Na... Na... Na...
Na... Na... Na...
Sepulang sekolah usai menerima kelulusan ijazah SMA, Hanum Indira Putri tampak asyik bersenandung ria sambil melompat-lompatkan kakinya dengan gaya bersilang. Tak perduli ada banyak pejalan kaki yang tengah memperhatikan tingkah konyolnya yang sudah seperti anak kecil yang baru saja di beri permen.
Benar saja, Hanum lulus dengan nilai yang sangat memuaskan tapi tujuan utamanya sekarang bukanlah untuk kuliah mengingat tak ada biaya untuk yang satu itu. Tapi Ia sudah minta izin sama Ayahnya kalau dia akan merantau ke Jalarta usai kelulusan sekolah untuk mencari uang yang banyak supaya bisa membangun rumah yang bagus.
Dengan begitu Ayahnya tak perlu lagi bersusah payah untuk nguli serabutan yang pekerjaannya sangatlah berat. Bahkan tubuhnya kurus kering tinggal kulit dan tulang saja. Pasalnya sang Ayah juga harus menghidupi Ibu sambung dan kedua saudara tirinya.
"Alhamdulilah, ya Allah Ayah pasti seneng banget ngeliat nilai ijazahku, besok aku akan pergi ke kota untuk mencari uang yang banyak, biar Ayah bisa istirahat di rumah?" Oceh Hanum seorang diri. Yang berangan-angan kalau merantau itu sangatlah menyenangkan. Pasalnya ada banyak tetangga Hanum yang sukses usai merantau di kota.
Tak lama Ia pun menghentikan langkah kakinya tepat di sebuah gang dimana itu adalah jalur ke sebuah toko tempat Sang Ayah yang setiap harinya bekerja mencari uang.
"Ah, apa aku nemuin Ayah dulu ya? Seharusnya kan Ayah yang tahu duluan tentang ini dari pada Ibu dan Rara?" Tukas Hanum lagi sembari mengamati maf berisi ijazah di tangannya.
Lama menimang-nimang keputusan itu, Hanum pun memilih menemui Ayah Farhan lebih dulu pasalnya toko tempat Ayahnya bekerja itu tak jauh dari tempatnya sekarang.
"Tunggu Hanum, Ayah. Hanum ingin lihat ekpresimu saat melihat hasil nilai ijazah Hanum hari ini!" Dumel Hanum lagi.
Perempuan yang masih memakai seragam SMA itu mempercepat langkah kakinya melewati beberapa perumahan lagi mungkin ada sekitar setengah kilo meter dari tempatnya saat ini agar segera sampai ke tempat yang di tuju.
Wajah ceria itu seketika memudar saat Hanum di kejutkan oleh sesuatu yang membuat matanya merembes begitu saja.
Ia tak menyangka niatnya memberi kejutan untuk sang Ayah malah Ia yang di buat terkejut dengan kejadian tak terduga di depan matanya.
"Ayo, ayo, cepat angkut ke mobil. Kakinya pasti patah ni!" Ucap salah seorang yang ikut menggotong tubuh Ayah Farhan. Entah apa yang baru saja menimpanya hingga Ayah Farhan terluka sangat parah.
Disana ada banyak orang yang berkumpul, tapi Hanum dapat melihat bahwa yang tergeletak sambil merintih kesakitan itu adalah Ayah Farhan yang tak kuasa melihat kakinya terkoyak.
"Ayah...!" Hanum berteriak histeris saat beberapa waktu mematung dalam bingung.
Gadis bertubuh sekitar 165 cm itu langsung berlari ke arah Ayah Farhan yang langsung menoleh ke arahnya.
Hanum sudah seperti kehilangan kewarasan, Ia menabrak beberapa orang yang menghalangi langkahnya untuk menghampiri pria hebat itu.
"Hanum...!" Ucap Sang Ayah, tersedu. Ia merasa sangat bersalah karena mengalami kecelakaan kerja di hari kelulusan sang putri.
Awal mula kejadian rupanya Ayah Farhan sedang sibuk mengangkut beberapa barang elektronik yang di beli oleh pelanggan toko tersebut. Tapi mobilnya terparkir di seberang jalan. Pada saat Ayah Farhan mengangkut kardus yang berisi mesin cuci. Besarnya kardus telah menghalangi sebelah pandangan Ayah Farhan hingga Beliau tak menyadari ada sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi.
Sepertinya pengendara di sinyalir mabuk atau ngantuk berat. Sehingga tidak fokus. Si penabrak juga terluka sangat parah. Orang lain berpikir kalau si pelaku tidak mungkin bisa di selamatkan lagi.
"AstaufiruLLah, Ayah kenapa jadi begini, Ayah?"
Hanum ngeri melihat darahnya yang berceceran di tengah jalan. Entah apa yang akan terjadi dengan kaki Ayah Farhan.
"Sebaiknya kita langsung bawa saja kerumah sakit, Hanum. Cepat kamu telpon Ibumu agar menyedikan surat keterangan dari kelurahan dan meminta surat rujukan dari puskesmas agar Ayahmu mendapat penangan dengan cepat!" Ucap Pemilik toko. Pasalnya tidak ada kartu keselamatan kerja dari tempatnya itu mengingat toko miliknya tidaklah terlalu besar. Karyawannya saja hanya ada beberapa biji. Tapi pemilik toko akan berusaha membantu sebisanya untuk meringankan biaya pengobatan Ayah Farhan.
"Tidak usah, Pak. Tolong bawa saja saya ke orang pintar. Agar di lakukan sangkal putung. Sebab keterangan miskin tidak akan terlalu bermanfaat untuk hal itu. Biaya yang di keluarkan juga pasti akan sangat besar untuk menebus obat dan lain hal sebagainya," mohon Ayah Farhan.
"Tapi Yah, luka ini sangat parah. Apa Ayah yakin akan melakukan tindakan itu?" Tanya Hanum, meyakinkan. Sambil menyeka buliran bening yang mengalir di kedua pipi tembennya.
Ayah Farhan mengangguk dan berusaha untuk tetap tersenyum di depan Hanum. Ia tidak ingin kejadian itu kelak akan menyulitkan keluarganya. Apa lagi Hanum. Ia sangat menyayangi putri satu-satunya itu hadiah terahir dari mendiang istrinya Bening. Wanita yang sudah lima tahun sangat setia menemaninya.
"Iya Nak, ini adalah yang terbaik!"
Tak bisa memaksa keinginan Ayah Farhan, pemilik toko dan beberapa bepekerja pun langsung membopong Ayah Farhan ke dalam bak mobil. Mereka akan membawa Beliau ke ahli tukang pijat yang tak jauh tempatnya dari toko di tepi jalan itu.
Setibanya disana, Hanum tak bisa membendung air matanya. Hatinya perih saat melihat Ayah Farhan menjerit-jerit ketika orang pintar itu melakukan pemijatan di area yang terluka sambil menarik-nariknya sedikit lalu membubuhi dedaunan pada kaki Ayah Farhan dan mengikatnya dengan kain kering. Entah daun apa itu, tapi yang pasti luka di kaki Ayah Farhan memang cukup serius. Jadi wajar saja kalau Ayah Farhan meraung ketika kakinya di sentuh oleh orang pintar itu.
"Bagaimana dengan kaki Ayah saya, Pak?" Tanya Hanum pada Pak Mudir. Seorang tabib ahli tulang dan saraf. Beliau juga bisa mengobati berbagai macam jenis penyakit tapi sekali terapi orang yang datang kesana harus memberi aplop berisi uang yang sudah di terapkan yaitu sekitar seratus lima puluh ribu. Sedangkan gajih Ayah Farhan saat nguli hanya delapan puluh ribu perhari. Untuk makan saja masih sangat kurang. Apalagi beberapa hari yang lalu Ayah Farhan baru saja selesai membayar biaya sekolah ketiga Anak-anaknya dan juga membayar kasbon warung, jadi Ayah Farhan tak punya pegangan lagi sekarang dan baru mulai bekerja lagi hari ini.
"Lukanya cukup serius, Neng. sebagian tulangnya hancur jadi tak cukup sekali dua kali untuk menjalani terapi. Butuh waktu lama sampai tulang-belulang yang hancur bisa menyatu lagi. Jadi untuk saat ini, Saya sarankan Pak Farhan istirahat dulu di rumah sampai kakinya pulih kembali!"
Hanum menganggukkan kepala, Ia sangat berterima kasih pada pemilik toko saat Beliau menyerahkan amplop pada Pak Mudir. karena hari ini beliau lah yang ikhlas membayar biayanya.
"Terima kasih ya, Pak. Sudah mau membantu biaya Ayah."
"Sama-sama, Num. Untuk tiga kali terapi biar saya yang membayarnya tapi mohon maaf untuk selanjutnya Hanum harus cari uang sendiri ya. Hanum tahu sendirikan? Tokok Bapak masih belum lama ini merintis. Jadi pendapatannya belum stabil sebab masih memakai modal pokoknya!"
"Iya Pak, saya paham. Bapak sudah mau perduli dengan Ayah Farhan itu sudah sangat cukup untuk Hanum!"
Usai berbincang-bincang singkat, Pemilik toko pun mengantarkan Ayah Farhan dan Hanum pulang kerumah tapi seperti biasa, kedatangan keduanya langsung di sambut makian oleh Ibu Lusy.
"Ya ampun, Ayah. Ada apa ini? Kok kakinya sampai begitu? Ini pasti ulah kamu ya Hanum?Gak hati-hati ngejaga Ayah?" Tuduh Bu Lusy dengan tatapan begitu sinis.
"Bukan, Bu. Ini bukan salah Hanum," ucap Ayah membela.
"Iya Bu, Pak Farhan tertabrak mobil tadi pas kerja. Ya udah ayo kita angkat ke dalem sekarang biar Pak Farhan istirahat!" Ajak pemilik toko pada teman-teman yang lain.
Mereka pun bersusah payah untuk menggendong Pak Farham turun dari bak mobil dan membawanya kedalam rumah di mana Bu Lusy segera menggelar tikar dan lamat untuk Pak Farhan berisirahat.
"Ya udah kalau begitu kami permisi, Bu. Untuk tiga hari kedepan sayalah yang akan menanggung biaya terapi Pak Farhan, Tetapi untuk selanjutnya saya sudah tidak sanggup!" Tukas pemilik toko tempat Pak Farhan bekerja itu.
Bu Lusy hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Ia menatap kesal pada Pak Farhan karena sudah di pastikan hidup mereka akan sangat kesulitan mulai sekarang. Pasalnya tak ada lagi yang akan mencarikan nafkah untuk mereka.
Tanpa mendapat jawaban dari Bu Lusy, Pemilik toko dan para pekerjanya tadi beralih berpamitan dengan Pak Farhan yang menyambut jabatan tangan mereka dengan sangat ramah.
"Cepat sembuh ya, Pak. Biar kita bisa kerja sama-sama lagi?"
"Iya Pak, InsyaAllah."
Usai beberapa teman Pak Farhan pergi sebuah nada dering terdengar nyaring dari dalam tas gendong milik Hanum.
Truling! Truling!
Hanum segera memeriksa dan rupanya Devi lah yang menelpon.
"Iya Dev...!"
Hanum, besok kamu jadi ikut kan buat merantau ke kota? Mulai sekarang cepat kemasin barangmu. Pagi-pagi sekali mobil travel akan datang menjemput kita....
"Tapi Dev_?"
Sambungan terputus karena temannya itu sudah mematikan ponselnya lebih dulu.
"Kenapa?" Jengah Bu Lusy pada Hanum, "Itu pasti teman kamu yang mau ngajak ke kota itu ya?" Sambungnya lagi masih dengan tatapan begitu buruk.
"Iya Bu, rencananya besok kami akan ke kota. Tapi aku tidak tega ninggalin Ayah yang sedang sakit!" Hanum jadi tak sanggup menahan air matanya yang sejak tadi ingin segera tumpah.
"Sudah jangan khawatirkan, Ayah. Biar itu menjadi urusan Ibu. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus cari uang. Kalau gak nanti gimana ngobatin kaki Ayahmu. Kamu mau Ayah gak bisa jalan lagi seumur hidupnya?"
"Tentu saja enggak, Bu. Hanum sangat sayang sama Ayah. Jadi Hanum gak mungkin tega ngebiarin Ayah sakit!"
"Ya udah kalau gitu pergi saja Hanum, biar aku yang cari uang dari hasil jadi pelayan baju di toko untuk berobat Ayah, tapi kamu janji ya. Saat kamu gajian nanti. Kamu harus mengganti semua uang aku!" Sahut saudara tirinya yang setahun lebih tua dari Hanum itu.
Marsya sudah lulus sekolah lebih dulu dan nekat menjadi pelayan toko di salah satu ruko. Tapi hasil uangnya tak pernah Marsya berikan pada Bu Lusy. Ia hanya akan membeli barang-barang untuk mempercantik diri saja. Pasalnya Marsya menyukai salah seorang lelaki yang saat ini sedang naksir berat dengan Hanum. Tapi karena Hanum masih malu-malu dan juga belum kepikiran untuk pacaran. Hanum tak pernah meladeni Dodi dengan serius.
Hanum pun menoleh kearah sang Ayah yang hanya diam saja dalam kebisuan. Sepertinya sang Ayah pun keberatan jika Hamun ikan pergi jauh dari sisinya.
"Ayah...!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!