"Kawan-kawan sekalian, marilah kita bersama-sama memperjuangkan hak kita. Apa yang seharusnya kita dapatkan harus benar-benar didapatkan. Kita runtuhkan rezim-rezim zalim yang memakan uang rakyat. Jangan diam saat ditindas. Kampus ini bukan hanya milik rektor dan jajarannya, jadi jangan biarkan mereka bertindak semena-mena. Kita harus bergerak saat ketidakadilan berada didepan mata. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!"
Sebuah suara lantang yang mendominasi Lapangan siang ini menjadi pusat perhatian seluruh pasang mata yang sedang menyaksikan. Suara itu berasal dari laki-laki gondrong yang rambutnya acak-acakan tertiup angin. Tubuhnya tinggi tegap berbalut jaket almamater dengan emblem Badan Eksekutif Mahasiswa, alias BEM dilengan kanannya.
Panasnya matahari siang tak menggentarkan semangatnya berorasi. Meskipun peluh bercucuran di dahi, namun laki-laki itu tetap berdiri kokoh meneriakkan suara hatinya mewakili seluruh mahasiswa.
"Tujuan pendidikan ialah mencerdaskan, bukan untuk menyengsarakan. Biaya pendidikan yang mencekik, membuat kami tidak bisa berkutik. Seolah-olah pendidikan hanya milik orang kaya saja. Yang miskin? Dibiarkan menjadi manusia bodoh. Pendidikan di negeri kita ini harusnya merata. Untuk itu kawan-kawan, jangan bungkam saat hak kita dirampas. Mari kita bersatu untuk melawan!"
"Kenaikan UKT yang tidak lagi berada diatas batas wajar, harus kita tolak! Jangan mau diperas dengan dalih pemberian pendidikan yang layak!"
Laki-laki itu terus berteriak. Beberapa orang terlihat mengabadikan momen tersebut dengan mengambil gambarnya dan kondisi sekitar.
Asap mengepul berasal dari ban yang sengaja dibakar membumbung tinggi. Menambah panasnya suhu dan situasi. Para mahasiswa baru digiring paksa untuk mengikuti aksi. Meskipun tak melakukan apa-apa, mereka diperintahkan untuk tetap berada di lingkungan tersebut.
"Disini negeri kami, berjuta rakyat bersimbah luka. Anak buruh tak sekolah, pemuda desa tak kerja. Mereka dirampas haknya….."
Lagu mars mahasiswa mulai mengalun dari megafon yang laki-laki itu pegang. Diikuti oleh seluruh peserta aksi yang turut menyanyikannya. Dari sudut, ujung kiri, ujung kanan, dibagian tengah, semua nampak bernyanyi menyuarakan protes mereka.
Hari ini, seluruh mahasiswa diharuskan mengikuti aksi yang menuntut kenaikan UKT atau uang kuliah tunggal. Kenaikan UKT yang dianggap tidak wajar, menimbulkan kontroversi dikalangan mahasiswa. Beberapa orang yang berwenang mewakili suara seluruh mahasiswa sedang berjuang didepan sana. Menuntut, meminta kembali hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Kenaikan UKT dinilai sebagai tindakan kotor para petinggi kampus yang serakah. Pasalnya, pendidikan telah diputar haluan oleh mereka.
Dimana yang bisa menikmati pendidikan itu hanyalah orang-orang yang mampu membayarnya saja.
"Nis, si Sam keren ya."
Sarah menyenggol lengan gadis berjilbab hitam disampingnya, yang dibalas dengan decakan. Gadis itu tidak peduli. Sebenarnya ia sangat enggan bergabung dengan kegiatan-kegiatan semacam itu. Namun, Sarah memaksanya. Meskipun kegiatan itu berfaedah, namun terlalu banyak mudharat yang ditimbulkan. Bercampur baurnya laki-laki dan perempuan, serta teriakan-teriakan yang memekakkan telinga membuatnya risih.
Gadis itu hendak melangkah menjauh dari keramaian, saat tiba-tiba namanya disebut melalui pengeras suara.
"Sayyidah Annisa."
Langkahnya terhenti. Beberapa pasang mata yang mengenali dirinya menatap penuh tanya. Gadis itu berdiri mematung tanpa melakukan apapun. Bahkan Sarah hanya melongo saat mendengar nama sahabatnya itu disebut.
"Jangan ada yang berpindah dari tempat ini sebelum aksi selesai." Laki-laki yang memanggil nama Nisa tadi kembali buka suara. Tak ingin menjadi pusat perhatian, gadis itu memutar arah langkahnya kembali ke tempat semula.
Rasa-rasanya matahari tak pernah semuram ini dilangit Jakarta. Cahayanya sejak pagi hingga sore ini, melemah berwarna putih keperakan seperti tiram laut karena tertutup mendung. Sesekali suara gemuruh terdengar. Membuat semua orang bisa memprediksi bahwa sebentar lagi akan turun hujan.
Samuel mengendarai motor N-Max miliknya dengan santai. Setelah menyelesaikan rapat kerja, laki-laki berambut gondrong tersebut berniat mengunjungi Toko Buku. Sejak kemarin, postingan pemberitahuan buku non-fiksi keluaran terbaru dari penerbit menggelitik jiwa bacanya. Tentu saja ia tak ingin ketinggalan.
Laki-laki itu hendak berbelok menuju Toko Buku, namun pandangannya tak sengaja mengarah pada seorang gadis yang terlihat kesulitan dengan motornya. Gadis itu nampak sedang menarik-narik juntaian baju gamisnya yang terjepit gir rantai. Merasa kasihan, akhirnya Samuel menghampiri gadis tersebut.
"Mbak, roknya nyangkut ya?"
Gadis itu mendongak, dan kedua manik mata mereka tak sengaja bertatapan. Namun tak berlangsung lama, karena setelahnya gadis itu langsung membuang pandangan.
"Iya."
Jawaban itu singkat, namun terdengar lembut. Membuat Samuel tersenyum. Ternyata gaya berpakaian gadis itu sesuai dengan sikapnya.
"Mau saya bantu?" tanyanya.
Gadis itu menggeleng, "Nda usah, ini bisa saya atasi sendiri." Ucapnya kekeuh.
Samuel merasa gemas. Jelas-jelas sejak tadi gadis dihadapannya ini terlihat kesulitan melepaskan juntaian gamisnya dari gir motor, dan yang dilakukannya hanya sekedar menarik-nariknya saja. Tapi ketika ia menawarkan bantuan, gadis itu malah menolak.
Tanpa meminta persetujuan lagi, Samuel ikut berjongkok mensejajarkan badannya disamping gadis tersebut. Refleks si gadis mundur, "Astaghfirullah."
Mata bundar dengan manik berwarna hazel tersebut membelalak seolah memberi peringatan kepada Samuel. Sedang yang ditatap merasa tak berdosa sama sekali. Ia justru sibuk memutar-mutar lilitan gamis yang tersangkut.
“Nah, berhasil.”
Lilitan gamis yang tersangkut tadi berhasil dikeluarkan oleh Samuel. Namun sayangnya, baju gamis si gadis terlihat compang-camping hingga membuat betisnya sedikit terlihat. “Mbak, itu bajunya robek.” Ucap Samuel.
Gadis itu dengan sigap berdiri. Wajahnya memerah, “Jangan dilihat, balik sana.”
Samuel hanya melongo, dalam beberapa detik ia tertegun. Menurutnya yang terlihat hanyalah sebatas betis. Itupun hanya terlihat sedikit, bukan terekspos semua. Ia bahkan sudah sering melihat bagian tubuh wanita yang lebih sebatas itu. Misalnya paha, lengan, bahkan udel perempuan pun ia sudah pernah lihat. Samuel memang pernah melihatnya, tapi bukan berarti keseluruhan tubuh perempuan pernah ia lihat.
Bukankah teman-teman di Kampusnya sering memakai pakaian yang selalu mengekspos betisnya, dengan rok sempit yang memiliki belahan panjang disamping. Bahkan Vika, rekan sesama timnya di BEM sering menggunakannya. Itulah sebabnya ia sudah merasa terbiasa. Namun gadis dihadapannya ini bereaksi berlebihan, seolah-olah betisnya yang tak sengaja terlihat tadi adalah dosa besar bagi dirinya dan bagi yang melihatnya.
Gadis itu berusaha menutupi betisnya dengan sisa-sisa gamis yang robek. Merasa kasihan, Samuel berjalan menuju motornya dan membuka bagasi. Ia ingat, ia selalu menyimpan sarung didalam bagasinya. Sarung itu biasa ia gunakan untuk sholat Jum’at. Samuel memang buken tipe orang yang agamais, meskipun jarang melaksanakan sholat lima waktu, tapi ia hampir tidak pernah meninggalkan sholat jum’at dan sholat dua hari raya. Setidaknya itu bisa dijadikan bukti bahwa dirinya masih seorang muslim.
“Pakai ini.”
Ia menyodorkan sarung tersebut kepada gadis dihadapannya. Tanpa berpikir panjang, gadis itu langsung meraih sarung tersebut dengan cepat dan langsung memakainya.
“Terima kasih.”
Samuel mengangguk. Ia hendak kembali mengambil motornya dan melanjutkan perjalanan, namun gadis itu kembali buka suara, “Maaf, bagaimana saya mengembalikan sarung ini?”
Samuel tersenyum. Entah kenapa sejak tadi gadis dihadapannya itu terlihat lucu. Sikap lugu dan polosnya membuatnya gemas.
“Nggak usah dibalikin, ambil saja.”
Gadis itu menggeleng, “Ini harus dibalikin.” ucapnya.
Samuel menghela napas, gadis ini benar-benar keras kepala. Sejak tadi ia terlalu banyak menolak. “Cari saya di Sekretariat BEM Guna Dharma.”
Akhirnya gadis itu mengangguk. Ia berbalik menstarter motornya lalu melenggang begitu saja meninggalkan Samuel yang masih berdiri di tempatnya. Gadis yang unik, batinnya.
\*\*
Suara deru motor matic milik Nisa disambut sang Abi yang berdiri di depan teras Rumah. Gadis itu memasukkan motornya di Garasi, lalu berjalan menyalami Abinya.
“Tumben nduk, hari selasa kok pulangnya lambat?”
Abinya memang selalu tahu jadwal kuliah Nisa. Apabila ada kegiatan yang mengharuskan Nisa pulang terlambat, gadis itu pasti melapor dan meminta izin kepada Abinya terlebi dahulu.
“Tadi ada masalah di jalan, Bi.” Ucapnya santun.
Abinya terlihat meneliti. Ia memperhatikan putri semata wayangnya itu dari kepala sampai ujung kaki. Hingga kemudian dahinya berkerut heran, “Kok pake sarung, nduk? Kamu ndak kenapa-kenapa kan?” Pertanyaan itu penuh nada khawatir.
Nisa tersenyum dan menggeleng, “Ndak papa, Bi. Ini tadi gamis Nisa nyangkut di gir motor, jadinya robek. Terus ada yang nolongin dan ngasih Nisa sarung.”
Abinya terlihat masih meneliti, “Tapi kamu beneran ndak papa to? Ndak jatuh dari motor?”
“Ndak papa. Ini buktinya Nisa masih bisa sampai di Rumah dengan utuh.” Gadis itu terkikik geli.
“Yowes sana masuk, bersihin diri baru siap-siap buat sholat maghrib.”
Nisa merespon perintah Abinya dengan menunjukkan gaya hormat. Membuat sang Abi menggeleng-geleng maklum dengan sifat kekanakan putrinya tersebut.
Waktu maghrib baru akan masuk 10 menit lagi. Alih-alih membersihkan diri, Nisa justru malah merebahkan diri di kasur. Badannya terasa pegal. Harusnya hari ini ia pulang pukul 2 siang, mengingat jam pertama dimulai pukul 07:00. Namun, tugas meneliti sebuah kasus yang dialami oleh kliennya, membuatnya terlambat kembali ke Rumah. Menjadi mahasiswa semester tua, mengharuskannya lebih banyak menghabiskan waktu di Kampus ketimbang di Rumah.
Jurusan yang diambilnya pun ternyata cukup menguras tenaga. Ia lebih banyak terjun untuk praktek dibanding mendalami teori. Menjadi seorang psikolog di masa depan adalah cita-citanya sejak kecil. Beruntung orang tuanya mendukung mimpi hebatnya tersebut. Meskipun jurusannya sangat melelahkan, namun Nisa menjalaninya dengan semangat tinggi. Ternyata benar, ketika melakukan sesuatu yang kita sukai, seberat apapun jalannya, selalu ada seribu cara untuk menempuhnya.
Selain perkara penelitian dengan kliennya, sebab keterlambatannya pulang juga berasal dari masalah gamis yang tersangkut di gir motor. Mengingat kejadian itu, Nisa merasa malu. Gadis itu memperhatikan sarung berwarna hitam polos dengan sedikit garis simestris yang dikenakannya. Sebenarnya ia tidak ingin mengulang lagi pertemuan dengan laki-laki pemilik sarung tersebut. Namun ia tak ingin menyimpan barang milik orang lain, apalagi itu milik seorang laki-laki.
Ia mengulang rekaman wajah laki-laki tadi di ingatannya. Laki-laki yang banyak digemari oleh gadis-gadis di Kampusnya. Laki-laki yang memiliki peran cukup penting. Laki-laki yang tidak asing dimatanya. Nisa mengenalnya. Ah, tentu bukan hanya Nisa, tapi seluruh mahasiswa UI pun pasti mengenalnya. Siapa sih yang tidak mengenal sosok Samuel si wakil ketua BEM itu. Namanya selalu hilir mudik dibicarakan. Bahkan ketenarannya mengalahkan sang Ketua BEM yang seharusnya mendapat sorotan lebih.
Nisa hanya tahu sebatas itu saja, tidak lebih. Selama 3 tahun menjadi mahasiswa UI, ia tidak pernah berbincang atau terlibat perkumpulan apapun bersama Samuel. Tadi adalah satu-satunya momen yang benar-benar bisa dikatakan mempertemukan dirinya secara lebih dekat dengan laki-laki itu. Ternyata apa yang dikatakan teman-teman seangkatannya benar, Samuel memiliki perangai yang baik, dan hal itulah yang membuat dirinya disukai banyak orang. Nisa melihat sendiri buktinya, saat Samuel membantunya tadi. Padahal ia yakin, pasti laki-laki itu tidak mengenali dirinya. Bahkan tahu bahwa dirinya mahasiswa UI juga pun mungkin tidak.
Nisa menggelengkan kepalanya. Kenapa ia jadi memikirkan Samuel? Gadis itu beristighfar didalam hati. Takut kalau-kalau hanya karena kebaikan klasik yang Samuel tujukan kepadanya tadi menarik hatinya untuk terus memikirkan laki-laki yang tidak halal.
Suara alunan gitar dan nyanyian yang terdengar sumbang memenuhi ruang sekretariat. Asap mengepul yang berasal dari kopi Torabika seduh meguarkan bau khas yang disukai oleh penikmat kopi.
“Kopi, Sam?”
Seorang gadis menyodorkan segelas kopi kearah Samuel yang sedang asyik membaca. Laki-laki itu meilirik sekilas, lalu kembali fokus pada bacaannya.
“Lo kalo lagi baca seolah-olah roh sama jiwa lo itu ada didalam buku tau nggak.”
Gadis itu merampas paksa buku yang dipegang Samuel. Membuat laki-laki itu berdecak kesal dan mengacak-acak rambut gadis disampingnya dengan gemas.
Ia mengambil segelas kopi lalu menyesapnya perlahan, “Aku rela dipenjara, asal bersama buku-buku. Karena dengannya aku merasa bebas.” Samuel kembali buka suara.
“Serah lo deh.”
Gadis itu merespon ucapan Samuel dengan tawa dan gelengan kepala.
Samuel tersenyum. Baginya semua orang yang terlibat didalam himpunan yang ditekuninya saat ini adalah keluarga. Tidak terkecuali gadis disampingnya ini. Dia adalah Vika. Rekan sekaligus Sekretaris umum BEM. Menurut Samuel, Vika adalah gadis yang cerdas, cekatan, dan bisa diandalkan. Tidak ada tugas terbengkalai apabila yang menghandle adalah dirinya.
Mereka lumayan dekat bahkan sebelum bergabung menjadi rekan sesama himpunan.
Dulu Samuel adalah ketua umum FISIP, dan Vika adalah wakilnya. Samuel merasa bangga menggandeng gadis itu menjadi rekan se-timnya Keadilan gender pikirnya.
Bagi Samuel, perempuan yang aktif berkecimpung di organisasi dan menjadi pemimpin itu bukan masalah, asal memiliki kapabilitas kepimimpinan, berkomitmen terhadap tanggung jawab, dan memiliki integritas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Menurutnya, Vika memiliki itu semua. Maka pada saat itu Samuel tidak ragu saat merekrut dan mengumumkan wakil ketua umum FISIP yang akan membantunya selama dua tahun menjabat.
“Ah gue jadi ingat, waktu pertama kali ketemu lo pas masih MABA. Culun banget sumpah. Kerjanya Cuma bantuin senior galang dana kesana kemari. Eh sekarang lo tumbuh jadi sosok yang kemana-mana bawaannya buku non-fiksi yang super berat diksinya. Dan amazingnya, nama lo tersohor di seantero Kampus.” Vika menepuk-nepuk bahu Samuel. Laki-laki itu hanya tersenyum miring.
Ia sendiri bahkan tak menyangka, bahwa waktu akan menyeretnya pada dunia yang benar-benar berbeda hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Memasuki banyak organisasi dan berkecimpung dengan hal-hal baru ternyata mampu menambah relasi yang luas. Hampir sebagian besar penghuni Kampus ia mengenalinya. Bahkan bukan hanya dari Kampusnya saja, tapi dari berbagai kalangan juga.
Sikap ramah dan mudah bergaul yang melekat pada dirinya membuatnya disenangi banyak orang. Ia juga dikenal murah hati dan ringan tangan membantu orang lain. Hatinya selalu tergerak untuk menolong siapapun tanpa melihat latar belakang orang yang ditolongnya.
Seperti halnya tadi, ketika ia menolong gadis yang tidak dikenalnya sama sekali. Gadis lugu dan terlihat agamais. Jilbab dan gamis lebar yang gadis itu kenakan menunjukkan bahwa ia adalah tipe ukhti-ukhti yang mengganti jabat tangan dengan menangkupkan kedua telapak tangan di dada saat bertemu dengan laki-laki.
Ah, sekarang ia tahu. Kenapa gadis tadi bereaksi berlebihan ketika betisnya tak sengaja terlihat. Jika kebanyakan wanita sepertinya tak ingin bersentuhan dengan laki-laki, sudah barang jelas ia juga tak mau membiarkan seinci pun bagian tubuhnya dinikmati oleh orang yang seharusnya tidak melihat. Sekarang Samuel merasa bodoh. Mengapa juga tadi ia menyamakan gadis itu dengan Vika. Dari agama saja sudah jelas berbeda. Vika adalah gadis non-muslim, cara berpakaian dalam agamanya pun tidak begitu diatur. Ia bebas memakai pakaian apa saja. Sedangkan gadis tadi nampak seperti wanita yang begitu taat dengan agama.
Samuel menepis pikirannya. Kenapa ia jadi memikirkan gadis itu? Gadis yang sama sekali tak dikenalnya. Namun entah kenapa, sejak insiden gamis yang masuk ke gir motor tadi, dirinya merasa penasaran dengan gadis itu. Tadi adalah kali pertama ia menawarkan bantuan kepada seorang perempuan tetapi justru ditolak mentah-mentah. Bahkan saat Samuel berniat membantu melepas lilitan gamisnya saja, gadis itu beristighfar seolah-olah bertemu dengan makhluk mortal.
Jika kebanyakan perempuan dengan senang hati akan menerima bantuannya, bahkan tak segan sebagian dari mereka yang meminta tolong terlebih dahulu kepada dirinya. Tapi gadis itu berbeda, ia sama sekali tak melirik Samuel sebagai laki-laki yang digemari oleh kaum Hawa.
Senyum tipis terbit dari bibir Samuel. Gadis itu tadi mengatakan akan mengembalikan sarung yang dipinjamnya. Kemungkinan besar mereka akan bertemu kembali. Ia berharap, semoga saja peluang untuk bertemu akan terjadi setelahnya dan setelahnya lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!