Jum'at 20 Juni 2014, Jakarta Selatan.
"Alex!"
Seorang gadis kecil berseragam merah putih tampak berlari menghampiri anak laki-laki seusianya. Gadis tersebut dan anak laki-laki berambut kecoklatan itu bernama Alexandra dan Alexander Wijaya, putra-putri dari pasangan Sofyan dan Athifa Wijaya. Sang ayah adalah seorang hakim di pengadilan umum, sementara sang ibu hanya ibu rumah tangga. Mereka kembar berselisih lima menit, Alexa lahir setelah Alex keluar dari rahim sang ibu.
"Alex, ayo! Kita ke lapangan, sebentar lagi upacara udah dimulai!" ucap Alexa. Ia menarik-narik tangan saudara kembarnya.
Alex tak menggubris perkataan Alexa. Matanya fokus memandangi beberapa orang berbadan besar. Anak laki-laki itu melepaskan genggaman tangan Alexa. "Kamu duluan aja. Nanti aku nyusul."
"Aku ikut!"
Alex hendak berjalan, begitu mendengar saudari kembarnya ingin mengikutinya, ia segera berbalik. "Nggak boleh. Kamu tunggu aku di lapangan."
"Kenapa aku nggak boleh ikut?"
"Pokoknya dengerin aja. Tunggu aku di lapangan, aku nggak bakalan lama."
"Janji?" Alexa menjulurkan jari kelingkingnya.
Alex tersenyum lembut menatap sang adik. Ia menautkan jarinya di jari kelingking Alexa. "Aku janji."
Sebelum pergi, Alex mengusap pucuk kepala Alexa, kemudian menghampiri gerbang. Gadis itu pun bergabung bersama murid lain di lapangan, sambil menunggu saudara kembarnya yang akan kembali sebelum upacara bendera dimulai.
Dari kelas satu hingga lima SD, Alexa dan Alex berada di kelas yang sama, mereka tak pernah terpisahkan oleh jarak dan selalu menempel seperti perangko. Keduanya selalu mendapatkan nilai tertinggi dikelas. Terlebih, mereka tak pernah sekalipun meninggalkan lapangan saat upacara.
****
Sementara itu, di luar gerbang sekolah.
Sinar matahari memancar terang tetapi tidak begitu panas, terdapat awan yang
berlapis-lapis tipis seperti bulu-bulu serat sutra halus. Alex melihat banyak bungkusan makanan ringan bertebaran di permukaan tanah, hingga berterbangan tertiup angin. Ketiga preman itu terkesiap begitu melihat kedatangan Alex.
Salah satu preman berambut ala anak rock punk, memandang Alex dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kemudian preman tersebut tersenyum. "Halo anak ganteng, bisa ke sini sebentar?"
Alex memandang balik preman itu dengan tatapan datar. "Kalian bersihin dulu sampah-sampah yang ada di jalanan itu." tanyanya, seraya menunjuk jalan raya.
"Aduh ... Gimana, ya ... Kita buru-buru, nih. Ibu kamu minta sama kita buat bilang ini ke kamu, sini kita kasih tau." jawab salah seorang dari mereka yang berambut botak mengkilap.
Mendengarnya, Alex segera membuka gerbang, ingin mendengar apa yang disampaikan sang ibu padanya. Ketiga preman tersebut saling melempar senyum puas.
"Ikut kita dulu, baru kita jelasin."
Alex berbalik, menatap sekilas Alexa dari kejauhan. Gadis kecil itu telah memakai topi berwarna merah marun dan berdiri di barisan paling belakang. Kemudian, ia mengangguk setuju. "Iya, aku mau ikut."
Upacara bendera akan segera dimulai. Namun, Alex tak kunjung kembali. Menyadari seseorang keluar gerbang, Alexa berinisiatif menghampirinya diam-diam tanpa sepengetahuan murid lain yang berbaris di hadapannya. Awalnya hanya memastikan, kalau-kalau ada murid lain yang kabur saat upacara bendera. Ternyata, yang dilihatnya bukan murid lain melainkan Alex, sedang menyeberang jalan bersama tiga orang pria dewasa.
"Alex! Kamu mau ke mana?!" teriak Alexa.
Salah satu preman itu segera menarik tangan Alex menjauhi area sekolah. Alex sempat menoleh walau hanya sekejap. Kini, saudari kembarnya sudah menginjakkan kaki di jalanan beraspal itu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan preman tersebut untuk menghentikan Alexa agar tidak melangkah ke arahnya. Belum sempat menghentikan sang kembaran, tubuhnya di angkat dan dimasukkan ke sebuah mobil Van.
Alexa kecil menitikkan air mata melihat saudara kembarnya meninggalkannya. Kedua kakinya berjalan sendiri menyeberangi jalan. Sementara di dalam mobil, Alex meronta-ronta sambil memperhatikan Alexa dari kaca jendela mobil.
BRAK!
"Alexa!!!"
Alex sontak menjerit, ketika melihat tubuh saudari kembarnya terpental ke tepian jalan karena di hantam sebuah mobil sedan. Mobil Van yang ia naiki itu melaju kencang menjauhi tempat kejadian perkara.
Tubuh Alexa terlentang dengan tetesan darah mengalir di kepala kemudian merembes keluar, membanjiri aspal. Pengendara sepeda motor maupun mobil berhenti untuk melihat korban, jalanan menjadi macet akibat kecelakaan tersebut.
Seorang wanita keluar bersama anak laki-lakinya. Anak laki-laki tersebut memegang leher Alexa, memastikan denyut nadinya masih ada. "Ma, dia masih hidup."
Ibunya bernafas lega. "Syukurlah. Apa kamu bisa gendong dia?"
"Bisa, Ma." Anak laki-laki itu menggendong Alexa dan membawanya masuk ke mobil.
Wanita itu meminta maaf kepada pengendara lain karena telah menyebabkan kemacetan. Ia akan bertanggung jawab atas kecelakaan itu dengan membawa Alexa ke rumah sakit terdekat.
Setelah dilarikan ke rumah sakit, dokter mendiagnosis Alexa kecil mengalami gegar otak akibat benturan berat di kepalanya, sehingga ingatannya hilang untuk sementara waktu.
****
Sabtu 27 Desember 2017.
Petugas polisi menempelkan satu persatu selembar kertas pencarian anak hilang. Sudah dua tahun lamanya polisi terus mencari Alexa. Namun, tak ada hasil. Guru-guru di sekolahnya pun tidak ada yang mengetahui. Mereka baru mengetahuinya setelah melihat rekaman cctv. Athifa rela mengeluarkan uang 3 Miliar untuk siapapun yang berhasil menemukan putranya.
Di tengah-tengah naik daunnya berita Alex hilang. Sofyan melangsungkan pernikahan di sebuah gedung mewah tanpa persetujuan Athifa. Pria itu menikahi Ratna Dwiyanti, seorang wanita yang menolong Alexa dua tahun lalu. Gavin Sanjaya adalah sematawayangnya. Alasan Sofyan hanya untuk membalas kebaikan Ratna, wanita itu sendiri yang meminta. Pasalnya, Ratna adalah janda yang ditinggal mati suaminya.
Alex adalah orang pertama yang mengetahui pernikahan Sofyan dan Ratna. Ia tak sengaja melewati gedung megah yang di depannya dipenuhi bunga ucapan, tertera di sana nama sang ayah dan wanita itu. Alex masuk ke dalam sana, melewati kerumunan tamu.
"Selamat untuk Pak Wijaya dan Ibu Ratna!"
"Semoga pernikahan kalian langgeng sampai akhir hayat!"
Sofyan tersenyum sumringah di depan para tamu yang hadir. Ia hanya mengundang orang-orang yang mengenal Ratna, dengan begini hubungannya akan aman tanpa di ketahui koleganya, terutama Athifa. Melihat anak laki-laki yang mirip dengan Alex, senyum pria itu perlahan memudar.
Alex meludahi karpet merah yang dipijaknya, lalu pergi menjauh dari kerumunan tamu. Ia dan Gavin saling berpapasan di pintu masuk. Gavin yang tadinya ingin masuk ke dalam gedung, kemudian berbalik mengikuti Alex.
Saat Alex telah menginjakkan kakinya di luar gedung, tiba-tiba datang ketiga preman berwajah bengis, menyeretnya ke gang kecil dan sepi. Tubuh Alex di tendang habis-habisan oleh ketiganya. Kali ini, pemuda itu gagal mencopet di sebuah acara resepsi pernikahan mewah. Ia sudah menduganya dari awal, mereka akan datang untuk mengawasinya.
Setelah beberapa menit, Gavin muncul bak pahlawan. Lelaki itu mengeluarkan pistol dari dalam saku jasnya, lalu menembaki punggung ketiga preman tersebut. Pistol itu sudah dipasangkan peredam suara, agar aksinya tidak di ketahui orang lain.
Gavin berjalan mendekati Alex yang terbaring di bawah aspal. Pemuda itu berdiri seraya memegangi perutnya yang terasa nyeri. "Lo siapa?"
"Pertanyaan itu nggak penting." Gavin menatap pakaian yang dikenakan Alex. Kaus hitam polos berbahan tipis dengan jahitan di kedua lengan pendeknya. Pemuda itu memakai celana jeans panjang yang terdapat robekan di bagian lutut. Lelaki itu pun tersenyum senang. "Gue tau lo pasti lagi butuh duit, kan?"
Alex mengernyitkan dahinya. "Dari mana lo tau?"
Gavin tertawa meremehkan. "Eh, emang lo nggak sadar sama penampilan diri sendiri? Coba lo bandingin sama penampilan gue. Jelas beda, kan?"
"Nggak usah basa-basi. Langsung ke intinya aja."
"Mau gabung sama gue?" tanya Gavin. Tiba-tiba beberapa orang berpakaian jas hitam berdiri di belakang lelaki itu. "Tugas lo mudah. Tapi harus hati-hati, kalau lo bikin kesalahan ... Lo bakalan tau akibatnya."
Alex mengangguk setuju tanpa berpikir dua kali. "Deal. Demi uang, apapun gue lakuin."
Gavin adalah bos Mafia yang tidak kebanyakan orang mengetahuinya, sekaligus pengedar narkoba. Kehidupannya berbanding terbalik dengan Alex yang berasal dari keluarga kaya. Sementara dirinya, hanya berasal dari keluarga biasa-biasa saja.
Sejak kecil, Gavin selalu ingin memiliki hidup seperti orang kaya pada umumnya, menjadi seseorang yang berkuasa dan ditakuti oleh siapapun. Keinginannya itu terwujud berkat melakukan transaksi narkoba tanpa diketahui polisi. Meskipun demikian, Gavin tak pernah mau mencoba mengonsumsinya.
Sejak pertemuannya dengan Gavin, kehidupan Alex berubah drastis. Ia yang tadinya hanya seorang pencopet, kini menjadi kaya raya berkat tawaran lelaki itu. Pekerjaan yang ditawarkan Gavin sangat mudah, tetapi beresiko. Setiap harinya, ia harus mencari pelanggan dan menjual narkoba. Tak hanya melakukan transaksi narkoba, Alex juga merupakan kaki tangan Gavin. Ia menggunakan ilmu bela dirinya untuk membunuh siapa saja yang menjadi incarannya.
TBC.
****
Kini, Alexandra Wijaya sudah menginjak usia 19 tahun. Gadis asal kota Jakarta Selatan itu sudah berpindah ke Jakarta Barat, banyak kenangan menyakitkan di kota asalnya. Sebelum berpindah, ia hampir mengalami pelecehan seksual saat masih duduk di bangku SMP. Beruntungnya, ada seorang pria misterius yang menolongnya. Saat itu pula Alexa mengalami gangguan paranoid, yang membuat dirinya tak percaya lagi pada para lelaki bahkan ayahnya sendiri.
Sejak kelas dua SMA, Alexa terlalu sering bolos sekolah hanya karena malas berinteraksi dengan para siswa yang kerap kali mengganggunya. Ia tidak naik kelas setahun, seharusnya ia sudah lulus seperti teman sebayanya. Terpaksa, ia harus mengulang pelajaran lagi dan bertekad untuk giat belajar.
"Oh, Ibu? Aku lagi di jalan, pesanan Ibu juga udah aku beli."
"Ibu menelepon bukan karna itu. Tapi Ibu khawatir sama kamu."
Alexa tertawa kecil. "Cih, itu cuma perasaan Ibu aja kali. Jangan khawatir, aku bakalan baik-baik aja."
"Jangan membantah, cepat pulang! Ibu takut kalau terjadi apa-apa sama kamu!"
"Oke oke, aku paham. Dah."
Alexa menutup telepon dari sang ibu. Setelah itu, melanjutkan langkahnya. Ia melangkah di tepian jalan sambil menjinjing plastik berisikan pesanan sang ibu. Jalanan besar itu tampak tenang tanpa adanya pengendara bermotor ataupun mobil yang lalu-lalang. Cahaya kuning tiang lampu menyinari rambut hitam gadis itu. Ia memejamkan mata, merasakan angin malam berhembus menyapu rambut panjangnya.
Tampak di belakang Alexa, ada seorang gadis berlari ketakutan tanpa alas kaki. Kedua telapak tangannya mengeluarkan darah hingga berceceran di aspal. Seorang pria berpakaian hitam berlari mengejar gadis itu. Suasana jalan yang tadinya sunyi dan sepi, tiba-tiba menjadi ramai oleh derap kaki. Sementara, jarak gadis itu dan Alexa makin dekat.
Gadis itu menyeruduk punggung Alexa. Ia cukup terkejut melihatnya. Terlebih, ada darah yang terus merembes keluar di telapak tangan gadis itu. "Oh my gosh! Siapa, ya?" tanyanya.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu. Namun, ia bisa mengetahui apa yang dikatakan Alexa melalui gerakan mulut. Gadis itu mengambil ponsel dari dalam sakunya, lalu mengetik sesuatu dengan keadaan tangan berdarah-darah. Spontan, Alexa membelalakkan mata.
"Saya tuna rungu wicara, Kak. Tolong bantu saya, saya di kejar-kejar orang!"
Gadis itu memperlihatkan apa yang baru saja di ketiknya. Sekarang Alexa memahami apa yang dimaksud gadis tersebut. (Tuna rungu wicara adalah kemampuan seseorang untuk berbicara dan mendengar)
Alexa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia melihat seseorang di depan sana. Kemudian, Alexa menerawang sejenak, pria itu berjalan mendekat ke arah mereka sambil menggenggam kapak kayu. Tanpa basa-basi, Alexa menarik pergelangan tangan gadis itu dan membawanya pergi menjauhi pria itu.
BRUK!
Baru setengah jalan, langkah Alexa terhenti. Gadis tuna rungu wicara itu terjatuh ke aspal dengan kapak kayu yang menancap di belakang kepalanya. Ia kaget bukan kepalang. Bulu kuduknya langsung berdiri sampai ke ubun-ubun ketika melihat pemandangan mengenaskan di depan matanya. Rembesan darah keluar dari kepala gadis itu. Alexa mematung sesaat saking kagetnya.
Alexa kebingungan harus berbuat apa, antara melarikan diri sendirian atau menyelamatkan gadis yang ditolongnya. Ia meraba-raba belakang tasnya, mencari ponselnya. Setelah mendapatkan ponselnya, ia mempercepat langkah kakinya untuk menyelamatkan diri terlebih dahulu. Masih sambil berlari, Alexa menghubungi nomor pihak yang berwajib.
"Dengan kantor polisi di sini, ada yang bisa kami bantu?" Telepon pun sudah tersambung pada kantor polisi.
Selangkah demi selangkah, Alexa berhasil melarikan diri dari pria itu. Barulah ia berhenti, seraya mengatur nafasnya. "Ada pembunuh di sini!" teriaknya.
"Baik. Bisa tolong kirim lokasinya? Kami akan segera bertindak. Pastikan cari tempat yang aman, jangan ke mana-mana, tetap di situ."
"Akh!"
Seseorang menepis ponselnya hingga terpental di tepian jalan. Mata Alexa terbelalak melihat bayangan berperawakan tinggi di bawah sinar lampu tiang jalanan. Pria tersebut tampak mengambil sesuatu di bawah kaki sebelah kanannya. Gadis itu memejamkan mata, berusaha memberanikan diri untuk kabur.
Detik berikutnya, pria itu memukul kepala Alexa menggunakan batako. Cairan berbau anyir menetes di dahinya, lalu turun ke pipi. Tubuhnya terdorong ke aspal.
Ibu ... Aku nggak mau mati di sini. Tolong aku, Bu, batin Alexa.
Alexa memegangi kedua lututnya dengan tangan seraya berdiri. Ia mengimbangi langkahnya, sampai tak sadar ada seorang pria berhoodie abu-abu dengan mulut tertutupi kain hitam, berjalan ke arahnya. Langkah kaki Alexa oleng, tubuhnya jatuh. Pria di hadapannya segera meraih lengannya. Refleks, pria tersebut mendekap tubuh gadis itu.
Sementara, pria tadi menghampiri gadis tuna rungu wicara itu, berniat menarik paksa kapak kayu yang masih tertancap di kepalanya. Secepat kilat, pria berhoodie itu mengangkat tubuh Alexa dan menendang pria itu hingga menjauhi korban.
"Sialan! Berani-beraninya lo gangguin rencana gue!"
Pria itu berlari hendak meninju wajah pria berhoodie itu. Pria berhoodie itu menurunkan Alexa. Dengan entengnya, pria tersebut melempar tubuh Alexa ke udara ala cheerleader, lalu menangkap pinggangnya.
"Tendang!" ucap pria berhoodie itu, memberikan instruksi. Alexa mengayunkan kaki kanannya dari samping. Kemudian, mendaratkan tendangan keras di pipi pria itu.
Pria berhoodie itu kembali menurunkan Alexa. Ia dan pria berhoodie itu saling bertatapan, melihat pantulan diri masing-masing pada bola mata di hadapannya. Jantung Alexa berdegup kencang untuk pertama kalinya. Sekilas, gadis itu merasakan Dejavu di dalam memorinya, tetapi entah itu hanya perasaannya saja atau memang ia pernah bertemu pria tersebut.
Pria berhoodie itu mendekap kepala Alexa. Ia berpaling pada pria itu. "Apa begini, cara para pembunuh mencari kesenangan?" Intonasi kalimatnya begitu berat.
"Maksudnya apa?" sahut pria itu tak mengerti.
"Mengambil nyawa orang lain seenaknya." Pria itu melirik gadis tuna rungu di depan sana. "Cewek itu pun jadi incaran lo."
"Cuma cewek bisu, desah aja nggak bisa, apalagi minta tolong."
"Bagi lo, dia cuma cewek bisu dan tuli. Tapi bagi orang tuanya, dia itu berlian yang harus dijaga."
Beberapa menit kemudian, Mobil-mobil polisi dan paramedis berdatangan. Dua orang petugas polisi meringkus tersangka kasus pembunuhan itu. Alexa memutar kepala, melihat gadis tuna rungu wicara itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans.
Pria tersebut berjongkok untuk membaringkan tubuh Alexa di pahanya. Salah satu paramedis datang meletakkan kotak obat dan membersihkan darah di kepala Alexa. Setelahnya, pria itu tampak mengembangkan senyum tipis. Meskipun tertutupi kain hitam, gadis itu bisa melihat dari sepasang matanya.
Kenapa rasanya gue pernah ketemu sama lo, tapi di mana? Batin Alexa.
Alexa menjulurkan tangan, ingin mengetahui siapa yang telah menolongnya. Kedua telinganya berdengung diiringi rasa sakit di bagian kepala. Sontak pria itu menggenggam pergelangan tangan Alexa. Sakit di kepalanya dan dengungan di telinganya sudah tidak terasa lagi. Namun, kelopak matanya terasa berat seperti mengantuk.
Beberapa wartawan berdatangan untuk meliput berita di tempat kejadian perkara. Mereka rela berdesak-desakan dan memaksa masuk ke TKP yang dijaga oleh beberapa petugas polisi. Pria itu menggendong tubuh Alexa dan berjalan keluar TKP.
"Bagaimana kondisi korban?"
"Tolong biarkan kami menyoroti wajah korban."
"Mas, tolong minta waktunya sebentar untuk wawancara."
Mereka langsung menyerbu pria itu, menghujaninya dengan tiga pertanyaan. Sementara di belakang wartawan lain, ada dua wartawan terlihat mengangkat kamera ke udara agar bisa menyoroti wajah Alexa. Pria tersebut tak tinggal diam, lalu mengeratkan pegangannya di kepala gadis itu.
TBC.
"Alex!"
"Alex, ayo! Kita ke lapangan, sebentar lagi upacara udah dimulai!"
"Alex! Kamu mau ke mana?!"
Alexa tersentak membuka matanya lebar-lebar, keringat mengucur deras di kepalanya. Melihat cahaya matahari yang mengintip dari celah gorden, buru-buru Alexa menariknya hingga cahaya tersebut masuk sepenuhnya, menyinari seluruh tubuhnya. Ia melamun sejenak, melihat keluar jendela sambil menyandarkan kepala ke tembok yang di cat pink pastel itu.
"Alex ... Lo di mana sekarang? Kata Ibu lo itu kembaran gue."
Mimpi itu terus muncul berulang kali sejak Alexa mengalami kecelakaan 9 tahun lalu. Dokter mengatakan, otaknya sedang dalam masa pemulihan. Namun, sudah bertahun-tahun lamanya, sakit di kepalanya tak kunjung membaik. Di tahun 2017, Athifa membawa Alexa ke rumah sakit di Australia yang direkomendasikan oleh sang kakak. Semua rumah sakit di sana pun mengatakan hal serupa, gejala yang dialami gadis itu hanya gejala biasa yang tidak perlu dikhawatirkan.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu.
"Non Lexa, ada tamu di bawah. Katanya calon suami Non."
Calon suami? Jangan-jangan ....
Mendengar hal tersebut, Alexa segera terperanjat dari ranjangnya. Ia tahu siapa tamu yang dimaksud Mbok Minah, asisten rumah tangga di kediaman Wijaya. Buru-buru gadis itu mencari pakaian di lemari. Setelah berapa lama mengobrak-abrik isi lemari, ia memilih kemeja putih dan celana coklat tua dengan pendek selutut.
Ranjang tunggal yang tadinya rapih, kini berantakan karena tumpukan pakaian yang Alexa lempar tadi. Dengan asal, ia melempar pakaiannya ke lemari. Akan memakan waktu lama bila di lipat langsung.
Alexa berdecak menatap jengkel ke arah pintu. "Si gila itu kenapa dateng jam segini, sih?!"
Lima belas menit kemudian, Alexa keluar dari tempat persemayamannya. Menuruni satu persatu anak tangga menuju ruang tengah. Lelaki berjaket hijau tua dengan lapisan kaus hitam di dalamnya, tampak berdiri memandangi foto keluarga yang tertempel di dinding.
"Kak Keenan, lo ngapain sih pagi-pagi bertamu ke rumah orang."
Begitu namanya di panggil, lelaki bernama lengkap Keenan Pratama itu berbalik. Ia mengamati wajah Alexa sejenak, sebelum akhirnya menjawab. "Gue nggak akan basa-basi lagi. Gue nerima perjodohan ini."
"APA?!"
Sebulan lalu, Keenan meminta rekomendasi kafe pada Dimas Alaska, rekan kerjanya di kantor. Rekannya itu memberitahu kafe yang sedang naik daun di kotanya ini, yaitu Lexa's Coffee Shop. Beberapa hari setelahnya, ia datang ke sana untuk membeli es kopi Americano. Namun, Keenan tak sengaja mendengar perbincangan antara Sofyan dan Alexa.
Saat itu, posisinya duduk di kursi kosong tepat di belakang kursi Alexa. Ia mendengar Alexa menolak mentah-mentah untuk dijodohkan. Akan tetapi, Sofyan tidak menyerah sampai anak gadisnya itu mau menerima perjodohan tersebut. Alexa memilih pergi meninggalkan ayahnya, dari pada terus membicarakan masalah perjodohan.
Hanya dengan melihat sekilas wajah Alexa dari kaca jendela, Keenan langsung mengajukan diri untuk menjadi calon suami gadis itu, pada Sofyan. Mulailah ia menceritakan kisah hidupnya di hadapan calon mertuanya. Dari A sampai Z.
Aneh tapi nyata, ia seperti berada di zaman Siti Nurbaya. Apakah Keenan langsung menyukai Alexa setelah melihatnya? Atau ada maksud terselubung di balik pengajuannya itu? Yang jelas, Sofyan menerima Keenan sebagai calon suami anak gadisnya.
Orang tua Keenan telah meninggal dunia sejak ia dan saudara kembarnya, Kenzo Pratama lahir. Walaupun kembar identik, keduanya memiliki sifat dan kepribadian yang berlawanan.
Sedari kecil, mereka berdua di asuh oleh pamannya hingga tumbuh dewasa seperti sekarang. Pamannya juga yang membiayai sekolah Keenan dari SD hingga tamat SMA. Tahun 2019, ia harus meninggalkan paman dan kembarannya karena mendapatkan panggilan kerja, di salah satu Polres Metro Jakarta Barat sebagai detektif polisi.
****
"Kenapa lo nggak nolak aja, sih?!" tanya Alexa sengit. Ia mendelik tajam pada pria di hadapannya.
Keenan memegangi dagunya, seraya berpikir. "Ya ... Karna ... Gue butuh istri yang bisa masak, bersih-bersih, bikinin gue kopi setiap—"
"Eh, stop stop!" potong Alexa sedikit berteriak. "Lo ini sebenernya nyari istri apa babu, sih?"
"Tinggal setuju aja ribet lo."
"Nggak! Itu nggak bakalan kejadian, okey?! Siapa juga yang mau nikah sama orang kayak lo."
Keenan mendekatkan wajah pada Alexa, sementara gadis itu memundurkan bahunya. "Sayangnya, lo nggak bisa apa-apa selain setuju perjodohan ini."
"No, no, no!" Telunjuk Alexa mendorong dada Keenan menjauh darinya. "Sampai kapan pun gue nggak akan mau setuju."
Ujung bibir Keenan terangkat, ia duduk di sofa panjang dan meraih koran yang tergeletak di atas meja kaca di hadapannya. "Telat. Besok kita harus ke KUA."
"KUA?!"
"Makanya, besok lo harus dandan yang cantik."
****
D-DAY WEDDING.
Pernikahan adalah sebuah impian setiap dua insan yang saling mencintai, wanita yang mencintai lelakinya, begitu juga sebaliknya. Bukan hanya sekadar merayakan pesta pernikahan. Bukan juga dilihat dari gedung mewah berlantai tinggi, makanan berkelas dan tamu pejabat tinggi. Itu semua tidak penting untuk Alexa dan Keenan. Menurut mereka mengucapkan ijab kabul sudah cukup.
Gadis itu terlihat cantik mengenakan dress pengantin putih dengan panjang semata kaki. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai indah bergelombang. Meskipun hanya ijab kabul di KUA, Alexa hanya ingin berpenampilan tak biasa. Begitu pun Keenan si mempelai pria, mengenakan setelan jas biru tua. Mereka duduk di bangku yang sama, bersebelahan sambil memamerkan buku nikah masing-masing ke arah kamera.
Inikah yang dinamakan nikah paksa? Persis banget kayak di novel-novel. Batin Alexa.
Setelah ijab kabul yang di saksikan oleh keluarga kedua belah pihak, pengantin baru itu kini berada di sebuah studio. Mereka akan melakukan sesi foto dengan background putih polos.
Alexa duduk di kursi kayu menghadap ke kamera sambil menggenggam beberapa tangkai bunga mawar putih. Keenan menyusul Alexa dan berdiri tegap di sampingnya, tangannya merangkul mesra lengan atas gadis itu. Keenan merapatkan kepalanya di pucuk kepala Alexa. Mereka tersenyum seolah bahagia, padahal kenyataannya tidak. Sejak tadi, Athifa dan Sofyan terus memperhatikan mereka di belakang kamera.
"Lo ngerasa tertekan nggak, sih?" Keenan berbisik.
Spontan, Alexa menyenggol lengan Keenan. Mulutnya terbuka sambil menahan senyum di hadapan orang tuanya. "Jangan bikin orang tua gue curiga. Di depan mereka kita harus keliatan kayak sepasang suami istri, ngerti nggak lo?"
"Itu juga gue tau kali."
"Nah! Ayo, coba kalian senyum."
Refleks, Alexa dan Keenan tersenyum ke arah kamera. Setelah foto terpotret, sang fotografer memberi mereka instruksi untuk membuat pose bebas. Tiba-tiba saja, Alexa meraih kerah kemeja putih Keenan, dan mendekatkan wajah lelaki itu padanya seraya tersenyum menyeringai.
"Oke! Tahan sebentar, ya! 1 ... 2 ... 3!"
CEKREK!
Sesi terakhir adalah foto keluarga, Athifa dan Sofyan berdiri di antara Alexa dan Keenan. Sang fotografer mencari angle yang pas. Tak lama, fotografer tersebut mengacungkan jempol di udara. Keempat orang itu tersenyum, kamera pun berhasil memotret momen bahagia itu.
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!