NovelToon NovelToon

Finding Elina

Elina dan Rafa 1

"Na, ayo cepetan lari. Mereka kejar kita," pekik seorang anak lelaki berusia Delapan tahun itu, menggandeng seorang anak wanita untuk kabur dari panti asuhan yang mereka tinggali selama ini.

Gadis kecil itu bernama Elina Puspita berusia 7tahun, dan anak lelaki itu bernama Rafa Pramudya 8 tahun. Mereka sudah tak betah di panti dan ingin pergi dari sana karena takut di pisahkan oleh mereka. Apalagi kabarnya Elina akan di adopsi oleh seorang keluarga kaya yang menginginkan seorang anak perempuan karena sudah memiliki seorang anak lelaki.

Tidak, mereka tak mau terpisah setelah sekian lama bersama disana. Dan bila perlu mereka ingin orang tua yang sama dan besar dalam keluarga yang sama pula nantinya.

"Raf, ngga bisa istirahat sebentar apa? Aku capek, aku tuh." Gadis itu mengeluh dengan napas yang terengah-engah dna sedikit sulit ia kendalikan saat ini. Kakinya sudah lemas dan gemetaran. Karena bagi anak seusia Elina, berlari sejauh itu sudah amat sangat menguras tenaganya saat ini.

"Mau mereka tangkep, terus kita dipisahin? Katanya ngga mau pisah?" Rafa kemudian menghampiri Elina dan membungkuk membelakanginya. "Ayo aku gendong kalau gitu,"

"Aku berat," ucap Elina ketika melirik dirinya sendiri, yang sebenarnya cukup kurus untuk anak seusianya saat itu.

"Ayo, daripada ketangkep?" Rafa kembali meyakinkan.

Akhirnya Elina mengalah dan perlahan naik ke punggung Rafa, lalu Rafa sendiri berlari sembari menggendong Elina dipunggungnya.

Elina merasakan jika napas Rafa mulai berat saat itu, sesekali terhuyung dan akan jatuh karena lelah. Elina meminta Rafa menurunkannya namun Rafa menolak dengan tegas. Mereka terus berlari dan berlari hingga begitu jauh dari panti, hingga dahi Rafa basah dan Elina megusapnya dengan sapu tangan yang ia bawa saat itu.

"Capek," ucap Rafa pada akhirnya.

"Kalau capek kita berhenti dulu," pinta Elina.

Dan pada akhirnya Rafa memutuskan untuk singgah di sebuah pos ronda yang sepi. Padahal itu malam dan harusnya ada petugas yang jaga disana. Ia menurunkan tubuh kecil Elina dan berusaha menormalkan irama napas sejenak disana. Cukup lama, hingga keduanya merasa benar-benar sudah mengumpulkan lagi tenaganya.

"Kita udah jauh. Emangnya bu Mul masih bisa kejar?"

"Mereka itu orang dewasa, Elina. Gampang banget kalau Cuma mau kejar kita, apalagi_"

"BHAAAAAA!!!" Suaran seorang pria mengejutkan keduanya. Mereka berdua disana memekik sekuat tenaga dan saling berpelukan memejamkan mata dengan tubuh yang gemetaran tak karuan rasa.

"Aaaaaarrggghhhh!!

"Kalian kenapa disini anak-anakku?" Rupanya pria itu adalah orang gila penguasa daerah sana, ialah pemilik pos itu selama tak ada yang menjaganya.

Tubuh pria itu berantakan dengan pakaian compang camping tak karuan. Ia menari-nari tanpa dosa disana seolah tengah menghibur kedua anak kecil yang ada didepan matanya, padahal anak itu sendiri ketakutan bahkan sampai menangis saat ini.

"Ayo, joged sama bapak. Ning nang ning nung... ning nang ning!" Pria itu begitu bahagia menari ala jaran kepang dengan lemah gemulai.

"Rafa, aku takut..." Elina bahkan tak berani mengangkat kepalanya saat itu.

"Tenang, aku lagi cari cara buat kabur ini." Rafa berusaha menenangkan. Namun, ucapan Rafa saat itu justru didengar oleh pria gila itu dan langsung menghentikan tariannya seketika, bahkan menatap nyalan pada mereka berdua.

"Apa kalian mau kabur? Kabur dari saya? Ngga boleh!" sergahnya, Elina sampai terlonjak kaget dan semakin takut saat itu.

Rafa melihat celah, ia menggenggam erat tangan Elina kemudian berhitung mundur. Tiga... Dua... Satu. Kabuuurrrr!!!

Mereka berdua menerobos orang gila itu dan berlari lagi secepat tenaga yang baru saja ia kumpulkan.

Tapi tenaga orang gila memanglah luar biasa, ia bisa mengejar mereka berdua dengan begitu cepat bahkan menghadang keduanya di persimpangan jalan saat itu. Kaget lagi dan spontan memutar badan berusaha menghindarinya, namun kali ini tangan Elina terpegang olehnya dengan begitu kuat.

"Raka... Tolongin aku! Lepasin!” Elina berusaha melepaskan tangannya dari pria itu namun begitu kuat genggamannya.

Mereka terus berteriak, pria gila itu sudah mulai ketakutan jika warga tahu dan mengirimnya lagi ke pusat rehabilitasi. Ia tak mau itu. Pria yang panik itu mulai mengancam mereka dengan pisau kecil yang ia bawa dan meminta mereka semua diam. Tapi anak-anak sudah terlanjur ketakutan saat ini.

Dan benar saja, beberapa warga yang mendengar itu segera datang untuk mellihat mereka semua disana. “Woy! Kamu lagi. Lepasin anak-anak itu.” Seorang pria muda langsung mengancam dan meraih balok kayu yang ia lewati saat itu.

Orang gila yang sudah kehilangan akal itu akhirnya nekat. Ia berusaha pergi dan bagaimana caranya agar mereka tak menangkapnya saat ini. Dan akhirnya… Srreeekk! Pisau kecil itu ia goreskan ke leher Elina hingga darah langsung mengalir ke sekujur tubuhnya.

“Elina!!!” Rafa memekik, dan ia segera menghampiri saahabatnya saat itu juga. Kepanikan semua orang itu lantas dimanfaatkan sip ria gila untuk kabur dari mereka, berlari sekuat tenaga untuk pergi hingga tak terlihat lagi.

Rafa menangis, Elina langsung tak sadarkan diri dan beberapa orang berusaha menyelamatkan gadis kecil itu sebisanya. Hingga seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka semua disana.

“Rafa!”

“Bu Mul?” tatap Rafa kearahnya saat itu. Ia merasa amat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan saa ini, tak tahu jika aksinya akan begitu berbahaya bahkan bisa mencelakai Elina. Ia hanya bisa menangis, meminta maaf pun belum mampu karena fikirannya entah kemana saat ini.

Hingga mereka semua sibuk menaikkan Elina ke mobil panti dan luka itu ditutup seadanya. Untung saja pisau tak berkarat saat itu dan mengurangi resiko lebih parah lagi.

“Kamu naik,” pinta bu Mul pada anak asuhnya itu, tak lupa ia berterimakasih pada semua warga yang membantu menolong Elina barusan.

Sepanjang jalan Rafa terus menangis dan menangis. Dalam hidupnya hanya ada Elina saat ini karena ia penyendiri dan tak akrab dengan teman lain. Bagi Rafa, Elina adalah separuh dari hidupnya. Dibesarkan bersama, makan dan mandi dalam dalam satu rumah sejak mereka bayi disana hingga saat ini.

“Kamu sekarang tahu, bagaimana bahayanya jika kamu keluar sendirian?” tanya bu Mul.

Mereka telah tiba di Rumah sakit dan para dokter tengah menangani Elina saat ini. Tentunya dengan begitu intensif mengingat usia Elina yang masih sangat muda dan harus sangat berhati-hati dalam setiap Tindakan yang ada.

Rafa hanya tertunduk, Ia sesegukan disisa tangisnya dengan airmata yang sudah mongering. Ia merasa paling bersalah dalam hal ini, karena bahkan nyaris menghilangkan nyawa Elina.

“Ma-maaf, Bu. Ra-Rafa ngga akan ulangi lagi. Rafa … Rafa Cuma ngga mau kehilangan Elina, Bu. Rafa ngga mau pisah sama dia.”

Bu Mul hanya bisa diam saat itu. Ia bahkan seakan langsung terbungkam dengan ucapan Rafa yang begitu tulus pada Elina. Yang memang ia sempat begitu mengawasi bagaimana keduanya tumbuh dan besar bersama.

Tapi bagaimana? Anak panti itu selalu memiliki takdir yang sama. Datang, diasuh, besar dan nanti akan mendapat keluarga baru yang siap menerimanya saat itu. Dan jika pun ia harus tumbuh dewasa disana, maka ia juga akan pergi mencari jalan sendiri nanti. Tak akan ada yang bisa menolak itu semua.

Elina dan Rafa 2

Lima belas tahun kemudian. Bandar Udara Changi, Singapura.

Seorang pemuda tengah bersiap untuk terbang kembali ke Indonesia setelah usai dengan semua pekerjaannya. Ia kembali, dengan misi sejak masa kecil untuk mencari sahabat dan sekaligus cinta pertamanya. Ia duduk dengan santai dalam penerbangan itu menggunakan kursi Bussines class agar agar membuatnya nyaman selama perjalanan yang ada.

Bebekal sebuah kalung kenangan dari Ina, ia berharap agar mereka berdua dipertemukan secepatnya saat itu.

"Permisi, bisakah saya yang duduk disini?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba datang dan meminta duduk dibagian tempat duduknya saat itu. Rafa menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, bentuknya agak berantakan dengan rambut panjang yang seperti tak disisir sebelum pergi.

"Maaf, jika Anda memang pemilik kursi sebelah saya maka bukankah Anda yang duduk disebelah jendela?" balas Rafa dengan ramahnya.

"Maaf, Tuan. Mas, Kak, atau... Ah, bodo ah! Begini... jadi saya mabuk, makanya saya ngga mau di dekat jendela itu. Kan kalau ada apa-apa, saya juga ngga akan ngerepotin Masnya nanti. Boleh ya, please," mohon gadis itu dengan sangat.

Rafa menoleh kanan dan kiri untuk melihat kondisi saat itu. Benar apa yang dikatakan sang gadis padanya, bahwa jika ia mabuk maka tak akan merepotkan Rafa untuk beberapa kali keluar dari tempatnya. Akhirnya Rafa mengangguk dan ia bergeser dari kursi yang saat itu kesebelah. Tak kalah nyaman, bahkan ia bisa melihat pemandangan awan diluar sana.

Pengumuman keberangkatan telah terdengar, dan mereka memasang sabuk pengaman yang ada di kursi masing-masing, Begitu juga dengan sang gadis yang tampak mulai tegang wajahnya saat ini. Ia beberapa kali menghela napas dengan begitu panjang dan menghembuskannya dengan kasar seperti orang yang baru pertama kali naik pesawat.

"Kamu orang Indonesia?" tanya Rafa berusaha menenangkannya saat itu.

"Yess, Iam from Indonesia. You?" tanyanya menoleh pada Rafa saat itu.

"Ya, saya dari Indonesia dan akan pulang. Tapi_"

"Saya bukan baru sekali naik pesawat ini, tapi berkali-kali itu pula rasanya tetap seperti ini. Makanya saya jarang pulang, apalagi jika tak dipaksa. Saya lebih nyaman disini daripada disana," jawab gadis itu dengan tenangnya. Lebih berusaha tenang sebenarnya, karena Rafa melihat wajah itu mulai pias saat ini.

Gadis itu bermata indah, mengingatkan Rafa pada seseorang yang pernah ia temui.

Pesawat terasa mulai berjalan, dan makin lama makin menukik naik keatas hingga wajah gadis itu semakin tegang saat ini. Ia memegangi dadanya saat itu, entah kenapa langsung mengingatkan Rafa pada Ina ketika ketakutan dalam kesendirian. Dan setelah itu air matanya akan keluar sendiri, menangis meski tanpa suara.

"Hey, kau menangis?" tanya Rafa padanya.

"Maaf, ini refleks dan_" Rafa memberikan tangannya saat itu untuk ia pegang agar tak ketakutan.

Meski awalnya ragu, tapi perlahan gadis itu bergerak dan menggenggam pergelangan Rafa dengan begitu kuatnya. Benar, ia amat ketakutan saat ini dan bukan mabuk seperti yang ia katakana. Pasti jika ada didekat jendela, ia akan lebih parah dari ini.

Genggaman tangan itu begitu kuat hingga tangan Rafa memerah dibuatnya. Dan hingga beberapa waktu kemudian genggaman tangan gadis itu mulai melemah dan membuat Rafa bernapas dengan lega. Apalagi ketika melihat sang gadis mulai normal saat ini.

Perjalanan juga tak begitu lama, hanya satu setengah jam hingga pesawat kembali turun ke landasan Bandara Soekarno Hatta. Dan saat itu, tangan gadis manis itu masih menggenggam tangan Rafa dengan begitu eratnya.

"Nona?" panggil Rafa agar gadis itu melepasakan tangan segera. Pasalnya ia juga harus buru-buru untuk menuju kost dan kembali bekerja seperti biasa meski sudah beda negara.

"Ah, maaf." Gadis itu langsung benar-benar melepas tangannya dengan segera dan bahkan berterimakasih pada pria itu. Ia bahkan seolah berhutang nyawa padanya.

Rafa hanya datar, menganggukkan kepala dan langsung menurunkan kopernya saat itu juga. Ia bahkan tak menjawab apapun pada gadis itu dan segera pergi meninggalkannya.

"Ih... Kenapa dia dingin sekali?" gumam gadis itu. Tapi ia mengakui jika pria itu tampan, dan bahkan ia baru sadar jika ia belum memperkenalkan diri dan bahkan belum tahu namanya saat itu.

"Eh... Aku kek orang bego. Masss, tunggu! Kita belum kenalan!" Gadis itu langsung meraih tasnya dan berlari berusaha mengejar sang pemuda tampan sekuat tenaga. Seakan rasa yang baru saja ada itu seketika menghilang terganti oleh segala rasa penasaran yang ada dihatinta.

Gadis itu terus berlari dan berlari mencari pria dengan jaket abu-bercelana joger hitam, namun langkah pria itu terlalu panjang hingga meninggalkannya amat jauh begitu saja.

"Kan... Gagal lagi!" geramnya menghentakkan kaki ke lantai sekuat tenaga, dan ia merutuki nasibnya sendiri saat itu.

"Apa yang gagal? Kau tahu, aku sudah menunggumu sejak tadi." Suara pria dengan begitu datar mendadak terdengar dan ada dibelakangnya saat itu. Ia menoleh, tak kaget meski ia tak percaya bisa secepat itu ditemukan oleh kakaknya.

"Elina Panduwijaya. Kau tak akan bisa lari lagi dari kakak sekarang. Kau harus pulang dan menemui ayah di rumah."

Elina hanya bisa menghembuskan napas kasar dan membuangnya keatas saat itu juga dengan begitu pasrah. Dan benar-benar pasrah ketika kopernya langsung dibawa oleh sang kakak berjalan menuju mobil yang ada diluar sana.

" Akhirnya setelah sekian lama kau menurut untuk pulang."

"Lagian mau ngapai Ina pulang? Mama udah ngga ada, dan kalian sibuk dengan pekerjaan masing-masing." Elina membalas ucapan sang kakak dengan segala isi hatinya yang selama ini ia pendam begitu dalam.

Memang seperti itu. Sejak mamanya tercinta meninggal, seolah tak ada yang menyatukan mereka berempat setelahnya. Ayah mereka sibuk, kedua kakak yang bernama Zaky dan Rayhan itu juga sibuk dengan bisnis keluarga mereka yang tengah berkembang dengan pesat.

Dan sebagai seorang anak perempuan, Elina tak diperbolehkan melangkah atau menyentuh sama sekali bisnis keluarga mereka. Ia memang diperlakukan seperti ratu, semua ada dan apa yang ia mau akan mereka turuti. Namun, hidupnya sepi dalam sangkar emas itu.

"Kak Zack mana?" tanya Ina yang masuk ke dalam mobilnya.

"Ia tengah di luar kota. Di rumah ada ayah, yang saat ini tengah menunggu dan merindukanmu.".

"Beneran? Nanti katanya menunggu, taunya pergi lagi ketika Ina sudah begitu berharap pelukan darinya." Ina memang menjawab semua dengan lugas tanpa sungkan, hingga Rayhan yang sudah siap menyetir lantas mematikan kembali mesin mobilnya saat itu juga.

"Mau peluk kakak dulu ngga?" tawarnya dengan merentangkan kedua tangan pada sang adik.

Itu yang Ina tunggu sejak tadi. Kenapa harus disindir hanya untuk sebuah pelukan hangat sebagai sambutannya? Padahal mereka sudah lama tak bertemu selama ini.

"Kak Ray!" Ina langsung menangis dan membalas pelukan sang kakak saat itu juga. Sangking terharu, seolah tak ingin sama sekali melepasnya dengan cepat saat itu.

Elina dan Rafa 3

Mobil tiba disebua rumah besar bernuansa serba hitam. Tampak seram, tapi itu adalah tempat tinggal Elina selama ini dengan orang tua dan kedua kakaknya. Ina turun dari mobil langsung berjalan cepat mencari sang ayah yang pasti ada di ruang kerja dan menghampirinya untuk mendapat sebuah hadiah pelukan mesra.

“Ayahh,” panggil Ina, dan sang ayah langsung menoleh dan merentangkan tangannya saat itu untuk memeluk sang putri tercinta. Ia amat merindukannya setelah sekian lama.

“Gadis kesayangan ayah akhirnya pulang,” peluk dan kecup mesra pria itu pada putrinya. Bahkan ia terharu karena Ina akhirnya mau pulang untuk memenuhi panggilannya saat ini setelah sekian lama menetap di Negara tetangga.

Bukan tak mampu hanya sekedar bolak balik menjenguknya, tapi pekerjaan begitu menyita waktu ayah Ina dan semua kakaknya saat ini yang bahu membahu mengembangkan bisnis keluarga.

“Bagaimana kabar Ayah, baik kan?” Ina meraba tubuh ayahnya yang tampak sedikit kurus sejak terakhir kali ia bertemu. Padahal dulunya kekar berotot dan begitu tampan. Apa mungkin karena sekarang hanya tinggal bersama anak lelaki hingga tak ada yang mengurusnya dengan baik. Ina merasa bersalah saat ini jika semua itu benar adanya.

Saat ini hanya Zack yang belum bertemu dengan Ina. Kakak tertuanya dari keluarga Panduwishaka, sekaligus kakak yang paling ia takuti selama ini. Ia yang paling dingin dan garang dibanding Ray dan ayahnya. Tapi, kak Zack juga yang selalu bisa mencari Ina kemana pun ia kabur selama ini meski ditempat terpencil sekalipun.

“Mencariku?” tanya seorang dengan suaranya yang tegas, merentangkan tangan untuk menyambut adiknya tercinta yang sudah lama ta kia temui. Cukup lama baginya meski baru Enam bulan lalu mereka tak bertemu.

Ina yang awalnya kaget itu langsung tersenyum dan berlari untuk memeluknya. Dipeluk dengan begitu erat hingga Ina meloncat kedalam gendongannya saat itu juga.

“ Kau sepertinya sangat sehat,”

“Kenapa, Ina berat kah?” goda gadis itu, yang kemudian segera turun dari gendongan sang kakak. Tak kalah jahil, Zack menganggukan kepala pada adiknya hingga mereka tertawa bersama.

“Akhirnya kau pulang, dan aku tak akan membiarkan kau pergi lagi setelah ini.”

“Tapi bukan berarti tak membiarkan Ina keluar dari rumah, kan?” tanya gadis itu. Yang bukannya istirahat justru ia ingin segera berkeliling kota dengan mobil kesayangannnya. Ya, mobil hadiah dari mama untuk ulang tahunnya yang ke 17, yang setelah ulang tahun itu justru mama Ina drop dan meninggal tak lama setelahnya.

“Kau tak lelah? Butuh pengawalan?” tanya cemas Zack pada adik bungsunya itu. Yang meskipun bukan saudara kandung, tapi ia amat mencintainya melebihi apapun sebagai pengganti cintanya pada mama.

Ina menggelengkan kepala, kemudian ia langsung melangkah pergi naik menuju kamarnya sendiri melihat Ray tengah memberesakan semua pakaiannya disana. Ina terkejut karena Ray melakukan itu, sementara Ina tak pernah memintanya.

“Biar Ina aja, kan Ina malu ada dalemannya.” Gadis itu langsung meraih kopernyya saat itu dengan wajah yang tertunduk malu.

“Kayak sama siapa aja, Ina. Dulu juga maunya mandi bareng,” goda Ray mencolek dagu adik kecilnya itu. “Kak Zack pulang?”

“Iya, udah dibawah sama ayah. Sana Kakak keluar, Ina mau ganti nih. Ina mau jalan-jalan,” usirna mendorong tubuh tinggi nan kurus kakaknya itu. Ray hanya tertawa dengan terus menggoda Ina hingga adiknya memekik kesal karena ulahnya. Tapi itu lucu, hingga akhirnya mereka tertawa bersama.

Ina kemudian mandi, mengganti pakaian dengan yang begitu santai untuk pergi keluar segera. Tak lupa ia memakai syal coklat pemberian mama untuk menutup lehernya.

*

Rafa saat itu juga telah tiba di ruma kontrakannya. Ia masuk disana dan langsung merebahkan diri di sofa kemudian memejamkan mata sejenak untuk penghilang lelahnya.

“Kau memiliki tugas sore ini, kau harus melakukan transaksi menggantikan papa Jo.” Seseorang mendadak keluar dari sebuah kamar di rumah itu, bahkan ia menggandeng seorang wanita berpakaian minim disampingnya. Apalagi yang baru saja mereka lakukan jika tak saling bertukar cairan.

“Menjijikan. Ini rumahku, dan kau tak berhak sembarangan masuk disini, apalagi membawa perempuan bayaran.” Rafa begitu datar membalasnya saat itu. Ialah Sam, rekannya di Storm. Itu adalah nama sekelompok mafia yang dipimpin oleh ayah angkatnya.

Mereka sebenarnya kompak, tapi selalu bertentangan dengan prinsip hidup yang ia mereka punya hingga tak jarang mereka berselisih setiap kali bertemu.

“Jangan sok suci, R… Aku tahu kau juga sering bermain diluar sana, dan kau terlalu bucin menunggu cinta kecilmu itu,” ledek Sam padanya.

“CInta kecil ditunggu, jangan-jangan dia malah sudah menikah dan sudah melupakanmu, Tuan. Jangan terlalu naif jadi orang.” Wanita itu ikut-ikutan membully Rafa dengan segala ucapan yang ia sebut canda. Ia tak tahu jika Rafa atau pria yang kerap dipanggil R itu begitu begitu sensitive jika membahasnya.

Rafa segera membuka tas kecilnya dan meraih pistol, kemudian mengarahkannya tepat dikening wanita itu dengan tatapan tajam dan datarnya. Sam terkejut, ia sampai berdiri dan menghalangi ujung pistol Rafa dengan telapak tangannya.

“Kau kenapa? Dia hanya bercanda!” geram Sam padanya saat itu.

“Kau tak mengajarinya bagaimana harus bersikap denganku, Sam. Aku masih membiarkannya hidup karena ada kau saat ini.” Rafa kembali menyimpan pistol itu dan kembali rebah diatas sofanya yang empuk menenangkan lalu kembali memejamkan mata dengan begitu nyaman.

Sam memgerti apa maksudnya. Dengan wajah kesal saat itu ia langsung merangkul wanitanya untuk segera pergi dari sana. “Pastikan sudah kau bersihkan semua sisa kalian dari sana.” Dafa kembali memperingatkan, tapi mereka sama sekali tak mendengarnya saat itu.

*

Hari semakin sore, dan si cantik Ina tengah menikmati semua agendanya yang menyenangkan. Ia mengunjungi semua spot mewah yang ada di kota itu dan berfoto disana untuk menambah koleksi perjalanannya dan memasangnya di Instagram. Pengikutnya sudah begitu banyak, tapi ia murni hanya ingin bersenang-senang dengannya saat itu karena ia tak pernah kekuarangan uang.

Hingga akhirnya ia bertemu disebuah coffee shop. Ia segera masuk kedalam sana dan memesan kopi kesukaannya saat itu dengan pelayan sembari memainkan hpnya karena banyak komentar sudah masuk di hpnya saat itu.

“Tolong, Americano_nya. Loh, Mas yang tad ikan?” tanya Ina ketika melihat Rafa dengan seragam pelayan disana.

“Ya, saya bekerja disini. Kenapa?” tanay datar Rafa padanya. Ina cukup kecewa dengan sikap Rafa, untung ganteng, hingga ia terus meminta perhatian darinya.

“Mas, mau ucapin terimakasih atas yang tadi. Kalau ngga ada Mas, pasti saya_”

“Ini pesanannya, silahkan duduk karena yang lain sedang mengantri dibelakang.” Rafa memberi kode dengan tatapan matanya saat itu.

Dan benar saja, ketika Ina menatap kebelakang saat itu sudah begitu banyak orang yang mengantri dibelakangnya. Ina merasa tak enak hati, lalu ia pergi dari sana dan duduk di banku kosong yang tersedia. Untung masih didalam, hingga ia masih bisa menatap Rafa dan memperhatikannya saat itu. Ingin memotret wajahnya, tapi ia takut pemuda tampan itu akan semakin marah dan tak mau menegurnya sama sekali.

Hampir sejam berlalu, kopi Ina juga Sudah habis di gelasnya. Ia terus menunggu kesempatan agar bisa menyapa pelayan tampan itu, namun suasana begitu ramai hingga membuyarkan semua harapan yang ada. Ina akhirnya menyerah dan pergi dari sana dengan suka rela.

“Besok balik lagi. Yang penting udah tahu kalau Mas gantengnya kerja disana.” Ina mengepalkan tangan dengan segala semangat yang terpacu dalam dirinya saat itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!