***
"Sekali tidak tetap tidak Ana. Sudah berapa kali lagi Abang tegaskan," ucap Ghafin penuh penekanan tentang rencana Ana yang ingin ikut berlibur bersama dengan nya dan juga Revan ke Paris.
"Kenapa sih Bang? Lagi pula aku juga tengah libur semester. Jadi tidak akan mengganggu waktu kuliah ku," jawab Ana yang saat ini tengah duduk dibangku perkuliahan.
"Pokoknya, untuk kali ini kamu tidak boleh ikut. Titik dan Abang tidak mau ada bantahan lagi,"
"Abang nyebelin,"
Ana pun langsung berlari kearah kamar nya dan menangis didalam sana. Ana tidak mengerti, kenapa Abang nya itu begitu tidak menyukai dirinya yang terus berusaha dekat dengan Revan.
Padahal kini usia Ana sudah memasuki usia 20 tahun dan sudah berstatus sebagai mahasiswa semester 4 disebuah universitas ternama.
Namun entah mengapa, Ghafin tidak juga memberikan restu nya untuk dekat dengan Revan, sahabat Ghafin sejak kecil.
Ana pun tidak kehabisan ide, Ana mengambil penerbangan di hari yang sama dengan Ghafin dan juga Revan namun dengan pesawat yang berbeda dan di waktu yang berbeda juga.
Namun hal itu Ana lakukan tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Mama Laras dan Papa Bian pun tidak mengetahui rencana putri bungsunya itu.
"Ghafin pergi dulu ya Ma, Pa," pamit Ghafin pada mama Laras dan juga papa Bian setelah selesai sarapan pagi itu.
"Iya sayang, hati hati dan jangan lupa kabari mama sama papa kalau sudah sampai, ya," jawab mama Laras saat mengantar putranya hingga teras rumah.
"Iya Ma, itu pasti. Adek masih belum mau keluar kamar?" tanya Ghafin karena sejak awal sarapan sang adik tidak memperlihatkan batang hidung nya.
"Mungkin masih marah. Pergilah, biarkan dia seperti itu dulu. Nanti juga tenang sendiri dan biasa lagi,"
"Baiklah, kalau begitu Ghafin pergi dulu ya Ma, Pa. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jangan lupa sholat Bang,"
"Iya Pa,"
Ghafin melambaikan tangan nya sebagai penutup perpisahan sementara antara dirinya dan juga kedua orang tuanya.
Setelah mobil Ghafin menghilang, mama Laras dan papa Bian pun kembali masuk kedalam rumah.
Namun saat keduanya masuk kedalam, alangkah terkejutnya keduanya saat mendapati Ana turun dari lantai atas dengan koper berukuran sedang ditangan nya.
"Loh sayang, kamu mau kemana? Kok bawa koper?" tanya mama Laras langsung menghampiri sang anak untuk memastikan kemana Ana akan pergi.
"Ya liburan lah Ma, memang nya cuma Bang Ghafin doang yang bisa liburan. Ana juga bisa,'
"Memang nya kamu liburan kemana? Dan sama siapa?" tanya papa Bian posesif.
"Sama Rena Pa, dan kita mau ke Jogja. Kita mau liburan di rumah neneknya Rena yang ada di sana,"
"Baiklah, sekarang kamu akan pergi kemana? Bandara apa stasiun kereta? Biar papa yang antar,"
"Stasiun saja Pa, kayanya seru tuh naik kereta. Pesawat terus gabut,"
"Kamu kesana sendirian?"
"Iya Ma, Rena kan sejak awal liburan sudah di sana. Jadi nanti dia jemput aku di stasiun atau di bandara. Tapi kayanya seru naik kereta deh, ke stasiun saja ya Pa,"
"Boleh, tapi kamu yakin bisa pergi sendirian?"
"Iisstt Papa, bisalah. Aku ini kan sudah dewasa Pa, masa naik kereta saja nggak bisa,"
"Baiklah, Ma. Tolong ambilkan kunci mobil sama dompet Papa ya, Papa mau antar putri kita yang bawel ini,"
"Iya Pa, tunggu sebentar,"
Mama Laras pun langsung beranjak menuju ke kamar pribadi nya untuk mengambilkan kunci mobil dan juga dompet milik suaminya yang akan mengantar putri bungsu mereka yang akan pergi berlibur.
Setelah mendapatkan apa yang dia cari, mama Laras pun kembali menemui suami dan anak gadisnya. Untuk memberikan kunci mobil dan juga dompet milik sang suami.
"Hati hati ya sayang, kabari Mama dan Papa saat sudah sampai di sana,"
"Siap Ma, Ana pergi dulu ya,"
"Iya sayang, hati hati."
"Siap Ma, ayo Pa. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, fii amanilah sayang,"
Mama Laras pun kembali melepas putrinya untuk pergi berlibur sebelum kembali disibukan dengan segudang tugas dari kampus dimana Ana saat ini mengenyam pendidikan di sana.
Ana begitu tertarik dengan desain interior, hingga dia pun akhirnya mengambil jurusan itu, dan saat ini sudah berjalan di tahun kedua Ana berstatus sebagai mahasiswi desain interior.
Laras begitu bersyukur karena sudah diberi kesempatan untuk kembali bernafas setelah pernah dinyatakan meninggal dunia setelah melahirkan Ghafin dulu.
Namun sebuah mukjizat datang, saat detik terakhir dirinya kembali diberikan kesempatan untuk kembali bernafas dan hingga saat ini. Laras pun bisa merasakan bagaimana proses dan bagaimana rasanya mengikuti tumbuh kembang kedua anaknya.
***
***
"Aku pergi dulu ya Pa,"
"Iya, hati hati sayang,"
Papa Bian pun kembali melajukan mobilnya setelah memastikan jika sang anak sudah memasuki kereta yang akan membawanya ke kota gudeg, Jogja.
Namun tanpa Papa Bian ketahui, jika Ana kembali turun dari kereta dan pergi mencari sebuah taksi yang akan membawanya kembali ke Bandara.
***
Ana melempar tubuh lelah nya ke kasur besar yang ada didalam kamar hotel yang sudah dia booking sebelumnya.
Saat ini, Ana baru saja tiba di hotel yang akan dia tempati selama liburan di sana. Ana sengaja memesan hotel yang berbeda dengan hotel yang ditempati oleh Ghafin dan juga Revan.
Namun hotel keduanya cukup berdekatan, belum lagi Ana yang diam diam memasang GPS di ponsel sang kakak yang dia hubungkan ke ponselnya membuat Ana akan tahu kemana saja Ghafin dan Revan pergi selama liburan disana.
Ana tersenyum lega saat akhirnya dia tiba di kota yang sama dengan Revan dan juga Ghafin. Ini adalah hal tergila yang pernah dia lakukan selama 20 tahun hidupnya.
Biasanya, Ana akan selalu ditemani oleh sang kakak atau mama Laras jika ingin berlibur ke luar negri. Papa Bian selalu bersikap posesif pada putrinya itu.
Tidak jarang Ana urung pergi karena sang ayah yang tidak memberikan nya ijin. Namun, peraturan ketat itu mulai berkurang setelah Ana masuk kuliah.
Belum lagi Ana yang memang kurang suka keluyuran membuat Papa Bian pun mulai menaruh kepercayaan pada putri nya itu.
"Ok, sekarang dan disini. Aku akan mengungkapkan lagi perasaanku yang jauh lebih serius lagi. Akan aku pasikan, saat pulang nanti Kak Revan sudah menjadi pacarku," gumam nya penuh dengan rasa percaya diri sembari mematut penampilan nya didepan cermin.
Ana berencana pergi ketempat dimana Ghafin akan melakukan makan malam, dan setelah tahu jika Ghafin dan Revan akan makan malam disebuah restoran mewah di pusat kota Paris. Ana pun segera bersiap untuk mengikuti mereka berdua.
Merasa butuh informasi dari sang kakak, akhirnya Ana pun menyudahi aksi marahnya dan menghubungi sang kakak terlebih dahulu dengan membuka obrolan yang normal.
Berbagi pengalaman dan agenda selanjutnya saat bepergian ke tempat yang berbeda adalah hal yang biasa dilakukan kakak beradik itu.
Hingga Ghafin pun tidak menaruh curiga jika Ana saat ini berada di kota yang sama dengan nya. Bahkan Ana selalu mengirimkan foto tempat tempat yang Ana kunjungi selama dia di Jogja demi meyakinkan jika dirinya memang tengah menikmati masa liburan di kota itu.
Ana meraih tas slempang yang akan dia kenakan untuk membawa dompet dan juga ponselnya. Setelah melihat pergerakan sang kakak yang mulai keluar dari hotel.
Ana pun mulai keluar dan mengikuti kemana arah GPS yang ada di ponsel Ghafin bergerak. Ana menatap sebuah bangunan tinggi dan besar, yang baru saja dimasuki oleh Ghafin dan juga Revan.
Ana menatap bingung dengan kerutan didahinya sebagai pertanda jika dia merasa ada yang aneh dari apa yang di lihatnya saat ini.
Dimana, Revan yang terlihat membawa sebuah buket bunga yang begitu cantik dan indah, padahal mereka pergi hanya berdua saja. Tidak ingin hanya menduga duga dengan jawaban yang tidak jelas.
Ana pun segera ikut masuk, namun masih dengan jarak aman. Agar tidak ketahuan, Ana ingin memberikan kedua pria itu kejutan dengan kedatangan nya yang tiba tiba.
Ana terus mengikuti langkah Ghafin dan juga Revan yang ternyata menuju ke rooftop gedung itu. Seketika, pandangan Ana dibuat kagum dan juga takjub dengan dekorasi indah yang memanjakan matanya, saat tiba ditempat yang dituju oleh Revan dan Ghafin.
Ana terus melangkah maju dengan perasaan yang membuncah, bahagia. Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini dia rasakan pada Revan.
Namun langkahnya seketika terhenti saat Revan dan juga Ghafin tiba disebuah tempat, dimana disana sudah ada dua wanita yang menunggu kedatangan kedua pria itu.
Tubuh Ana tersentak hebat, hingga membuat tubuh mungil itu membeku dan menegang. Senyum bahagia yang awalnya terlukis indah di wajah cantiknya pun seketika saja menghilang saat netra itu dengan begitu jelas menangkap pergerakan, bagaimana Revan yang memeluk lalu mencium mesra bibir seorang gadis yang begitu teramat dia kenali.
"Kaila? Ba_bagaimana bisa?" gumam nya lirih dalam hati menahan sesak saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Revan dan Kaila, sahabatnya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu begitu terlihat mesra bak sepasang kekasih yang tengah berbahagia.
Ana pun lalu menyembunyikan diri dibalik bingkai bunga yang menjadi salah satu objek keindahan dekorasi tempat itu malam ini.
Ana terus memperhatikan setiap gerak gerik yang dilakukan dua pasangan itu. Meski harus menahan sakit dan sesak didada, namun Ana tetap bertahan demi melihat apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
30 menit berselang, acara makan malam pun tampaknya telah usai mereka lakukan. Hingga kini tibalah di penghujung acara itu, dimana Revan yang menarik tangan Kaila untuk membawa berdiri disamping meja yang mereka tempati untuk makan malam tadi.
Setelah keduanya berdiri, tampak Revan yang mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku celana nya, lalu berjongkok di hadapan Kaila.
Meski Ana tidak tahu apa yang di ucapkan oleh keduanya. Namun, dari gestur tubuh keduanya pun Ana sudah bisa menebak, jika saat ini Revana tengah melamar kekasihnya yang tidak lain adalah sahabat Ana sendiri, Kaila.
Tidak ingin membuat dirinya semakin hancur, Ana pun akhirnya pergi meninggalkan tempat itu setelah Kaila terlihat mengangguk lalu keduanya saling berpelukan jauh lebih mesra dari sebelumnya.
Hati Ana bagai disayat sembilu saat melihat bagaimana senyum bahagia itu muncul di wajah tampan Revan. Dan yang membuat Ana kian hancur adalah, dengan adanya Ghafin yang menjadi saksi acara lamaran itu.
***
"Kenapa semua orang tega padaku? Kenapa harus menutupi semua itu dariku? Padahal, jika pun jujur. Aku tidak akan pernah memaksa Kak Revan untuk menyukaiku dan menerima perasaanku? Kenapa Bang Ghafin juga harus ikut menyembunyikan kisah mereka? Kenapa dan kenapa?"
Semua pertanyaan itu kini terus berputar putar didalam benak Ana. Dia tidak pernah menyangka jika kepergian nya ke kota impian sejuta umat pasangan yang ada didunia ini, itu akan menorehkan luka yang teramat sangat dalam dihatinya, hingga membuatnya cukup trauma akan sebuah kata 'cinta' dan 'kepercayaan'.
Ana terus berjalan gontai menuju kembali ke hotel. Dengan membawa hati yang hancur berantakan, Ana mulai mengemasi barang barang nya dan keluar dari hotel malam itu juga.
Sementara Ghafin sendiri tidak begitu menikmati acara malam ini. Perasaan nya terus saja dilanda rasa gundah, bahkan Ghafin refleks dengan terus saja menoleh k arah pintu keluar. Meski tidak ada orang disana, karena memang tempat itu sudah di booking oleh Revan khusus untuk acara lamaran nya pada Kaila.
Wanita yang sudah dua tahun ini dia pacari tanpa sepengetahuan Ana tentunya. Kaila yang memutuskan untuk kuliah di Paris pun semakin melancarkan persembunyian hubungan keduanya.
LDR yang dijalani keduanya tampak terlihat baik baik saja hingga Revan pun akhirya memutuskan untuk melamar Kaila tepat di hari perayaan dua tahun keduanya menjalin kasih.
"Kamu kenapa Fin? Ada apa?" tanya Revan saat melihat Ghafin terlihat gusar dan tidak tenang.
Belum lagi pria itu yang terus saja melirik ke arah belakang, membuat Revan semakin penasaran apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Tidak, tidak apa apa. Kita kembali kehotel sekarang? Ini sudah terlalu larut,"
"Baiklah, aku juga sudah cukup lelah dengan semua persiapan ini. Terima kasih ya, kamu sudah mau menemaniku melamar Kaila."
Ghafin hanya mengangguk dengan sebuah gumaman saja untuk merespon apa yang Revan ucapkan padanya. Jujur, saat ini Ghafin sedang tidak baik baik saja.
Hatinya benar benar gelisah dan begitu merasa bersalah pada Ana, adiknya. Namun apa boleh buat, semua ini adalah ke inginan dan permintaan dari Kaila dan Revan sendiri yang tidak ingin menyakiti hati Ana.
Ghafin berjalan menelusuri lorong yang menuju ke arah kamarnya berada, Ghafin terus memijit pelipisnya demi mengurai rasa pusing efek dari minuman yang dia tengak tadi.
Usai mengantarkan Kaila dan teman nya pulang, Revan dan Ghafin tidak langsung pulang ke hotel. Mereka berdua memilih mempir ke sebuah club malam untuk merayakan acara lamaran Revan pada Kaila, yang berakhir dengan diterima nya lamaran itu.
Keduanya pun memesan minuman beralkohol dengan kadar yang cukup rendah. Tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, Revan dan Ghafin pun memilih minuman beralkohol dengan kadar alkohol yang rendah.
Meski tidak membuat mabuk, namun minuman itu cukup membuat kepala Ghafin pening dan rasanya, ingin segera tidur saja demi menghilangkan rasa pening dikepalanya.
Ghafin baru saja mendudukan tubuhnya di ranjang saat ponsel miliknya berbunyi yang menandakan adanya panggilan masuk.
"Mama?" gumam nya saat melihat ID calling yang tengah mengghubunginya saat ini.
Kluk
"Iya, ada apa Ma?" tanya Ghafin dengan suara serak nya.
"Ana Bang, Ana," seru sang mama dengan suara yang serak, seperti habis menangis.
Seketik Ghafin pun dibuat panik saat sang mama menyebut nama Ana, hingga dia bangkit dari duduknya. Namun detik kemudian, Ghafin pun berusaha menormalkan pikiran nya lalu kembali bertanya.
"Iya, kenapa dengan Ana? Apa yang terjadi?"
"Dia_dia kesana Bang, Ana, dia melihat Revan dan Kaila," jelas mama Laras dengan suara yang tersendat sendat karena tangisnya.
Deg...
Jantung Ghafin bagaikan dihantam batu berukuran besar saat mama Laras mengatakan jika Ana sudah melihat semuanya.
Melihat lamaran yang dilakukan oleh Revan pada Kaila. Ternyata apa yang dirasakan nya tadi bukanlah halusinasi semata, dimana dirinya merasa jika ada yang mengikuti dan memperhatikan mereka sampai sampai Ghafin yang terus saja melirik ke arah pintu.
"Ma_Mama tenang dulu, ya? Sekarang cerita pelan pelan, apa yang sebenarnya terjadi pada Ana?" tanya Ghafin berusaha tenang dihadapan sang mama.
Padahal saat ini, dirinya tengah berusaha menahan gemuruh yang memburu di dalam dadanya. Rasa takut dan juga khawatir langsung menyelimuti Ghafin saat ini.
Hingga pikiran buruk terus saja berdatangan, mendatangi dan masuk kedalam benaknya. Namun, demi membuat sang ibu tenang. Ghafin pun harus terlihat tenang.
"Tadi Ana telpon Mama, dia menangis sejadi jadi nya. Jujur Mama bingung dengan apa yang terjadi pada adikmu yang tiba tiba saja menangis seperti itu. Hampir dua jam adikmu menelpon dengan hanya di isi dengan suara tangisan nya saja. Dan setelah tenang, dia mulai bercerita dan meminta maaf," lirih mama Laras.
"Minta maaf? Minta maaf untuk apa?"
"Adikmu minta maaf karena sudah pergi ke Paris menyusul kalian tanpa meminta ijin dari Mama dan Papa. Dia juga bilang, jika dia kecewa padamu Bang. Kenapa Bang? Kenapa menyembunyikan hal sebesar itu dari adikmu? Dia hancur sekarang Bang, dia sakit sesakit sakitnya Bang."
Jatung Ghafin pun kini sudah terasa bagai tak memiliki detakan lagi, saat mama Laras menjabarkan keadaan Ana saat ini.
Perasaan rasa bersalah pun kian menghimpit menjadikan sebuah rasa sesak yang tidak bisa lagi di tahan lagi. Bahkan, tanpa sadar Ghafin mulai mengeluarkan air mata yang kini sudah jatuh membasahi pipinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!