Happy reading..
Pria tampan bertubuh gagah itu, berjongkok di depan makam kakaknya yang masih basah sambil membawa seikat bunga mawar putih kesukaan Nindy. Ingatannya kembali ke beberapa waktu yang lalu, ketika Nindy meminta balas atas sakit hati yang digoreskan oleh suami dan wanita selingkuhannya.
"Berjanjilah padaku, Narendra! Balaskan sakit hati kakak pada pria be_jat yang tidak tahu diuntung itu, dan juga wanita simpanannya yang telah menguras uang kakak," pinta Nindy yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Pastikan, pria sial-an itu tidak mendapatkan sepeserpun dari harta Keluarga Guinandra. Jangan biarkan wanita murah_an itu menikmati harta Keluarga Guinandra!" ucap Nindy dengan nafas tersengal, tangan dinginnya menggenggam kuat tangan Narendra, adik laki-laki satu-satunya.
"Bertahanlah, Kak! Demi janin yang ada dalam kandungan kakak," Narendra berusaha menahan air mata yang ingin meluncur dari pertahanannya. Hati pria itu tak kuat melihat keadaan kakak perempuannya yang terbaring lemah di ranjang pesakitan, akibat suaminya yang brengsek.
"Kami tak ingin kehilanganmu, Kak Nindy. Bertahanlah, kakak pasti kuat," tangis Narendra akhirnya pecah sambil memeluk tubuh Nindy yang lemah.
"Tidak ada harapan lagi untukku hidup. Buat apa aku hidup, jika dia selalu menyakiti hati aku. Kumohon, Narendra. Demi kakak, berjanjilah!" tegas Nindy untuk yang terakhir kalinya.
Terpaksa Narendra menuruti kemauan kakaknya. Dalam pikiran Narendra saat itu adalah dengan mengabulkan permintaan kakak perempuannya yang sangat dia cintai akan bisa meredakan emosi jiwa wanita yang sedang terbaring lemah itu. Tapi kenyataan berkata lain.
"Ma-af-kan ka-kak, Naren..," ucap Nindy untuk terakhir kalinya dengan nafas yang tersengal.
Tiiiiitttt..
"Aarrrggh," teriak Narendra ketika indera pendengarannya tertusuk bunyi mesin monitor yang tersambung di tubuh lemah, Nindy. Menandakan jika jantung kakak perempuannya itu berhenti berdetak.
"Tidak mungkin! Ini hanya mimpi! Kakak tidak boleh pergi. Kak Nindy harus menyaksikan sendiri bagaimana aku membalaskan sakit hati kakak pada pria brengsek itu, juga wanita murahan yang telah berani naik ke ranjang Heru!"
Narendra memeluk tubuh kakak perempuan satu-satunya itu, yang sudah tak bernyawa. Air mata nya merembes ke pipi. Begitu cepat takdir memisahkan dirinya dengan kakak perempuannya. Meskipun terkadang mereka terlihat usil sama-sama cuek, tapi keduanya saling menyayangi.
******
Flashback on.
Narendra melewati kamar kakaknya, ia mendengar suara isak tangis yang menyayat hati.
Pria itu menghentikan langkanya, ia berdiri tepat di depan pintu yang terbuat dari kayu mahal, yang tidak tertutup rapat. Bukan maksud Narendra untuk menguping seseorang yang ada di dalam kamar itu, tapi dari suara yang dia dengar, si empunya sedang kesal dengan orang yang sangat dicintainya.
"Kenapa kamu berselingkuh di belakangku, Heru! Kurang apa aku padamu? Hingga kamu tega mengkhianati cinta tulusku! Hiks.. Hiks..!" isak tangis perempuan yang kecewa oleh pasangannya.
PRAKKK..
PYARRR..
Suara gaduh semakin terdengar dari dalam kamar.
"Lebih baik aku mati saja, Heru! Dari pada aku melihat kau bersama wanita lain! Wanita murahan itu tidak akan bisa menggantikan posisiku di hatimu! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan wanita sepertiku lagi, Heru! Percuma juga, aku mengandung anak darimu, jika kamu di luar sana masih saja berselingkuh dengan wanita-wanita murahan itu! Lebih baik aku mati bersama anakku!"
"Aaarrrggghhh."
BRAAAKK..
"Kakak, apa yang kau lakukan," Narendra langsung berlari ke arah perempuan yang duduk di pinggir ranjang dengan sebilah pisau di tangan kanannya, akan menyayat urat saraf tangan kirinya.
"Biarkan kakak, mati. Naren!" pekik Nindy, kakak perempuan Narendra yang sudah putus asa.
Narendra melemparkan pisau yang berhasil direbut dari tangan kakaknya.
"Jangan berbuat yang macam-macam, kak!"
"Buat apa kakak hidup, Naren! Dia sudah tak cinta pada kakak!" ucap Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.
Narendra terkesiap. Wajahnya berubah mengeras.
Hubungan kakak beradik itu memang dekat sekali. Sejak kecil sikap melindungi pada kakak perempuannya sudah terlihat sekali pada diri Narendra. Siapa pun yang berani menyakiti kakaknya, pasti dengan berani dia akan membalaskan sakit yang diterima kakaknya itu.
Tapi, semenjak Nindy, kakak perempuan satu-satunya itu menikah dengan Heru, pria yang sangat dicintai Nindy. Hubungan mereka menjadi renggang. Keduanya jarang berkomunikasi, Narendra tidak seberapa suka dengan sifat Heru, suami dari kakak perempuannya itu.
Bagi Narendra, seorang Heru hanya menginginkan harta dari keluarga besarnya saja. Sudah sangat terlihat dengan jelas, pertama kali dia masuk ke dalam keluarga besar Guinandra. Dia hanya seorang pengangguran yang memakai topeng dengan memperlakukan semanis mungkin kakak perempuannya.
Nindy yang percaya dengan cinta tulus Heru yang diberikan padanya langsung menerima apa adanya Heru. Dia tidak memandang status sosial laki-laki yang sangat dicintainya.
Hati Narendra menjadi penasaran, ada masalah apa sebenarnya antara kakak perempuannya dengan Heru, suaminya itu. Hingga kakaknya, berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.
'Dari pertama Heru masuk ke dalam keluarga besar Guinandra saja, aku sudah meragukan laki-laki itu. Pasti suatu hari dia akan berulah,' batin Narendra. Heru akan menyakiti hati kakak perempuan satu-satunya yang Naren miliki.
Heru telah mengubah semua kebiasaan baik Nindy, hingga dia berani menjauhkan Nindy dengan Narendra. Narendra hanya bisa memantau kakaknya dari kejauhan, dia tidak begitu saja melepaskan kakaknya pada laki-laki yang dianggap sampah.
Nindy mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di samping tempat tidurnya. Lalu, menyodorkan test pack yang memperlihatkan garis merah dua itu pada Narendra.
"Apa ini?" jawab Naren dengan wajah polosnya.
Bibir Nindy mengerucut sebal. "Masa begituan saja kamu nggak tau!" seru Nindy kesal.
"Kan memang Naren tak pernah pakai barang seperti ini kakakku sayang," balas Naren dengan wajah tanpa dosa.
"Makanya cepat kawin!" seloroh Nindy.
"Kawin sudah berkali-kali, nikahnya belum," jawab Naren dengan usil. Dia berusaha mencairkan suasana.
"Gaya kamu, sok-sok an! Emang kawin sama kebo!"
"Mana ada kebo yang mau dengan cowok ganteng seperti Narendra, hiyak.. Hiyak," ledek Naren.
"Narendra!" pekik Nindy. "Kakak serius ini!"
Nindy melemparkan bantal ke arah Narendra, adik laki-lakinya. Lantas melemparkan tubuhnya ke tengah-tengah ranjang yang berukuran besar itu. Kemudian memeluk guling dan mulai menangis lagi.
"Lah kenapa kakak tidur? Jadi cerita nggak sama Naren?"
"Kakak hamil, Narendra!" pekik Nindy di sela-sela tangisnya.
"Alhamdulillah, puji syukur kalau Kak Nindy sekarang hamil. Terus mau apa lagi? Itukan yang ditunggu-tunggu kakak selama ini."
"Heru selingkuh!" jerit Nindy.
"A-apa?"
Netra Naren terbelalak tidak percaya oleh ucapan kakak perempuannya. "Yang benar, Kak? Jangan bercanda!"
"Benaran, Naren. Heru selingkuh semalam, aku memergoki dia tidur dengan wanita murahan itu!" ujar Nindy dengan tangisan semakin keras.
Wajah Narendra berubah menjadi dingin. Tangannya mengepal kuat.
"Baji_ngan itu berani-berani berselingkuh!" giginya bergelatuk. Emosinya membuncah.
Wajah ramah Narendra telah berganti dengan wajah dinginnya yang ingin segera menghabisi mangsanya.
"Siapa wanita murahan itu?" bentak Narendra dengan wajah yang memerah.
🍁🍁🍁🍁
Happy reading..
"Siapa namanya!" bentak Narendra dengan emosi yang sudah tak bisa diredam lagi.
Nindy melempar bantalnya ke muka Narendra. "Mana aku tahu!"
"Kakak tau dari siapa, kalau Heru berselingkuh!" wajah ramah itu seketika hilang, berganti dengan aura dingin mencekam.
"Aku kemarin mengikuti Heru sampai ke lokasi, tempat bertemunya dengan wanita murahan itu!" ujar Nindy seraya membuang mukanya.
"Dimana!" geram Narendra.
"Di hotel Pasific!"
"Pasific milik Tyaga?"
Nindy menjawab dengan anggukan.
"Benar-benar memalukan suami kamu itu, Kak! Bisa-bisanya kamu cinta mati dengan orang seperti Heru! Dasar laki-laki tak berguna!"
"Narendra!" pekik Nindy.
"Apa?"
Bola mata Narendra menatap tajam ke arah Nindy.
"Dia suami, kakak. Narendra!" teriak Nindy tak terima, jika suaminya dihina Narendra. Cinta telah membutakan Nindy.
"Suami? Suami macam apa dia! Yang hanya bisa menyakiti hati istrinya! Bahagia tidak, nyesek iya!" hardik Narendra.
"Tapi bagaimana pun Heru tetap Ayah dari bayiku, Narendra!"
"Diam!"
PYARRR..
Suara benturan keras dari lampu tidur ke lantai granit dan pecah seketika, akibat Narendra yang membantingnya penuh dengan emosi.
"Kakak, ada fotonya?"
"Tidak ada," jawab Nindy pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Aarrggghh.. Bagaimana ini?" Narendra mengacak frustasi rambutnya.
Tiba-tiba, Nindy teringat sesuatu. "Sebentar, aku cek dulu," Nindy bergegas mencari ponselnya.
Kemudian mengecek saldo rekeningnya yang telah berkurang lima ratus juta.
"Sini, aku lihat!" Narendra menyambar benda pipih yang dipegang Nindy.
Rekening Nindy berkurang nominalnya dalam waktu semalam.
"Gila!" pekik Narendra tak percaya, bibirnya menganga sempurna.
"Kenapa?" tanya Nindy penasaran.
"Buat sewa wanita murahan begitu saja sampai merogoh kocek sebesar ini? Secantik apa dia?"
"Uang itu bukan untuk wanita murahan semua! Itu separuh buat hotel Pasific dan separuhnya lagi buat wanita murahan itu!" terang Nindy.
"Sama saja! Intinya tetap uang kakak berkurang lima ratus juta, hanya untuk kebe_jatan Heru! Selingkuh tak bermodal! Bisa cuma ngabisin uang kakak!" kesal Narendra sambil beranjak dari kamar Nindy.
"Jangan kemana-mana atau berbuat nekat lagi! Aku pergi dulu!"
"Iya," jawab Nindy ketakutan melihat adik laki-laki nya marah seperti itu.
Nindy yakin sekali, jika Narendra sudah seemosi itu, sudah dipastikan dia akan menghabisi musuhnya tanpa belas kasihan.
-
-
Jam kerja telah berakhir, gadis cantik berusia dua puluh tahun itu, mengganti baju kerjanya dengan celana jeans ketat dan kemeja lengan panjang.
Gadis yang memiliki paras cantik, dengan tinggi badan 166 cm. Kulit mulus meski pun dia jarang melakukan perawatan khusus seperti temannya Andani.
Ia duduk di depan meja bar untuk menemui temannya sebentar, yang menjadi salah satu bartendernya.
Mereka bertiga adalah sahabat sejak duduk di bangku SMP. Rumah mereka pun tidak berjauhan, hanya beda RT.
"Haiss, jangan dibawa semua!" Hardik Gendhis pada Andini yang tiba-tiba turun dari lantai VVIP Hotel Pasific. Lalu mencomot cemilannya.
"Pelit!" ketus Andini.
"Biarin! Emang nggak dikasih makan di atas?" cerca Gendhis.
"Dikasih!" jawab Andini sambil mengunyah kripik ceker milik Gendhis.
"Apa?"
"Sosis!" Andini menjawab sambil nyengir.
"Kenyang-kenyang, kamu makan sosis bertoping mayones!" Gendhis mencibirkan bibirnya ke arah Andini.
"Mau coba? Lezat lho!" Andini pamer ke Gendhis lezatnya sosis bakar bersaus mayones.
"Ogah! Nggak minat!" Gendhis menyilangkan tangannya di depan dada.
"Mayan, Ndhis. Hasilnya gede bisa buat beli rumah sama mobil, biar bisa buat gaya gitu!"
"Ckckckck.. Pemikiran yang dangkal!" ejek Gendhis. "Kamu aja, aku enggak. Cuma minta traktiran aja ke kamu."
"Enak di kamu! Mampus di aku!" seloroh Andini, mencomot lagi keripik ceker yang masih tersisa di atas meja bar.
Di hadapan kedua cewek itu, tengah berdiri cowok yang sedang sibuk melayani tamu bar. Rico tengah meracik minuman pesanan tamunya.
"Ayo ikutan sebentar napa," Andini menarik tangan Gendhis untuk di ajak ke lantai atas yang sering digunakan untuk mengadakan pesta para konglomerat.
"Aku lelah, Andini," ucap Gendhis melepaskan tangan sahabatnya itu dari tangannya.
Andini mencondongkan tubuhnya ke arah Gendhis, lalu membisikkan di telinganya. "Ada tamu spesial, Ndhis."
Gendhis menghembuskan nafas lelah.
Belum juga Gendhis menjawab ucapan Andini. Dia sudah menggesekkan ibu jari dan telunjuknya. "Money Mechine, Ndhis."
"Andaikan bukan pekerjaan seperti itu, sudah aku ambil dari kemarin, Andini," ujar Gendhis.
"Kamu tidak perlu bekerja keras, kawan," ucapan Andini terus berdengung di rungunya.
Gendhis mendorong tubuh perempuan genit yang berada di sampingnya. "Aku tidak tertarik, buat kamu saja!"
"Ini sosis jumbo, Ndhis! So sexy dan aku yakin pasti super," ujar Andini lagi, semakin memanaskan telinga Gendhis.
Rico hanya bisa terkekeh dan menggelengkan kepalanya, melihat tingkah kedua temannya itu. "Beneran gila! Se_tan berwujud manusia kamu, Andini."
"Lebih baik aku milih, Rico aja. Sudah pasti masih ori!" Gendhis menatap ke arah Rico yang tersenyum ke arahnya.
Andini mendengkus. "Pilihan yang bagus sih! Tapi, sayang kau melepaskan tangkapan besar kali ini, Ndhis!"
"Untuk kamu saja! Nope!" Gendhis berpaling pada Andini.
"Payah!" sungut Andini. "Kalau aku sudah merasakan semuanya!" sombongnya.
"Hahaha.. Sosis jumbo 15 sampai 25," Gendhis tidak dapat menahan ketawanya.
"Ya udah, kalau nggak mau!" Andini gagal kali ini untuk membujuk Gendhis. Tangkap besarnya lolos kembali.
"Sudah sono, kembali kerja!" usir Gendhis. "Jangan lama-lama di sini!"
"Bentar napa, aku mau lihat wajahnya, Rico!" cemberut Andini.
"Hahaha.." kembali Gendhis terkekeh. "Masih ingat wajah Rico, Din!" seloroh Gendhis.
"Masihlah! Kan jodohku, Ndhis!" Andini pun berlalu.
"Auww.. Aaa.." mendadak Gendhis merem melek dengan suara rancauannya.
Terkadang tingkah genit dan ke absurd an Gendhis mengundang mata para pengunjung Hotel Pasific, yang mengira Gendhis adalah pekerja wanita penghibur di lantai VVIP. Padahal kelakuannya itu hanya untuk menghibur dirinya sendiri dan juga Rico, si bartender yang sudah berteman lama dengan nya juga Andini.
Ketika Gendhis berhasil mengambil ponsel di dalam saku celana jeans ketatnya, banyak pasang mata pria hidung belang yang kecewa. Mereka sudah menerka-nerka sedang apa perempuan yang duduk dengan menyilangkan kakinya di kursi bar itu.
"Halo, Naya," suara pria yang sangat familiar di telinga Gendhis.
Pria itu memanggil nama asli Gendhis. Nama Gendhis hanyalah nama samarannya ketika dia berada di area Hotel Pasific. Sedangkan nama aslinya adalah Dewi Nayaka Arzaquna.
"Iya, Dokter Darius," Gendhis langsung berlari keluar untuk mencari tempat yang tidak terlalu bising.
"Segera ke rumah sakit, Naya. ibumu harus segera dioperasi," perintah Dokter Darius pada Naya.
"Operasi?"
"Iya, Naya," hanya suara itu yang terakhir terdengar di telinga Gendhis.
Tubuh Gendhis, seketika lemas dan terduduk di lantai yang dingin.
🍁🍁🍁🍁
Happy reading..
Di antara rintik hujan dan sambaran kilat petir bersahutan dengan suara guntur di langit. Gadis dengan wajah sayunya itu, tetap melajukan motor matic putih nya di atas jalanan aspal. Rasa panik dan cemas mendominasi hati nya, saat ini. Pikirannya hanya tertuju pada sang Ibu yang sudah beberapa minggu di rawat di rumah sakit Premier Hospital.
Semenjak perceraian kedua orang tuanya, dan juga Ayah Gendhis tidak pernah memberikan nafkah pada anak-anaknya. Gendhis lah yang harus memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Juga harus membiayai perawatan Ibunya.
Setelah mendapatkan kabar dari Dokter Darius dari telepon selular nya, Gendhis langsung beranjak meninggalkan tempat kerjanya. Dia tidak menunggu hujan gerimis yang turun mengguyur bumi di sekitarnya. Gendhis tetap nekat menerobos nya.
"Kenapa hujan turun di saat yang tidak tepat? Selalu saja ada halangan, ketika aku harus segera datang di rumah sakit" gerutu Gendhis. "Tapi, hujan juga membawa rezeki untuk orang yang lagi menunggunya. Ya, kenapa aku jadi menyalahkan hujan. Itu kan karena keteledoran aku saja yang tak menyiapkan jas hujan di jok motor," Gendhis berbicara sendiri, dan tetap fokus pada jalanan.
Sudah hampir 15 menit perjalanan Gendhis, akhirnya dia sampai juga di pelataran parkir Premier Hospital.
Dengan tubuh basah dan kedinginan, Gendhis berjalan memasuki area rumah sakit. Bibirnya gemetar dan mulai membiru, dia mengayunkan langkahnya dengan cepat menelusuri koridor menuju ruang perawatan Ibunya.
Tanpa harus menuju meja informasi terlebih dahulu, Gendhis sudah hafal betul letak kamar perawatan Ibunya. Hampir satu bulan lebih, dia harus bolak balik ke rumah sakit itu untuk menemui sang Ibu yang sedang di rawat.
Di dalam ruangan yang bercat putih, selang infus menancap di punggung tangan wanita berusia senja, dengan mata yang terpejam rapat. Alat bantu pernapasan pun tak lepas sejak wanita itu masuk ke dalam sana.
Nampak di wajah Gendhis yang sangat kelelahan, dia belum tidur selepas waktu kerjanya.
Ia menatap Pria yang berdiri di depannya dengan tatapan tak terbaca. "Jika operasi ini jalan untuk Ibuku bisa sembuh. Aku harap, Dokter Darius bisa melakukan apa pun yang terbaik untuk Ibu. Aku tidak ingin melihat Ibu merasakan sakit seperti ini secara terus menerus. Aku tidak akan membiarkan tubuh Ibu digerogoti penyakit itu di masa tuanya. Berapa pun biayanya, aku akan berusaha membayarnya," Gendhis menghela napas panjang.
"Sabar, Naya. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk kesembuhan Ibumu.
"Tolong aku, Dokter Darius. Aku mohon lakukan yang terbaik buat Ibu," air mata Gendhis luruh juga, dia tidak bisa menahannya.
"Sekarang tanda tangani dulu dokumen ini. Agar aku dapat segera melakukan operasi pada Ibumu," Dokter Darius menyodorkan map merah pada Gendhis.
Tanpa pikir panjang Gendhis langsung membubuhkan tanda tangan di kertas yang telah tercetak di dalam map merah yang disodorkan Dokter Darius padanya. Gendhis tidak lagi memikirkan bagaimana caranya dia mendapatkan uang sebanyak itu, dalam semalam. Yang dia pikirkan hanyalah kesembuhan Ibunya.
"Hanya dalam waktu semalam, aku harus bisa mencari uang sebanyak itu," Gendhis menghela nafasnya dalam, seraya memijit keningnya yang mulai pening. "Apa aku harus menempuh jalan itu? Apa ada orang yang mau membeli kegadisanku dengan harga segitu?" Gendhis bermonolog sendiri.
Gendhis nampak bingung dengan jalan yang harus dia pilih. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi penunggu pasien dengan berlinang air mata dan kesedihan mendalam.
Sudah lama Ibunya, sakit gagal ginjal dan perlu pengobatan yang tidak murah. Dokter Darius mengatakan pada Gendhis waktu itu, Ibunya harus segera dioperasi pencangkokan ginjal.
Sedangkan dirinya hanya tinggal berdua bersama Ibunya, semenjak perceraian kedua orang tuanya. Adik laki-laki kembarannya ditinggal bersama Ayahnya.
Sepintas Gendhis teringat nasehat Ibunya. Bekerjalah dengan cara yang halal, meskipun harus dengan bekerja keras sekalipun. Jangan sampai menjual diri, menjadi wanita murahan. Apalagi menjadi perusak rumah tangga orang. Kita boleh miskin, tapi harkat dan martabat harus selalu dijunjung tinggi. Harga diri itu harga mati yang harus dipertahankan sampai kapan pun. Tapi, saat ini Gendhis tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya memikirkan bagaimana harus mendapatkan uang dalam jumlah banyak hanya dengan waktu semalam. Ya, hanya semalam. Karena hanya itu kesempatan yang diberikan padanya oleh Dokter Darius, sesuai aturan yang tertulis di Premier Hospital, dimana Ibu Gendhis mendapatkan perawatan.
-
-
-
"Apa?" pekik Andini dengan bibir yang terbuka sempurna, setelah mendengar ucapan Gendhis, sahabatnya.
"Iya, Andini. Aku serius!" Gendhis menatap lurus ke arah Andini.
"Selama ini, aku hanya bercanda Ndhis. Bukan untuk mengajakmu sungguhan. Biarkan aku saja yang terjerumus menjadi wanita penghibur, tidak dengan kamu!" tolak Andini dengan atas permintaan sahabatnya itu.
"Tolong aku, Din! Hanya jalan itu yang bisa mendapatkan uang banyak dalam semalam," Gendhis mengiba pada Andini.
Kali ini Gendhis benar-benar tidak tau harus menempuh jalan mana lagi. Otaknya buntu seketika, melihat kondisi Ibunya yang sedang tidak baik-baik saja, bahkan bisa dibilang sudah diambang kematian.
"Ayo, Andini. Antar aku ke madam Grace. Hanya dia yang bisa bantu aku untuk mendapatkan solusinya," Gendhis terus merengek pada Andini.
"Sekali tidak tetap tidak!" tolak Andini kekeh.
"Mumpung malam ini ada pesta konglomerat di lantai VVIP, Andini," Gendhis menarik tangan Andini kuat.
Andini langsung mendekap dan memeluk tubuh ringkih Gendhis yang semakin kedinginan.
"Ibu, Andini!" pekik Gendhis dengan isak tangisan yang mulai turun dari kedua matanya.
"Aku tahu, Ndhis. Tapi aku tak ingin kamu---," Andini menjeda ucapannya.
"Aku butuh uang itu, Andini. Demi keselamatan Ibuku! Aku hanya punya Ibu, Andini," isakan Gendhis semakin menyayat hati Andini.
Tubuh dingin Gendhis semakin lemas, kakinya terasa tak memiliki tenaga lagi. Rasanya tulang penyanggahnya telah lepas.
"Tolong aku, demi kesembuhan dan pengobatan Ibu. Aku mohon, Andini!" suara Gendhis semakin melemah.
Brughh..
Gendhis menjatuhkan tubuhnya di atas lantai. Pikirannya semakin kacau. Waktunya tidak lama lagi, hanya tinggal beberapa jam saja.
Andini mengangkat wajah basah serta pucat milik Gendhis, kembali dia memeluk erat tubuh sahabatnya itu, yang melebihi dari saudara. Gendhis tidak pernah memandang rendah apalagi mencemooh nya. Dia selalu menemani Andini di saat terpuruk dan dikucilkan oleh keluarga besar Bapaknya. Hanya Gendhis dan Rico yang masih mau berteman dengan nya.
"Aku akan bantu, Ndhis. Tapi janji, hanya sekali saja dalam hidupmu. Jangan sampai kau terlena dengan kesenangan sesaat untuk mendapatkan uang dengan jalan itu," Andini berpesan pada Gendhis.
Hanya anggukkan yang diberikan Gendhis sebagai jawabannya. Bibirnya keluh tak bisa berkata-kata.
Andini menyeka air mata yang tersisa di pipi Gendhis. Begitu juga Gendhis melakukan hal yang sama.
"Terimakasih, Andini. Kau telah menyelamatkan hidupku," lirih Gendhis di rungu Andini.
💖💖💖💖
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!