NovelToon NovelToon

Abang Guru, I Kehed You!

Perkara Kondom

Kampret banget kelompok gue, anjir! Bisa-bisanya gue ditumbalin buat beli barang kaya gini. Tangan gue sampai tremor pas mau memberikan barang ini ke kasir. Gue melirik ke belakang gue dulu. Kira-kira ada ga, ya, orang yang memperhatikan gue? Gue pun steady berdiri sempurna kaya lagi mau upacara bendera. Ini cuma perkara ngasih barang belanjaan ke kasir, anjir. Ribet banget. Gue melakukan ini buat nutupin barang gue biar ga dilihat orang-orang yang ngantri di belakang gue.

PRAAAK…

Ada suara di bawah gue. Barusan gue menjatuhkan apa, ya?

"Sorry, ga sengaja." Seorang cowok pun mengambil sesuatu yang jatuh di bawah rok gue. Ternyata itu adalah ponsel!

"ANJIR, LU MESUM YA?" bentak gue.

Setelah gue lihat ternyata dia adalah…

"BANG EENGAAS! ASTOGE! UDAH SETUA INI KOK LU MASIH MESUM AJA SIH, BANG?" kata gue.

Cowok itu adalah Bagas. Udah tiga tahun gue dan doi ga ketemu karena doi melanjutkan studinya ke luar kota. Gue memanggilnya dengan sebutan yang sesuai dengan isi otaknya, Eengaas. Coba balik cara bacanya, mwehehehe.

Dia adalah musuh bebuyutan gue sejak zaman orok. Meskipun doi tiga tahun lebih tua dari gue, harga diri gue ga pernah bisa doi injak-injak. Walaupun keluarga kami berhubungan baik bahkan udah seperti saudara sendiri, tapi sampai kapanpun gue ogah berdamai sama doi. Enak aja! Najis!

Sekarang doi mau mesum ke cewek dan ternyata itu adalah gue? Siap-siap aja buat menerima siksa neraka dari gue. Mampus aja doi kalau berani menghadapi Katon Gōkyaku no Jutsu milik gue. Kalau doi mau adu bacot sama gue, ya bakal gue gas!

Sejak dulu pertarungan gue dan Bagas memang selalu ga kenal tempat dan waktu, walau kekuatan kami ga seimbang. Bagas itu udah sejompo Jiraiya jadi bukan tandingan gue yang adalah jelmaan Sarada di dunia nyata. Meskipun Bagas punya Cho Odama Rasengan yang bisa meledakan gunung, tapi itu kan dulu. Paling sekarang doi cuma bisa meledakkan balon ulang tahun Tami, anak tetangga kami.

Soalnya, dia itu udah beda generasi sama gue. Gue masih muda, enerjik, keturunan Uchiha pula. Bahkan tanpa mata Sharingan pun gue udah bisa nebak dia mau menyerang gue dengan cara apa. Jadi sorry-sorry aja, melawan gue sama aja bunuh diri.

Panggilan yang gue sebut dengan lantang tadi yaitu '*****', membuat Bagas melirik ke sekitar sambil menggaruk punuknya. Wekawekaweka, mampus kan lu! Pasti lu lagi malu banget. Rasain!

"Eengaas, eengaas… Nama gue Bagas, kambing!" protesnya.

"Ehem… Harganya dua puluh empat ribu, ya, Dik." Suara petugas kasir menghentikan perdebatan gue dan Bagas. Ni orang ngegas banget ngomongnya. Gue pun segera mengambil uang di saku baju gue dan membayarkannya.

Bagas kepo lalu menengok ke barang yang gue beli.

"ANJAY, KOONDOOM! LU NGATAIN GUE EENGAAS, LU SENDIRI BELI KOONDOOM! Anjir, gede banget suara Bagas, tolong!

Sekarang giliran gue yang jadi malu-maluin. Rasanya gue pengen menghilang dari sini, tapi sayangnya seumur-umur gue ga punya senjata yang namanya bom asap. Jadi, gue harus membela harkat dan martabat gue di sini.

"EH BACOT, DENGERIN DULU, DENGERIN!" jawab gue.

"APA LU? MAU NYARI ALASAN APA? LU ITU MASIH DI BAWAH UMUR, CEPOL! BISA-BISANYA PERGAULAN LU UDAH SEJAUH INI."

Cepol. Udah lama gue ga mendengar panggilan itu. Dia adalah satu-satunya orang yang mempopulerkan panggilan itu di depan teman-temannya dan keluarganya. Cepol diambil dari nama gue yang adalah Celine Putri Olivia. Orang lain manggil gue Celine, Puput, Oliv, Pia, yang semuanya terdengar sebagai nama panggilan yang wajar. Eh, doi malah manggil gue Cepol.

Selain itu doi juga sering protes sama gue karena rambut gue selalu gue cepol. Katanya gue ga ada feminim-feminimnya sama sekali, ga enak dilihat, seperti bukan cewek dan nyuruh gue dandan. Enak aja nyuruh-nyuruh gue, emang doi siapanya gue? Gue juga ogah banget kalau doi jadi naksir sama gue gara-gara gue mengikuti seleranya. Hih, amit-amit!

"BACOT, BACOT, BACOT! DIBILANGIN DENGERIN DULU MALAH CERAMAH. GUE BELI BARANG INI KARENA MAU GUE PAKAI BUAT TUGAS EKSPERIMEN GUE DI SEKOLAH. JANGAN SOTOY LU! LAGIAN YANG PERLU DENGAR CERAMAH ITU ELU, BIAR LU TOBAT DARI KEBIASAAN LU YANG MESUM ITU!" Gue konter serangan Bagas dengan ngembaliin kata-katanya ke dirinya sendiri.

"GA USAH BAWA-BAWA AGAMA! KAYA LU PUNYA AGAMA AJA," balas Bagas.

"LU NGATAIN GUE ATHEIS? SINI GUE BUAT MAMPUS LU, BIAR LU KETEMU SAMA TUHAN GUE!" kata gue dan gue langsung menjambak rambutnya yang sebahu itu.

Bagas pun menarik sebelah kuping gue lalu dia pelintir. Bangsat, sakit banget. Tangan Bagas satunya lagi menahan jambakan gue dan satu lagi menjewer kuping gue. Akhirnya gue gigit aja tangan Bagas yang lagi ngejewer gue biar kuping gue bisa terlepas dari serangannya yang membagongkan ini.

"AAAAA…"

Gue senang melihat Bagas kesakitan. Sayangnya gue ga punya taring yang panjang biar lengan doi bolong dan gue rubah doi jadi manusia serigala. Sayangnya gue ga bisa.

Seorang ibu-ibu pun mencoba melerai kami, tapi karena beliau adalah rakyat jelata yang ga punya ninjutsu seperti kami, jadi beliau pun mental.

"MAMPUS LU, MAMPUS!" kata gue.

"ELU YANG BAKAL GUE BUAT MAMPUS, SAT!" balas Bagas dengan posisi kami yang masih jambak-jambakan.

"DIAAAAAM… DIAM KALIAN! PERGI KALIAN DARI TOKO SAYA! PERGI!"

Suara bapak-bapak ini menggelegar. Kayanya dia punya ninjutsu tersembunyi. Atau jangan-jangan dia adalah hokage yang lagi menyamar? Ampun, gue. Kali ini kena mental gue, serius. Sepertinya Bagas pun langsung kena mental juga.

"Iya, nih. Bikin pusing saja."

"Hei, kalau mau berantem di lapangan sana, bukan di sini!"

"Sudah pergi sana kalian. Kami mau bayar belanjaan kami!"

Seketika hilang dong muka gue karena kena force out dari masyarakat. Gue pun berbalik sambil mengernyitkan dahi. Gue tutup sisi muka gue pakai tangan gue. Sementara Bagas sih mau-mau aja minta maaf. Doi mengangguk-angguk minta maaf sambil mengatupkan kedua tangannya lalu mendorong punggung gue biar gue mempercepat langkah gue keluar.

"Elu sih, Pol! Malu-maluin gue aja lu!" kata Bagas ketika kami sudah di teras toko.

"Enak aja, yang ada elu yang mulai duluan tadi! Kata-kata gue dan Bagas ga sekencang tadi.

"Lu ngapain beli-beli barang haram kaya gitu?" tanya Bagas.

"Lu budeg apa gimana sih, Bang? Gue tadi udah bilang itu bahan buat tugas eksperimen gue di sekolah! Bukannya ngedengerin malah sotoy," jawab gue.

Gue dan Bagas adu mulut sampai langkah kami tiba di tempat parkir.

"Lagian lu ngapain sih nongol-nongol di sini? Bukannya lu lagi studi di Bandung? Hidup gue itu udah tenang tanpa lu, eh lu malah nongol kaya gini. Mana bikin harga diri gue jatuh, lagi!" kata gue merepet.

Belum sempat Bagas membalas repetan gue, ponsel gue pun bergetar. Barengan sama ponsel doi juga. Deringnya gede banget, anjir. Mana sound-nya soundtrack Doraemon lagi. Haha…

Gue pun mengambil ponsel gue dan tulisan di layar ponsel gue adalah 'Ibu Negara sedang memanggil…"

"Halo? Ya, Ma?" kata gue.

"Cepat pulang! Bantuin Mama masak," kata Ibu Negara alias nyokap gue.

"Masak-masak buat apaan sih, Ma?" tanya gue.

"Acara pertemuan keluarga apa sih, Pa? Apa yang dipersiapin, kayanya heboh banget? Tinggal satset-satset langsung berangkat kan bisa," kata Bagas yang juga lagi teleponan.

Gue pun sengaja menginjak kaki Bagas. Gue tutup ponsel gue pakai tangan sebentar terus negur Bagas. "Berisik lu, Bang!" kata gue.

Gue dan Bagas pun berpisah. Gue langsung gercep pulang menuruti perintah nyokap gue. Kata beliau akan ada keluarga kerabat yang bertamu jadi kami harus masak-masak. Oke deh, Bos! Gue pun otewe.

Perjanjian Berdarah

"MAAA… CELINE PULANG!"

Gue teriak sambil menepuk-nepuk pipi gue. Rasanya kedua pipi gue ini jadi beku setelah gue turun dari motor matic gue.

Gue yang menuruti perintah Ibu Negara tadi langsung otewe dengan kecepatan maksimal 100 km/jam. Untung motor gue bukan Supra batok getar, kalau iya bisa terbang gue. Bukannya sampai ke rumah yang ada gue nanti bakal nyasar ke dunia Mimi Peri.

Gue pun menghampiri nyokap gue yang gue bisa tebak beliau pasti lagi di teras belakang.

Tuh kan, bener. Ternyata beliau lagi duduk lesehan menikmati semilir angin sore sambil mengupas kulit bawang.

"SEINDAHNYA BUNGA SAKURA DI SANA TAK KAN SEINDAH KISAH CINTAKU…"

Anjay, nyokap gue lagi nyanyi-nyanyi dengan earphone di telinga tanpa menyadari kehadiran gue di belakangnya. Eh? Gue kaya familiar dengan…

"AAAAA… EARPHONE GAMING GUEEE!"

Seketika gue pun langsung melepaskan barang milik gue itu dan menggosoknya dengan baju kaos yang lagi ada di badan gue.

"Ni anak, datang-datang bukannya salam malah mengganggu keasikanku," gerutu nyokap gue.

"Maaaa… Ini kan punya Celine," rengek gue. Gue pun mengendus-endus di depan benda ini. "Tuh kan! Mamaaa… Earphone gaming Caline jadi bau bawang nih. Aaa…" lanjut gue merengek.

"Masalahnya apa? Biasanya juga kamu dikata-katai sama teman-temanmu sebagai wibu. Wibu, wibu bau bawang… Wibu bau bawang… gitu." Asem bet nyokap gue malah nambah-nambahin emosi jiwa gue.

"Ga usah mengalihkan duduk perkara kejahatan Mama! Mama udah nyolong earphone gaming Celine! Mama berdosa! Lagipula biarpun Celine wibu, Celine ga bau bawang. Nih, tuh. Pesona Roll On, wanginya tahan seharian." Gue malah endors deodoran sambil mengangkat ketiak gue, anjoy.

"Heleh. Cuma pinjam sebentar saja merepetnya panjang banget. Sudah sana cuci tanganmu lalu bantu Mama potong-potongin wortel tuh," kata nyokap gue.

Gue pun menuruti perintah nyokap gue. Gue simpan earphone gue di kamar, gue cuci tangan, cuci muka, cuci kaki, ganti baju kaos, ganti celana pendek, baru deh gue siap berdinas dengan urusan dapur. Cuma cuci tangan doang dan langsung berdinas? No! Yang ada nanti komedo bakal bermunculan, hantu-hantu sepatu yang bau kaki bergentayangan dan baju branded gue jadi ternodai sama aroma dan noda-noda dunia perdapuran.

Gue pun bantuin nyokap di teras. Gue nanya ke beliau soal siapa tamu yang akan datang nanti. Nyokap gue pun bilang bahwa itu adalah keluarga Almarhum Kakek Surili, temannya kakek gue. Gue pun auto melotot sampai rasanya ni mata gue mau copot semua dan menggelinding di lantai.

Lagian kakek gue kenapa gabut amat sih pakai acara mengundang mereka makan malam?

Waktu pun berlalu. Tiba saatnya pertemuan keluarga itu berlangsung. Gue dari tadi kospley jadi robot. Muka gue kaku, ga bisa senyum, jarang ngomong kalau pun ngomong suara gue datar seperti Tante Gugel, selera humor gue nol, tapi enggak dengan selera makan gue. Ya kali gue ga makan masakan yang gue masak sendiri tapi dibagi-bagi ke orang lain. Enak aja!

"Maksud saya mengundang kalian semua untuk berkumpul di sini adalah seperti ini…" Kakek gue udah memulai mukadimahnya. Semua orang di ruang makan ini langsung serius menyimak omongan kakek gue.

"Seperti yang kalian semua tahu saya dan Almarhum Surili adalah dua sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. Kami telah melalui banyak pertempuran di medan peperangan. Dan kini beliau sudah tidak bersama kita lagi," kata kakek gue.

"Dulu kami pernah berjanji akan menjodohkan anak-anak kami. Kami ingin benar-benar berada dalam ikatan keluarga yang sesungguhnya. Tapi, seperti yang kalian tahu bahwa anak-anak kami, Kamu, Dion dan Kamu, Frans, kalian adalah laki-laki. Jadi, bagaimana mungkin kami menikahkan kalian berdua. Hahahaha…" lanjut kakek gue.

"Iya, bagaimana bisa laki-laki menikah dengan laki-laki. Hahaha… Ada-ada saja," sahut bokap gue. Semua orang pun tertawa, kecuali gue. Gue punya firasat ga enak, selain itu gue sekarang lagi kospley jadi robot, jadi ga bisa ketawa.

Oh ternyata cowok menyebalkan yang duduk di hadapan gue ini juga lagi kospley robot. Dia ketawa tapi dipaksain. Kaku banget, anjir.

"Jadi…" lanjut kakek gue. Orang-orang pun berhenti tertawa dan kembali ke mode menyimak.

"Berhubung cucu-cucu adalah sepasang laki-laki dan perempuan, apalagi mereka sudah akrab sekali. Sedari kecil Celine dan Bagas sudah bertetangga…" ucap kakek gue.

"Jadi?" potong Bagas. Bagas ga sabar untuk mendengar inti dari pembicaraan ini.

Sementara gue, gue… Gue lagi kospley robot, kayanya power gue bentar lagi anjlok nge-down dan gue bakal pingsan deh.

"Jadi, saya ingin menjodohkan Celine dan Bagas agar nantinya dapat menikah," jawab kakek gue.

"APAAA? MENIKAH?" teriak gue dan Bagas bersama-sama.

"Kek ga bisa gitu dong, Kek!" protes gue.

"Saya dan Celine ga mungkin menikah, Kek!" sambung Bagas.

"Loh kenapa? Bagas kan laki-laki, Celine perempuan, tidak terikat pertalian darah, tidak punya riwayat penyakit reproduksi, jadi tentu saja bisa dong," jawab kakek gue.

"Kek, pernikahan bukan soal laki-laki dan perempuannya saja. Kami tidak saling mencintai, Kek! Lagipula Celine lulus SMA pun belum. Bang Bagas juga masih kuliah, boro-boro bekerja. Nanti bagaimana dengan masa depan Celine, Kek?" jelas gue.

"Maksud lu masa depan lu bakal suram gitu kalau menikah sama gue? Gue kerja kok, bentar lagi maksud gue. Gue kan balik ke sini karena gue mau ngajar di sekolah," balas Bagas.

"Halah, paling-paling cuma jadi guru magang doang. Secara kan kuliah lu belum lulus, Bang! Entah kapan lulusnya. Mau jadi mahasiswa abadi kayanya," kata gue.

"Hei, kalian! Kenapa kalian malah berantem lagi?" tegur nyokap Bagas. Tapi suaranya yang ga ber-damage membuat ga ada efek apapun terhadap gue dan Bagas.

Kakek mengacungkan telapak tangannya. Beliau memberi isyarat agar kami berhenti berdebat. Sementara sebelah tangannya lagi memegang dada. Kakek tampak kesakitan tapi tidak bicara apapun.

"AYAH! AYAH BAIK-BAIK SAJA KAN?" ucap bokap gue dengan panik.

Malam itu juga kakek gue dibawa ke rumah sakit. Beliau langsung masuk ke ruang perawatan. Semua keluarga menunggu di luar ruangan.

"INI KARENA KALIAN! KALIAN ITU HARUSNYA TAHU SIKON! GARA-GARA KALIAN TIDAK MAU MENIKAH, KAKEK

JADI JATUH SAKIT SEPERTI ITU!"

"IYA. BETUL! KALIAN TAHU SUDAH BERAPA LAMA KAKEK MENUNGGU AGAR KELUARGA BESAR KITA BISA MENYATU? KAKEK MENUNGGU KELAHIRAN KALIAN LALU MENUNGGU KALIAN BERTUMBUH! ITU BUKAN WAKTU YANG SEBENTAR!"

Gue dan Bagas pun diceramahin sama keluarga kami sendiri. Serasa lagi ada di sidang perkara pidana, anjir.

Gue pun langsung lihat-lihatan sama Bagas. Seolah kami lagi bertelepati, Bagas langsung paham apa isi kepala gue lalu dia mengangguk dari jauh.

"Ma, Pa, Om, Tante, Celine dan Bagas butuh waktu untuk bicara berdua. Kami mau permisi dulu," kata gue.

Semua orang pun mempersilakan kemudian gue dan Bagas pun jalan bareng mencari ruangan yang kondusif buat mengobrol.

Kami pun mengobrol di taman rumah sakit. Di sana ada sebuah bangku panjang dengan lampu taman berbentuk bulat bertiang di sampingnya.

Disaksikan para nyamuk-nyamuk yang gue biarin mereka nemplok dan menyedot darah gue dan darah Bagas, kami pun bersepakat untuk menerima perjodohan ini.

"Demi Kakek!"

"Demi Kakek!"

kata gue dan Bagas secara bergantian sambil saling meninju kepalan tangan lawan. Setelah kami menyetujui perjanjian itu, gue pun mulai nepuk-nepukin nyamuk di badan gue. Ada yang udah gendut-gendut lalu jadi meninggoy dengan darah yang berceceran. Begitu juga dengan Bagas.

Kami pun menyebutnya dengan 'Perjanjian Berdarah'.

Guru Baru

Gue dan Bagas kembali ke depan ruangan kakek gue. Sewaktu gue dan Bagas baru tiba di sana, kebetulan dokter membuka pintu.

"Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?" Bokap gue langsung menyambar dokter dengan pertanyaan-pertanyaan. Orang-orang pun sama penasarannya dengan bokap gue dan ikut-ikutan menanyai dokter.

"Sebentar ya, Bapak Ibu. Di sini ada yang bernama Celine dan Bagas?" ucap dokter tersebut.

"Saya Celine!"

"Dan saya Bagas!"

sahut kami berdua.

"Silakan kalian masuk," ucap dokter itu.

Gue dan Bagas pun masuk. Saat gue dan bagas melewati dokter itu di depan pintu, dia berbisik kepada kami, "Lakukan kemampuan terbaik kalian. Beri kakek kalian pujian atau hal-hal yang disukainya agar semangat hidupnya meningkat. Sepertinya hanya kalian yang bisa melakukannya." Gue pun mengacungkan jempol dan Bagas mengangguk mantap.

"Cucu-cucuku…" kata kakek gue. Suaranya pelan dan gemetar. Gue ga tega melihatnya kaya gini. Mata gue berkaca-kaca.

"Kakek jangan sakit," rengek gue sambil meneteskan air mata.

Bagas langsung menoleh. Dia ngelihatin gue menangis. Dari mukanya terlihat kaya Bagas terkejut gitu. Mungkin karena ini pertama kalinya doi meliihat gue menangis di depan dia secara terang-terangan setelah sekian lama.

Setiap gue sedih gue ga pernah memperlihatkan tangisan gue ke Bagas. Malu, anjir, mata gue jadi kelihatan seperti habis ditonjokin orang.

Sementara sekarang, gue bodo amat mau gue terlihat sejelek apapun. Yang gue pedulikan cuma kesehatan kakek.

Gue pun memeluk kakek gue yang lagi terbaring itu. Lalu kakek memanggil Bagas dengan isyarat lambaian tangan dan Bagas pun mendekat dan gue melepaskan pelukan gue. Gue berdiri di samping kanan ranjang kakek sementara Bagas di samping kirinya.

Kakek pun mengambil tangan gue dan tangan Bagas lalu menumpuknya jadi satu.

"Menikahlah," kata kakek gue sambil menengok gue dan Bagas secara bergantian.

Sebuah permintaan ditambah sorotan mata itu membuat gue ga berdaya. Gue akan melakukan apapun demi kesembuhan kakek.

Gue lihat Bagas menyeka matanya. Ternyata ni cowok bisa nangis juga. Ternyata doi punya hati juga. Atau jangan-jangan doi menangis gara-gara berat menerima kenyataan bahwa doi akan menikah sama gue? Anjir! Kalau gur ada di posisi lu, Bang, gue akan gantung diri!

Kakek masih menunggu jawaban gue dan Bagas. Gue pun mengangguk diikuti dengan Bagas juga karena kakek gue ga cuma menyorot mata gue, tapi juga menyorot mata Bagas dengan tatapan sayunya.

Waktu berlalu dan hari pun berganti. Tiba saatnya hari pernikahan gue dan Bagas. Kami mengadakan pernikahan yang tamunya tertutup. Gue lihat di sini ada bokap nyokap gue tentunya, juga bokap nyokap Bagas, ada sepupu-sepupu bokap-nyokap gue, ada keluarga bokap nyokap Bagas juga

dan…

"ITU KENAPA ADA KEPALA SEKOLAH NYEMPIL DI MEJA ITU, ANJIR!" kata gue mambatin.

Mana berani gue teriak-teriak sekarang. Kan lagi mode anggun. Tapi, sumpah, ni make up membuat muka gue serasa lagi memakai topeng besi zaman Hitler, anjir. Muka gue jadi berat dan kaku banget. Lipstik ini juga membuat gue ga bisa mangap. Ini kenapa gue paling ga suka make up. Gue jadi tersiksa kaya gini.

Gue pun mencolek lengan pendamping pengantin gue, yaitu bokap gue sendiri. "Pa, kenapa Pak Sugeng diundang?" kata gue yang menanyakan soal kepala sekolah itu.

"Tidak apa-apa. Celine tenang saja. Pak Sugeng yang akan mem-back up Celine agar rahasia ini aman sampai Celine lulus nanti," jelas bokap gue. Gue pun tersenyum dan mengangguk. Senyum ala-ala Pahlawan Bertopeng, ya. Tahu sendiri kondisi muka gue.

Lalu pandangan gue beralih ke kakek gue. Ih, doi lagi petakilan di arah yang lain. Doi lagi ngobrol sama keluarga lainnya dengan sangat ekspresif. Tangannya diangkatnya tinggi-tinggi, kakinya simulasi lari di tempat, ketawanya ngakak. Gue jadi curiga, jangan-jangan kondisi beliau beberapa hari yang lalu itu cuma acting! Kalau bener beliau cuma acting, gue kesel banget.

Prosesi pernikahan yang sakral itu pun tiba. Bagas terlihat gugup. Gue pun melihatnya sambil nahan ngakak. Biasa aja kali, kan lu nikahnya sama gue. Kecuali lu nikah sama Cindy baru wajar lu gugup. Eh, Cindy cewek lu itu rupanya ga diundang ya? Padahal gue pengen banget melihat muka kesalnya karena pangerannya gue ambil.

Setelah acara pernikahan selesai, gue dan Bagas pun langsung pindah ke rumah baru kami. Rumah yang dibelikan oleh kakek untuk kami berdua.

Begitu kami berdua sampai di dalam rumah, Bagas pun langsung memblokade jalan gue.

"Ini kamar gue! Kamar lu di sana! Jangan harap kita bakal sekamar bareng," kata Bagas.

"Yeee… Ge er lu! Siapa juga yang mau sekamar sama lu? Najis tralala!" balas gue.

"OH IYA, BANG!"

Setelah gue ada di pintu kamar gue, gue pun meneriaki Bagas. Bagas pun menoleh dari balik pintu kamarnya.

"JANGAN BERANI-BERANINYA LU MASUK KE KAMAR GUE! HARAM!" kata gue.

Perkataan gue dibalas dengan muka jeleknya, bibir monyong dan mata melotot. Doi meledek gue.

"LU KAN MESUM! TAPI GUE PERINGATIN JANGAN MACAM-MACAM SAMA GUE! HARAM!" lanjut gue.

Doi membalas teriakan gue dengan raut muka ganjennya, kelopak mata diberat-beratin, tangan menjuntai ke atas pintu, bokong disandarkan di rangka pintu, senyumnya freak dan bibirnya berpose mengecup manja. Merinding gue melihatnya. Kaya lekong lampu merah, sat!

Setelah gue menempati kamar gue, gue pun mager banget.

Setelah seharian gue ngereog di kamar gue, gue pun kelaparan. Gue pesan aja makanan pakai layanan pesan antar. Eh, si Abang-abang Mesum itu udah makan belum ya? Ah bodo amat gue. Mending pesan buat gue sendiri, daripada kelamaan, bisa nyeri lambung gue.

TING TUUNG…

Kok cepat banget kurir makanannya sampai? Gue pun dengan langkah gontai menghampiri pintu lalu membukanya.

"Selamat malam. Seporsi Mie Aceh dan segelas es jeruk," kata kurir itu ramah. Senyumannya begitu aduhai, tapi tunggu…

"Mas, gue kan pesan Nasi Padang dan Capuccino Cincau. Tapi kok yang datang…"

"Enak aja! Ini pesanan gue!" Tiba-tiba Bagas datang dari dalam dan langsung mengambil pesanan itu. "Makasih ya Mas."

Gue pun langsung kospley jadi tembok. Bagas masuk ke dalam terus gue retak-retak, pecah lalu runtuh.

Keesokan harinya gue pun berangkat ke sekolah. Bagas juga berangkat ke tempat magangnya. Gue ga tahu di mana doi magang di mana, gue ga pernah nanya. Doi juga ga cerita sama gue. Pokoknya kehidupan gue dan Bagas di rumah itu cuma sebatas tinggal satu atap doang. Urusan tetap masing-masing. Kami itu kaya teman kosan kira-kira gitu. Tapi kalau teman kos masih mending, masih suka sharing cerita, kalau kami enggak sama sekali.

Gue pun udah di kelas. Bel masuk udah bunyi tadi, tinggal nunggu guru masuk aja.

"Gue perhatiin muka lu dari tadi bete mulut gitu, Cel?" teman sebangku gue, Helen perhatian sama gue. "Ga apa-apa. Kayanya gue mau mens," jawab gue. Seandainya gue bisa cerita sama Helen, ya Tuhan. Berat banget masalah hidup gue, Len.

Ga lama guru pun masuk diikuti oleh Bagas di belakangnya. Mata gue melotot kaya mau copot terus menggelinding di lantai. Gue harap gue bisa menginjaknya, CLETUS… CLETUS…

Sangkin gue syoknya dengan apa yang gue lihat.

"Selamat pagi anak-anak."

"PAGI PAAAK…"

"Pagi hari ini Bapak akan memperkenalkan guru baru di kelas kita ini yang akan mengajar pelajaran Bahasa Inggris."

"Aaaaa…" Murid-murid cewek berseru gemas.

"Anjir, kita dapat guru baru, Cel! Ganteng banget! Rambutnya ala-ala harajuku, hidungnya mancung, kulitnya bening…" bisik Helen.

"Casper kali, kulitnya bening!" protes gue sambil cemberut.

"Lu kenapa sih? Lu kok ga excited gitu?" kata Helen heran.

"Excited kenapa? Biasa aja gitu kok," jawab gue.

"Biasa? Ini ganteng banget Celine! Lu ga mau?" protes Helen.

"Enggak. Buat lu aja," kata gue.

"Ih, nyesel lu ntar," balas Helen.

Iya, gue nyesel. Nyesel karena udah ditakdirin ketemu sama makhluk ini. Bisa-bisanya gue nikah sama ni cowok.

Huuuft… Mampus gue. Ga kebayang hari-hari gue di sekolah ini bakal ketemu doi terus. Haaa…

Gue pun menaruh kepala gue di atas meja dan ngeberdiriin buku buat nutupin muka gue. Gue pengen nangis, sumpah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!