jalan." Kak Diah yang sedang merapikan obat-obatan entah apa, menghentikan kegiatannya dan menoleh kearah Niken.

"Kamu takut nyasar ya?" Niken nyengir.

"Ya udah ayo." Diah langsung berjalan keluar UKS. Niken agak berlari mengejarnya.

"Loh kak beres-beres obatnya belum selesai?"

"Udah tenang aja, ada anggota PMR yang lain."

Sungguh mulia sekali perbuatan kakak kelasnya ini. Karena terlalu mulia sampai tidak patut untuk di contoh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!