...MISTERI MAYAT TERPENDAM ...
...Dewa Payana...
...Bagian 1...
BRANG!
Terdengar ada suara benda yang jatuh dari arah dapur. Begitu nyaring, laksana dibanting keras ke atas lantai.
Lasmi terkesiap dan lekas memeluk anaknya. Seketika wajah perempuan berumur hampir kepala tiga itu memucat kesi. Seperti berhenti total peredaran darah yang menghidupi segenap raganya.
'Ah, suara itu lagi ….,' membatin Lasmi dengan hati berdebar kencang. 'Ya, Tuhan … teror apa lagi ini?'
Dia menepuk-nepuk bokong anaknya. Berusaha menenangkan tangis si bocah yang menjerit-jerit ketakutan.
"Sssttt … diamlah, Nak. Tenang. Di sini ada Ibu kok, Sayang," ujar Lasmi seraya semakin mempererat dekapan pada tubuh anaknya.
BRANG! PRAK!
Kembali suara itu terdengar nyaring. Sepertinya piring-piring di rak di dapur sana yang sengaja dibanting sedemikian rupa. Lasmi semakin merasa ketakutan. Hingga badannya gemetar seraya merapatkan dekap.
Sebenarnya kejadian seperti ini, bukan yang pertama kali. Tidak terhitung dan Lasmi sendiri sudah tidak ingat lagi, sekarang sudah yang keberapa. Yang pasti, hampir setiap kali Arvan —suaminya— tidak ada di rumah, peristiwa aneh semacam tadi kerap dia alami. Bukan sesuatu yang lumrah pula, jika awal-awal akan adanya hal-hal demikian, dimulai dengan tangisan si kecil secara tiba-tiba. Tidak ada angin maupun hujan, bocah berusia empat tahun tersebut mendadak mengamuk disertai lengking jerit membahana di pengujung senja.
"Sssttt … tenanglah, Nak. Jangan nangis. Ibu peluk, ya?" ucap kembali Lasmi, berusaha menenangkan anaknya yang meraung-raung memekakkan telinga.
Namun sang buah hati tetap tidak mau diam. Dia meronta-ronta di dalam dekapan sambil sesekali menunjuk-nunjuk ke arah pintu kamar tidur.
Lasmi menoleh sejenak, memperhatikan arah yang ditunjuk oleh anaknya, Lingga. Tidak melihat apa pun di sana, terkecuali kondisi pintu kamar yang tertutup rapat.
BRANG! PRAK!
'Astaga ….,' desah Lasmi lagi-lagi terkejut.
Seketika dia membayangkan kondisi ruangan dapur pasti dalam keadaan berantakan atau porak poranda. Namun benarkah demikian? Nyatanya saat suatu ketika memberanikan diri untuk memeriksa, tidak tampak seperti bekas apa pun di sana. Semuanya masih tertata rapi dan bersih sebagaimana sesore tadi dia berbenah di ruangan tersebut.
'Apakah ulah tikus-tikus itu ….?' Bertanya-tanya Lasmi di dalam hati sembari mendekap anaknya yang belum kunjung mau diam dan tenang.
"Ah, gak ada celah lobang tikus di sini, Dek," kata Arvan sebelumnya saat Lasmi berkeluh kesah tentang suara-suara ribut yang seringkali terdengar di dapur rumah mereka. "Semua akses pintu dan saluran pembuangan air, pada tertutup kok."
Lasmi mendecak bingung. Tanyanya kemudian dengan raut wajah masam, "Terus … kalo gak ada tikus, suara-suara itu datang dari mana, Mas?"
Lelaki itu melirik pada istrinya sebentar, lantas memutari pandangan pada setiap sudut ruangan dapur. Jawab Arvan dengan benak masih diliputi berbagai pertanyaan serupa, "Mungkin dari ruang sebelah, Dek. Bukannya rumah ini bersebelahan dengan dapurnya Bu Tedjo, tetangga kita?"
Lasmi menggelengkan kepala. Sama sekali tidak sepemikiran dengan apa yang diucapkan oleh suaminya tersebut.
"Tapi aku dengernya jelas banget, Mas," ujar perempuan tersebut bersikukuh. "Suara-suara itu, datangnya dari arah dapur rumah kita …."
Arvan menarik napas panjang dan menatap lesu istrinya. Ujar lelaki itu kemudian dengan nada suara datar, “Sudahlah, Dek. Kamu jangan terlalu membesar-besarkan kejadian ini. Lagipula, kenyataannya gak pernah ada apa-apa ‘kan di sini?”
Memang sepanjang awal peristiwa tersebut mulai terjadi, hanya suara-suara itu saja yang seringkali terdengar. Pertanyaannya adalah mengapa cuma kerap muncul menjelang malam hari? Mengapa pula di saat Arvan sedang tidak ada di rumah? Lantas hubungan dengan tangis histeris dan amukan Lingga, apa?
“Mas, cepetan pulang ….,” pinta Lasmi pada Arvan melalui sambungan telepon. “Anak kita gak mau berhenti nangis dari tadi.”
Jawab suaminya dari seberang kejauhan, “Iya, Dek. Sebentar lagi kerjaanku kelar. Mungkin Lingga lagi laper. Coba kamu—”
“Suara-suara di dapur itu ada lagi, Mas,” ujar Lasmi menegaskan dengan suaranya yang bergetar ketakutan.
“Kamu udah meriksa ke dapur belum? Mungkin Bu Tedjo lagi masak di dapur sebelah,” duga Arvan mencoba menerka-nerka.
Perempuan itu mendengkus di antara debaran jantungnya yang tidak mau tenang.
Balas Lasmi kesal dengan sikap apatis suaminya tersebut, “Bagaimana aku bisa ngecek ke sana? Lingga gak mau aku tinggal, Mas. Mendingan Mas cepetan pulang, deh. Ini lembur kok, hampir tiap hari, sih? Kayak gak ada habisnya,” imbuhnya menggerutu disertai raut wajah pucat dan masam. “Aku sama anak kita lagi ketakutan, Mas!”
“I-iya … aku usahain pulang secepatnya,” timpal Arvan terdengar kesal dengan dengan rajukan dari istrinya tersebut. “Kamu tunggu aku di rumah, ya? Kalian sudah pada makan? Mau dibawain apa sekalian jalan nanti?”
‘Ya, Tuhan ….,’ desis Lasmi di dalam hati. ‘Malah nanyain makanan. Aku boro-boro berani ke dapur jam-jam segini. Yang ada malah ….’
PRAK! BRANG! BRENG! BRONG!
“Astaga!” seru Lasmi seketika seraya menengok ke arah pintu kamar.
“Ada apa lagi, sih?” tanya Arvan terheran-heran di balik sambungan telepon.
“I-itu … s-suara i-itu …, M-mas,” ucap Lasmi terbata-bata. “D-di dapur … eh, halo? Halo, Mas! Lho, kok malah terputus?”
Lasmi memperhatikan layar ponsel. Sambungan teleponnya mendadak terputus. Lantas mencoba untuk menghubungi nomor Arvan, akan tetapi gagal terkoneksi. Tidak hanya sekali, beberapa kesempatan kembali diusahakan, hasilnya masih tetap sama.
‘Ya, Tuhan! Kenapa lagi ini?’ tanya Lasmi heran bercampur kesal. Sampai kemudian dia membanting keras gawainya tersebut ke atas kasur. Lanjut memeluk dan menenangkan tangisan Lintang yang tersedu sedan.
Tidak ada jalan lain bagi Lasmi. Rasa penasarannya kini mulai timbul di antara dera ketakutan yang masih menghinggapi.
Tidak ingin meninggalkan anaknya sendirian di kamar, perempuan tersebut menggendong Lintang dalam dekapannya dan membuka pintu kamar secara perlahan-lahan.
Detak jantungnya kian memacu. Matanya bergerak-gerak mengintip suasana di ruangan tengah yang sepi dan temaram dengan bias lampu berdaya kecil. Lantas selangkah demi selangkah mengayunkan kaki dengan pandangan nanar ke arah dapur di belakang. Terhalang dengan partisi yang terbuat dari bahan plafon.
Seketika itu pula suara-suara gaduh yang diperkirakan berasal dari ruangan dapur tadi pun, mendadak menghilang. Tinggal kini seperti terpaan air yang mengucur deras dari keran, menimpa permukaan bak penampungan wastafel.
‘Aneh ….,’ pikir Lasmi dengan kedua alis menaik ke atas secara serempak. ‘Aku yakin banget, tadi sama sekali gak ninggalin air ngocor begitu saja selepas bebenah di dapur.’
Perempuan tersebut benar-benar yakin, dia tidak pernah sekalipun meninggalkan keran dalam kondisi terbuka seperti itu. Lagipula, bukankah itu sudah dilakukan beberapa waktu yang agak lama. Kalaupun memang demikian, mungkin sejak dari tadi suara kucuran air itu terdengar.
Langkah Lasmi semakin mendekat memasuki ruangan dapur. Matanya awas memperhatikan suasana di depan sana dengan gerak kaki gemetar dan jantung berdebar-debar. Sampai kemudian ….
“Astaga …!” seru tertahan perempuan itu seketika.
Dia seperti melihat ada pergerakan bayangan di balik dinding sana. Seseorang? Entahlah. Cahaya lampu pijar yang menerangi dapur kurang begitu meyakinkan. Namun jelas sekali, sudut mata Lasmi memang sempat memperhatikannya.
‘Malingkah ….?’ tanya istrinya Arvan tersebut was-was.
Sejenak Lasmi ragu untuk melanjutkan langkah. Khawatir jika yang sempat dia tangkap mata tersebut benar adanya, bahwa bayangan itu berasal dari sosok seseorang yang tengah berada di dapur.
Dengan napas sedikit tersengal-sengal, Lasmi berniat mengintip. Merapat perlahan-lahan ke dinding dan ….
“Waaa ….!” Lintang tiba-tiba menjerit-jerit histeris. Anak itu meronta-ronta di dalam gendongan ibunya. Berusaha menarik-narik diri dan menolak untuk dibawa ke dekat ruangan dapur.
Pada saat yang bersamaan, mendadak kepala Lasmi seperti dihinggapi beban teramat berat. Diikuti dengan desiran darah terpompa cepat mengumpul di batok kepala.
“Aahhh ….,” desah perempuan tersebut kaget dan merasakan segenap bulu kuduknya meremang tiba-tiba.
...BERSAMBUNG...
...MISTERI MAYAT TERPENDAM...
...Dewa Payana...
...Bagian 2...
Buru-buru Lasmi memutar badan dan berlari kembali menuju kamar tidur, tanpa mau menoleh sedikit pun ke belakang untuk memastikan ada seseorang yang turut mengejar.
BRUK! CEKREK!
Daun pintu kamar di banting dengan keras karena deraan rasa takut dan segera menguncinya rapat-rapat.
Napas Lasmi sampai terengah-engah sesak, disertai kucuran keringat dingin membasahi kening hingga punggung. Berbarengan dengan itu pula, tangisan Lintang pun mulai melambat di dalam dekapan ibunya.
SREK! SREK! SREK!
‘Astaga ….!’ desis perempuan tersebut seraya menajamkan pendengaran. Telinganya seperti menangkap ada suara-suara langkah seseorang di luar kamar sana. ‘ … Seperti ada yang berjalan mengikutiku.’
Perlahan Lasmi melangkah mundur menjauhi daun pintu kamar. Dia mengelus-elus punggung anaknya untuk menenangkan, sembari menatap awas pada celah bawah ambang pintu tadi. Sekilas seperti ada pergerakan bayangan melintas di depan kamar. Dia yakin sekali kini bahwa itu bukanlah buah halusinasi dari benaknya yang tengah dilanda ketakutan. Namun itu benar-benar nyata.
“Sssttt, d-diamlah, Nak,” bisik Lasmi meminta anaknya agar menghentikan tangis. “T-tenang … t-tenang.”
Lasmi kembali menaiki tempat tidur dengan arah mata masih mengawasi celah bawah daun pintu kamar. Cahaya temaram lampu dari ruangan tengah yang menerobos, jelas-jelas telah memberikan gambaran jika di luar sana memang ada seseorang. Entah siapa.
Istri Arvan tersebut mulai panik sendiri dan cepat-cepat menyambar selimut tebal untuk menutupi sekujur badan bersama anaknya, Lintang.
‘Aku yakin sekali … ada seseorang yang masuk ke dalam rumah,’ pikir Lasmi semakin ketakutan. Namun dia tidak bisa memastikan, jika memang benar adanya ada orang yang masuk, dari mana masuknya? Di rumah itu hanya ada dua akses keluar masuk; ruangan depan dan dapur. ‘Tapi … seingatku, semua pintu sudah dalam keadaan terkunci sebelum petang tadi,’ gumamnya kembali mengingat-ingat.
SREK! SREK!
Suara-suara langkah kaki yang terseret menerpa permukaan lantai ruangan tengah yang terhampar karpet plastik. Lasmi yakin sekali dan bisa membedakan, bagaimana jika binatang sejenis tikus yang mondar-mandir di luar sana dengan pijakan kaki seseorang.
‘Ya, Tuhan … Mas Arvan,’ desah Lasmi begitu mengambil kembali ponselnya yang tergeletak tidak jauh dari keberadaannya bersama Lintang. ‘Kenapa Mas Arvan mendadak gak bisa dihubungi, sih? Ini … apa lagi yang terjadi?’
Dia berusaha menghubungi nomor seluler suaminya beberapa kali. Namun tetap saja gagal atau tidak bisa tersambung sama sekali.
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat oleh Lasmi kini, terkecuali pasrah dalam ketakutan bersama Lingga. Berusaha menyelimuti diri dan bersembunyi di balik belitan selimut sambil mendekap anak semata wayangnya.
Dia tidak berani mengintip atau memastikan jika bayangan di ruangan tengah itu sudah tidak ada lagi di sana. Hanya bisa memejamkan mata dan berharap agar Arvan lekas tiba di rumah.
KREK! KREK! KREK!
Lasmi membuka mata. Kembali menajamkan telinga akan suara-suara yang baru saja dia dengar kini.
KREK! KREK! KREK!
Perempuan itu yakin jika suara itu berasal dari panel pintu kamar. Dia mencoba mengintip sedikit melalui celah belitan selimut ke arah handel pintu. Tampak bergerak-gerak ke bawah, seperti ada seseorang yang sedang berusaha menarik-narik untuk membuka.
Kembali ketakutan itu menggayuti segenap jiwa. Lasmi tidak berani menyahut maupun mencoba memanggil-manggil. Khawatir jika sosok yang berada di luar sana itu bukanlah Arvan, suaminya.
KREK! KREK! KREK!
Panel pintu itu bergerak-gerak kembali.
“Dek …, buka pintu, Dek!”
Lasmi terkesiap. Dia begitu mengenali suara panggilan tersebut.
“Mas Arvan?” tanya perempuan itu seraya menyibak kain selimut.
“Iya, ini aku!” sahut sosok di balik pintu menjawab. “Bukain pintunya, Dek? Ini kenapa dikunci sih, kamarnya?”
Seketika Lasmi melepaskan pelukannya terhadap Lintang dan lekas turun dari atas tempat tidur. Dia memburu pintu kamar dan membuka kunci.
“Maasss!” pekik Lasmi merasa senang, lantas segera menghambur peluk tubuh suaminya.
“Eh … eh … kamu ini kenapa, sih?” tanya Arvan seraya mengelus-elus punggung Lasmi yang basah dan dingin, banjir keringat. “Dari tadi aku panggil-panggil, kamu gak nyahut. Kamu tidur, Dek?”
Tertidur? Lasmi menggeleng-gelengkan kepala. Sejak tadi dia memang berusaha memejamkan mata, tapi tidak sekalipun berhasil tertidur. Benak dan hatinya kerap tertuju pada bayangan yang sempat dilihat tadi. Bahkan sejak itu pula, tidak terdengar sedikit pun deru mesin kendaraan suaminya tiba di pekarangan rumah.
“Sejak kapan kamu tiba di rumah, Mas?” tanya Lasmi heran bercampur bingung, seraya melongok-longok ke arah ruangan tengah dan arah menuju dapur. “A-aku gak denger kamu dateng.”
Jawab Arvan sembari memperhatikan sikap istrinya tersebut yang masih terlihat syok, “Baru aja. Masa sih, kamu gak denger sama sekali? Dari tadi aku bunyiin klakson, tapi kamunya gak bukain pintu. Untung aja, aku selalu bawa kunci cadangan.”
Lasmi masih membayangkan bahwa sosok yang sempat dia lihat melalui celah bawah daun pintu kamarnya tadi, apakah benar-benar nyata ataukah hanya sekadar halusinasi akibat dari rasa ketakutannya belaka?
“Kamu nyari-nyari apaan, sih?” tanya Arvan terheran-heran dengan perilaku Lasmi yang terus-terusan melongok-longok ke arah dapur.
“Mas ….,” ucap perempuan tersebut seraya menatap wajah suaminya. “A-aku tadi ….”
“Suara-suara itu lagi?” tukas Arvan langsung menduga-duga terhadap apa yang akan dikatakan oleh Lasmi. “Duh, Deekkk ….,” imbuh lelaki tersebut diikuti gelengan kepala. “ … Kamu ini suka mengada-ngada, deh. ‘Kan, sudah aku bilang, siapa tahu … suara-suara yang kamu denger itu, berasal dari dapurnya rumah Bu Tedjo. Atau paling enggak, yaaa … cuma tikus-tikus doangan.”
“T-tapi … aku tadi ngelihat—”
“Ah, sudahlah,” tukas kembali Arvan mencoba menenangkan Lasmi. “Lingga ‘gimana?”
Lasmi menoleh ke arah ranjang. “Dia nangis terus dari tadi dan baru saja terlelap tidur,” jawabnya lesu.
“Syukurlah kalo begitu ….,” timpal Arvan merasa lega kini. “Lain kali, kalo ada kejadian kayak ‘gitu, kamunya jangan langsung panik, Dek. Jadinya, anak kita ikutan ketakutan dan nangis-nangis.”
Arvan mengajak istrinya duduk-duduk di ruangan tengah. Dia menaruh bungkusan makanan yang sejak awal datang tadi dijinjing, di atas hamparan karpet plastik.
“Sini, kita makan,” imbuh kembali lelaki tersebut seraya membuka-buka bungkusan tadi. “Sengaja aku bawain makanan kesukaan kamu.”
Lasmi turut duduk di samping suaminya, tapi pandangannya masih sesekali menoleh ke arah dapur.
“Kamu ini kenapa sih, Dek?” tanya Arvan sembari ikut melongok ke arah pandangan Lasmi barusan. “Ayo … kita periksa. Aku yakin, di dapur gak ada apa-apa, kok.”
Semula Lasmi hendak menolak, karena merasa takut. Namun rasa penasaran yang sejak tadi menghinggapi, mau tidak mau menuruti ajakan Arvan untuk melihat-lihat kondisi ruangan belakang yang dimaksud.
Benar saja. Begitu mereka berdua memeriksa kondisi dapur, tidak tampak sedikit pun keanehan di sana. Semuanya dalam keadaan baik dan tertata rapi seusai dibersihkan oleh Lasmi sore sebelumnya.
“A-astagaaa ….!” seru Arvan terkejut.
...BERSAMBUNG...
...MISTERI MAYAT TERPENDAM...
...Dewa Payana...
...Bagian 3...
“Kenapa kamu bisa seteledor ini sih, Dek?” tanya Arvan seraya mendekati daun pintu dapur yang menuju belakang luar rumah. “Kamu lupa lagi mengunci pintu dapur, hhmmm?”
‘Lupa mengunci pintu dapur?’ Lasmi bertanya-tanya heran. ‘Bagaimana mungkin? Aku ingat betul, sejak sore tadi aku sudah mengunci pintu itu. Lagipula, sehabis bebenah, aku gak lagi pergi ke belakang. Buat apa?’
“Tapi aku udah menguncinya tadi, Mas,” elak Lasmi mencoba menjelaskan pada Arvan suaminya.
Balas lelaki tersebut, “Ini buktinya … pintu masih sedikit terbuka, Dek. ‘Gimana coba kalo sampe ada orang masuk ke dalam rumah? Sementara cuma ada kamu dan Lingga di sini. Haduh, kamu ini, Dek … Dek ….”
Lasmi berpikir-pikir kini.
‘Apa mungkin … bayangan tadi itu benar-benar ada orang yang masuk ke dalam rumah, ya?’ tanyanya masih keheranan. ‘Tapi siapa dan mau apa? Gak ada barang-barang yang hilang di rumah ini, kok.’
Lasmi memperhatikan dengan saksama setiap perabotan rumah tangga yang ada di dalam rumah. Semuanya masih tertata dan berada di tempatnya masing-masing. Tidak ada satu pun yang hilang maupun berpindah.
Arvan segera memeriksa kondisi pintu dan memastikan tidak ada yang rusak. Namun semuanya dalam keadaan baik. Tidak ditemukan bekas congkelan maupun pengrusakan sama sekali.
“Besok-besok … sebelum kamu masuk kamar, kamu pastiin semua pintu dalam keadaan terkunci ya, Dek,” kata Arvan usai merapatkan kembali daun pintu dapur tadi. Lalu memeriksa kamar mandi untuk memastikan tidak ada seseorang yang berada di sana. “Lagian … kamu ini orangnya gampang panikan, sih. Aku ‘kan, tadi lagi lembur, Dek. Nyari tambahan uang buat bayar sisa utang kita ke Pak Sodikin.”
Lasmi memahami kesibukan yang sering dilakukan oleh suaminya tersebut. Semenjak memutuskan untuk membeli rumah tersebut, Arvan memang kerap mencari uang tambahan guna mencukupi kebutuhan hidup serta membayar sisa pembelian yang belum sepenuhnya lunas.
Rumah yang dipilih oleh Arvan dan Lasmi memang bukan hunian baru. Pemilik sebelumnya bernama Sodikin adalah seorang duda tua sakit-sakitan dan sedang membutuhkan biaya untuk berobat. Harganya pun relatif murah dan sangat terjangkau.
“Bagaimana, Dek?” tanya Arvan saat itu, meminta pendapat Lasmi atas pemilihan rumah tua yang hendak mereka beli tersebut. “Kondisi rumahnya memang gak begitu bagus-bagus amat. Tapi, buat sementara, kita bisa menempatinya dengan nyaman, kok. Tinggal ngerombak sana-sini sedikit, biar kelihatan bagus.”
Lasmi berpikir-pikir terlebih dahulu beberapa saat sambil melihat-lihat kondisi rumah tersebut serta keadaan di sekitar tempat. Letaknya berada persis di pinggir sebuah jalan perkampungan dan tidak terlalu ramai, bersebelahan dengan hunian yang sama-sama sudah terlihat lapuk yang didiami oleh seorang perempuan tua bernama Bu Tedjo bersama anak gadisnya, Sulis.
Terletak agak berjauhan dengan rumah tetangga-tetangga lain, tapi memiliki pemandangan asri jika menengok ke belakang. Tepatnya di belakang pintu dapur yang langsung menghadap perkebunan luas, menjorok ke bawah.
“Tapi harga yang ditawarkan Pak Sodikin masih di atas sisa tabungan kita, Mas,” kata Lasmi agak sedikit keberatan. “Uang kita … mungkin … cuma sepertiganya saja. Terus sisanya lagi, mau nyari tambahan dari mana?”
Arvan tersenyum dan tampak tenang. Ujar lelaki tersebut kemudian, “Justru itu, Dek. Pak Sodikin nawarin ke aku, soal sisanya itu … kita bisa ngangsurnya per bulan sampe lunas nanti.”
Timbul rasa ragu pada hati Lasmi. Dengan penghasilan Arvan yang sekarang, apakah mereka mampu membayar sisa angsurannya itu setiap bulan? Sementara pekerjaan suaminya yang sekarang, penghasilannya pun sangat jauh berbeda dari gaji sewaktu sebelum terkena PHK massal. Namun jika tidak segera berpindah dari tempat tinggal dulu, justru ketidaknyamanan Lasmi semakin tidak bisa terbendung, karena harus hidup seatap bersama Bu Marsih, orangtua angkat Arvan sekaligus berperan sebagai mertuanya Lasmi.
Maka tidak ada pilihan lain bagi perempuan tersebut agar bisa segera hengkang dari rumah Bu Marsih, terkecuali membeli hunian lain dengan harga terjangkau.
“Kapan lagi kita bisa pindah dan memiliki rumah sendiri, Dek,” kata Arvan sebelumnya. “Mumpung ada duit,” imbuh lelaki itu memberi saran. “Kalo dikira-kira sih, emang kita gak mungkin bisa membeli rumah yang bener-bener nyaman dan baru dengan kondisi keuangan kita sekarang. Yaaa, paling enggak … kita gak perlu ngontraklah. Takutnya malah seumur-umur kayak ‘gitu. Kapan bisa mandirinya, Dek?”
Benar juga jika dipikir-pikir, menurut Lasmi, perlu bertahun-tahun dan biaya besar jika hendak mengambil kredit perumahan. Sekarang ada tawaran yang cukup ringan, dimana sisa angsuran kekurangan pembayaran atas pembelian rumah bekas Pak Sodikin tidak akan memakan waktu lama. Hanya saja perlu kesabaran serta efisiensi keuangan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan hidup. Itu pun karena Lintang —anak mereka— masih berusia balita dan belum membutuhkan biaya pendidikan.
Maka, tanpa dipikir panjang lagi, Lasmi segera menerima saran dari Arvan agar lekas menyanggupi penawaran yang diberikan oleh Pak Sodikin. Rumah tersebut pun dibeli dengan harga yang terbilang murah serta syarat tidak memberatkan. Tidak menjadi masalah, walaupun hanya terdiri dari beberapa ruas ruangan; depan, tengah, satu kamar tidur, dan dapur yang bersebelahan dengan kamar kecil.
Dengan pekerjaan baru yang dimiliki oleh Arvan sekarang, biaya kebutuhan hidup rumah tangga mereka memang sedikit terkendala. Maka dari itu, setiap ada kesempatan, lelaki tersebut sering menghabiskan hari-harinya dengan menunaikan kewajiban di tempat kerja serta menjalani rutinitas jam lembur demi mendapatkan kelebihan penghasilan.
Disamping karena keadaan tersebut tadi, lokasi pekerjaan Arvan pun tidak begitu jauh dari keberadaan hunian mereka yang baru. Paling membutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam perjalanan pulang-pergi dengan menggunakan kendaraan bermotor yang mereka miliki.
Hal-hal lainnya tidak terlalu dipikirkan oleh pasangan Arvan dan Lasmi, termasuk keberadaan tetangga mereka yang bernama Bu Tedjo tersebut, perempuan tua aneh berambut putih dan selalu digelung di atas kepala.
“Kalian yang beli rumahnya si Sodik itu, ‘kan?” tanya Bu Tedjo pada awal Arvan dan Lasmi bertemu dengannya.
“Betul, Bu,” jawab Arvan setelah melirik istrinya, Lasmi.
Perempuan tua itu menyunggingkan seulas senyum tawar. Sorot matanya begitu dingin dan tampak acuh jika tidak disapa terlebih dahulu.
Sambil mengunyah daun sirih yang telah dicampuri sedikit bahan rempah-rempah khusus, Bu Tedjo melirik-lirik sejenak pada sosok Arvan.
“Syukurlah ….,” kata perempuan tua tersebut kemudian. “Akhirnya sekarang … aku mempunyai tetangga baru. Kuharap, semoga kalian betah tinggal di rumah baru kalian itu.”
“O, iya … tentu saja, Bu,” balas Lasmi dengan senyum sedikit dipaksakan, sembari memegangi lengan suaminya.
Sorot mata Bu Tedjo dan sikap dinginnya, membuat Lasmi merasa agak tidak nyaman berlama-lama mengobrol dengan tetangganya tersebut.
Timpal Arvan sedikit berbasa-basi, “Doain aja, Bu. Moga istri saya ini juga betah tinggal di sini dan kita bisa bertetangga dengan baik.”
Bu Tedjo mengikik sebentar sambil memperhatikan Arvan dan Lasmi secara bergantian dan terakhir menatap sayu pada Lintang yang berada dalam belitan kain carik di gendongan ibunya.
‘Anak yang manis ….,’ puji perempuan tua itu disertai kelopak mata menyipit pada sosok Lintang. ‘Tapi sayang sekali, dia terlahir dari hubungan terkutuk kedua orangtuanya. Hhmmm, aku mencium ada aroma lain dari anak itu ….’
...BERSAMBUNG ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!