Wanita pirang bertubuh sintal itu menyangga tubuhnya dengan satu siku lalu menarik selimut sampai ke dada. Sambil sedikit mengerutkan dahi ia memperhatikan pemuda tampan berusia delapan belas tahun yang berdiri di depan jendela kamar tidur. Pemuda itu menyandarkan bahunya pada ambang jendela sambil mengamati halaman belakang, tempat pesta perayaan ibunya sedang berlangsung.
"Apa yang sedang kau lihat, yang kau rasa lebih menarik daripada aku?" tanya Nyonya Lee seraya melilitkan selimut ke tubuhnya dan berjalan mendekati jendela.
Kim Mingyu, calon pewaris Kim Group, sepertinya tidak mendengar pertanyaan itu karena ia tetap memandang ke arah halaman estat yang bagai istana itu, yang suatu hari nanti, jika ayahnya telah wafat, akan menjadi miliknya. Sambil memperhatikan labirin tanaman di bawah, dilihatnya ibunya keluar dari sesemakan. Wanita itu melihat sekelilingnya sejenak lalu meluruskan korsetnya dan merapikan rambut gelapnya yang lebat agar tidak tampak berantakan. Tak beberapa lama kemudian, seorang pria keluar dari sesemakan seraya mengikat kembali dasinya. Sementara kedua orang itu bergandengan tangan, gelak tawa mereka melayang masuk melalui jendela kamar tidur Mingyu yang terbuka.
Sekelebat senyum sinis menghiasi wajah belia Mingyu yang tampan ketika memperhatikan ibu beserta kekasih terbarunya melintasi halaman lalu berjalan menuju gazebo. Beberapa menit kemudian, ayahnya juga keluar dari sesemakan yang sama, melihat sekeliling, lalu menarik seorang wanita, wanita simpanannya yang terkini, dari sesemakan.
"Tampaknya ibuku punya kekasih baru," ujar Mingyu dengan sinis lamat-lamat.
"Benarkah?" tanya Nyonya Lee seraya mengintip keluar jendela. "Siapa?"
"Suamimu." Mingyu membalikkan badan hingga berhadapan dengan Nyonya Lee, mengamati wajah cantik wanita itu, ingin tahu apakah wanita itu terkejut. Ketika tampak tak terkejut sedikit pun, ekspresi wajahnya mengeras menjadi topeng yang sinis. "Kau sudah tahu mereka semua berada di sesemakan, itu sebabnya kau tiba-tiba menjadi tertarik tidur di ranjangku, bukankah demikian?"
Wanita itu mengangguk, tampak gugup di bawah tatapan mata kelabu yang dingin itu. "Kupikir," ujarnya sembari mengusap tangannya ke dada Mingyu yang kokoh, "akan menyenangkan kalau kita juga...ah... bisa bersama. Tapi ketertarikanku pada ranjangmu bukan datang secara tiba-tiba, Mingyu, aku sudah lama menginginkanmu. Sekarang karena ibumu dan suamiku sedang bersenang-senang, aku melihat tak ada salahnya untuk mendapatkan apa yang ku inginkan selama ini. Apa salahnya dengan itu?"
Mingyu tak berkata apa-apa, wanita itu mengamati ekspresinya yang misterius, lalu tersenyum manja. "Kau terkejut?"
"Sama sekali tidak," jawab Mingyu. "Aku sudah tahu tentang afair ibuku sejak usiaku delapan tahun, dan rasanya aku tidak akan terkejut pada apa pun yang dilakukan wanita. Kalau pun ada, aku terkejut kau tidak mengusulkan kita berenam bertemu di labirin itu untuk 'kumpul keluarga'," tukasnya dengan nada menghina yang disengaja.
Nyonya Lee mengeluarkan suara tercekat yang mirip tawa dan takut. "Sekarang kau membuatku terkejut,"
Dengan perlahan Mingyu mengulurkan tangan dan mengangkat dagu Nyonya Lee, memperhatikan wajah wanita itu dengan tatapannnya yang terlalu kejam, terlalu bijaksana untuk pemuda seusianya. "Entah mengapa aku merasa itu sulit dipercaya,"
Tiba-tiba merasa malu, Nyonya Lee menarik tangannya dari dada Mingyu dan melilitkan selimut lebih rapat ke tubuhnya yang polos. "Sungguh, Mingyu, aku tak mengerti mengapa kau melihatku seolah-olah aku patut dibenci," ujarnya, wajahnya tampak benar-benar bingung dan sedikit malu. "Kau belum menikah, jadi kau tidak tahu betapa membosankannya kehidupan yang kami jalani, Kalau kami tidak berselingkuh untuk mengurangi ketegangan di otak kami, kami semua bisa gila."
Nada sedih dalam suara Nyonya Lee membuat ekspresi Mingyu melembut dan bibirnya yang tegas namun menggoda melengkung membuat senyum mengejek.
"Nyonya Lee mungil yang malang," ujarnya datar, mengulurkan tangan lalu mengelus pipi wanita itu dengan buku jarinya. "Kalian kaum wanita memang sangat menyedihkan. Sejak lahir, segala yang kalian inginkan sudah tersedia, sehingga kalian tak perlu bekerja, dan meskipun mau bekerja, kalian tidak diperbolehkan melakukannya. Kami tidak mengizinkan kalian untuk belajar dan berolahraga, sehingga kalian tidak dapat melatih otak ataupun tubuh. Kalian bahkan tak punya kehormatan yang bisa kalian banggakan, kehormatan seorang pria akan tetap menjadi miliknya selama pria itu menghendaki, sedangkan kehormatan seorang wanita terdapat di antara kedua kaki dan akan diserahkan kepada pria pertama yang mendapatkannya. Betapa tak adilnya kehidupan bagi kalian?" Mingyu menyelesaikan kalimatnya. "Tak heran kalian semua begitu mudah bosan, tak bermoral dan bodoh."
Nyonya Lee ragu-ragu sejenak, terkejut mendengar kata-kata Mingyu, tak yakin apakah pria itu sedang mengejeknya atau tidak, lalu mengangkat bahu. "Kau benar sekali."
Mingyu menatap Nyonya Lee dengan penasaran. "Pernahkah terpikir olehmu untuk mengubah semua itu?"
"Tidak" aku Nyonya Lee terus terang.
"Aku hargai kejujuranmu. Itu sifat yang langka bagi wanita."
Walaupun masih berusia delapan belas tahun, daya pikat Mingyu sudah menjadi topik perbincangan menarik di kalangan wanita, dan ketika Nyonya Lee menatap mata kelabu yang sinis itu, ia tiba-tiba merasa dirinya benar-benar terpikat, seakan-akan ditarik oleh suatu medan magnet yang amat dahsyat. Mata pria itu memancarkan pengertian, sekaligus geli dan kebijaksanaan yang getir yang jauh melampaui usianya. Hal-hal semacam inilah yang membuat para wanita terpukau kepadanya, dan itu bahkan jauh lebih menarik dari pada wajahnya yang tampan dan jantan. Mingyu memahami wanita, pria itu memahaminya, dan meskipun tampak jelas pria itu tidak mengagumi maupun menyukainya, pria itu menerima Nyonya Lee apa adanya, dengan segala kekurangannya.
"Apakah kau mau naik ke tempat tidur, My Lord?"
"Tidak," jawab Mingyu ramah.
"Kenapa?
"Karena aku belum merasa bosan sehingga mau tidur dengan istri dari kekasih ibuku."
"kau tidak... Kau tidak begitu menghargai wanita ya?" tanya Nyonya Lee, karena tak dapat menahan diri.
"Apakah ada alasan aku harus menghargai mereka?"
"Aku...." Nyonya Lee menggigit bibir lalu dengan enggan menggeleng. "Tidak. Sepertinya tidak. Tapi suatu hari nanti kau harus menikah agar mempunyai keturunan."
Mata Mingyu tiba-tiba berkilat geli, lalu ia menyandarkan punggungnya ke ambang jendela, melipat tangannya di depan dada. "Menikah? Benarkah? Begitukah cara orang memiliki keturunan? Padahal selama ini, kupikir...."
"Mingyu, ya ampun!" seru Nyonya Lee sambil terbahak, lebih karena terpesona oleh sikap santai dan kelakar pria itu. "Kau kan butuh keturunan yang sah."
"Bila aku terpaksa menikah agar mendapat keturunan," balas Mingyu getir, "aku akan memilih gadis polos yang baru lulus sekolah, yang bersedia naik ke pangkuanku dan melakukan semua perintahku."
"Dan kalau dia menjadi bosan dan mencari pengalih perhatian lain, apa yang akan kau lakukan?"
"Apakah dia akan menjadi bosan?" Tanya Mingyu dengan nada tajam.
Nyonya Lee mengangkat bahu Mingyu yang lebar dan berotot, dadanya yang bidang, dan pinggangnya yang ramping, lalu matanya beralih ke parasnya yang kasar namun tampan. Dalam balutan kemeja linen dan celana berkuda yang ketat, setiap jengkal tubuh jangkung Mingyu memancarkan kekuatan dan ketampanan yang tak terbantahkan. Alis mata di atas mata coklat Nyonya Lee terangkat. "Mungkin tidak."
Sementara wanita itu berpakaian, Mingyu membalikkan badannya ke jendela dan dengan kesal memandangi tamu-tamu anggun yang berkumpul di halaman untuk merayakan hari ulang tahun ibunya. Bagi orang luar, hari itu rumah keluarga Kim pastilah tampak seperti taman firdaus yang indah dihuni oleh burung-burung tropis yang cantik, bebas, memamerkan pakaian mereka yang indah. Bagi Kim Mingyu yang berusia delapan belas tahun, pemandangan itu sama sekali tidak menarik dan tidak indah, ia tahu dengan baik apa yang terjadi di balik dinding rumahnya ketika tamu-tamu telah pergi.
Pada usia delapan belas tahun, ia tak percaya orang yang memiliki sifat baik, termasuk dirinya sendiri. Ia punya silsilah yang baik, wajah tampan, dan kekayaan, namun ia juga sudah jenuh dengan dunia, sinis dan tertutup.
***
Sambil menyangga dagu mungilnya di atas kepalan tangan, Lalisa Bruschweiler memperhatikan kupu-kupu kuning hinggap di ambang jendela pondok kakeknya, lalu kembali mengalihkan perhatian ke pria berambut putih yang ia sayangi, yang duduk di meja di depannya. "Kau tadi bilang apa, Grandpapa? Aku tidak dengar."
"Aku bertanya mengapa hari ini kupu-kupu itu lebih menarik dari pada Socrates," kata orang tua yang ramah itu, sembari memberikan sneyum lembutnya yang cerdas ke gadis mungil berusia tiga belas tahun berambut coklat ikal mengilap mirip ibu gadis itu dan mata hazel kehijauan milik si pria tua. Dengan geli, ia mengetukkan jarinya ke buku karya Socrates yang ia tugaskan kepada gadis itu untuk dibaca.
Lisa tersenyum penuh penyesalan yang meluluhkan hati, tapi ia tak membantah bahwa perhatiannya memang teralihkan, karena, seperti yang selalu dikatakan kakeknya yang baik dan terpelajar, "Kebohongan adalah penghinaan terang-terangan terhadap jiwa, dan juga menyepelekan kecerdasan orang yang dibohongi." Dan Lisa bersedia melakukan apa pun selain menyepelekan pria baik hati yang telah menanamkan filosofi kehidupan dalam dirinya, berikut mengajarkan matematika, filsafat, sejarah dan bahasa latin.
"Aku tadi bertanya-tanya," aku Lisa seraya mendesah penuh angan, "apakah mungkin sekarang ini aku sedang dalam 'tahap menjadi ulat' dan suatu hari nanti akan berubah menjadi kupu-kupu yang cantik?"
"Apa salahnya menjadi ulat?" Lagi pula," kakeknya bercanda sambil mengutip, "Di dunia ini tak ada yang sempurna." Mata kakeknya berkilat jenaka ketika menunggu apakah Lisa mengenali kalimat yang dikutipnya.
"Horace," celetuk Lisa dengan segera, dan balas tersenyum.
Kakeknya mengangguk puas, lalu berkata, "Kau tak perlu mengkhawatirkan rupamu, sayangku, karena kecantikan sejati memancar dari hatimu dan bersemayam di matamu."
Lisa menggelengkan kepala, tapi ia tak dapat mengingat filsuf mana yang mengatakan kalimat itu, baik di masa lalu maupun di masa kini, "Siapa yang mengatakan itu?"
Kakeknya tertawa geli. "Aku."
Lisa membalasnya dengan tertawa riang, memenuhi ruangan yang bermandikan cahaya matahari itu dengan suaranya yang merdu, lalu tiba-tiba berhenti. "Papa kecewa karena aku tidak cantik, aku bisa merasakannya setiap kali dia datang berkunjung. Dia punya alasan kuat untuk mengharapkan aku menjadi lebih cantik, karena Mama kan cantik, sedangkan Papa selain tampan juga sepupu ke empat seorang bangsawan, lewat pernikahan."
Nyaris tak dapat menyembunyikan ketidaktertarikannya terhadap sanga menantu dan hubungan tak jelasnya dengan bangsawan yang tidak jelas. Kakek Bae mengutip dengan penuh makna, "Keturunan tak ada artinya jika tanpa harga diri."
"Moliere." Lisa otomatis menyebutkan nama pengarang kalimat itu. "Tapi." lanjutnya muram, kembali merasa khawatir, "kau harus mengakui betapa tak adilnya takdir karena memberinya anak perempuan yang wajahnya sangat biasa-biasa saja. Mengapa," ia meneruskan dengan sendu, "aku tidak terlalu tinggi dan tidak pirang? Itu lebih enak dilihat daripada seperti aku ini, seperti yang selalu dikatakan Papa."
Lisa menolehkan kepala untuk memperhatikan kupu-kupu itu lagi, dan mata Kakek Bae bersinar-sinar penuh rasa sayang dan gembira, karena cucunya sama sekali tidak biasa-biasa saja. Ketika Lisa masih berusia empat tahun, ia sudah mulai mengajari anak itu dasar-dasar membaca dan menulis, sama seperti ia mengajarkan anak-anak desa yang menjadi muridnya, namun otak Lisa lebih cerdas dibanding mereka, lebih tanggap, dan lebih cepat memahami konsep. Anak-anak petani hanyalah murid-murid yang tidak terlalu serius datang ke sekolah. Mereka datang hanya beberapa tahun kemudian pergi bekerja di ladang untuk membantu ayah mereka, menikah, melahirkan dan memulai kembali siklus kehidupan. Tapi Lisa lahir dengan minat untuk belajar yang mirip dengan dirinya.
Pria tua itu tersenyum kepada cucunya, "siklus kehidupan" tidak jelek-jelek amat pikirnya.
Jika waktu masih muda ia mengikuti kata hatinya untuk tetap membujang dan menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk belajar, alih-alih menikah, Lalisa Bruschweiler tidak akan lahir di dunia. Padahal Lisa adalah anugerah terindah bagi dunia. Anugerah untuknya. Pikiran itu membanngkitkan semangatnya lalu membuatnya jengah karena sepertinya terlalu sombong. Meskipun demikian, ia tak dapat membendunng deburan rasa senang yang mengalir di dalam jiwanya ketika menatap anak berambut bergelombang yang duduk di depannya, Lisa persis seperti yang ia harapkan, bahkan lebih. Anak itu cerminan kelembutan dan sifat riang, cerdas dan penuh semangat. Terlalu bersemangat, mungkin, dan juga terlalu sensitif. Karena dia terus-menerus berusaha keras menyenangkan hati ayahnya yang adngkal, jika ayahnya kadang-kadang berkunjung.
Ia bertanya-tanya pria seperti apa yang akan menikahi Lisa. Jangan seperti yang menikahi anakku, harapnya dengan sepenuh hati. Putrinya sendiri tidak memiliki sifat bijaksana seperti Lisa. Aku terlalu memanjakannya, pikir Kakek Bae dengan sedih. Ibu Lisa lemah dan egois. Dia menikah dengan pria yang sifatnya sama persis seperti dirinya, tapi Lisa, akan dan berhak mendapat pria yang jauh lebih baik.
Dengan perasaan peka seperti biasa, Lisa menyadari suasana hati kakeknya yang tiba-tiba muram dan segera menghiburnya. "Apakah kau merasa tak enak badan, Grandpapa? Kepalamu pusing lagi? Mau aku pijat lehermmu?"
"Aku memang agak pusing," jawabnya sambil mencelupkan pena bulunya ke botol tinta, menulis kata-kata yang suatu hari nanti akan menjadi "Disertasi Lengkap Mengenai Kehidupan Voltaire," Lisa berjalan ke belakang kakeknya dan dengan tangannya yang mungil mulai menghilangkan ketegangan di pundak dan leher pria tua itu.
Tak lama setelah tangan mungil itu berhenti memijat, Kakek Bae merasa sesuatu menggelitik pipinya. Karena tenggelam dalam pekerjaannya, ia mengangkat tangan dan secara acuh tak acuh mengusap pipinya yang terasa geli. Beberapa menit kemudian, giliran lehernya yang geli dan ia pun mengusapnya lagi. Rasa geli itu pindah ke telinga kirinya, dan Kakek Bae pun tersenyum tak berdaya ketika menyadari cucunya sedang menggelitikinya dengan pena bulu. "Lisa, sayangku," katanya, "Sepertinya di sini ada burung kecil yang nakal, yang berusaha mengalihkan perhatianku dari pekerjaan."
"Karena kau bekerja terlalu keras," jawab Lisa, tapi ia mendaratkan ciuman di pipi keriput kakeknya lalu kembali ke tempat duduknya untuk mempelajari Socrates. Beberapa saat kemudian, perhatiannya sudah beralih ke seekor cacing yang sedang merayap melewati pintu terbuka pondok beratap jerami itu. "Kalau semua hal di dunia ini dibuat Tuhan dengan maksud tertentu, menurutmu mengapa Dia menciptakan ular? Ular amat jelek. Malah sangat menjijikkan."
Kakek Bae mendesah mendengar celetukan Lisa, lalu meletakkan pena bulunya, namun ia tak kebal terhadap senyum cerah anak itu. "Aku akan mengingat hal itu untuk ditanyakan kepada Tuhan kalau aku bertemu dengan-Nya nanti."
Bayangan bahwa kakeknya akan meninggal membuat Lisa tiba-tiba murung, tapi suara kereta kuda yang datang mendekat ke arah pondok membuatnya melompat berdiri lalu berlari ke jendela yang terbuka. "Itu Papa!" teriaknya gembira. "Papa akhirnya datang dari London."
"Dan sudah waktunya juga," gerutu Kakek Bae, tapi Lisa tidak mendengar. Dengan memakai pakaian kesayangannya yang berupa celana selutut dan kemeja longgar, ia berlari menuju ambang pintu lalu melompat ke pelukan enggan ayahnya.
***
"Apa kabarmu, Lisa kecil?" sapa ayahnya tak bergairah.
Kakek Bae berdiri lalu berjalan ke jendela, memperhatikan dengan alis mata bertaut ketika pria London yang tampan itu membantu putrinya naik ke kereta kuda yang cantik. Kereta cantik, pakaian cantik, tapi sifatnya sama sekali tidak cantik, pikir Kakek Bae dengan marah, teringat bagaimana putrinya, Irene, dibutakan oleh ketampanan dan bujuk rayu pria itu sejak pria itu datang ke pondoknya suatu hari silam, ketika kereta pria itu patah di tengah jalan. Kakek Bae menawarkan pria itu untuk bermalam di tempatnya, dan pada sore hari, berlawanan dengan kata hatinya, ia menuruti permintaan putrinya dan memperbolehkannya berjalan-jalan denganpria itu supaya Irene bisa 'menunjukkan pemandangan indah dari bukit di atas sungai."
Ketika hari telah gelap dan mereka belum kembali, kakek Bae bergegas mencari mereka. Ia dengan mudah dapat melihat jalan karena bulan sedang purnama. Ia menemukan mereka di kaki bukit, di tepi sungai, berpelukan tanpa busana. Hanya perlu waktu kurang dari satu jam bagi Taehyung Bruschweiler untuk meyakinkan Irene agar melupakan prinsip-prinsip yang diajarkan selama ini dan merayunya.
Dengan amat murka dan tanpa bersuara, Kakek Bae meninggalkan tempat itu. Ketika ia kembali ke pondok dua jam kemudian, ia telah ditemani dengan sahabat baiknya, seorang pendeta desa. Pendeta itu membawa buku untuk membacakan sumpah pernikahan.
Kakek Bae membawa senapan untuk memastikan perayu putrinya berpartisipasi dalam pernikahan itu. Itulah pertama kali dalam hidupnya ia membawa senjata.
Dan apa yang diberikan si bedebah itu kepada Irene? Pertanyaan itu membuat wajah Kakek Bae berubah muram. Taehyung Bruschweiler membelikan Irene sebuah rumah reyot yang besar, yang telah kosong puluhan tahun, melengkapinya dengan pelayan, dan selama sembilan bulan setelah menikah, dengan berat hati ia tinggal bersama Irene di dusun terpencil tanah kelahiran Irene. Tak lama setelah Lisa lahir, Taehyung kembali ke London, dan tinggal di sana, kembali ke Morsham hanya dua kali setahun selama dua atau tiga minggu.
"Dia mencari nafkah dengan cara yang ia ketahui," Irene menjelaskan kepada kakek Bae, tampak jelas mengulangi apa yang dikatakan suaminya. "Dia seorang gentleman dengan demikian kau tidak bisa mengharapkan dia mencari nafkah seperti orang biasa. Di London, dengan garis keturunan dan koneksinya, dia bisa bergaul dengan orang-orang yang tepat, dan dari mereka dia bisa sekali-kali mendapat masukan mengenai kapan dan dimana harus menginvestasikan uangnya dan di kuda yang mana sebaiknya meletakkan taruhan. Itu satu-satunya cara yang dia ketahui untuk menafkahi kami. Tentu saja, dia ingin kami tinggal bersamanya di London, tapi biaya hidup di kota sangat tinggi, dan dia sama sekali tidak ingin membuat kami terpaksa tinggal di penginapan kumuh dan lembab seperti yang ditempatinya. Dia akan datang mengunjungi kami sesering mungkin."
Kakek Bae tidak percaya pada alasan Taehyung untuk tetap tinggal di London, tapi ia percaya pria itu akan kembali ke Morsham dua kali dalam setahun. Pria itu pasti melakukannya karena Kakek Bae berjanji akan mencarinya ke London sambil membawa senjata pinjaman, jika dia tidak kembali stidaknya dua kali dalam setahun untuk menemui istri dan putrinya. Meskipun demikian, tak ada gunanya membuat Irene bersedih hati mendengar kenyataan itu, karena wanita itu tampak begitu bahagia. Tak seperti wanita lain di dusun kecil itu, Irene menikah dengan 'pria sejati' dan itu saja sudah memenuhi harapan konyolnya. Pernikahan itu memberinya status, dan membuatnya dikagumi para tetangga.
Sebagaimana Irene, Lisa juga memuja Taehyung, dan selama kunjungan singkatnya pria itu juga menikmati kekaguman mereka. Irene akan sibuk melayaninya, dan Lisa akan berusaha keras menjadi anak laki-laki sekaligus anak perempuan baginya, karena cemas tidak memiliki sifat feminim yang cantik ia memakai celana selutut dan belajar bermain anggar agar bisa bermain dengan ayahnya jika pria itu datang.
Berdiri di depan jendela, Kakek Bae menatap tak senang pada kendaraan mengilat yang ditarik empat kuda gagah. Untuk seorang pria yang hanya dapat memberi sedikit uang bagi istri dan anaknya, Taehyung mengendarai kereta yang ditarik sekelompok kuda yang sangat mahal.
"Berapa lama kau kan tinggal kali ini, Papa?" tanya Lisa, belum apa-apa sudah mencemaskan saat perpisahan dengan ayahnya.
"Hanya seminggu. Aku akan pergi ke suatu tempat di daerah Kent."
"Mengapa kau harus sering bepergian?" tanya Lisa, tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya meskipun ia tahu ayahnya, pun, tidak suka harus berpisah dengan ia dan ibunya.
"Karena harus," jawab ayahnya, dan ketika Lisa akan memprotes, pria itu menggeleng lalu memasukkan tangan ke kantong dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Ini, aku membawakan sebuah hadiah mungil untuk ulang tahunmu, Lisa."
Lisa menatap ayahnya dengan penuh kagum dan senang, meskipun sebenarnya ulang tahunnya sudah lewat berbulan-bulan yang lalu, tanpa sepucuk surat pun adri ayahnya. Matanya yang berwarna hazel berbinar-binar ketika ia membuka kotak itu dan mengeluarkan liontin mungil berwarna keperakan berbentuk hati. Meskipun liontin itu terbuat dari timah dan sama sekali tidak indah, ia menggenggamnya erat-erat, seolah-olah liontin itu sangat berharga. "Aku akan memakainya setiap hari seumur hidupku, Papa," ujarnya lirih, lalu ia melingkarkan tangan ke tubuh ayahnya dan memeluknya erat-erat. "Aku sangat sayang padamu."
Ketika mereka melewati dusun kecil yang tenang itu dan kuda-kuda penarik kereta menerbangkan debu ke udara, Lisa melambaikan tangan ke arah orang-orang yang melihatnya, ingin sekali mereka tahu bahwa Papanya yang hebat dan tampan sudah kembali.
Ia tidak perlu bersusah payah menarik perhatian mereka kepada ayahnya. Menjelang malam, semua orang di dusun itu bukan saja membicarakan kepulangan Taehyung, tapi juga warna mantelnya, dan lusinan detail lain, karena memang seperti itulah dusun Morsham selama ratusan tahun, tenang, tak ada gangguan, terlupakan di lembahnya yang terpencil. Para penghuninya adalah orang-orang yang sederhana, tidak punya imajinasi, pekerja keras yang amat senang mengingat-ingat setiap peristiwa kecil yang bisa menyemarakkan kehidupan monoton mereka dari hari ke hari. Mereka terus membicarakan kejadian tiga bulan yang lalu, ketika sebuah kereta melewati desa itu membawa orang kota yang mengenakan mantel, yang bukan hanya memiliki satu tudung melainkan delapan. Sekarang mereka akan membicarakan kereta luar biasa Taehyung beserta kuda-kudanya selama enam bulan ke depan.
Bagi orang luar, Morsham mungkin tampak seperti tempat yang membosankan yang dihuni oleh para petani yang suka bergunjing, tapi bagi Lisa yang berusia tiga belas tahun, dusun itu berikut para penduduknya begitu indah.
Pada usia tiga belas tahun ia percaya semua mahluk ciptaan Tuhan memiliki sifat baik dan ia percaya semua orang memiliki kejujuran, integritas, dan kegembiraan. Ia berhati lembut, riang dan sangat optimis.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!