Sore itu … Ayline, gadis lulusan terbaik dari sebuah Universitas terkenal di Kota M, sedang duduk dengan perasaan yang kesal di sebuah restoran mewah. “Siapa sih pria ini?! Dia pikir karena dia bosnya Ayah, lalu dia bisa datang telat di pertemuan pertama kami?!”
Beberapa detik setelah menggerutu, Ayline dibuat ternganga saat seorang pria tampan berdiri di hadapannya dengan beberapa bulir peluh di dahinya. “Maaf, ka-kamu Ayline kan?” tanyanya.
Ayline masih bergeming. Ia bisa melihat jelas bagaimana napas pria itu memburu. Ditatapnya pemuda tampan di hadapannya, “I-iya, aku Ayline.”
Refleks Ayline memberikan sapu tangan yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Sapu tangan berwarna salem dengan sulaman inisial AX dibagian tepinya. “Pakailah, hem ….”
“Oswald. Namaku Oswald,” sela pria itu.
Pria bernama lengkap Oswald Pallas itu merasa sangat malu, saat menyadari maksud Ayline memberinya sapu tangan. Walau begitu ia tetap menerima sapu tangan pemberian gadis cantik di hadapannya, Ia tak ingin menyinggung perasaan Ayline di pertemuan pertama mereka.
“Terima kasih, Ayline,” ucapnya. “Maafkan aku. Karena tahu aku sudah terlambat, aku segera berlari ke sini dari perusahaanku. Jika mengendarai mobil, aku yakin akan lebih lama tiba di sini,” jelasnya.
“Tak masalah, dan terima kasih sudah bergegas ke sini untuk menemuiku,” balas Ayline.
“Sebaiknya kamu duduk dan kita pesan minuman. Kamu pasti sangat kehausan setelah berlari ke sini.”
“Benar, Ayline. Aku sangat haus,” ucap Oswald menyetujui usulan Ayline. “Tapi, kurasa semua ini pantas kulakukan untuk bertemu dengan wanita secantik dirimu.”
Semua yang diucapkan Oswald jujur dari dalam hatinya. Ayline memang cantik. Wanita tercantik dari semua wanita yang mengejar-ngejar Oswald selama ini. Jika pada awalnya, Oswald berencana menentang rencana perjodohan ini, maka sepertinya keputusannya akan berubah.
Ayline pun sama, bagai tersihir dengan ketampanan Oswald, dia bahkan melupakan jika beberapa menit yang lalu dia baru saja menggerutu mengenai pria itu. Ingatkan Ayline untuk berterima kasih pada Ayah dan Ibunya yang telah merencanakan perjodohan ini untuknya.
Dalam hatinya, Ayline tak sabar untuk segera pulang ke rumah, dan mengatakan pada Ayah juga Ibunya, jika dia bersedia seandainya Oswald memintanya menjadi istri.
...…...
Oswald, presiden direktur dari Pallas Textile, sebuah perusahaan tekstil terbesar di Kota M. Oswald adalah pria yang terkenal gila kerja. Setiap harinya, dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dibandingkan menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri.
Namun, ketekunannya inilah yang membawanya pada kesuksesan di usia mudanya. Juga hal inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar bagi Ayah dan Ibunya.
Hingga akhirnya, Tuan dan Nyonya besar- pemilik perusahaan tersebut memutuskan untuk mengatur perjodohan Oswald putranya dengan putri dari salah seorang direktur di perusahaannya. Dialah, Ayline. Putri semata wayang pasangan Damian Xanthe dan Melanie,
Nampaknya, rencana dua keluarga akan membuahkan hasil yang memuaskan. Setelah pertemuan pertamanya dengan Ayline, gadis cantik itu terus menari-nari di benak Oswald. Hingga ia akhirnya memberitahu pada kedua orang tuanya jika ia bersedia menikah dengan Ayline.
Rupanya bukan hanya Oswald, Ayline pun tak jauh berbeda. Setelah pulang dari kencan pertama, gadis itu tak hentinya memikirkan Oswald. Sikap Oswald yang tegas namun penuh perhatian selama mereka makan malam, berhasil menyentuh hati Ayline. Hingga, saat keluarga Oswald datang melamar, gadis itu dengan yakin menerima.
...…...
Setelah Ayline juga Oswald menyampaikan jika keduanya setuju dengan perjodohan itu, segala persiapan untuk pernikahan segera diatur oleh kedua keluarga besar mereka. Tugas Oswald dan Ayline adalah semakin mendekatkan diri, mengenal satu sama lain sebelum membangun biduk rumah tangga bersama.
Hari-hari yang keduanya lalui bersama terasa sangat menyenangkan. Ayline yang riang mampu mencerahkan hari Oswald yang melelahkan. Sedangkan, Oswald yang penuh perhatian, mampu mengusir kesepian di hati Ayline.
Sebulan setelah perjodohan ditetapkan, tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Oswald dan Ayline. Hari ini, keduanya akan melepas masa lajang mereka.
Sejak semalam, jantung Ayline tak henti-henti berdetak lebih cepat saat ia memikirkan mengenai hari ini. Hari di mana dia akan resmi menjadi Nyonya Muda di Keluarga Pallas. Hari di mana dia akan menjadi istri dari seorang Oswald.
Kegugupan Ayline tak hanya saat janji suci terucap dari bibir Oswald untuk mempersuntingnya. Bahkan setelah rangkaian prosesi pernikahan selesai, kegelisahan Ayline masih saja mengusiknya.
“Kenapa kamu masih gugup juga? Sekarang aku adalah suamimu, Ay,” ucap Oswald saat keduanya sudah masuk ke dalam kamar pengantin.
Ayline menelan salivanya. Bukannya tenang, ia malah makin gugup dan gelisah. Dirinya kadang merasa semua ini seperti mimpi. Hanya dalam kurun waktu satu bulan sejak pertemuan pertama, dan kini mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri.
“A-aku masih merasa ini seperti mimpi,” jawab Ayline jujur.
Mendengar jawaban istrinya, Oswald tersenyum seraya menahan tawanya. Polos sekali Istriku, pikirnya.
Dengan kaki jenjangnya, Oswald hanya butuh beberapa langkah hingga ia berhasil mengikis jarak dengan Ayline. Ia peluk Ayline dari belakang. Dagunya bertumpu di pundak Ayline, hingga embusan hangat napasnya bisa dirasakan jelas oleh Ayline.
Cup.
Oswald mengecup pipi Ayline tiba-tiba, membuat tubuh Ayline sontak menegang. “Bagaimana, masih berpikir semua ini hanyalah mimpi?” tanyanya.
Ayline menutup kedua netranya saat embusan napas Oswald seperti menggelitik di ceruk lehernya. Ayline menggeleng, “Terkadang aku takjub dengan kekuatan cinta di antara kita, Mas,” ucapnya.
“Tak butuh waktu lama untuk membuat kita yakin dengan pernikahan ini,” lanjutnya.
Oswald melepas pelukannya membuat Ayline bingung. Apakah ada sesuatu yang salah dari ucapanku? Tanyanya dalam hati.
“Kamu benar, Sayang. Kita tak perlu waktu lama, sebab itu adalah kamu dan aku. Seandainya bukan kamu, maka aku akan ragu. Begitupun denganmu, aku yakin seandainya itu bukan aku prianya, tak mungkin kamu akan yakin secepat ini,” ujar Oswald.
Pria yang kini telah berstatus sebagai seorang suami, membuka kancing kemejanya satu per satu. Ia tatap lurus pada istrinya, tepat di kedua netranya. “Namun, jika kamu terus memikirkannya, maka keyakinanmu akan berubah menjadi keraguan, Sayang,” ucapnya.
“Sekarang bukan waktunya memikirkan itu lagi, Sayangku,” lanjutnya. “Sekarang waktunya kita berdua mulai menjalani kehidupan bahagia kita sebagai suami dan istri.”
Ayline menyambut semua ucapan suaminya dengan senyuman. Dalam hati ia benarkan semua ucapan suaminya.
“Sayang,” panggil Oswald.
“Ya.”
“Aku akan mandi, air hangat di bath tub sudah siap. Kamu ingin bergabung denganku?”
Sontak saja kedua pipi putih mulus milik Ayline merona. Ayline sudah cukup dewasa untuk paham maksud dari ajakan suaminya. “Ya, aku ikut. Tunggulah, aku akan menyusulmu setelah aku selesai melepaskan semua aksesoris yang tepasang di rambutku.”
“Baiklah, Sayang. Cepatlah! Aku menunggumu.”
...———————...
Seminggu berlalu, hari ini Ayline dan Oswald kembali dari bulan madu. Sebuah kejutan telah disiapkan Oswald untuk istrinya. Wanita berusia 25 tahun yang sudah mencuri hatinya sejak pandangan pertama.
“Mas, ini kok mata aku ditutup gini sih?!”
Dengan memeluk Ayline dari belakang, Oswald menuntun Ayline mendekat ke sebuah pintu rumah mewah yang sudah terbuka lebar. “Kamu siap? Satu … dua … tiga … surprise!” seru Oswald saat ia akhirnya melepaskan penutup mata yang menghalangi pandangan Ayline.
“Mas, ki-kita di mana?” Ayline sungguh bingung. Di hadapannya kini berjejer banyak pelayan yang sedang bertepuk tangan menyambutnya.
Oswald sudah menutup matanya sejak mereka tiba di bandara. Sejak saat itu ia pasrah saja ke mana suaminya akan membawanya. Ia pikir, jika bukan ke rumah orang tuanya, Oswald akan membawanya ke kediaman keluarga Pallas yang tak ubahnya bagai sebuah istana.
Rupanya dugaan Ayline salah. Oswald membawanya ke sebuah rumah yang tak kalah mewahnya. “Mas, mungkinkah ini rumah kita?”
“Ya, Sayang. Bukannya ini yang kamu mau?” Oswald mengecup kening Ayline.
Rasanya sulit sekali bagi Ayline untuk tak menangis. Ia merasa terharu dengan apa yang dilakukan suaminya. Sebelum menikah, Ayline ingat jika impiannya adalah memiliki istana sendiri untuk rumah tangganya. Pernah sekali ia menyinggung hal itu pada Oswald. Namun, karena saat itu Oswald tak terlalu menanggapi, Ayline memutuskan untuk tak membahasnya lebih lanjut. Ia paham, posisi Oswald yang anak tunggal, mungkin saja menjadi alasan mereka akan sulit punya rumah sendiri.
Rupanya, pemikirannya saat itu salah besar. Oswald merekam setiap kata yang terucap dari bibir wanita yang akan menjadi ratunya. Lalu ia berusaha mewujudkannya.
“Kini, kamu akan benar-benar menjadi ratu di istana kita, Sayang,” ucap Oswald seraya memberi kecupan di kening lalu turun ke bibir Ayline.
Malam itu setelah melewati sesi perkenalan dengan para pelayan, Oswald dan Ayline bergegas untuk istirahat. Sebelum terlelap, tentunya pasangan yang sedang mabuk asmara itu tak akan melewatkan percinta*n penuh gairah seperti malam-malam sebelumnya.
...…...
Karena kelelahan keesokan paginya Ayline bangun lebih lama dari biasanya. Jika saat bulan madu, wajah tampan suaminya yang akan menyambutnya pertama kali. Berbeda dengan pagi ini, yang menyambutnya adalah keheningan, sunyi, dan senyap. Tak ada sosok suami tampan yang semalam tidur sambil mendekap tubuhnya.
“Mas.” Ayline memanggil-manggil suaminya.
Terkadang ia bungkam beberapa detik untuk menajamkan pendengarannya. Ia berharap ada gemericik bunyi air yang mengalir dari shower kamar mandi, yang berarti suaminya mungkin ada di dalam sana.
Sayangnya hening tetap terasa. Tak ada suara sama sekali di kamar yang luas itu. Yang bisa ia dengar hanyalah bunyi embusan napasnya.
Ke mana Mas Oswald?
Kenapa dia tidak membangunkan aku?
Sejak kapan dia pergi?
Segala pertanyaan dalam benaknya, terjawab setelah getaran ponsel di atas nakas mengejutkannya. Nama suaminya tertera di layar dengan latar belakang foto keduanya yang saling berciuman mesra.
“Halo, Mas!” seru Ayline ketika menjawab panggilan telepon dari Oswald.
“Sayang, kamu sudah bangun?”
“Hem, aku bangun dan kamu enggak ada,” keluh Ayline.
Mendengar suara manja Ayline saja, Oswald sudah membayangkan bagaimana menggemaskannya wajah istrinya sekarang. Dalam bayangannya, istrinya itu pasti sedang mencebik. Bibirnya akan mengerucut membuat Oswald tak tahan untuk tidak mengecupnya.
Ah! membayangkan hal itu, Oswald menggerutu dalam hati. Seandainya tak ada pertemuan si*lan pagi ini, mungkin aku masih bergelung di bawah selimut bersama Ayline. Mungkin kami akan melewatkan sarapan lagi pagi ini.
Oswald terkekeh membuat wanita yang sedang merajuk di seberang telepon memekik. “Mas! Kok malah ngetawain sih?! Ngambek nih aku,” ucap Ayline masih dengan mode manjanya.
“Maafin aku ya, Sayang. Pagi ini aku ada pertemuan penting dengan klien. Sudah lama kutunda karena pernikahan kita,” jelas Oswald.
“Kenapa tak bangunkan aku?” Kali ini suasana hati Ayline berubah menjadi menyesal. Ah, dia merasa tak berguna sebagai seorang istri.
“Kamu tidur sangat pulas, Sayang. Aku mana tega bangunin kamu.”
“Lain kali, kamu tetap harus bangunin aku,” pinta Ayline.
“Aku ingin merasakan jadi istri kamu. Bangun pagi, siapin pakaian dan semua keperluan kamu, sarapan kamu, juga mengantar kamu saat berangkat bekerja,” jelas Ayline panjang lebar.
“Ssst … Sayang, dengerin aku. Tanpa melakukan itu semua kamu tetap istri aku. Kamu cukup cintai aku, patuh padaku, urusan yang lain biarkan pelayan yang mengerjakannya. Aku menikahimu bukan untuk melakukan itu semua, Sayang.”
“Ingat Sayang, di rumah itu kamu adalah ratunya!” tegas Oswald.
Penjelasan Oswald membuat Ayline tertegun. Entah dia harus bahagia atau bagaimana, dia bingung harus merespon suaminya seperti apa.
“Baiklah, aku akan coba mengerti dan ikuti semua ucapanmu,” jawab Ayline pada akhirnya. Kalimat ‘patuh padaku’ menjadi kalimat yang digaris bawahi oleh Ayline. Dia akan mengingat itu.
“Bangunlah, mandi, lalu sarapan. Maaf jika kamu harus sarapan sendiri pagi ini. Aku usahakan kembali lebih awal, dan kita akan makan malam bersama,” ucap Oswald.
“Baik, Mas. Aku akan menunggumu,” jawab Ayline singkat.
“Aku mencintaimu, Istriku. Katakan jika kamu juga mencintaiku.”
“Ya, Mas. Aku juga mencintaimu,” dan sambungan panggilan telepon pun terputus.
...…...
Hari belum juga siang, namun Ayline sudah merasa bosan luar biasa. Dua jam ia habiskan untuk membuka koper tempatnya meletakkan oleh-oleh untuk sanak saudara. Ayah, Ibu, juga kedua mertuanya. Walau hanya sepatu dan tas yang ia bawa sebagai buah tangan, tapi harga barang-barang itu sungguh fantastis.
“Wow!”
“Wow!”
Tak henti-henti Ayline berdecak kagum, melihat deretan angka yang tercetak pada tag barang-barang tersebut. Mungkin ini adalah kali pertamanya memegang barang dengan harga semenakjubkan itu.
Ayline memang tak berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang direktur di perusahaan milik suaminya. Penghasilan Ayahnya sungguh melebihi kebutuhan keluarga dengan anak tunggal seperti keluarganya. Namun, dasarnya Ayline yang tak suka berfoya-foya. Ia menyukai kehidupan sederhana yang hangat dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih, yang selama ini belum pernah ia rasakan. Itu adalah rumah tangga impian Ayline.
Dua jam berikutnya ia habiskan dengan menonton drama dari Negeri Gingseng. Berguling-guling di tempat tidur saat adegan drama membuatnya malu-malu, atau ikut menangis saat adegan drama membuatnya sedih.
Setelah acara menonton drama selesai, sekarang Ayline tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap tiga puluh menit ia mencoba menghubungi suaminya, namun panggilannya tak pernah dijawab. Sekalinya dijawab, Oswald hanya akan bicara tak lebih dari lima detik.
“Kuhubungi lagi nanti. Aku sedang meeting.”
Begitulah jawaban Oswald, dan bodohnya Ayline percaya. Hingga satu jam berlalu, dia masih berbaring di tempat tidur sambil terus menatap ponsel pintarnya.
“Gila! Aku bisa gila jika begini terus,” gerutu Ayline.
“Aku bosan! Bulan madu kemarin, boleh diulang lagi enggak ya?” monolognya.
Ayline melihat-lihat kontak di ponselnya. Dia baru menyadari jika selama ini dia sudah menyia-nyiakan hidupnya. Empat tahun terakhir, dia terlalu sibuk dan berambisi untuk menyelesaikan kuliah sebagai lulusan terbaik. Dia sampai lupa jika dirinya masih makhluk sosial yang butuh orang lain sebagai teman agar dirinya tak kesepian. Selama ini dia terlalu sibuk dengan belajar, belajar, dan belajar. Lalu, baru saja ia mencapai tujuannya, dirinya malah langsung menikah.
Ayline terkekeh, mengingat kehidupannya yang sangat datar. “Apa sekarang saja aku mulai berteman?” gumamnya. “Tapi, dengan siapa?”
Ayline memutar otaknya. Ia berpikir untuk mulai berteman dari orang-orang yang berada di sekitarnya. “Hem, benar juga!” serunya.
“Untuk apa para pelayan sebanyak itu jika tak ada yang bisa jadi temanku. “
Maka dengan dalih perkenalan ulang, Ayline meminta seluruh pelayan untuk makan siang di meja makan bersamanya. Selama makan siang, Ayline terus tersenyum.
Pertama kalinya dia tak merasa kesepian saat makan. Berbeda dengan para pelayan yang merasa sulit untuk menelan makanannya. Bagaimana jika Tuan Oswald tahu kejadian ini, apakah mereka boleh menyalahkan Nyonya Ayline?
...…...
Waktu berlalu sangat lambat. Setelah makan siang usai, sepi kembali menyelimuti Ayline. Ia coba lagi hubungi ponsel suaminya berkali-kali, sayangnya panggilannya masih juga tak dijawab.
Hingga malam menjelang, bulan dan bintang mulai bertakhta di langit. Oswald belum juga pulang. Walau lapar, Ayline menolak untuk makan malam. Awalnya Ayline sudah berencana mengulang perjamuan siang tadi bersama para pelayan. Namun, para pelayan yang dia tanyai mengaku jika mekera sudah makan. Ada juga yang mengaku dalam program diet hingga menghindari makan malam, dan macam-macam alasan lainnya.
“Apa-apaan sih, Mas Oswald! Awas saja ya, kalau pulang aku enggak kasih jatah!” omel Ayline sambil menatap layar ponselnya.
Dalam hatinya Ayline menangis. Baru hari pertama, ia sudah merasa sangat kesepian. Bagaimana dengan selamanya?
...—————————...
Mengabaikan bunyi dari perutnya yang minta di isi, Ayline kembali ke kamar. Dua jam menunggu seorang diri di meja makan, sudah cukup membuatnya terlihat menyedihkan di mata para pelayan.
Tak ingin kalah dengan rasa putus asa, Ayline kembali mencoba menghubungi suaminya. Rasanya ia muak dan ingin muntah saat lagi-lagi suara operator jaringan seluler itu yang menjawab panggilannya.
“Oswald Pallas!!!” geramnya.
“Kamu tega!” Cairan bening kembali berlinang dari kedua netranya dan membasahi pipi Ayline. Kini ia tak mampu lagi menahan untuk tak menangis meraung-raung. Dirinya bingung, mengapa ia merasa seperti suaminya telah menipunya.
Tok … tok … tok ….
Kepala pelayan bernama Mbok Mar terlihat masuk ke dalam kamar dengan hati-hati. Kasihan sekali, Nyonya.
Menatap iba wanita yang belum sebulan menjadi majikannya. Bahkan belum sehari mereka melayani Nyonya baru di Keluarga Pallas, namun, rasanya ia sudah bisa melihat bagaimana nasib pernikahan Tuannya.
Mbok Mar ikut duduk di lantai yang beralaskan karpet tebal, tepat di samping Ayline. Ia usap lembut mulai kepala hingga ke pundak majikannya. Sungguh menyedihkan melihat wanita cantik duduk melipat kakinya lalu membenamkan wajahnya di antara lututnya.
“Maaf jika saya lancang, Nyonya,” ucap Mbok Mar lembut. “Komohon, cobalah bersabar dan mengerti.”
“A-apa yang harus kumengerti, Mbok?” Ayline menegakkan kembali kepalanya. Ia bicara tanpa menatap Mbok Mar.
“Apa aku harus mengerti saat suamiku yang tak bisa kuhubungi sejak aku membuka mata? Atau aku harus mengerti, sebenarnya beginilah sosok suamiku yang sebenarnya?”
Mbok Mar menarik napas cukup panjang. Ia memutar otaknya, memikirkan jawaban apa yang dapat menenangkan Nyonya-nya.
“Berpikirlah positif, Nyonya. Saya mengerti, mungkin ini terasa berat karena ini hari pertama Anda kembali ke rumah. Tapi, mengertilah dengan besarnya tanggung jawab yang dipikul oleh Tuan Oswald,” jelas Mbok Mar. Dia mengamati reaksi Ayline dan sepertinya Nyonya-nya itu sedang menimbang-nimbang ucapannya.
“Sepanjang saya melayani Tuan Oswald, jarang sekali saya melihat dia berlibur lama. Pertama kali adalah saat kalian pergi berbulan madu. Saya yakin pekerjaannya menumpuk dan Tuan Oswald sedang berusaha menyelesaikannya,” lanjutnya.
Ayline tertawa namun tak ada raut bahagia di wajahnya. “Terima kasih, Mbok. Aku tahu kamu mengatakan ini semua karena perhatian padaku dan ingin menghiburku.”
“Seperti katamu, aku akan berusaha mengerti. Jadi, kumohon tinggalkan aku, Mbok. Aku butuh waktu sendiri memikirkan ini.”
”Aku akan mencoba membuat diriku mengerti,” imbuhnya.
Mbok Mar tersenyum. Ia genggam satu tangan majikannya itu dengan kedua tangannya. “Saya percaya Anda mampu mengerti. Saya percaya Anda mampu melewati ini semua.”
Mbok Mar berdiri lalu perlahan berjalan keluar menuju pintu. Dia sudah membuka pintu dan hendak keluar, namun langkahnya terhenti dan ia kembali menoleh pada Nyonya-nya.
“Semua pelayan sangat mengkhawatirkan Anda, Nyonya. Melihat Anda murung, melewatkan makan malam, membuat semua pelayan ikut merasa sedih. Sejujurnya, kami semua sangat senang memiliki majikan yang riang seperti Anda,” ungkap Mbok Mar sebelum keluar dari kamar utama dan menutup pintu kembali.
...…...
Wajahnya tampak kusut. Jelas sekali terlihat jika pria yang baru saja keluar dari mobilnya, sangat kelelahan. Liburan selama sepuluh hari, berbulan madu bersama istri tercinta. Menjadikan dunia ini hanya milik berdua bersama istri dan orang lain cuma ngontrak.
Rupanya semua hal itu menyisakan setumpuk pekerjaan di atas meja kerjanya. Ditambah dengan jadwal pertemuan yang terpaksa diundur. Semuanya seakan ingin menelannya hari ini. Dia bahkan lupa untuk makan siang dan makan malam hanya karena pekerjaannya.
Tapi untuk pria seperti Oswald Pallas, pengusaha muda yang sukses membawa nama Pallas Grup semakin meroket di dunia bisnis di Negeri ini. Bekerja bagai kuda seperti itu bukanlah hal yang tabu.
Oswald dan kebiasaannya yang gila kerja, hampir membuat keluarganya juga ikut gila sebab khawatir jika penerus satu-satunya keluarga Pallas bisa saja menjadi bujangan seumur hidup. Beruntung, usaha perjodohan dengan Ayline berhasil.
Ayline? Batin Oswald. Nama wanita yang telah menjadi istrinya itu terngiang saat dia menyadari di mana ia kini. Rumah yang berbeda. Bukan lagi istana megah keluarga Pallas. Tempat Mommy, Daddy, dan Grandma-nya tinggal. Di depannya ini adalah istananya sendiri. Istana di mana dia menjadikan Ayline ratunya.
Bodoh!!! Berat kaki Oswald melangkah masuk. Baru hari pertama dan dia sudah berani macam-macam dengan sang ratu, pikir Oswald.
“Tuan … Tuan …!”
Seruan Denis membuat Oswald terperanjat. Melihat bosnya berdiri mematung di depan pintu rumahnya, sempat membuat asisten kepercayaan Oswald itu khawatir.
Bagaimana jika ada pekerjaan yang baru diingatnya. Dia tidak akan gila kan, meminta kembali ke perusahaan setelah dia baru saja sampai di rumah.
“Hem, ada apa?”
Kening Denis mengernyit. Harusnya kan aku yang bertanya ada apa?! Aneh.
“Saya juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama, Tuan. Ada apa? Kenapa berdiri di sini dan tak masuk?”
Oswald menatap Denis dengan kesal. “Kau pikir setelah menikah aku punya kekuatan menembus pintu, huh?”
“Segera buka pintunya!”
Denis akhirnya sadar. Benar juga, pikirnya. Jika, dikediaman keluarga Pallas, pukul berapa pun Oswald pulang bekerja, Denis cukup mengirim pesan pada salah satu pelayan. Maka, pelayan tersebut yang akan setia menunggu hingga Oswald tiba dan ia akan menyambut kedatangan Tuannya.
“Maaf, maaf, Tuan. Ini kelalaian saya. Saya belum meminta nomor ponsel kepala pelayan,” sesal Denis. Alhasil malam itu, dengan bantuan sekuriti yang bertugas, Denis berhasil membuka pintu untuk Tuannya.
Di dalam rumah, Oswlad telah meminta Denis memanggil kepala pelayan. Ia ingin bertemu dengannya untuk memastikan keadaan Ayline. Tentu saja setelah ia melihat ada ratusan telepon Ayline yang ia abaikan di ponselnya.
“Mbok Mar, bagaimana dia?” Oswald menggantung ucapannya.
“Istriku! Bagaimana dia hari ini? Apa yang dia lakukan?” imbuhnya setelah melihat raut wajah bingung Mbok Mar.
“Nyonya baik-baik saja, Tuan. Dia tidak melakukan banyak hal selama di rumah. Maafkan kelancangan saya dan pelayan lainnya, tapi, tadi siang Nyonya memaksa kami untuk makan siang bersama di meja makan.”
Jelas sekali jika Mbok Mar kini tampak takut-takut. Sepanjang karirnya menjadi pelayan keluarga Pallas, tak pernah ada satu pun pelayan yang berani makan bersama majikannya. Mbok Mar curi-curi pandang pada-pada Oswald. Ia ingin menebak isi hati Tuannya.
“Oh, benarkah?” Oswald tampak terkejut mendengar cerita Mbok Mar. Kali ini ia akan biarkan saja, mungkin istrinya ingin mengenal orang-orang yang akan berbakti pada mereka.
“Untuk sekali itu, aku maafkan. Tapi, jangan sampai terjadi dua kali. Kamu tahu kan, dia siapa? Dia Nyonya di rumah ini. Perlakukan dia bagai ratu, ikuti keinginannya, tapi, jangan sampai melewati batasan kalian.”
Bukan tanpa alasan Oswald memutuskan hal itu. Menurutnya, selain ketekunannya dalam bekerja, hal apa lagi yang membuatnya bisa sesukses sekarang? Itu karena ketegasannya. Oswald tahu bagaimana dia harus memperlakukan semua orang yang bekerja padanya, agar mereka patuh, segan, dan menghormatinya sebagai atasan.
“Apa ada hal lain lagi? Mungkin ada sesuatu yang dikatakan istriku padamu?”
Dengan cepat kepala Mbok Mar menggeleng. “Tak ada, Tuan.”
“Setelah makan siang itu, Nyonya tak lagi bicara dengan kami. Dia menghabiskan waktunya di kamar.”
Oswald mengangguk mengerti. Lalu, dengan satu gerakan tangan, Mbok Mar sudah paham. Ia segera menundukkan kepalanya dan undur diri dari hadapan Tuannya.
“Kau boleh pulang Denis! Besok jemput lebih lama. Aku ingin menebus kesalahanku pada istriku hari ini dengan sarapan bersama.”
...—————————...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!