Aku sebenarnya tidak terlalu mengenal Komisarisku. Sebagai seorang Account Officer yang setiap hari bekerja mengurusi pengajuan kredit, kami hanya sesekali berhadapan dengan jajaran Komisaris. Yaitu saat meminta tandatangan untuk pengajuan di atas 25 miliar atau meeting prospek nasabah baru.
Namun saat ini, entah kenapa aku dihadapkan dengan kondisi berbeda.
Setelah talak untukku dijatuhkan 3 bulan lalu, kondisiku lumayan kacau. Dalam hati aku sering berpikir, salah di mana aku ini? Semua sudah kuberikan untuknya. Perasaan, pengorbanan, harta dunia, keperawanan yang kujaga mati-matian di tengah situasi remajaku yang dikelilingi orang-orang brengsek… Semua didapatkannya. Bahkan aku yang bekerja untuk memenuhi kehidupan rumah tangga kami.
Ia hanya di rumah main game online.
Aku menyayanginya, jadi aku berusaha mengerti kondisinya. Lagipula dia juga bersih-bersih rumah dan mengurus dapur. Jaman sekarang tugas suami dan istri tidak seperti zaman dulu lagi. Kesepakatan saja siapa yang mencari uang dan siapa yang mengurus rumah tangga.
Mungkin itu sebabnya Tuhan belum memberiku keturunan. Karena dia tahu kalau rumah tanggaku akan hancur. Begitu baik DiriNya padaku… Dilindunginya aku sebegitu rupa supaya aku mengetahui borok suamiku setelah 2 tahun menikah, sebelum ada anak, sebelum aku nekat mencicil untuk membeli rumah sendiri.
Kami masih mengontrak sebuah rumah kecil di Jakarta Pusat. Alasannya karena dekat dengan tempat kerjaku. Namun kini, kuhitung-hitung sebenarnya jauh juga karena aku dua kali ganti feeder. Malah lebih dekat ke… Rumah selingkuhannya di daerah Senen. Hanya beda 1 gang saja.
Luar biasa kamu Tommy. Segitu effortnya kamu terhadap 'pacarmu' itu.
Setelah aku membabi buta menyerang rumah selingkuhannya didampingi warga, iya kami memang mempermalukannya. Dia menggugat diriku atas perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah, kubalas dengan foto-foto bukti. Dia kembali menuntutku menyebarkan foto tanpa izin, kuserang balik dengan undang-undang pernikahan. Intinya kami sama-sama habis waktu, tenaga, dan uang.
Akibatnya, uang kontrakan nunggak. Motor kujual untuk biaya gugatan ini-itu.
Dan saat aku kebingungan dengan biaya pengacara dan proses pengadilan… Munculah Komisarisku ini.
Kami bertemu di Pengadilan Agama 3 bulan yang lalu.
Aku menyapanya duluan.
Tadinya aku berniat melengos saja, tapi kalau dia melihatku di kantor dan ternyata dia mengenalku, suasana akan jadi tidak mengenakkan.
"Em… Pak Felix?" aku menghampirinya dan menyapanya. Ia berdiri di samping pilar dengan mata mengernyit menatap layar ponselnya.
Sesaat ia menatapku dengan mata abu-nya, wajah perpaduan China-Inggrisnya sangat menarik di mataku, hidung mancung yang lurus dan kulitnya yang seputih pualam. Berbeda sekali dengan aku yang berkulit agak gelap ala Wanita Nusantara ini.
"Eh, Bu Guru? Kok di sini?" tanyanya takjub.
Benar kan, dia mengenalku. Aku memang dijuluki Bu Guru karena suka men-training anak-anak ODP. Semacam fresh graduate yang dilatih untuk menjadi marketing sejak dini. Karena basicku memang pemasaran dan fokusku di bidang kredit, pencapaianku juga lumayan bagus, aku sering diminta untuk mengajar ilmu–ilmu perkreditan. Bonusnya lumayan untuk staycation.
Sekarang, aku menyesal kenapa tidak kugunakan saja bonus itu untuk beli emas. Staycation dan kulineran keliling Indonesia nyatanya hanya jadi ampas dan surat pengajuan perceraian.
"Iya saya sedang…" aku menunjukkan map gugatanku, "Begitulah Pak."
"Kamu yang menggugat?" tanyanya masih dengan alis diangkat.
"Harga diri saya ternyata lebih tinggi dari keutuhan rumah tangga," desisku.
Pak Felix tersenyum tipis dan mengangguk menatapku. Aku bisa melihat kilatan di matanya seakan dia puas terhadap tindakanku ini.
"Tidak semua laki-laki brengsek, contohnya saya, wanitanya yang kacau,"
Aku tersenyum masam mendengarnya, ya aku memang sekilas merasa semua pria di dunia ini brengsek karena rasa percaya diriku yang runtuh. Namun saat menginjakkan kaki di gedung ini, aku jadi tahu kalau setiap individu memiliki masalahnya sendiri. Tidak tergantung gender.
"Iya saya tahu. Yang saya tidak tahu, ternyata bapak ini sudah menikah ya?!"
"Sekarang tidak lagi," ia kembali fokus ke layar ponselnya, lalu memasukkan benda tipis itu ke kantongnya. "Saya baru selesai mengurus pembagian harta. Ada yang diperoleh setelah kami menikah soalnya. Lagi pula ini berkaitan dengan pernikahan bisnis. Tapi dia yang berkhianat duluan. kamu tahu proses begituan makan waktu berapa lama?"
"Eh? Saya tidak tahu sih Pak, tergantung sifat masing-masing. Siapa yang mengalah dan siapa yang keras kepala,"
"Kalau kasusnya sama-sama tidak mau kalah, seperti saya, satu setengah tahun baru selesai,"
Gila… Aku saja yang prosesnya 6 bulan rasanya bagai di neraka.
"Bu Guru?" ia memanggilku.
Aku mengangkat wajahku.
"Siapa yang bego banget mengkhianati wanita seperti kamu? Salah di mana?"
Aku mencebik. Banyak pria bilang aku seksi, suamiku orang yang beruntung, godaan demi godaan datang silih berganti mengajakku jadi istri kedua, ketiga, keempat dengan iming-iming hadiah mahal. Semua tidak kuacuhkan.
"Kelihatannya faktor usia Pak. Lawan saya masih 18 tahun sih. Mungkin dia berpikir saya robot yang tidak memiliki perasaan, kerjanya hanya cari uang,"
"Sepertinya mulai sekarang kita harus ubah mindset mengenai pernikahan," desis Pak Felix sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Bagaimana tuh Pak?"
"Mungkin… Cinta saja tidak cukup. Kita sama-sama menikah berdasarkan cinta tapi tetap saja hasil akhirnya kecewa,"
Aku diam dulu. Aku tertarik dengan teori ini. Ia meneruskan pendapatnya.
"Bisa jadi, seharusnya kita memastikan kalau pasangan kita bisa diajak bekerja sama dalam tim,"
Aku langsung tertawa.
Maaf saja aku tidak tahan.
"Pak, itu seperti pengumuman lowongan pekerjaan, bisa bekerja sama dalam tim," gurauku.
"Yaaa benar juga, tapi nyatanya hal itu penting kan? Buat apa tiap hari bilang 'i love you' tapi yang harus sabar hanya satu pihak? Yang lain enak-enakkan scroll ig karena percaya diri semua sudah diurus pihak satunya. Ternyata dengan 'cinta' tidak otomatis memunculkan rasa pengertian dan perhatian. Tergantung manusianya."
Dengan rasa kecut di hati, aku tersenyum saja menanggapinya, "Teori itu harus diuji dulu oleh pakar sepertinya. Apakah ada korelasi antara Rasa Cinta dengan Perhatian dan Pengertian. Secara teori seharusnya sudah otomatis muncul, tapi secara realita belum tentu diiringi dengan perasaan,"
"Kamu dan analogi kamu. Tipikal training banget, hehe,"
"Nama saya Chintya, Pak," aku tidak ingin dia memanggilku Bu Guru lagi. Siapa tahu sebenarnya dia tidak tahu namaku, ada ribuan orang di kantor. Dia mengenalku saja sudah merupakan nilai plus bagiku.
Pak Felix terkekeh. "Iya, Bu Chintya, nama saya Felix. Nice to meet you," ia bergurau sepertinya.
"Pleasure," balasku.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Tak salah nih? Dia menawarkan bantuan?!
"Nggak ada Pak," jawabku karena merasa tak enak.
"Yakin? Saya tahu prosesnya loh," ia menatapku dengan senyum tipisnya yang khas.
"Hm…," aku salah tingkah. Sudahlah, aku juga butuh. Kugunakan saja kesempatan ini. "Hanya… Nanti tolong ditandatangani saja kalau saya mengajukan softloan untuk biaya perceraian, ya Pak." kataku. Softloan itu semacam pinjaman untuk karyawan, dana dari perusahaan tentunya, dengan bunga kecil yang cicilannya dipotong langsung dari gaji.
"Nggak usah lah kamu pinjam-pinjam, saya transfer aja. Nggak usah diganti, anggap aja penghargaan dedikasi,"
Itu terakhir aku bertemu dengannya.
Dan ya, semua masalahku bisa cepat selesai dengan uang.
Namun pada kasus perceraian Pak Felix, justru uang yang jadi masalah.
3 bulan kemudian, dalam kondisi berusaha move on, bisa-bisanya aku telat bangun. Mungkin karena aku sudah semakin terbiasa hidup sendirian di kost-an. Biasanya aku bangun pagi karena menyiapkan sarapan dan bersih-bersih dulu agar mantan suami nyaman di rumah selama aku tinggal kerja, kalau sekarang kan waktuku hanya untukku sendiri
"Bu-Cin…" Pak Felix mensejajari langkahku saat pagi itu aku menuju lift setengah terburu-buru. Ini sudah jam 7.55, dan aku belum absen ke atas.
Eh, tunggu…
Dia panggil aku apa barusan?!
"Em… Pak Felix. Pagi Pak,"
"Pagi, sini kamu. Pakai lift Direksi aja. Telat kan?"
Tentu saja itu tawaran menggiurkan untukku. Lihat saja antrian liftnya sampai 5 meter ke belakang! Padahal ada 10 lift karyawan di gedung 35 lantai ini. Memang ada berapa orang sih yang bekerja di gedung ini?!
Aku langsung tergopoh-gopoh mengikutinya ke arah koridor eksekutif, dan ia menahan pagar sensor untukku. Sekuriti hanya menyeringai padaku saat tahu kelakuan si Komisarisnya.
Lift itu hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk naik ke lantai 15. Beda sekali dengan lift karyawan yang jalan naik ke atas tersendat-sendat padahal sudah dibagi per lantai. Kartu karyawan kami secara otomatis memang membuat lift langsung menuju ke lantai kantor. Tapi perjalanan masih bisa terganggu saking banyaknya orang dengan tujuan sejalan.
Contohnya, lift 1 digunakan untuk naik ke lantai ganjil 1, 3, 5 dan 7. Tapi orang dari lantai genap bisa memakai lift kami kalau mau ke lantai 3, jadi ya mau tak mau berhenti dulu di lantai 2.
Tak jarang kami mengomeli sesama karyawan dengan bilang : beda satu dua lantai naik tangga darurat aja kalik!
Dan tak jarang mereka juga membalas, "Woy, ini kan fasum. Salah sendiri dateng mepet!"
Kan sialan…
Pak Felix tampak merangkai dasinya di dinding lift yang memantulkan sinar saking jernihnya.
Atau wajahnya yang memang sudah jernih.
Perasaan kalau aku yang berkaca, yang ada tetap buram saja.
"Di meja saya ada 3 proposal pengajuan dari kamu," kata Pak Felix.
"Ya Pak,"
"Perbaiki dulu ya,"
"Ada yang salah ya Pak?!" aku jelas terkejut dengan pemberitahuan ini.
Lift berhenti di lantai kami. Ia mempersilakanku untuk keluar lift duluan sambil menahan pintu dan akhirnya berdiri di depanku di koridor. Jujur saja aku tidak mengharapkan perilaku seintens itu darinya. Tapi tampaknya ia terbiasa memperlakukan wanita segentle itu.
Tampak beberapa karyawan yang melewati kami menunduk menghormat padanya.
"Absen aja dulu," katanya sambil membuka panel absen jari di depan pintu staff.
Aku menekan jempolku ke alat sensornya.
7.56.
Aku selamat.
Tapi aku belum berani masuk ke ruanganku. Dia masih berdiri di sana seakan menungguku untuk berbicara.
"Sederhanakan bahasanya, draft kontrak akan digunakan 10 tahun ke depan, kondisi ekonomi fluktuatif. Kamu jangan terlalu menekan nasabah. Coba buat lebih fleksible, nasabah korporat itu kan berhutang bukan karena dia butuh, tapi karena untuk urusan cashflownya. Usahakan dia bisa atur alurnya sendiri, jangan kita yang tentukan,"
"Tapi Pak, bukankah dalam kasusnya nasabah sering terlalu percaya diri dengan rencananya, ujung-ujungnya macet,"
"Prioritaskan ke jaminan dong, gimana sih kamu…"
"Jaminannya sudah bernilai 130% dari harga jual,"
"Minta jaminan lagi. Baru nasabah kita bebaskan atur sendiri belanjanya,"
"Astaga,” gumamku setelah menyadari ke mana alur pembicaraan ini. Orang ini secara halus dan licik sebenarnya ingin nasabah itu kolaps karena ia ingin menyita aset mereka! Membebaskan nasabah mengatur sendiri rencana belanja mereka, membuat nasabah sedikit terlena dengan uang pinjaman, sehingga nantinya uang itu digunakan ke kebutuhan yang tidak semestinya.
Ini proyek untung-untungan saja sebenarnya, kalau nasabahnya pintar ia akan bijak menggunakan dana pinjaman. Ia investasikan kembali atau ia belikan aset. Tapi kebanyakan Nasabah tidak begitu.
"Saya minta satu lagi jaminan kredit, yaitu rumah nasabah yang di Hang Lekir, hehe," kata Pak Felix sambil mengerling padaku.
Hal itu diluar kuasaku, hanya jajaran manajemen yang bisa berencana. Maka akhirnya aku iyakan saja permintaannya.
Masalahnya… Dia bukan Direksi. Komisaris tidak berwenang untuk mengatur strategi walau pun dia pemegang saham tertinggi.
"Saya akan bicarakan dengan Pak Dimas untuk-"
"Sst…" dia menempelkan telunjuknya di depan bibir tipisnya, dan menelpon seeorang dengan ponsel canggih terbarunya.
Aku diam sejenak.
Menunggunya bicara lewat ponsel.
Tak lama, Pak Dimas, Presiden Direkturku, kalau bahasa novelnya CEO-ku, datang menghampiri kami.
"Apalagi, Lix? Pagi-pagi udah ribet aja lu!" Omel Pak Dimas sambil menghadapnya.
Lalu mereka berdua mulai berdebat di tengah koridor, aku hanya bisa termangu mendengar mereka bicara. Dua orang eksekutif muda bicara mengenai bisnis bukan pemandangan biasa bagiku. Situasi ini lumayan membuatku insecure sendiri.
Sampai akhirnya Pak Dimas sebagai CEO mengalah dan bilang, "Ya udah, Chintya,"
"Ya Pak?" aku mengangkat wajahku.
"Ajukan ulang proposalnya, tambahkan syarat jaminan di Hang Lekir," kata Pak Dimas. Wajahnya tampak kesal.
Dilain pihak, Pak Felix menyeringai penuh kemenangan.
"Kalau deviden lo nggak penuh karena kepotong NPF, jangan nyalahin gue. Kebanyakan interupsi sih lo ah! Biar aja gue yang atur kenapa sih?!" Ujar Pak Dimas.
"Gue punya kepentingan di kasus ini, udah lo terima nasib aja!" sahut Pak Felix sambil cengengesan.
"Dia Bossnya, walau pun saya Boss di sini tapi dia Boss saya," desis Pak Dimas padaku sambil melambaikan tangan dan berbalik kembali ke ruangan direksi di seberang sana. Arah yang berlawanan dengan ruanganku.
Di perusahaan ini, Presdir memang pemegang keputusan, dan seharusnya Komisaris adalah sebagai pengawas Direksi. Namun tak jarang Pak Felix ikut campur dalam setiap keputusan yang diambil jajaran manajemen. Walau pun saat kerugian terjadi, yang bertanggung jawab penuh tetaplah Direksi.
Bagaimana pun, perusahaan ini, Garnet Bank, didirikan dengan modal dasar dari Pak Dimas dan Pak Felix. Bisa dibilang merekalah owner inti perusahaan.
Jadi, aku yang receh ini hanya bisa Iya-iya aja.
Menjelang siang, aku menghadap Pak Dimas, Presdir kami, dan menyerahkan proposal yang baru kepadanya.
Pak Dimas menyeringai padaku. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. “Masuk saja Chintya,” dia melambaikan tangan padaku.
Aku pun meletakkan proposal di mejanya. “Pak, ini proposal yang baru. Saya sudah hubungi sekretaris nasabah, dan sudah mengajukan negosiasi mengenai penambahan jaminan rumah tinggal di Hang Lekir,”
Tampaknya ia menyadari perubahan wajahku yang tampak merengut ini tidak terlalu setuju dengan metode kerja Pak Komisaris. Tapi sepertinya hal semacam ini sudah biasa terjadi di kalangan pejabat Bank.
“Oke, taruh saja di situ, nanti saya baca,” kata Pak Dimas sambil tersenyum padaku.
Aku sedikit menundukkan kepalaku dan berniat mau keluar dari sana. Tapi aku sempat mendengar Pak Dimas bicara lewat telepon ke seseorang di seberang sana.
“Proposalnya udah sampai nih ke meja gue,” desisnya, “Si Felix itu, hampir seluruh asetnya habis diklaim mantan istrinya. Ia relakan saja semua agar prosesnya lancar. Jadi sekarang dia dalam rangka menambah kembali. Kalau aset yang dilelang Bank kan dapat harganya jadi lebih murah dari harga beli biasa.” Begitu kata Pak Dimas.
Felix Ranggasadono.
Orang ini menakutkan kalau kita ikuti alur pikirannya. Metode bisnisnya tidak biasa. Pantas dia cepat kaya di usianya yang masih 35 tahun.
**
Aku menatap layar komputerku dengan lebih seksama. Ini jam bebasku, aku sedang minum kopi di kubikelku. Istilahnya Coffee Break. Namun seperti biasa, tipikal wanita pekerja, aku tidak serta merta leyeh-leyeh seperti bapak-bapak di ujung sana yang kalau Coffee break ya membicarakan keluh kesah hidupnya. Berusaha melupakan tekanan pekerjaannya dan berbicara sambil menatap kosong ke luar jendela gedung.
Saat itu aku agak penasaran dengan profil sebenarnya dari nasabah baru kami. Namanya PT. Rahardja Sakti. Perusahaan Travel dan jasa penyedia kendaraan untuk perjalanan. Presdirnya namanya Asmoro Chandra. Dan tampaknya mereka ‘orang kaya lama’.
Kutelusuri lagi lebih jauh, ternyata beberapa saudaranya juga ikut mengelola perusahaan ini.
Ini sepertinya perusahaan keluarga tapi skalanya lebih besar.
Aku menelusuri satu per satu orang-orang di manajemen Rahardja Sakti ini, dan namaku tertuju ke nama seorang direktur wanita di sana. Aku tertarik karena foto profil di ‘linked in’-nya masih sangat muda. Felisia Asmorochandra. Aku selalu tertarik dengan anak muda yang di usia belia sudah menjabat posisi tinggi di perusahaan. Usia Felisia ini tidak terlalu jauh dariku, hanya berbeda 3 tahun lebih tua saja.
Lalu aku pun melihat alamat yang tertera di sana, ada pembagian alamat tapi informasi sudah dari tahun 2012. Hang Lekir.
Kuketik nama itu di Google.
Aku pun memasuki sebuah akun instagram.
Aku membuka profilnya, kutelusuri satu persatu fotonya.
Lalu kutelusuri bagian Tag nya.
Di bagian Tagnya, agak kebawah, ada sebuah foto pernikahan.
Dan Pak Felix adalah mempelai prianya.
“Oh,” gumamku sambil menyeruput kopiku.
Bisnis ini ternyata sudah bercampur aduk dengan dendam pribadi.
**
Siang itu masalah pelik menghampiriku.
Aku iseng pergi ke sebuah cafe baru di Mall sebelah gedung kantorku. Niatku ingin menyendiri sambil menikmati makan siang untuk sekedar memulihkan pikiranku. Proposal tinggal menunggu tandatangan Pak Felix, dan kalau kredit ini bisa terlaksana aku bisa dapat bonus 0.1% dari nilai pencairan.
Lumayan buat beli motor matic daripada naik transjakarta terus setiap hari desak-desakan dan berdiri. Tabunganku sudah habis untuk biaya perceraian dan pengacara, jadi aku harus menabung kembali untuk masa depanku. Kini saatnya kumanjakan diriku dengan fasilitas sederhana.
Saat sedang menunggu makananku datang, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
Dari nomor tak dikenal.
“Wanita Ja Lang!! Kembalikan mobil kami! Itu bukan hak kamu! Biar kamu kebakar di neraka dunia dan neraka akhirat kalau sampai kenapa-kenapa dengan mobil itu!”
Aku pun mengernyit bingung.
Mobil apa ya?
Perasaan mobil yang dulu kumiliki itu sudah kuberikan ke Tommy. Karena memang sudah terlanjur kudaftarkan atas namanya saat awal beli. Walau pun dana untuk membelinya dari gajiku.
Tapi sepertinya aku tahu siapa yang mengirimiku pesan ini.
Kutunggu dulu saja siapa tahu salah kirim.
Tak sampai 5 menit, kembali pesan dari nomor yang sama muncul.
“Kalung berlian itu pemberian mertua kamu! Itu sudah jadi hak istri! Kamu sudah bukan lagi istrinya, tahu diri dong pe cun! Brengsek kamu! Egois nggak ketulungan! Memang pantasnya kau mati ketabrak truk! Lihat saja kalau macam-macam kusantet kau dari sini!”
Aku semakin bingung. Kalung berlian apa? Yang mana? Mertuaku tidak pernah memberi apa pun. Tapi aku memang pernah membelikan kalung berlian ke ibu mertuaku, hasil bonus tahun lalu. Apakah itu yang orang ini – entah siapa ini- maksud?
Aku pun segera men-screen shoot obrolan itu dan kusimpan di drive google. Jaga-jaga siapa tahu bisa ku tuntut di pengadilan untuk efek jera.
Benar saja, tak lama pesan tersebut sudah berubah menjadi tulisan ‘This Messages Was Deleted’.
Aku diam saja.
Kulanjutkan acara makan siangku. Tidak seharusnya semua terganggu dengan ocehan tak berdasar orang ini. Sejak perceraian aku memang kerap menghadapi teror dari orang-orang tak dikenal.
Lalu pesan itu pun muncul lagi.
“Di mana kau Bin al!! Kuhampiri kau ke sana!! Mati kamu kalau ketemu!!”
Aku menaikkan alisku melihat isi pesan itu. Ini sudah merambah menjadi sebuah ancaman.
Dadaku langsung bergemuruh dan perutku serasa diaduk. Sementara, emosiku memuncak. Membuatku meletakkan garpu pasta dan kuhirup kopi di sebelah piring pasta dengan gemetar.
Aku harus apa? Begitu pikirku saat itu. Aku kini sendirian, aku tidak memiliki siapa-siapa. Aku yatim piatu, semua saudaraku di Jawa. Aku pada dasarnya sendirian di kota besar ini.
Kutarik nafas panjang, dan kutundukkan kepalaku untuk berdoa. Aku berharap pertolongan datang untuk membantuku. Siapa pun itu. Aku sudah kehabisan dana dan tenaga untuk masalah pernikahan dan pengkhianatan ini. Aku sengaja menjauh, tapi mereka malah semakin mendekat.
“Ya Tuhan...” desisku sambil mengusap dahiku. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja dan kupejamkan mataku.
Sebuah tepukan di bahuku.
Seketika aku mengangkat wajahku dan menatap ke arah tepukan.
Pak Felix di sana.
Menatapku dengan pandangan tegang.
Ia menunduk dan berbisik padaku, “Kamu kenapa?”
Aku terus terang saja kurang bisa mencerna apa yang ia katakan padaku. Pikiranku sedang penuh.
“Eh?” hanya itu yang bisa kukatakan. Hanya sepotong kata itu.
Lalu sebuah pesan datang lagi.
“Kita selesaikan sekarang!! Kembalikan semua uang suamiku atau kamu tahu akibatnya!! Jangan kabur kamu! Aku otw kantor kamu! Habis kamu nanti!! Siap-siap saja ke akherat!!”
Begitu isi pesannya.
Pak Felix sampai mengerutkan kening melihat isi pesan itu.
Buru-buru kuambil ponselku, lalu kuhapus air mataku.
“Sa-saya tidak apa-apa,” desisku sambil berdiri. Lalu dengan langkah terburu-buru, aku ke arah kasir untuk membayar dan segera kembali ke kantor.
Aku tidak ingin melibatkan siapa pun ke dalam masalahku. Semua akan kuhadapi sendiri. Tuhan tahu siapa yang benar.
Lagi pula, sangat tidak profesional kalau melibatkan rekan kerja ke dalam masalah pribadi.
Aku berencana ke kantor untuk menyimpan data yang baru saja kukerjakan ke drive, agar aku bisa melanjutkannya mengerjakan semua di Kosan. Untuk sementara aku harus menghindari kantor kalau begini caranya. Lokasi kosan ku tidak diketahui siapa pun kecuali oleh Adikku yang tinggal di Jawa sana.
Tapi bagaimana kalau aku malah menyusahkan orang-orang di kantor? Bagaimana kalau penyerang itu datang saat aku tak ada di kantor dan malah berbuat keributan? Bukankah nama baikku akan semakin tercoreng?
Apa sebaiknya kuhadang saja? Dia bilang mau ke kantor, kan? Apa sebaiknya Kutunggu saja dan kubeberkan semua fakta agar orang-orang tidak salah sangka? Kalau aku kabur nanti malah dikiranya aku yang salah...
Aku memperlambat langkahku.
Betul... jangan lari.
Hadapi semuanya, walau pun aku harus mati.
Kalau kami berkelahi di depan orang banyak, masa tidak ada satu pun orang yang menolongku? Pasti sekuriti gedung akan bertindak kan?
Justru... kantor adalah lokasi paling aman untukku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!