Suara gelak tawa memenuhi ruangan, aku mendongakkan kepala melihat seorang pria yang tertawa dengan nasibku yang sampai sekarang masih saja sendiri. Aku sangat kesal, ingin sekali mencekik pria yang berani menertawakan ku di hadapan umum, semua ini karena adik ku yang bernama Biru, semua ini ide gilanya yang selalu mencomblangkan ku dengan pria yang menurutku sangat aneh.
Aku sangat kesal, dengan sengaja mengambil roti di atas piring dan langsung menyumpal mulut pria itu. Aku berlalu pergi meninggalkannya, sungguh aku sangat kesal di tertawakan di hadapan umum.
Segera aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi adik beda ibu itu, sekali lagi dia mencomblangkan aku dengan pria aneh.
"Halo."
"Iya mba, kenapa?"
"Mba kan sudah bilang, jangan comblangin sama teman mu."
"Lagian mba udah berumur belum juga nikah, aku kan usaha agar mba berkeluarga."
"Ya, tapi gak gini caranya. Hari ini mba di permalukan semua gara-gara kamu, jadi stop untuk menjodohkan aku, kamu mengertikan?"
"Enggak mba."
"Halo … halo, Biru … Biru!"
Aku memekik meneriaki nama adikku itu, hembusan nafas berat menandakan aku sangat kesal. Berani sekali dia menjodohkan aku dan menutup sambungan telepon, semakin membuatku jengkel.
Aku menendang kaleng di jalanan, menjadikan benda itu sebagai pelampiasan karena hariku sangat buruk. Memang aku ini sudah berusia lebih kepala tiga, tapi gak begini juga. Hancurnya keluargaku membuatku tak bisa percaya sepenuhnya pada seorang pria, apalagi menikah, itu sangat - sangat sulit aku terima.
Lamunanku terhenti di saat mendengar suara orang mengerang, aku yang penasaran menuju sumber sura dan melihat seorang pria muda tengah menggosok kepalanya. Mataku langsung tertuju pada kaleng yang sangat mirip dengan kaleng yang ditendang tadi. "Ya Tuhan, kaleng itu kok mirip seperti …" batinku sembari menelan saliva.
"Aduh Tante, kira-kira dong kalau mau nendang kaleng." Ringis pria muda itu menatapku.
"Jangan menuduhku sembarangan." Elakku.
"Nih, aku punya buktinya."
Aku terkejut dia mendapatkan rekaman saat aku kesal tadi, ternyata dia bermain drone yang tak sengaja merekam sang pelaku yang membuat kepalanya terkena kaleng tendanganku. Aku tersenyum seimut mungkin, berharap pria muda itu mau memaafkan kesalahanku.
"Masih mau mengelak?" sindirnya, ingin sekali aku mencekik lehernya, karena sebelumnya tidak ada yang berani menatapku begitu.
"Mana ponsel milik Tante!"
"Heh, aku bukan tante mu." Garang ku, enak sekali dia memanggilku tante. Apa aku setua itu?
"Gak usah banyak bacot, serahin ponsel Tante sekarang juga."
"Eh bocil, kamu gak ada hak sama ponselku, gak usah sok garang." Balasku menatapnya kesal. Aksinya yang terbilang berani, mengambil tas kecil yang aku bawa dan menggeledahnya. Dia tersenyum tipis saat mendapatkan ponselku, privasi yang di obrak-abrik membuatku semakin kesal juga marah padanya.
"Oh, jadi Tante namanya Iren. Apa nih password ponselnya?"
"Gak akan aku kasih passwordnya, mau apa?" ucapku yang menantangnya.
"Galak bener si Tante. Tanggung jawab nih kepala aku benjol gara-gara Tante nih."
"Ya … kan aku gak sengaja bocil, aku kan udah minta maaf."
"Lah … kapan Tante minta maaf? Kok aku gak dengar."
Aku menarik nafas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, mengontrol emosi karena hari ini benar-benar sial. Di tambah lagi pertemuanku dengan si bocil yang sok garang itu, dia mengingatkan aku pada pria yang aku temui di cafe tadi.
"Siniin ponselku!" aku mulai geram karena di permainkan oleh pria muda di hadapanku, memanfaatkan tubuhnya yang tinggi membuatku kesulitan menjangkau benda pipih kesayanganku.
"Masa gini doang gak nyempe sih, Tante. Usaha dong!"
Ucapan pria itu berhasil menyulit emosiku, memang apa salahnya kalau aku pendek? Mengapa dia sepertinya mencelaku, padahal aku tipe ideal, dianya saja yang tinggi seperti tiang listrik.
"Siniin ponselku, gak sopan banget nih bocil." Aku sangat kesal selalu dipermainkan olehnya, beruntung otakku encer di saat darurat. Ya, aku menginjak kakinya dengan sangat kuat dan mengambil kesempatan mengambil ponsel di saat dia lengah.
"Ah, curang nih Tante."
"Biarin." Aku melangkah pergi, namun menoleh saat beberapa detik. "Oh ya, aku bukan Tantemu karena tidak pernah merasa menikah dengan Pamanmu." Aku menatapnya kesal, mencibir bocah itu. "Apa aku setua itu? Sampai dia memanggilku tante." Pikirku. "Semoga aku tidak di pertemukan dengan bocah tengil."
Kepergian Iren membuat kesan pertama di hati pria muda, terlihat dari kedua sudut bibirnya yang di tarik ke atas.
"Menarik, pertemuan kedua kita aku anggap sebagai jodoh." Gumamnya di dalam hati, berlalu pergi meninggalkan tempat itu.
****
Aku yang hendak membuka pintu membuatku terheran saat pintu tidak di kunci. "Eh, perasaan aku mengunci pintu tadi. Apa aku sudah pikun?" monolog ku, timbul kecemasan dan garis halus di pipi membuatku semakin khawatir, tentu saja menolak tua.
Aku masuk ke dalam dengan perlahan, ku edarkan pandangan dan melihat sesosok gadis yang bersantai di sofa sedang menonton televisi. Aku menghela nafas lega, itu berarti aku tidak lupa mengunci pintu. Tapi, seseorang masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuanku.
"Ehem, enak ya … bersantai di rumah orang." Sindirku sengaja berdehem.
Tatapan kami saling bertemu, aku menatapnya datar, sedangkan dia cengengesan membuat wajahnya s-eimut mungkin agar aku tak memarahinya.
"Kak Iren, aku suntuk di rumah. Untuk sementara aku tinggal di sini ya," bujuknya dengan seribu alasan, padahal Biru sudah membawanya ikut pergi bersama ke Paris tapi dia malah menolaknya.
Sekali lagi aku menghela nafas, bisa-bisanya aku mempunyai dua adik yang membuatku kesal. Aku, Biru dan Putih adalah saudara satu ayah, hubungan kami sekarang cukup baik.
"Pulang sana, aku mau sendiri." Usirku ketus, karena tak khayal kalau Putih hanya bisa menghilangkan kedamaian di rumahku.
"Tega ya sama adik sendiri."
"Biarin."
"Oh iya Kak, besok pagi kita ke rumah sakit yuk! Jenguk ayah."
Dua manik matanya berbinar cerah, aku terpaksa mengangguk karena sesungguhnya tak tega menolak. Walaupun aku terlihat keras di luar, tapi hatiku sangat mudah tersentuh.
"Dua hari."
"Apanya yang dua hari Kak?"
Aku menepuk kening karena lupa kalau adik bungsuku itu sangat lambat berpikir. "Dua hari kamu harus pergi dari rumahku, kalau perlu kamu ikut Biru ke Paris."
"Gak ah Kak, aku lebih suka tinggal di sini."
Aku menyerngitkan dahi saat membaca ekspresi Putih yang bersemu merah, aku mengerti kalau ada sesuatu yang diincar olehnya.
"Oho, jadi ada seseorang yang kamu incar ya." Godaku semakin membuat kedua pipinya merah seperti tomat.
"Iya Kak, makanya aku gak mau ke Paris. Mau cari pria Indo aja, lebih top."
"Terserah." Aku memutuskan untuk pergi menuju kamar, membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk sembari bermain ponsel.
Kedua alisku bersatu saat melihat nomor tak di kenal menghubungiku lewat pesan singkat di aplikasi hijau.
["Hai Tante, I miss you."]
"Dasar bocah tengil." Umpat ku kesal.
Aku sangat bosan dengan kehidupanku, di tambah lagi aku harus mengurus usaha keluarga yang ada di Indonesia sementara Biru mengurus usaha keluarga di Paris. Di pagi hari aku bekerja dan di sore hari aku sudah tiba di rumah, aku tidak mempunyai teman karena aku tipe pendiam dan juga jutek, cuek pada keadaan sekitar yang membuatku di jauhkan oleh orang-orang.
Aku mendesis saat membaca pesan singkat yang di kirimkan oleh bocah tengil itu, entah siapa namanya yang berani mengganggu waktu istirahatku.
Aku tak membalas pesannya, ku biarkan ponsel tergeletak di atas ranjang. Aku memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu, tak peduli waktu yang sudah malam.
Aku berendam dengan air hangat, membuat pikiran ku semakin tenang. Aku menghirup nafas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, lilin aromaterapi semakin membuat hatiku semakin tenang.
Aku teringat pada ibuku yang masih di rumah sakit, karena kesalahan dari ayah dan juga istri keduanya membuat ibuku berada di rumah sakit jiwa. Marah? Ya, aku sangat marah pada wanita itu tapi dia sudah tiada, jadi untuk apa aku menyimpan dendam ini. Kesalahan ayahku membuatku trauma menjalin hubungan dengan orang lain, terutama seorang laki-laki. Aku takut di permainkan, takut di khianati, takut akan segala hal yang bahkan belum terjadi.
Setelah tiga puluh menit usai, aku memutuskan untuk selesai dan mengenakan kembali pakaian tidurku. Inilah salah satu caraku selama ini bisa tidur dengan nyenyak, karena saat melihat langsung ayahku membawa seorang wanita hamil dan memperkenalkan sebagai istri barunya saat usiaku masih kecil menimbulkan trauma mendalam, karena dia memintaku untuk memanggil wanita itu dengan sebutan ibu. Anak mana yang rela memanggil wanita lain selain ibunya sebagai seorang ibu? Tidak akan sanggup melakukannya.
Kulihat ponsel yang sedari tadi bergetar, menandakan notifikasi pesan masuk. Aku melihat siapa yang menghubungiku, dan sialnya itu adalah si bocah tengil yang merusak suasana indahku.
Aku menelponnya untuk memberikan peringatan, ini sungguh keterlaluan.
"Halo, tante cantik."
"Eh, bocah. Jam segini masih aja ganggu orang, tidur sana!"
"Apa sih tan, galak amat. Aku kan mau kenalan, tante kan belum tahu namaku."
"Eleh, gak perlu."
"Ya, perlu dong tante. Tante harus tanggung jawab, benjol nih kepala aku."
"Itu sih masalahmu, bukan aku. Udah ahh, jangan ganggu aku!"
"Cie, tante pasti terpesona sama ketampanan aku kan."
"Dih, percaya diri banget kamu."
"Itu buktinya."
"Dih, gak penting."
Baru saja aku menutup ponselnya, si bocah tengil kembali menghubungiku. Aku yang sangat kesal langsung memblokir nomor ponselnya, meladeninya semakin membuatku gila.
Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega, aku mencoba untuk memicingkan mata dan beristirahat dari kelelahan dunia yang dikejar.
Di pagi hari yang indah, aku memutuskan untuk berolahraga terlebih dahulu berkeliling taman dengan cara marathon.
"Pertemuan kedua menandakan kalau kita jodoh."
Ucapan dari seseorang membuatku menoleh ke belakang, melihat seorang pria muda yang tinggi seperti tiang listrik tengah tersenyum ke arahku.
"dasar penguntit." umpat ku kesal, dan memutuskan untuk berlari menghindari bocah itu tapi sialnya dia malah mengikutiku. "Berhenti mengikutiku!"
"Hai, namaku Ariel."
Aku melirik tangannya yang terulur ke depan, senyuman manis di wajahnya menambah suasana. Aku tak menggubrisnya, dan memilih pergi tapi dia tetap mengikuti ku, entah apa yang dia inginkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!