"Apa kau tidak bisa seperti Juwita. Dia juga bekerja, tapi lihatlah dia masih bisa menjaga penampilannya." Keluh Rudy kala itu. Membuat Sakura terdiam, harus berkata apa lagi. Kalimat itu justru keluar dari mulut Rudy, suaminya.
Padahal dulu Rudy yang meminta agar dia menjadi ibu rumah tangga yang bersahaja. Rudy bahkan melarang Sakura mengenal salon kecantikan dan kawan kawannya.
Siapa sangka ucapan lelaki itu berubah setelah sekian tahun.
"Belajarlah dari Juwita, dia wanita serba bisa." ucap Rudy di lain waktu. Pujian pujian itu membuat hati Sakura ngilu.
Bukan hanya itu, sekarang Rudy menempel pada Juwita setiap waktu. Dia lebih nyaman menghabiskan hari harinya bersama Juwita dari pada Sakura istrinya.
Rudy berparas tampan dan memiliki kedudukan yang lumayan di perusahaan ternama di kota A ini. Bukan hanya Juwita, banyak wanita mengincar lelaki setengah tua ini. Tapi Juwita yang paling mengkhawatirkan Sakura.
Sakura, wanita berparas cantik ini bukan keturunan jepang. Apa lagi korea. Dia asli pribumi. Dia juga bukan gadis belia sesegar bunga Sakura.
Tahun ini usianya genap tiga puluh delapan tahun. Walau begitu wajahnya masih kelihatan awet muda. Hanya saja tidak terawat, seperti tubuhnya yang sedikit bengkak karena timbunan lemak.
Menikah dan memiliki anak saat masih kuliah. Membuat Sakura tak memiliki ruang pertemanan yang luas. Itu juga yang membentuk Sakura jadi wanita rumahan.
Isah, begitu orang memangilnya. Panggilan yang begitu jauh dari nama aslinya. Itu karena saat kecil dia tak mau dipanggil Saku, apalagi Kura. Isah adalah nama yang lagi trend saat itu. Nama salah satu tokoh utama di film anak anak. Lantas Sakura meminta keluarnya memanggilnya dengan nama itu.
Penampilannya yang seperti ini, membuat Rudy suaminya dan putrinya atau anak keduanya sering membanding-bandingkan dia dengan Juwita teman baik Rudy.
Juwita seumuran dengan Sakura. Tetapi karena dia pekerja kantoran. Dia terlihat lebih muda dan energik. Selain teman sekantor, Juwita juga teman masa kecil mas Rudy.
Awal awal Sakura tak merasa terbebani oleh kelakuan suami dan anaknya. Tapi semakin kesini, sikap itu membuatnya sakit hati.
"Ma, boleh gak nanti tante Juwita mewakilin mama ambil raport Diva?" tanya Diva suatu malam. Saat sedang makan malam. Membuat Sakura tertegun.
Raja anak pertama Sakura yang berada tepat di depan Diva langsung melotot kearahnya. "Ada mama kenapa harus tante Juwita?" tanya Raja dengan ekspresi dingin.
Diva mencebik tak senang, dia sudah menduga Raja akan protes.
"Mama pasti sibuk ngurusin rumah. Jadi pasti gak apa apa kalau di mewakilin tante Juwita. Iya kan ma." Desak Diva.
"Jangan yang aneh aneh. Mama yang akan ambil rapor kamu, bukan tante Juwita." tegas remaja delapan belas tahun itu dengan wajah dingin. Sebelum Sakura buka suara.
"Sudah-sudah, apa salahnya meminta tante Juwita datang ke sekolah Diva. Diva hanya ingin pamer seperti anak lain. Bahwa dia juga memiliki orang yang bisa dibanggakan seperti tante Juwita." sela Rudy menengahi.
Kalimat Rudy membuat Raja beralih menatap Rudy dengan tatapan tajam. Walau sikapnya selalu dingin. Tapi sesungguhnya dia sangat peka. Dia tau kalimat ayahnya menyakiti hati Sakura. Sakura tak ingin membuat debat ini semakin panjang. Dia mengangguk pelan pada putranya sambil tersenyum, mengamini ucapan Rudy.
Sudah sering hal seperti ini terjadi. Belakangan tugas Sakura sudah mulai di ambil alih oleh Juwita. Rudy bahkan menghadiri undangan dari koleganya bersama Juwita.
Sikap Rudy ini tentu saja membuat hati Sakura sakit. Bukan salahnya bila tubuhnya tak terawat. Rumah sebesar ini hanya punya satu pembantu, yang bertugas membersihkan rumah. Sedang mencuci dan memasak semua di kerjakan Sakura seorang diri.
Sakura menatap tubuhnya pada pantulan cermin. Tubuhnya sedikit berlemak, jelas bukan bentuk tubuh yang ideal. Sakura menghela nafas kasar. Dia beralih menatap benda pipih di atas nakas yang terdengar berdering nyaring.
"Halo Bianca."
"Datang ke studio ku, pelatih yang kau kagumi mengadakan kelas selama tiga bulan di studio ku. Aku sudah mendaftarkan mu untuk mengikuti kelasnya."
"Hey kenapa tidak tanya dulu!"
"Hhhh! Sudah saatnya kau keluar dari sarang. Aku lihat mata suamimu mulai beralih pandang." keluh Bianca. Sakura pikir hanya dia yang berpikir begitu.
Bianca adalah sahabat Sakura sejak SMP, Dia masih melajang hingga sekarang. Padahal beberapa bisnis yang dia jalankan berkembang pesat. Menjadikannya wanita mapan secara financial. Mungkin karena patah hati saat kuliah dulu, membuat Bianca trauma.
"Baiklah, kapan kelas Alex di mulai?"
"Dua hari lagi."
"Oke aku akan ikut."
Mungkin ini saatnya dia merubah, mengalihkan kembali perhatian Rudy. Sebenarnya dia pria yang baik dan pengertian.
Karna kebaikannya, Sakura jatuh cinta padanya. Rudy bahkan jadi menantu favorit di keluarganya. Tidak tau mengapa akhir-akhir ini hubungan mereka terasa hambar. Mungkin memang seperti itu hubungan suami isteri setelah sekian lama. Entahlah....
Tumben mas Rudy pulang cepat hari ini. Jam lima sore dia sudah sampai di rumah. Begitu pulang dia langsung masuk kamar membersihkan diri.
"Isah, tolong siapkan bajuku. Aku akan pergi ke perjamuan makan malam temannya Juwita." Pinta Rudy sebelum masuk kamar mandi.
Hhhhh! Lagi....!
Dengan patuh Sakura menyiapkan baju untuk suaminya. Kemeja hitam dengan celana berwarna senada dia letakkan di atas tempat tidur.
Sambil duduk di tepi ranjang, Sakura menanti Rudy keluar dari kamar mandi.Tak berapa lama tampak Rudy keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk.
Tubuhnya yang kekar terlihat segar. Sakura menelan ludahnya kasar. Sudah setua ini, tapi tetap saja jantungnya berdegup kencang saat melihat Rudy bertelan jang dada. Tapi seperti biasa, Rudy memasang sikap acuh tak acuh.
Mungkin Rudy benar-benar sudah mati rasa padanya, bahkan saat dia tak memakai sehelai benang pun. Rudy tak merespon. Kadang ini membuatnya malu, karena hanya dia yang masih begitu bergai rah sementara suaminya merasa sebaliknya.
Rudy sudah selesai dengan stelan hitam hitamnya. Terlihat sangat tampan. Kulitnya yang kuning, terlihat berkilau dengan warna hitam.
"Kali ini kemana lagi. Sepertinya akan jauh." Tebak Sakura.
Rudy yang tengah menggulung lengan kemejanya. Beralih menatap Sakura.
"Ada apa? Apa kau ada acara juga?" Tanya Rudy. Sabab biasanya Sakura tidak berkomentar seperti itu.
"Aku ada undangan nanti malam, temanku memintaku membawa m mas." jelas Sakura.
"Bukannya kau biasanya pergi sendiri?"
"Benar. Tapi sesekali aku juga ingin pergi dengan mas."
Rudy menatap Sakura sesaat lalu beranjak keluar dari kamar.
"Hhh! Lain kali saja kalau aku ada waktu." ucapnya sembari berlalu.
Sakura tak menyahut, dia tak benar benar dapat undangan. Dia hanya ingin memastikan dugaannya. Tentang Rudy yang lebih memilih kepentingan Juwita dari pada dirinya.
Dia percaya mereka hanya teman. Tapi kenapa hatinya sakit sekali. Kini air matanya bahkan menetes deras membasahi pipi.
Dia tidak menyalahkan Rudy, ini salahnya. Lihatlah dirinya saat ini, penampilannya seperti pembantu rumah tangga. Bahkan kadang bajunya menyamai baju bik Ijah.
Mungkin benar ucapan Bianca. Suami bukan hanya butuh istri hemat, tapi dia juga butuh istri sehat untuk matanya.
"Lihat gayamu? Kau membuat Rudy sakit mata!" umpat Bianca waktu itu. Saat mereka menghadiri acara lamaran adik mas Rudy. Penampilan Juwita kala itu membuat Bianca naik darah.
Juwita tampil memukau dan terus menempel pada Rudy sampai akhir acara. Walau akhirnya Rudy di ceramahi ibunya karena terllalu dekat dengan Juwita.
Sakura membuka laci kecil di balik lemari bajunya. Mengeluarkan dua buah kartu yang selama ini dia simpan rapih.
Ada banyak angka tersimpan di kedua kartu itu. Hasil dari berhemat selama sekian tahun.
Apa tidak apa-apa kalau di gunakan sedikit untuk merubah penampilannya?
Bersambung
Rudy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di sampingnya tampak Juwita duduk dengan anggun.
Rudy memang sangat mengagumi sosok sahabatnya ini. Dia ibu rumah tangga yang tangguh. Walau sibuk bekerja, namun dia mampu melakukan semuanya dengan baik.
Lihatlah penampilannya, masih sangat menarik. Siapa saja pasti bergetar hatinya saat merasakan pesonanya. Tidak seperti Sakura, yang tidak pandai merawat diri.
Rudy melirik wanita di sampingnya sekilas. Wanita yang tak mendapat perhatian suaminya ini tersenyum lembut ke arahnya. Rudy tak habis pikir, kenapa wanita sesempurna ini tidak mendapat perhatian dari suaminya. Benar benar lelaki bodoh.
Mungkin suami Juwita merasa terbebani karena cuma pegawai rendahan. Sementara Juwita menjabat sebagai kepala bagian di sebuah perusahaan ternama di kota A ini. Itu yang di pikirkan Rudy.
"Isah gak marah, aku minta tolong kamu lagi?" tanya Juwita dengan suara lembutnya.
Rudy menoleh sekilas lalu menggeleng. "Cuma protes dikit, karena ternyata dia juga ada undangan."
Juwita menatap Rudy dengan ekspresi kaget. "Loh! Harusnya kamu gak pergi dengan aku Rud." protes Juwita.
"Kenapa?"
"Kok kenapa sih. Kasian tau dia pergi sendiri."
"Dia sudah biasa, lagian aku juga gak tega liat kamu pergi sendiri. Mana tempatnya jauh lagi."
"Tapi kan aku jadi gak enak sama Isah."
"Isah pasti ngerti. Lagian aku risih dengan tatapan orang karena penampilannya. Sudahlah jangan bahas Isah." ucap Rudy sedikit jengkel.
Juwita menatap pria tampan di sampingnya dengan senyum simpul.
Mobil Rudy berhenti di halaman parkir sebuah hotel di kota B. Di sini di gelar resepsi pernikahan teman Juwita. Menurut Juwita yang menikah ini adalah teman kuliahnya saat di luar negeri dulu. Tentu saja Rudy tidak kenal dengan mereka sama sekali.
Rudy keluar dari mobil duluan, lalu bergegas kesamping. Kemudian membukakan pintu untuk Juwita. Wanita berlesung pipit itu terlihat sumringah.
Sesampainya di dalam, beberapa orang yang mengenali Juwita datang untuk menyapa.
Dilihat dari dekorasi ballroom hotel ini, juga tamu tamu yang datang. Teman Juwita ini pastilah orang penting.
"Ini suami kamu?" tanya salah seorang teman Juwita. Sembari menyorot kagum sosok Rudy.
Juwita menatap Rudy sekilas, lalu beralih pada temannya sambil tersenyum.
"Aduh gantengnya." puji teman Juwita. Dia meyakini Rudy adalah suami Juwita. Dari sikap yang di tunjukkan Juwita barusan, siapa pun akan berpikir begitu.
"Kamu gak marah kan?" tanya Juwita, begitu mereka memisahkan diri dari temannya.
"Marah? Kenapa marah?"
"Iya, temanku tadi nyangkanya kamu suamiku." ucap Juwita, dengan memasang wajah bersalah. Rudy tersenyum.
"Ohh itu, santai aja." sahut Rudy. Pikir Rudy tidak masalah, toh mereka tak saling kenal.
Mereka tak lama berada di sana. Hanya setengah jam, lalu Juwita mengajak Rudy pulang. Tapi mereka tak langsung pulang, Juwita membawa Rudy ke apartemen nya untuk beristirahat sejenak.
"Kamu gak masuk?" tanya Juwita, saat melihat Rudy hanya berdiri di depan pintu dengan tampang ragu.
"Apa tidak apa-apa, bagaimana kalau suamimu tau. Dia bisa salah paham."
Juwita tersenyum, memperlihatkan dua lesung pipinya. "Dia tidak tau aku punya apartemen di kota ini. Lagian salah paham kenapa. Kita cuma istirahat sebentar." sahutnya. Kemudian menarik pergelangan tangan Rudy masuk kedalam apartemen.
Rudy duduk di ruang tamu, sementara Juwita di kamar. Membersihkan diri katanya.
Tak berapa lama Juwita keluar dengan sudah berganti baju. Dia berganti dengan gaun yang sedikit santai. Tapi terlihat sangat seksi.
"Mau kopi? Biar gak ngantuk di jalan nanti." tawar Juwita. Sosoknya yang tinggi semampai berdiri tepat di depan Rudy. Membuat aroma tubuhnya yang meruar tercium sangat jelas.
"Boleh." sahutnya sambil memalingkan muka, dengan perasaan gugup. Berdua di tempat yang sangat pribadi seperti ini, baru pertama kali mereka lakukan. Membuat jantung Rudy berdegup kencang.
"Sebentar aku buatin." Juwita beranjak ke dapur di ikuti oleh pandangan Rudy.
Rudy menyugar rambutnya, kasar. Kenapa bisa jantungnya berdegup begitu kencang. Ada desiran halus tadi saat mata mereka beradu pandang. Tidak, ini tidak benar. Mereka murni cuma sahabat, tidak ada perasaan lain selain itu.
"Mas tuh ya, lama lama bisa selingkuh dengan Juwita. Soalnya aku lihat hubungan kalian dekat banget."
Begitu ucap Sakura waktu itu, tapi Rudy langsung membantah dengan perasaan marah. Dia tidak suka di tuduh macam macam oleh istrinya. Dia tidak mungkin melakukan hal rendah seperti itu.
Lalu bagaimana dengan perasaannya tadi...
"Ini mas." Juwita meletakkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Kemudian duduk di sebelah Rudy.
"Terimakasih." Sahut Rudy, lalu menyesap kopinya beberapa kali. Kemudian netranya yang hitam memindai wajah ayu Juwita.
"Abis minum kopi mau langsung pulang atau tidur dulu sejenak." tawar Juwita.
Rudy terdiam mendengar kalimat Juwita. Pikiran yang melintas di benaknya tadi membuatnya tak nyaman.
"Lebih baik langsung pulang. Aku besok ada rapat jam sembilan." sahut Rudy. Karena gelisah sikapnya jadi sedikit kaku.
Juwita mengerutkan alisnya menatap Rudy. Tidak seperti biasanya, sikap Rudy ketakutan. Bukankah biasa sikapnya sangat santai.
"Ada apa? Kau terlihat gelisah." Tanya Juwita. Jemarinya yang halus menyentuh paha Rudy.
Rudy terlihat kaget, Tìba tiba ada perasaan aneh menjalari tubuhnya. Tubuhnya bak di sengat aliran listrik. Aroma tubuh Juwita yang menggoda, di tambah sentuhan tangannya yang hangat. Membuat Rudy hanyut oleh perasaannya. Dia tak lagi ingat keresahannya. Yang dia tau, Juwita begitu menggoda hasratnya.
Dengan mata penuh hasrat dia menatap Juwita, dia benar benar lupa pada Sakura.
❣❣❣❣❣❣
Sakura menata sarapan pagi buatannya di atas meja. Tak berapa lama Raja dan Diva tampak keluar dari kamar masing masing dengan seragam sekolah.
Raja langsung duduk dan mengambil jatah sarapannya. Sedang Diva, celinguan mencari sosok papanya.
"Papa mana ma?"
"Keluar kota, mungkin urusannya belum kelar makanya gak pulang." Sahut Juwita tanpa beralih pandang.
"Ooo." ucap Diva.
Sementara Raja langsung menghentikan makannya. Dengan sorot matanya yang tajam dia menatap Sakura.
"Papa pergi bukan untuk urusan bisnis. Mama tau itu bukan? Kalau nanti papa pulang, tanya dengan tegas. Ini sudah keterlaluan. Dia menganggap mama seperti batu, karena mama diam saja." Ujar Raja dengan ekspresi marah. Dia beranjak bangkit lalu menghampiri Sakura untuk mencium tangan mamanya sebelum pergi. Sakura tertegun menatap punggung Raja yang sudah menjauh.
Sementara Diva kalang kabut, dia baru sekali menyuap sarapannya.
"Kak tunggu!" Serunya. Dia buru-buru meraih tangan Sakura menyiumnya dengan tergesa. Lalu bergegas menyusul Raja.
"Kak! Apa maksud perkataan mu tadi pada mama?" tanya Diva begitu dia menyusul langkah Raja. Wajahnya menengadah menatap Raja. Sementara kaki mungilnya berusaha mensejajari langkah kaki Raja.
"Kau memang tidak tau, kalau ular betina itu mengincar papa?" tanya Raja tanpa menghentikan langkahnya.
"Kak! Kakak kok jahat banget sih nuduh tante Juwita kayak gitu. Dia itu udah seperti adik buat papa!"
"Adik pala lu!"
"Kak kok kasar sih ngomongnya!"
Raja yang sudah menyentuh handle pintu tampak berhenti. Dia merogoh saku jaketnya mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu, lalu uang itu dia lemparkan ke Diva.
"Apaan sih..!" rajuk Diva, begitu uang jatuh menyentuh tubuhnya.
"Ambil, hari ini kau naik taksi. Diva kau harus tau, aku menyayangi mama melebihi diriku sendiri. Kalau sikap kalian masih seperti ini pada mama. Maka aku adalah musuh kalian."
"Kalian? Hey, siapa yang kakak maksud kalian?!"
"Bukankah kau dan papa satu tim. Selamat sebentar lagi kau punya ibu tiri." cibir Raja dengan senyum sarkas.
Dia masuk ke mobilnya lalu pergi tanpa membawa Diva.
"Kakak...!!!"
Bersambung
Sakura menatap kosong pantulan dirinya di cermin. Ucapan Raja pada Diva, terngiang di telinganya. Dia ingin mempercayai bahwa tidak akan terjadi apapun di antara mereka. Tapi hatinya menyangkal.
Kenyataan bahwa mereka pergi bukan karena pekerjaan, ditambah lagi tidak pulang dan tak bisa di hubungi. Membuat asumsinya berkembang kemana-mana.
Hatinya rasanya nyeri, dia bahkan tidak tidur sepanjang malam. Semenjak suaminya dekat dengan Juwita, hatinya selalu was-was. Perasaan itu semakin bertambah parah, karena kejadian malam tadi.
Apa lagi Sakura dapat melihat tatapan Juwita yang begitu menginginkan Rudy.
Dia benar benar akan kehilangan Rudy, kalau dia masih saja diam.
Sakura menghela nafas kasar lalu beranjak keluar kamar. Menemui tukang kebun mereka. Pagi ini tukang kebun membawa pembantu baru, yang akan di pekerjakan di rumah mulai hari ini.
Setelah memberi pengarahan pada pembantu barunya. Sakura bersiap keluar rumah.
Tidak seperti biasa, kali ini dia tampil cantik. Dengan mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki. Juga sedikit memoles wajahnya dengan kemampuan berdandan saat kuliah dulu. Dia menjelma menjadi orang yang berbeda.
Dia juga pergi dengan mengendarai mobil sendiri. Padahal sudah lama dia tidak memegang setir. Selama ini dia lebih senang naik taksi ketimbang naik mobil sendiri.
Sakura memarkirkan mobilnya di basement sebuah mall. Dia ada janji dengan Bianca di mall ini.
Sebagaian gedung mall belum buka, hanya tempat fitness saja yang sudah buka.
Saat Sakura keluar dari mobil, Bianca langsung menghampiri Sakura.
"Suamimu tidak pulang?! Dasar breng sek!" cecarnya tanpa basa basi. Sorot matanya penuh kemarahan.
"Memang breng sek." gumam Sakura sembari menghela nafas.
"Aku sudah bilang padamu, ada yang tidak beres dengan penyihir itu. Kau lihat kan," omel Bianca lagi.
Sakura mende sah berat. Bukan dia tidak berpikir kearah itu. Tapi Rudy selalu berkilah dan salahnya juga tak bisa bersikkap tegas.
"Aku akan membuat Rudy menyesal mengabaikan mu." geram Bianca.
Mendengar itu Sakura tersenyum simpul. Itu juga yang akan dia lakukan, makanya dia datang kesini menemui Bianca.
"Ayo ikut aku." ucap wanita bertubuh sintal itu, lalu melangkah masuk ke dalam mall di ikuti oleh Sakura.
Sakura menutupi dadanya yang besar dengan kedua tangannya.
"Aku gak mau pakai ini." ujarnya bernada protes.
Bianca memaksanya memakai baju olah raga pas body. Dia tidak masalah kalau lemak di tubuhnya terlihat jelas. Dengan melihat itu, usahanya membentuk tubuhnya menjadi ideal akan semakin terpacu. Tapi masalahnya dua benda kenyal di tubuhnya ikut terekspos. Tentu saja dia risih. Apa lagi dia memiliki dada yang lumayan montok.
"Gak mau apanya?! Mulai sekarang kau harus terbiasa. Kau tidak tau kenapa suamimu terus saja menempel pada nenek sihir itu. Itu karena dia selalu memamerkan belahan dadanya." Ujar Bianca berapi api.
Benar juga, wanita itu selalau datang kerumah nya memakai baju dengan belahan dada terbuka. Memikirkan hal itu membuat hati Sakura memanas.
Baiklah Rudy, kau harus lihat. Mana yang lebih indah. Punyaku atau punya selingkuhan mu!
"Baiklah, aku pakai ini. Ayo kita temui instruktur yang akan membimbing ku." ucapnya penuh semangat.
Bianca terkekeh senang. Dia tak sabar merubah Sakura jadi seperti yang Rudy impikan.
❣❣❣❣❣
Rudy menggeliat pelan. Tubuhnya terasa berat, sebab ada sosok lembut dan hangat sedang bergelayut manja di sisinya.
Dalam setengah kesadarannya, Rudy mengedarkan pandangannya. Memindai setiap sudut ruang kamar yang tampak asing.
Dia di mana? Lalu siapa sosok hangat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh telan jangnya.
Dengan perasaan tak menentu dan jantung berdebar. Rudy perlahan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan...
ASTAGA...!
Rudy mematung, pergulatan panasnya dengan Juwita tadi malam ternyata bukan mimpi?! Kenapa bisa begini, dia tidak mungkin mabuk dan lupa segalanya hanya karena segelas kopi.
Mendadak Rudy di serang panik. Bagaimana bisa dia melakukan hal kotor ini bersama Juwita.
Sial!! Benar benar sial!
Perlahan Rudy melepas tubuh mulus Juwita. Kalau tidak sedang kalut, mungkin dia bisa kembali terang sang melihat pose Juwita. Tapi dia sangat kalut sekarang.
Rudy beranjak dari ranjang dengan gerakan perlahan.
Bergegas dia memunguti dalaman dan celana panjangnya. Lalu tergesa memakainya.
Sambil mengancingkan bajunya dia melihat jam di nakas. Sudah pukul sembilan pagi.
Mampus!
Dia belum memberi kabar pada Sakura sedari malam.
"Rudy.." suara lirih Juwita mengejutkan Rudy. Dengan cepat dia menoleh pada Juwita yang masih berbaring di balik selimut. Perlahan terdengar isak tangis Juwita di balik selimut. Membuat Rudy semakin bertambah panik.
"Juwita, pakai baju mu. Kita harus bicara. Aku tunggu di luar." ucap Rudy kemudian beranjak pergi meninggalkan kamar.
Rudy menunggu di ruang tamu dengan gelisah. Kenapa Juwita menangis. Kejadian ini bukan cuma salahnya. Andai Juwita menolak sentuhannya hal hina ini tidak akan terjadi. Lagi pula Rudy seperti tak sadar melakukannya seperti di dalam mimpi.
Rudy menatap intens ke Juwita yang sedang berjalan ke arahnya. Matanya sembab karena menangis.
"Maaf, aku tidak tau kenapa aku sama sekali tak bisa mengendalikan hasrat ku. Perasaan itu tiba tiba saja datang. Lalu kejadian ini terjadi.Aku benar benar minta maaf. Sumpah aku tidak pernah berpikir melakukan hal kotor ini pada mu." ujar Rudy, masih dengan tatapan intensnya.
Juwita yang sedari tadi hanya tertunduk. Perlahan mengangkat wajahnya, menatap Rudy dengan ekspresi kecewa. Entah apa yang dipikirkan Juwita saat ini. Rudy tak begitu memikirkannya. Yang ada dalam pikirannya saat ini, bagaimana dia mengahadapi Sakura nanti.
"Kau tidak berpikir untuk menganggap tak terjadi apa apa buka?" Tanya Juwita, dia terlihat kesal melihat Rudy tak focus padanya.
Rudy terdiam, dia benar-benar berpikir begitu tadi.
"Juwita, memang itu yang harus kita lakukan. Kau punya Hasan, sedang aku punya Sakura." sahut Rudy hati hati.
"Iya kau benar." sahut Juwita sembari tersenyum kecut.
"Bersiaplah, kita harus pulang. Aku akan memesan taksi untuk mu. Sebaiknya kita pulang sendiri sendiri saja. Biar Sakura dan Hasan tidak curiga." ucap Rudy sembari memijit kepalanya yang terasa sakit. Saat menyebut nama Sakura, dadanya terasa nyeri.
"Tidak usah, biar aku pesan sendiri saja. Kau duluan saja, aku akan keluar sebentar lagi."
"Baiklah, kau hati hati ya. Nanti kalau sudah sampai aku kabari."
"Iya."
Juwita menatap kepergian Rudy dengan perasaan kecewa. Bisa bisanya dia bersikap begitu setelah pergulatan panas mereka tadi malam.
Begitu keluar apartemen. Rudy Langsung menghubungi Sakura.
Sudah panggilan ke lima, dia lakukan dari depan apartemen sampai ke basement. Tapi tak di diangkat Sakura. Kemana dia? Tak biasanya dia mengabaikan panggilan dari Rudy. Semarah apapun Sakura dia tidak akan berani mengabaikan suaminya. Rudy berdecak kesal saat panggilannya kembali di abaikan.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!