Perkenalkan namaku Nabila Maharani, umurku 25 tahun. Aku seorang istri dan seorang ibu. Kerja diperusahaan yang terkenal dikota tempat tinggalku. Suami bekerja di cafe miliknya sendiri. Samudra perkasa, biasa kupanggil mas Sam. Terasa sempurna hidupku saat ini, mempunyai suami yang penyayang dan pekerja keras. Anak kami titipkan ke ibu ku, ibu tidak merasa keberatan karna sehari-harinya ibu memang sendiri dirumah.
Hari ini hari paling berat dalam hidupku, aku dipindahkan keperusahaan pusat yang berada di jakarta. Awalnya aku ingin berhenti saja dari pekerjaanku ini karna tidak ingin berpisah dengan anakku, tapi suamiku tidak setuju.
"Mas, aku dipindahkan ke kantor pusat," ucapku pada mas Sam.
"Bagus dong. Itu artinya kamu dipercaya bos kamu," jawab mas Sam membuatku mulai khawatir
"Tapi Mas, gimana sama kamu dan Raksa?"
"Aku dan Raksa tetap disini, karna kerjaan aku ada disini. Lagian Raksa kan ada ibu yang jagain, jadi kamu nggk perlu khawatir sayang."
"Mas! Aku nggk mau pisah sama kalian!" ucapku lirih.
Mas Sam terdiam seperti memikirkan sesuatu.
"Mmm... Sayang, kamu harus tetap ambil tawaran bosmu karna cafe akhir-akhir ini menurun omsetnya dan bisa saja sebentar lagi cafe akan gulung tikar."
Perkataan mas Samudra berhasil membuatku terkejut, bagaimana bisa omset cafe makin menurun sedangkan cafe lagi rame-ramenya.
"Bagaimana bisa menurun Mas ? Bukannya pelanggan cafe setiap hari makin banyak?" tanyaku.
"Begini sayang, sebenarnya uang cafe mas investasikan ke teman mas yang ternyata dia penipu!" jawab mas samudra lirih.
"Astagfirullah... Mas, kamu investasi tanpa diskusi dulu ke aku istrimu ? Lalu apa gunanya aku, Mas?" suaraku mulai naik 1 oktaf.
"Sayang sabar, pelankan suaramu kasian Raksa lagi tidur nanti dia terganggu."
"Kamu keterlaluan, Mas. Kalo gini kita harus gimana?"
"Ya itu, kamu harus tetap terima tawaran bosmu. Tenang aja sebulan sekali aku ke jakarta bawa Raksa ketemu, kamu," bujuk mas Sam.
Kepalaku rasanya mau pecah mendengar perkataan mas Samudra. Aku tidak mau berpisah anakku.
"Kita lanjutkan pembahasan ini besok pagi, aku mau bersih-bersih dulu," putusku.
"Sayang maafkan mas, kalo kamu tidak mau pindah kekantor pusat nggk apa-apa."
"Mas kalo aku tidak pindah itu artinya aku akan berhenti kerja."
"Ya nggk masalah kamu berhenti kerja. Tapi kamu harus siap hidup serba kekurangan sayang karna uang sisa cafe aku mau putar balik jadi modal."
"Kita bahas besok, Mas. aku capek," ucapku seraya berlalu kekamar mandi untuk membersihkan diri.
Segar rasanya abis mandi, aku berjalan menuju ranjang disana sudah ada mas Sam yang tidur menghadap ketembok.
"Huuuff..." aku menghela nafas melihat tingkahnya.
Malam ini pertama kalinya kami tidur saling memunggungi seperti ini. Rasanya seperti ada yang hilang, biasanya mas Sam akan memelukku membujuk kalo terjadi perbedaan pendapat diantara kami, tapi malam ini begitu beda mas Sam tidak lagi melakukan kebiasaannya.
Malam berlalu begitu cepat, entah jam berapa mata ini mulai terpejam. Aku bangun agak siang kulihat mas Sam sudah tidak ada disampingku. Biasanya ketika aku bangun kesiangan mas Sam pasti akan membangunkanku, tapi kali ini tidak.
"Aku kesiangan, kemana mas Sam? Kenapa tidak membangunkan ku?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku cuci muka dan keluar kamar menuju kamar Raksa. Kulihat Raksa masih tidur.
"Anak Ibu masih tidur ternyata," ucapku seraya mengelus kepalanya.
Melihat sekeliling tidak ada jejak mas Sam, biasanya mas Sam berangkat ke cafe sekitar jam 8 tapi ini masih jam 7 mas Sam sudah tidak ada dirumah. Mungkin mas Sam lagi banyak urusan di cafe makanya berangkat pagi sekali. Baiklah hari ini aku puas-puasin berduaan dengan anakku mumpung libur.
"Anak ibu, manis banget sih kalo lagi tidur," ucapku gemes melihat ekpresi tidur anakku.
Raksa menggeliat, tangan mungilnya mencoba memelukku. Melihat itu aku berbaring didekatnya sambil memeluk anakku.
"Hmmm.. Nyamannya dipeluk anak ibu," ucapku dengan mata terpejam.
"Ibu bangun, Laksa lapal," ucap Raksa dengan suara cadelnya.
Merasa ada mencubit-cubit pipi dan hidung aku hanya tersenyum mendapati tingkah lucu anakku.
"Eh anak ibu udah bangun yaa?"
"Ibu lapal."
"Raksa lapar?" dijawab anggukan oleh Raksa. "Oke let's go kita kedapur ambil makanannya," ucapku seraya meraih Raksa masuk kepelukanku.
Kududukkan Raksa dikursinya lalu kuambilkan makanan untuknya.
"Raksa duduk dulu disini, ibu ambilkan makanan kesukaan Raksa."
"Ciap, Bu " ucap Raksa semangat.
"Tadaaaa... ini dia makanan kesukaan, Raksa."
"Waaaa nyamnyam," Raksa berjoget melihat ayam goreng krispi.
Diumur Raksa yang 3 tahun ini lagi aktif-aktifnya dan juga sudah mulai bisa memilih makanan kesukaannya.
"Nah silahkan dimakan sayang, pelan-pelan ya makannya."
"Iya, Bu. Makacih."
"Sama-sama, sayang. Ayo dimakan."
Anakku makan dengan lahap. Aku berpikir jika seandainya aku benar-benar ke jakarta suasana seperti ini yang aku rindukan nanti. Memikirkan akan berpisah dengan anakku membuat hatiku tersayat. Tapi kalo aku itu tidak mengambil tawaran itu bagaimana dengan kehidupan anakku kedepannya apalagi cafe saat ini sedang menurun.
"Bismillah, semoga ini jalan terbaik. Sayang, anak ibu harus selalu ingat kalo ibu sangat sayang Raksa," ucapku pada Raksa yang masih sibuk dengan ayam goreng krispi ditangannya.
"Ibu, syudah habiss ayamnya," ucapan Raksa membuyarkan lamunanku.
"Eh iya, nak. MasyaAllah anak ibu pintar makanannya habis ini," ucapku memujinya.
"Yeee laksa pintal abisiin makananya," teriaknya happy.
"Sekarang kita mandi yuk, abis itu kita ketaman."
"Holeee kita ketaman." sederhana sekali membahagiakan anak seusia Raksa ini.
Saat ini aku duduk dibangku taman didepanku Raksa sedang bermain dengan anak seusianya.
"Nak, ibu doakan kelak kamu menjadi anak yang sholeh dan bertanggung jawab."
"Ibuuu, laksa meluncul yeee", teriak Raksa saat naik peresotan.
"Hati-hati, sayang," balasku
Matahari mulai panas menusuk kulit kuputuskan untuk pulang kerumah karna kasian Raksa sudah mulai lelah dan juga kepanasan.
Kulihat sendal mas Sam sudah ada diraknya itu artinya mas Sam sudah pulang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumssalam," jawab mas Sam.
"Sayang kalian darimana?" tanya mas Sam.
"Dari taman mas. Ngajak Raksa main disana," jawabku.
"Yayah, Laksa main luncul ditaman," lapor Raksa ke ayahnya.
"Waduh waduh... anak ayah, happy sekali abis main ditaman. Kenapa ayah ditinggal?!" mas Sam bersenda gurau dengan anaknya, aku biarkan saja.
Sebentar lagi jam makan siang sebaiknya aku masak dulu.
"Sayang, mau kemana?"
"Mau kedapur mas. Mau masak bentar lagi jam makan siang."
"Masak yang enak ya, ibu," ucap mas Sam menggoda.
"Emang selama ini masakan ibu pernah ngecewain ayah?" aku balik menggodak mas Sam.
"No, masakan ibu tidak pernah gagal menurut ayah."
"Alhamdulillah kalo ayah nggk pernah kecewa dengan masakan ibu." aku tersipu mendengar pujian kecil dari suamiku.
"Ibu Raksa makanannya paling the best, ya kan Raksa?" mas Sam memujiku lalu menggoda anaknya.
"Ibu mau masak dulu dee. Disini terus, masakan nggk jadi-jadi," ucapku seraya berlalu kedapur.
Didapur masih bisa kudengar suara anak dan ayah sedang tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan, aku hanya tersenyum mendengar suara mereka.
Aku memasak makanan kesukaan suami dan anakku. mas Sam menyukai telur balado dan Raksa tetap dengan ayam goreng krispinya.
Berbagai lauk yang aku siapkan diatas meja makan. Aku tersenyum puas melihat masakanku yang kuyakin suami dan anakku akan senang saat memakannya.
...----------------...
Seperti dugaanku, suami dan anak begitu lahap makannya dan aku puas melihat itu. Aku bersyukur, suamiku begitu menyayangiku dan anakku. Semoga keluargaku selalu dalam lindungan-Nya.
Malam tiba, Raksa sudah tidur dikamarnya. Aku masuk kedalam kamar pribadiku dan suamiku. Kulihat mas Sam duduk disofa sambil memainkan hpnya sekali-kali kulihat dia tersenyum.
"Mas," panggilku ke mas Sam.
"Iya kenapa, Sayang," jawabnya dan meletakkan hpnya ke meja.
"Gimana keadaan cafe?" tanyaku.
"Huufff... Penghasilan cafe makin kacau, Sayang. Mungkin satu atau dua bulan yang akan datang mengalami kebangkrutan, jika tidak ada tambahan modal karna persediaan dicafe sudah menipis!" ucap mas Sam lirih.
"Pake uang tabungan Raksa aja dulu buat modal, Mas," ucapku memberi solusi.
"Nggk akan cukup, sayang. Emang berapa uang tabungan untuk Raksa?"
"Ada sekitar 20 juta, Mas."
"Itu masih sangat sedikit, Sayang."
"Terus kita harus gimana, Mas?"
"Begini saja, Mas pake tabungan Raksa dulu. Tambahan modalnya biar mas pinjam keteman dulu."
"Jangan minjam keteman kamu, Mas."
"Lalu, kita harus dapat uang tambahan modal dari mana?"
"Kita cari solusinya. Kita pikirkan baik-baik rencana kedepannya."
Sengaja aku tidak membahas tawaran pemindahan dari bosku karna berat rasanya aku berpisah dengan keluargaku.
"Atau begini, Kamu terimalah tawaran bosmu itu. Ini untuk jaga-jaga, kita tidak tau usaha Mas akan kembali berkembang atau tidak. Karna selain kekuarangan modal cafe kita juga sudah banyak saingannya."
"Tapi Mas, aku nggk mau jauh dari kalian."
"Bisa saja Mas ikut kamu ke jakarta, tapi cafe disini bagaimana? Mas juga nggk ada pengalaman kerja ditempat orang, Sayang."
Aku mengembuskan nafas seraya memikirkan keputusan apa yang akan aku ambil.
"Kita tidak bisa terlalu bergantung pada cafe kita yang nyaris bangkrut, Sayang. Dan ini keberuntungan untuk kita karna kamu mendapat tawaran kekantor pusat, yang dimana gaji kamu pasti akan besar disana, Sayang." mas Sam masih berusaha membujukku.
"Baiklah, Mas. Aku ambil tawaran itu, tapi kamu harus janji sebulan sekali kamu harus berkunjung kesana dengan Raksa," putusku dengan berat hati.
"Alhamdulillah... Makasih ya, Sayang. Maaf, belum bisa membahagiakanmu." ucap Mas Sam seraya membawaku kepelukannya.
"Sama-sama, Mas. Kamu, nggk perlu minta maaf, aku bahagia meski dengan keadaan yang seperti ini Mas."
"Kita tidur yuk. Besok kamu harus kekantor kan?" ajak mas Sam.
"Iya Mas. Besok pengajuan pemindahan," jawabku.
"Yasudah. Ayo kita tidur."
Malam ini kami tidur dengan posisi berpelukan, mungkin hal kecil seperti ini akan sangat jarang kurasakan saat nanti aku di Jakarta.
Pagi menyapa dengan sinarnya yang begitu hangat. Setelah menyiapkan makanan untuk anak dan suamiku, saatnya aku bersiap untuk kekantor. Seperti inilah keseharianku, disaat jam kantor aku yang akan berangkat lebih dulu, sedangkan suamiku menunggu Raksa bangun dan akan mengantarkannya kerumah ibu sebelum mas Sam ke cafe.
Aku tiba dikantor langsung menuju ke meja kerjaku di lantai 3. Disana, aku langsung membuka komputer dan melakukan tugasku.
"Mba Nabila, dipanggil keruangan bos sekarang," ucap salah satu temanku.
"Oke, makasi yaa. Aku, keruangan bos dulu."
Aku jalan dengan santai keruangan bos sambil menyapa yang lain.
Tok tok tok
"Permisi pak."
"Masuk." suara dari dalam yang kuyakini suara bosku.
Aku berjalan masuk dan berdiri tepat didepan bosku. "Pak Ryan, memanggil saya?"
"Silahkan duduk."
"Iya makasih, Pak."
"Bagaimana dengan tawaran perusahaan tempo hari?" tanya bosku to the point.
"Bismillah... Saya siap dipindahkan, Pak."
"Bagus. Selesaikan pekerjaanmu dikantor ini. Saya tunggu laporannya sebelum jam pulang kerja. Dan ini hari terakhir kamu masuk bulan ini. Bulan depan kamu sudah mulai kerja dikantor pusat."
"Baik terimakasih. Pak. Kalo begitu saya kembali ke meja kerja saya dulu."
"Iya silahkan."
Aku keluar ruangan dengan perasaan tidak menentu. Aku senang akan bekerja diperusahaan besar. Tapi, aku sedih akan berpisah dengan suami dan anakku.
"Kamu bisa melewati ini semua Nabila. Ayo semangat demi masa depan yang cerah untuk, Raksa," ucapku menyemati diriku.
Aku kembali disibukkan dengan laporan yang menumpuk. Laporan ini akan aku serahkan ke pak Ryan sore ini.
Pekerjaanku selesai tepat waktu. Aku segera membawanya keruangan pak Ryan, dan selanjutnya aku sudah tidak punya tanggung jawab dikantor ini lagi. Tanggung jawabku berpindah kekantor yang lebih besar dari ini.
Tok tok tok
"Masuk."
"Permisi, Pak. Ini laporannya."
"Ya taruh di meja. Setelah ini, kamu bereskan barang-barang kamu dan pulanglah istirahat. Kamu akan lebih sibuk jika sudah berada dikantor pusat."
"Kalo begitu saya permisi, Pak. Dan terimakasih atas kepercayaan Pak Ryan kepada saya."
"Iya, silahkan. Semoga kamu betah kerja dikantor pusat."
"Aamiin... Sekali lagi terimakasih, Pak. permisi," ucapku kemudian berjalan meninggalakan ruangan pak Ryan dan aku membereskan barang-barangku.
Pulang dari kantor, aku singgah menjemput anakku dirumah ibu. sekaligus, aku ingin pamit ke ibu. Beginilah kehidupanku, setiap hari mas Sam yang mengantar Raksa ke ibu maka aku yang akan menjemputnya saat pulang.
"Assalamualaikum," ucapku seraya masuk kerumah ibu yang selalu sepi ini.
"Waalaikumssalam. Kamu sudah pulang, nak. Gimana kerjaan hari ini? Lancar?" tanya ibu.
Aku mencium tangan ibu dengam takzim "Alhamdulillah lancar, Bu. Raksa mana, bu?" jawabku lalu mencari Raksa.
"Raksa, masih tidur dikamar." ibu duduk didekatku. "Kamu kenapa, nak?" tanya ibu.
"Bu, maaf setelah ini Nabila akan lebih merepotkan Ibu."
"Ada apa, nak? Cerita sama ibu."
"Cafe mas Sam terancam bangkrut Bu, dan untuk memulai kembali butuh modal yang besar sedangkan tabungan kami belum cukup untuk dijadikan modal. Kebetulan, Nabila dapat tawaran pindah kekantor pusat di Jakarta."
"Lalu?"
"Aku menerima tawaran itu, Bu," kataku
"Suami dan anakmu bagaimana?"
"Inilah yang membuatku berat menerima tawaran itu, Bu. Tapi, ini demi kesejahteraan Raksa kedepannya, Bu. Kalau aku berhenti bekerja dan cafe bangkrut bagaimana kebutuhan harian kami Bu, terutama kebutuhan Raksa."
"Hmm... Baiklah. Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suamimu maka, Ibu bisa apa. Soal Raksa, kamu tenang saja. Ibu akan menjaganya, biarkan Raksa tinggal disini."
"Makasih ya, Bu. Maaf juga sudah merepotkan, Ibu," aku memeluk ibu.
"Pulanglah, sebentar lagi suami pasti pulang. Sebentar, Ibu liat Raksa dulu."
Ibu masuk kedalam kamar dimana Raksa sedang tidur, beberapa menit kemudian ibu keluar bersama Raksa yang sudah dimandikan oleh neneknya.
"Assalamualaikum... Sayangnya Ibu " sapaku ke anakku.
"Waalaikumssalam, Ibu."
Aku memeluk anakku. Setengah hari saja tidak bertemu anakku rasanya begitu rindu dengannya, bagaimana jika nanti aku ke Jakarta.
"Ayo kita pulang, Nak. Ayah pasti sudah ada dirumah menunggu kita," ajakku.
"Ibu, kami pulang dulu yaa. Raksa, salim ke Nenek dulu sayang." Raksa salim ke neneknya dan gantian akupun salim ke ibu.
"Assalamualaikum, Bu"
"Waalaikumssalam, ya hati-hati bawa motornya."
Ya setiap hari aku naik motor kekantor karna memang kami belum punya mobil untuk saat ini cuma motor yang sanggup kami beli.
...----------------...
Suasana rumah masih dalam keadaan gelap, yang artinya mas Sam belum pulang dari cafe. Aku dan Raksa masuk dan segera menyalakan semua lampu.
"Sayang, main dikamar ibu aja ya. Kbu mau mandi."
"Iya, Bu."
Kemudian kubawa Raksa kekamar dan kusiapkan mainannya, agar Raksa tenang saat kutinggal mandi. Aku akan berusaha mandi secepat kilat agar anakku tidak merasa takut main sendiri.
Hanya butuh waktu lima menit aku mandi, dan kulanjutkan dengan berpakaian.
"Raksa sayang, lagi main apa, nak?" tanyaku seraya mendekat ke Raksa.
Aku bermain sebentar dengan Raksa, karna sebentar lagi aku akan memasak untuk makan malam kami.
Makan malam sudah siap tapi suamiku sampai sekarang belum juga pulang. Baru kali mas Sam pulang sangat terlambat. Mas Sam pulang dari cafe paling lambat jam 6 tapi ini sudah jam 7. Kuhubungi nomornya tidak aktif, bahkan mas Sam tidak memberi kabar atas keterlambatannya.
Aku menunggu diruang keluarga sambil mengawasi anakku yang sedang bermain dengan mainannya.
"Mas, kamu kemana sih? apa terjadi sesuatu di cafe?" aku terus mondar mandir didepan Raksa, hp terus kugenggam sekali-kali aku kembali menelfon mas Sam tapi tetap saja tidak bisa dihubungi.
Jam 8 malam, baru terdengar suara motor mas Sam masuk ke garasi. Aku segera menyusul kedepan. Aku berdiri didepan pintu sambil mengawasi mas Sam yang memposisikan motornya dengan baik.
Mas Sam berjalan kearahku sambil tersenyum. "Assalamualaikum, Sayang."
"Waalaikumssalam, Mas," balasku seraya mencium takzim tangannya. "Ya Allah... Mas, kamu kenapa susah banget dihubungi? apa terjadi sesuatu di cafe? Kenapa tidak mengirim pesan kalo terlambat pulang? Aku khawatir tau nggk sih."
"Sayang, tenang dulu. Istigfar... Maaf, mas lupa ngasih kabar. Hp juga Masn matikan, karna ada rapat tadi di cafe," ucap mas Sam sambil merangkul pundakku.
"Mas, lain kali jangan kayak gini. Apa-apa itu harus kasi kabar dulu, agar istri dirumah nggk khawatir," ucapku kesal.
"Hehehe... Maaf, Sayang. Mas khilaf," ucap mas Sam kemudian menghampiri Raksa. "Anak ayah lagi main apa ini?"
Raksa menoleh ke ayahnya dan langsung memeluknya erat "Ayaaah, ini laksa main lego tadi nenek beliin laksa lego ini " ucap Raksa seraya memainkan mainannya yang tadi dibelikan oleh ibu. Ibu memang sangat suka membelikan mainan untuk cucunya ini.
"Waaah... Bagus banget ini legonya Raksa, nanti main sama ayah yaa?!"
"Iya, Yah." Raksa lanjut menyusun legonya.
"Mas mandi dulu sana. Biar aku hangatkan makananya."
"Eh nggk usah, Sayang. Mas tadi sudah makan di cafe."
Aku berpikir, baru kali ini mas Sam makan malam di cafe. Sebelumnya, meskipun ada rapat mas Sam tidak akan makan dicafe karna mas Sam tau aku masak untuknya dirumah.
"Ah sudahlah, mungkin mas Sam tidak enak sama karyawannya jika terus menolak makan bersama." aku berusaha berpikir positif karna memang selama ini mas Sam tidak pernah melakukan hal yang akan merugikan dirinya.
Pagi menyapa, Aku hari ini sangat sibuk karna mulai menyiapkan barang yang akan dibawa ke jakarta dan juga barang Raksa yang akan dibawa kerumah ibu.
Selesai membuat sarapan aku membangunkan suami dan anakku.
"Mas bangun. Udah jam 7 ini." aku membangunkan suamiku dengan lembut.
"Iya Sayang 5 menit lagi," jawab Samudra
"Hmm... Yaudah deh. Aku bangunin Raksa dulu."
Aku keluar kamar dan menuju kamar Raksa yang berada disamping kamarku. Aku masuk kekamar dan ternyata Raksa sudah bangun.
"Anak ibu udah bangun yaa. MasyaAllah pintarnya, anak Ibu," ucapku seraya memujinya.
"Ibuuu," ucap Raksa menyambutku.
"Udah enakan perasaannya, Sayang?" tanyaku lembut dan dijawab anggukan oleh Raksa.
"Baiklah. Sekarang kita cuci muka dan gosok gigi abis itu kita makan," ajakku.
Aku dan Raksa keluar kamar menuju ruang makan, disana ternyata sudah ada mas Sam.
"Ayaah, gendong laksa," ucap Raksa keayahnya.
"Eh, anak ayah. Ayo sini nak, ayah gendong." mas Sam mengendong Raksa.
"Ayo, sekarang kita makan dulu. Mumpung makanannya masih hangat."
"Siap, Ibu," jawab mas Sam dan mendudukkan Raksa dikursinya.
Selesai sarapan dan membereskan bekas makan. Aku kekamar menyiapkan barangku, tidak banyak yang akan kubawa karna terlalu repot jika bawa banyak barang sedangkan aku berangkat sendiri. Aebelum masuk kamar, kulihat mas Sam dan Raksa sedang menonton kartun botak kembar kesukaan anak-anak.
Sungguh melelahkan mengatur barang agar muat dengan satu koper besar. Selanjutnya, aku kekamar Raksa dan memasukkan barangnya kedalam koper yang ukurannya sedang. Mainannya hanya sebagian yang akan dibawa kerumah ibu, karna disana sudah lumayan banyak mainan yang dibeli ibu.
Aku menyusul anak dan suamiku yang masih berada diruang tv ternyata mereka ketiduran pantas saja dari tadi aku tidak mendengar suara mereka. Aku duduk disamping suamiku dan anakku, aku memandangi wajah mereka. Aku ingin puas-puasin memandangi wajah orang tercintaku karna jika di Jakarta nanti tidak bisa lagi kupandangi wajah kesayanganku ini. Setelah puas, aku ikut berbaring dan memeluk mereka.
Adzan dzuhur berkumbang di mesjid dekat rumah. Aku bangun dan akan melakukan kewajibanku sebagai umat muslim, kubangunkan mas Sam agar bisa shalat bersama.
"Mas, bangun shalat dulu yuk."
"Jam berapa, Sayang?" tanya mas Sam sambil mengucek pelan matanya.
"Waktunya shalat dzuhur, Mas."
"Mas wudhu dulu. Kamu, tunggu disini, kita shalat disini aja."
Aku menyiapkan sajadah untukku dan suamiku. Kami shalat diruang tv agar jika kamk shalat dan Raksa bangun tidak menangis mencari orangtuanya.
Selesai shalat aku kedapur menyiapkan makan siang. Beginilah keseharian Ibu rumah tangga yang tidak ada habisnya, tapi ini yang akan kurindukan nanti. Dari arah dapur kudengar suara tawa Raksa.
"Makan siang siap, mari makan," ajakku ke anak dan suamiku.
Kami makan dalam diam. Sekali-kali aku melirik mereka bergantian. Sangat bahagia melihat suami dan anak begitu menikmati masakan kita.
Hari ini kami bertiga berada ditaman. Kami mengadakan piknik kecil-kecilan, Raksa berlarian kesana kemari dengan teman sebayanya. Mas Sam duduk disampingku menikmati cemilan yang kami bawa dari rumah.
"Mas, maaf ya, aku akan sangat jarang melayani Mas nanti."
"Nggk masalah, Sayang. Ini semua kan demi masa depan yang cerah untuk Raksa nantinya. Mas disini juga akan berusaha kembali mengembangkan cafe."
"Iya, Mas. Aku ngerti," ucapku lirih.
"Tidak akan lama, Sayang. Beri Mas waktu sekitar satu tahun, saat usaha cafe disini berkembang kamu boleh berhenti kerja dan kembali lah kesini, atau jika memungkinkan Mas yang akan kesana membawa Raksa sekaligus membangun cafe disana."
"Iya mas, itu juga ide yang bagus. Aku akan sabar menanti itu semua."
"Sabar ya, Sayang. Kamu yang kuat disana, jaga kesehatan juga dan yang paling penting jangan lupakan suamimu ini," ucap mas Sam diakhiri dengan candaan.
Aku memukul pelan dada suamiku. "Iih Mas, apaan sih, gimana bisa aku lupain kamu, kamu separuh nyawaku Mas." kutatap lembut mata indah suamiku.
"Separuh nyawaku seperti lagu yaa, Sayang."
"Heheh... Emang lagu. Mas." Mendengar jawabanku mas Sam menggelitikku dan kemudian kurasakan gelitikan jari-jari mungil.
"Waduuh... Ibu dikeroyok. Ini tidak adil," ucapku ikut menggelitik mereka bergantian.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!