NovelToon NovelToon

Kisah Sang CEO Muda

BAB 1 MENYAKITKAN TAPI MENYELAMATKAN

Menjalin hubungan percintaan tidaklah cukup hanya bermodalkan cinta semata antara masing-masing sepasang kekasih. Butuh adanya kesetiaan yang seutuhnya di antara keduanya.

Tanpa adanya kesetiaan atau saling setia, bisa dijamin hubungan percintaan itu tidak akan bertahan lama. Seberapa pun seseorang menunjukkan kesetiaan yang palsu di hadapan pasangannya.

Pengkhianatan cinta atau bisa dibilang perselingkuhan merupakan salah satu sumber terbesar kesetiaan itu akan lenyap. Sekaligus akan menghancurkan tatanan sebuah hubungan.

Akan tetapi pemuda itu masih sanggup menikmati kesabarannya dikhianati. Dia masih sanggup menegakkan kesetiaannya terhadap sang kekasih, meski sang kekasih menyuguhkan kesetiaan palsu kepadanya.

Sebenarnya bukan sekali dua kali dia melihat kekasihnya tengah berduaan dengan pemuda lain, bahkan sudah beberapa kali. Namun hingga saat ini dia masih saja mendiamkannya.

Tidak mempermasalahkan saat dia sedang bersama Melinda, nama sang kekasih. Tidak menunjukkan gelagat atau sikap aneh terhadap Melinda.

Pemuda itu tetap menjalani hubungannya dengan Melinda sebagaimana biasa. Tetap mencurahkan kasih sayangnya, cintanya, dan kesetiaannya. Tanpa kadarnya berkurang sedikitpun.

Sedangkan Melinda juga menjalankan perannya sebagai seorang kekasih dengan baik. Rasa sayangnya terhadap Raihan, nama si pemuda tetap utuh.

Kalaulah Raihan tidak melihat sendiri perselingkuhan Melinda dengan pemuda lain, tentulah dia tidak akan tahu kalau sebenarnya Melinda adalah pengkhianat cinta. Karena saking bersihnya menjalankan perannya sebagai kekasih yang dibanggakan Raihan.

Memikirkan hal itu membuat Raihan semakin sakit sebenarnya. Namun dia masih sanggup untuk bertahan sambil terus berdoa agar Melinda suatu saat kelak menyadari kekeliruannya.

Tetapi terkadang dia termenung sendiri, kenapa dia masih mempertahankan hubungannya dengan Melinda? Padahal dia tahu Melinda telah berselingkuh di belakangnya.

Semakin memikirkan hal itu semakin membuatnya bingung. Hingga akhirnya dia pasrah saja ketentuan takdir dari Yang Maha Kuasa, bagaimana nantinya kelanjutan dari hubungan asmara di antara mereka.

Hingga suatu ketika peristiwa yang tidak pernah Raihan harapkan terjadi, namun Tuhan menakdirkan terjadi pula.

Kala itu, tepatnya sore hari mereka berada di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi.

Mulanya Raihan merasakan firasat tidak baik saat Melinda mengatakan kalau ada perkara penting yang hendak dia bicarakan. Namun Raihan tetap berusaha rileks, tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan.

Namun hatinya amat penasaran, perkara apa yang hendak disampaikan oleh Melinda kepadanya?

★☆★☆

"Ada apa to, Mel?" tanya Raihan seakan tidak sabaran. Padahal hatinya makin merasakan firasat tidak baik. "Kamu membuat aku jadi penasaran saja. Memangnya kamu mau ngomong apa?"

Melinda tidak lantas menjawab atau menanggapi ucapan Raihan barusan. Sejenak dia tersenyum sambil menatap sedikit aneh pada Raihan.

"Udah berapa lama kita pacaran, Mas Rai?" akhirnya Melinda berkata bernada tanya setelah beberapa saat terdiam. Senyumnya kini telah sirna, tenggelam di balik wajah cantiknya yang kini berekspresi datar.

"Yaaah... sudah setahun lebih," sahut Raihan tetap berusaha bersikap biasa meski hatinya sudah mulai curiga. "Ada apa to kamu tanya kayak gitu?"

"Apakah kamu yakin kalau hubungan kita bakalan berlanjut sampai di jenjang pernikahan?" tanya Melinda mulai terdengar aneh nada suaranya.

"Ya yakin sekali to, Mel," sahut Raihan tetap dengan aksen Jawa Timur-annya, "kita 'kan saling mencintai. Atau kamu tiba-tiba meragukan cintaku?"

"Aku nggak meragukan cintamu, Mas Rai," kata Melinda jujur. "Tapi aku ragu hubungan kita bakalan langgeng kalau kita kayak gini terus."

"Kayak gini terus bagaimana maksud kamu?" tanya Raihan terkejut heran.

"Kamu 'kan udah tahu sendiri kalau aku ni anak orang kaya, anak pengusaha ternama," beber Melinda bernada sinis. "Sedangkan kamu, keluarga aja tidak jelas. Lagian kamu cuma karyawan pabrik sejak dulu."

"Terus?" kata Raihan bernada datar.

"Kayaknya aku nggak bisa bertahan hidup lama bersama kamu selagi keadaanmu kayak gitu-gitu terus."

"Pie to, Mel? Kok kamu tiba-tiba membahas masalah itu?" kata Raihan berusaha tetap sabar atas kata-kata yang diucapkan Melinda yang jelas mengandung hinaan.

"Bukankah kamu sendiri yang bilang tidak bakalan mempermasalahkan tentang statusku?" lanjut Raihan. "Asalkan kita tetap saling mencintai."

"Tapi kenapa sekarang tiba-tiba kamu membahasnya? Seolah-olah hal itu masalah besar."

"Jelas masalah besar bagiku, Mas Rai," ungkap Melinda tanpa dapat ditahan lagi. "Aku tidak mungkin hidup bersama lelaki yang hidupnya pas-pasan."

"Kenapa kamu tiba-tiba aneh seperti ini, Mel?" kata Raihan berusaha tetap sabar dan tenang. "Sudah setahun lebih kita berpacaran, kamu tidak pernah mengungkit-ungkit masalah ini. Tapi kenapa sekarang kamu mempermasalahkannya?"

"Terus terang, sebenarnya sudah lama aku mau ngomong masalah ini kepadamu, Mas Rai," ungkap Melinda. "Tapi aku takut bakalan nyakitin perasaan kamu."

"Tapi kalau aku nggak ngomong sekarang, terus memendam sendiri dalam hati," lanjutnya, "kamu nggak bakalan tahu perasaanku yang sebenarnya saat ini."

"Terus terang, sebenarnya aku nggak tega juga ngomongin masalah ini kepadamu saat-saat seperti ini, Mas Rai. Tapi mau bagaimana lagi, aku nggak sanggup terus-terusan memendamnya hingga berlarut-larut...."

"Aku harus mengungkapkannya kepadamu walaupun terpaksa."

"Mestinya kamu mengingat kalau kita saling mencintai," Raihan masih berusaha membujuk. "Aku yakin kamu pasti masih mencintai aku."

"Ingatlah komitmen kita sejak dulu," lanjutnya. "Kita akan menghadapi segala rintangan bersama-sama. Asal kita tetap saling mencintai, asal kita tetap bersama. Apakah kamu sudah lupa?"

"Sorry, Mas Rai, terpaksa aku melanggar komitmen kita. Lagian, sebenarnya aku nggak mencintaimu lagi...."

Bukan main terkejutnya Raihan mendengar pernyataan Melinda yang begitu lugas itu. Seakan-akan saat ini Melinda menusuk dadanya dengan belati yang berkarat. Sakitnya, amat sakit.

Sampai-sampai sepasang matanya terbelalak menatap tidak percaya pada Melinda.

Sedangkan Melinda tetap menunjukkan sikap datar dan sinisnya. Seakan-akan sikapnya tidak memperdulikan perasaan Raihan yang malang.

"Terus sekarang mau kamu apa?" kata Raihan seakan sudah hilang kesabaran, seakan sudah hilang harapan, tetapi sikapnya masih dalam mode tenang.

"Aku mau kita putus...," kata Melinda bernada mendesah dan agak sedikit tertekan di tenggorokan seolah terpaksa mengatakan.

★☆★☆

Sebenarnya Raihan sudah tahu arah pembicaraan Melinda akan menjurus ke situ. Namun tak urung membuatnya kembai terkejut mendengar keputusan gadis cantik itu.

Untuk beberapa saat lamanya Raihan tidak bisa berkata-kata. Keputusan Melinda barusan jelas amat perih dia rasakan. Langsung menusuk di relung hatinya yang semakin terluka tapi tak berdarah.

Kembali ditatapnya wajah cantik di depannya itu lekat-lekat. Mencari kesungguhan di balik wajah itu.

"Apa kamu sudah pikirkan keputusanmu itu masak-masak, Mel?" tanya Raihan setelah agak lama terdiam. Suaranya agak pelan bagai mendesah, meresapi keperihan hatinya yang amat perih.

"Ya, aku sudah memikirkannya masak-masak, bahkan sudah sejak lama," sahut Melinda berusaha memantapkan suaranya.

"Apa karena kamu sudah mencintai pria lain, sehingga kamu tidak mencintaiku lagi?" tanya Raihan ingin tahu sekaligus menguji kejujurannya. "Makanya kamu minta putus."

"Aku rasa bukan karena hal itu," sahut Melinda tanpa pikir dulu dengan nada berusaha meyakinkan. Tapi jelas dia berbohong.

Raihan mendiamkan saja akan kebohongan Melinda itu. Sepertinya dia tidak ingin mempermasalahkan tentang hal itu terlalu jauh. Dia pikir Melinda memang merencanakan hal itu sudah jauh-jauh hari.

Dia menduga kalau Melinda sudah jatuh cinta kepada pria selingkuhannya itu. Dan tentunya pria itu adalah pemuda kaya sesuai kriteria Melinda. Yang terpenting juga kalau pemuda itu tentunya pilihan ortunya.

Maka Raihan kembali bertanya berlaga tidak tahu akan kebohongan Melinda.

"Lantas karena apa?"

"Hubungan kita nggak direstui oleh kedua orang tuaku," sahut Melinda berkata jujur. "Kamu sudah tahu itu. Orang tuaku nggak kepingin punya menantu kayak kamu."

"Gimana aku bisa mempertahankan perasaan cintaku kepadamu kalau orang tuaku tidak menyetujui hubungan kita? Dan buat apa aku tetap bertahan bersamamu kalau sudah kayak gitu?"

"Lagian mereka memintaku untuk tinggal bersama mereka di Jakarta dan menyuruh pindah kuliah ke sana," lanjutnya.

"Coba kamu pikirkan lagi baik-baik," kata Raihan masih berusaha membujuk. "Kamu pasti masih mencintaiku. Aku rasa keputusanmu meminta putus cuma emosi sesaat."

"Aku sudah bilang padamu kalau aku sudah memikirkan keputusan aku itu masak-masak," Melinda tetap tidak berubah pendiriannya. "Aku memang sudah lama ingin putus denganmu asal kamu tahu."

"Jadi... percuma saja kamu membujuk aku agar merubah keputusanku."

"Aku takutnya kemudian hari kamu akan menyesal," desah Raihan mulai putus asa untuk membujuk.

"Menyesal atau nggak menyesal, itu sudah keputusanku," kata Melinda tetap berusaha tegar dengan keputusannya. "Aku bakalan menanggung resikonya. Kamu nggak usah memikirkan hal itu."

Kemudian, karena melihat Raihan sudah tidak berbicara apa-apa lagi, Melinda melanjutkan mengucapkan kata-kata sebelum berpisah dengan Raihan.

"Aku minta maaf atas segala kesalahanku selama ini kepadamu. Dan aku meminta sangat kepadamu untuk melupakan aku. Anggap kita tidak pernah saling kenal. Anggap kamu tidak pernah bertemu denganku...."

"Karena setelah ini aku akan melupakanmu selamanya...."

"Ucapanmu itu sungguh menyakiti perasaanku, Mel," desah Raihan berusaha tetap tegar dan sabar meski hatinya semakin perih. "Mana mungkin aku bisa melupakanmu?"

"Itu terserah kamu. Sorry, sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Aku pamit, Mas Rai. Jaga dirimu baik-baik!"

Setelah itu Melinda langsung berdiri dari kursinya dengan cepat, lalu melangkah setengah berlari dan tanpa menoleh sama sekali. Seolah benar-benar membuktikan kalau dia akan melupakan Raihan selamanya.

Tinggallah Raihan yang termangu seorang diri. Sepasang matanya yang berkaca-kaca masih menatap ke arah di mana Melinda duduk tadi. Seolah orangnya masih berada di situ duduk menatapnya juga.

Setelah termangu beberapa saat lamanya, Raihan kembali menetralkan perasaannya yang terluka. Setelah itu merenungi dirinya.

Sungguh dia tidak menyangka kalau Melinda sebenarnya merasa tersiksa berpacaran dengannya. Ketersiksaan itu rupanya sudah lama dia memendamnya sendiri.

Barulah tadi dia tumpahkan semua unek-uneknya karena tidak sanggup lagi menampung di dalam hatinya.

Memikirkan hal itu membuatnya merasa bersalah. Memang pemuda miskin sepertinya tidak pantas bersanding dengan gadis kaya seperti Melinda itu. Kedepannya pasti akan menyusahkan.

Di satu sisi juga dia bisa merenungkan kalau peristiwa barusan sudah menjadi takdir yang pasti akan berlaku.

Keputusan Melinda yang menyatakan putus dengannya memang membuatnya terluka dan berduka. Namun keputusan itu juga menyelamatkan dirinya dari keterhinaan yang amat hina.

★☆★☆★

BAB 2 PINDAH KE JAKARTA

Melinda telah pindah ke Jakarta pada keesokan harinya. Tanpa berpamitan kepada Raihan, apalagi memberi tahu pemuda itu lewat WA.

Rupanya tanpa sepengetahuan Raihan, bahkan tanpa memberi tahunya pula, Melinda sudah mengurus semua kepindahannya ke Jakarta. Terutama pindah kampus dari Surabaya ke Jakarta.

Yang lebih menyakitkan lagi rupanya sudah sejak lama Melinda merencanakan untuk pisah atau putus dengan Raihan. Sehingga perpisahan yang menyakitkan itu berjalan dengan mulus.

Buktinya Raihan tidak sempat lagi bertemu dengan Melinda. Karena gadis cantik itu meninggalkan Surabaya di saat Raihan masih sibuk bekerja di pabrik.

Dikarenakan tidak tahu akan keadaan, sepulang kerja Raihan langsung ke rumah buleknya (bibi atau tantenya) Melinda, tempat di mana Melinda tinggal selama kuliah di Surabaya ini.

Sebelumnya Raihan mencoba menghubungi Melinda melalui handphone. Namun nomor Melinda yang Raihan hubungi itu sudah tidak aktif lagi. Makanya dia memberanikan diri untuk langsung datang ke rumah buleknya itu.

Namun tentu saja dia tidak menemukan Melinda di situ. Cuma buleknya Melinda yang dia temui saat itu, yang mengabarkan padanya kalau Melinda sudah pindah ke rumah orang tuanya di Jakarta.

Bahkan sang bulek berpesan padanya agar melupakan Melinda. Dia tidak pantas bersanding dengan Melinda, anak seorang pengusaha kaya. Sementara dirinya adalah pemuda miskin yang tidak jelas keadaan dan statusnya.

Dengan memikul kekecewaan yang berat Raihan kembali ke kos-kosannya. Ketika sampai dia kembali merenungi nasib cintanya yang seakan dipermainkan oleh takdir.

Apakah memang seorang pemuda miskin tidak pantas mencintai seorang gadis kaya? Ataukah memang Melinda bukanlah jodoh untuknya?

Dua pertanyaan itu terus terngiang dalam benaknya. Sehingga membuatnya hanyut dalam perenungan yang cukup lama.

Satu tahun lebih sudah Raihan menjalin asmara dengan Melinda. Tidak pernah sekalipun Melinda mengungkit tentang keadaannya yang miskin. Bahkan Melinda tidak pernah menuntut materi macam-macam kepadanya.

Gadis itu hanya menuntut agar diberikan cinta dan kasih sayang. Cuma dirinya wanita yang dicintai oleh Raihan selamanya. Dan hal itu sudah Raihan berikan sepenuhnya pada Melinda.

Namun kenapa di akhir hubungan mereka Melinda mengungkit masalah keadaan dirinya yang miskin? Seakan-akan Melinda menunjukkan kalau dia adalah wanita materialistis.

Cukup lama Raihan memikirkan keadaan Melinda yang menurutnya aneh itu, sehingga meminta putus dengannya.

Maka Raihan dapat menyimpulkan bahwa Melinda telah kalah oleh desakan keluarganya yang notabene tidak menyetujui hubungan mereka.

Ditambah lagi Melinda telah mengenal atau diperkenalkan pada pemuda yang tampan sekaligus mapan, pilihan keluarganya. Bisa jadi Melinda telah mencintai pemuda itu yang juga mencintainya dengan tulus.

Hingga akhirnya dia berpredikat sebagai orang yang kalah. Kalah dalam persaingan cinta. Ditambah lagi kalah dalam persaingan harta.

Memikirkan hal itu menjadikan dirinya sadar diri. Dia harus sadar kalau dirinya itu siapa. Tidak mungkin bersanding dengan seorang wanita kaya.

Berangkat dari kesadaran itu, Raihan bertekad untuk tidak lagi berpacaran dengan wanita yang kaya. Perbuatan wanita kaya semisal Melinda membuatnya kecewa sekaligus trauma.

Dia nanti akan mencari kekasih wanita yang biasa saja. Tidak kaya namun baik hati dan setia. Terutama sekali bukan wanita materialistis.

Berpikir lebih jauh lagi, untuk saat-saat sekarang ini Raihan tidak mau dulu disibukkan memikirkan yang namanya wanita. Dengan kata lain tidak mau dulu berpacaran.

Sementara melupakan Melinda saja butuh berbulan-bulan baru dia berhasil.

★☆★☆

Hampir setahun lamanya Raihan baru bisa terbebas dari memikirkan Melinda secara spesial. Bahkan nyaris sama sekali melupakannya. Kalaupun sempat teringat, dia tampak biasa saja. Tidak ada lagi yang spesial.

Namun belum lama dia terbebas dari ketersiksaan itu, kembali dia dirundung musibah. Dia dipecat dari pabrik tempatnya bekerja.

Dia dipecat bukan karena dia melanggar peraturan kerja. Melainkan pabrik tempatnya bekerja sepi orderan. Sehingga banyak karyawannya yang di-PHK, termasuk dirinya dan sahabatnya.

Sebulan lamanya Raihan terpaksa menjadi ojek online. Karena dia belum mendapat pekerjaan yang memadai. Meski menjadi ojek online cukup menjanjikan, namun dia tidak terlalu menyenanginya.

Hingga suatu ketika di saat dia dan sahabat sekaligus teman satu kosan yang bernama Bayu tengah berbincang santai di suatu sore, seorang teman sahabatnya yang kerja di Jakarta datang berkunjung di kosan mereka.

Setelah saling ngobrol beberapa saat lamanya sebagai ungkapan basa-basi karena sudah lama tidak bertemu, teman sahabatnya itu menawarkan mereka bekerja di Jakarta.

"Sampean-sampean 'kan sudah tidak bekerja lagi di sini. Bagaimana kalau kalian ikut aku bekerja di Jakarta?"

"Memang ada kerjaan di Jakarta, Mas Herman?" tanggap Bayu dengan antusias.

"Ya jelas ada to," ucap pemuda yang bernama Herman itu dengan mimik serius. "Mana mungkin aku menawarkan kepada kalian kalau tidak ada kerjaan."

"Kerja apa, Mas Herman?" tanya Raihan seakan tertarik.

"Kebetulan di kafe temanku bekerja sedang menerima karyawan baru sekitar 5 orang," jelas Herman. "Kalau kalian berminat, sekarang juga aku telepon temanku itu kalau aku mendapat dua orang yang mau bekerja di tempatnya."

"Pie, Rai?" tanya Bayu sambil menatap Raihan.

"Koe pie?" Raihan balik tanya.

"Nek koe gelem, aku juga gelem."

Raihan sejenak tercenung seakan mempertimbangkan tawaran itu. Lalu dia kembali memandang Herman, terus bertanya lagi.

"Gajinya pie? Apa sesuai UMR?"

"Sampean tenang wae, Mas Rai," sahut Herman tambah meyakinkan. "Rata-rata perusahaan di Jakarta gajinya sesuai standar UMR. Kalau tidak sesuai, malah dituntut."

"Memang gajinya tidak seperti gaji karyawan kantoran," lanjut Herman. "Tapi lumayan besar juga."

"Terima saja ya, Rai," bujuk Bayu. "Di sini lagi susah kerjaan saat-saat sekarang ini. Nggeh ta?"

"Yo wes, kita terima saja," kata Raihan memutuskan. "Hitung-hitung tambah pengalaman di kota besar."

"Tapi iki benaran to, Mas Herman?" tanya Bayu ingin kepastian. "Ora ngapusi to?"

"Benaran, aku tidak bohong," sahut Herman bernada meyakinkan. "Moso' konco dewe aku apusi."

"Yo wes, kalau kalian sudah benar-benar mantap mau menerima tawaran kerja tadi, sekarang juga aku telepon temanku itu. Pie?"

"Telepon wae koncomu di Jakarta itu, Mas Herman," kata Bayu menegaskan. "Kami wes mantep."

Tak lama kemudian, Herman menelpon temannya di Jakarta, mengabarkan kalau dia mendapatkan 2 orang yang mau bekerja di kafe temannya itu.

Sedangkan sang teman, karena memang sudah percaya kepada Herman, dia langsung menerima Raihan dan Bayu untuk bekerja di kafe tempatnya bekerja. Terus memberitahukan agar secepatnya Raihan dan Bayu ke Jakarta.

Kebetulan teman Herman tersebut bagian penerima karyawan baru.

Dua hari kemudian, setelah memaketkan kendaraan motor mereka ke jasa pengiriman barang, berangkatlah Raihan dan Bayu ke Jakarta dengan diantar oleh Herman.

Mereka berangkat ke Jakarta dengan melalui jasa transportasi bus dari terminal Surabaya menuju terminal Jakarta.

★☆★☆

Tanpa terasa Raihan telah bekerja sebagai karyawan kafe sudah sebulan lebih.

Mulanya memang dia agak sedikit canggung beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Baik beradaptasi dengan lingkungan di tempat dia dan Bayu kos, maupun dengan lingkungan kafe di mana mereka bekerja.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, Raihan sudah mulai terbiasa dengan lingkungan barunya itu. Apalagi pemuda itu memang tipe orang yang mudah bergaul.

Di samping itu pula dia memiliki sifat yang disukai banyak orang; berbudi pekerti yang baik, penuh sopan santun, dan tidak sombong.

Dan satu lagi, dia memiliki sesuatu yang disukai banyak cewek, yaitu berwajah tampan rupawan, dipadu dengan stail badan yang atletis. Sehingga tidak heran beberapa karyawan cewek mencoba cari-cari perhatian kepadanya.

Namun dalam benak Raihan saat ini tidak mau dulu disibukkan dengan yang namanya wanita. Dalam artian tidak mau dulu berakrab ria dengan mereka, apalagi sampai pada jenjang berpacaran.

Bahkan sekarang dia bersikap agak dingin dengan wanita.

Sikapnya itu tentulah memiliki latar belakang. Gadis yang pernah dia cintai, memilih memutuskan jalinan cinta di antara mereka cuma lantaran dia pemuda miskin.

Dari situ dia dapat mengambil pelajaran untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih wanita yang akan dijadikan kekasih. Apalagi sampai pada tahap yang lebih serius.

Lagi pula dia masih trauma terhadap perselingkuhan yang dilakukan oleh Melinda, sang mantan.

Dia telah sanggup melupakan gadis itu. Bahkan rasa cinta yang pernah bersemayam di dalam dirinya terhadap gadis itu, sekarang telah sirna secara utuh.

Namun perselingkuhan yang dilakukan Melinda terhadap kesetiaannya, membuatnya masih menyisakan luka. Luka itu masih membekas, dan bekasnya belum juga bisa hilang.

Sehingga membuatnya trauma kalau ada seorang wanita atau seorang gadis yang hendak mendekatinya dengan serius. Maksudnya ingin menjadi kekasihnya.

Sementara itu seperti biasa Raihan melaksanakan tugasnya sebagai pelayan kafe. Membersihkan meja bekas digunakan oleh para pengunjung kafe. Mengantarkan pesanan pengunjung lainnya.

Di saat Raihan sibuk melaksanakan tugasnya, tampak dua orang pengunjung telah memasuki kafe yang cukup besar ini, dua orang gadis yang berwajah cantik.

Dari penampilan keduanya bisa diduga kalau kedua gadis itu adalah 2 orang pelajar atau mahasiswi. Dengan kata lain 2 cewek kampus.

Awalnya Raihan tidak melihat saat kedua gadis itu memasuki kafe. Hingga mereka mengambil meja yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk.

Lebih tepatnya tidak sempat memperhatikan kedua gadis itu. Karena saking sibuknya dia serta rekan-rekannya melayani pengunjung kafe yang terbilang ramai.

Maklum saja malam ini adalah malam minggu. Meski hari-hari atau malam-malam biasa juga ramai pengunjung. Tapi malam minggu biasanya paling ramai dikunjungi para penikmat malming.

Kebetulan dia mendapat tugas mengantarkan pesanan kedua gadis itu. Maka dia dapat melihat siapa orangnya yang memesan makanan yang dia bawa ini.

Dari jauh melihat keduanya belum membuatnya terkejut. Namun begitu setengah perjalanan lagi dia akan tiba di meja kedua gadis itu, seketika saja dia langsung terkejut bukan main. Hingga membuat langkahnya terhenti.

Betapa dunia ini begitu sempit. Orang yang sudah dilupakannya, kenapa tiba-tiba muncul di pelupuk matanya? Pertanda apakah ini?

Beberapa saat lamanya, bahkan mungkin 1 menitan lebih dia langsung terlarut dalam gemuruh perasaannya. Kalau saja tidak ada salah seorang rekannya yang menegurnya, dia akan mematung di tempat berdirinya cukup lama.

Sejenak dia menetralkan perasaannya yang tadi sempat bergemuruh. Menormalkan keadaan dirinya ke mode biasa saja, seolah-olah dia tidak mengenal salah seorang gadis yang sempat membuatnya terkejut.

Setelah dia berhasil melakukan hal itu, barulah Raihan kembali melangkah mengantarkan pesanan kedua gadis itu.

Langkahnya begitu ringan pertanda dia sudah rileks. Wajah tampannya juga sudah tampak biasa, tidak tegang karena terkejut seperti tadi.

Yang terpenting, dia tidak boleh terbawa perasaan ketika dia tiba di depan gadis itu.

★☆★☆★

BAB 3 TIDAK SENGAJA BERTEMU MANTAN

Hingga Raihan tiba di meja kedua gadis itu, dia masih mampu mepertahankan keadaannya agar tidak sampai terbawa oleh perasaan.

Keadaan dirinya masih tampak biasa, masih stabil. Sikapnya tidak menunjukkan kekakuan karena canggung atau grogi. Wajah tampannya juga selalu menebarkan senyum yang ramah.

Yang jelas pemuda itu masih dapat mempertahankan pendiriannya dengan bersikap seakan-akan tidak pernah mengenal gadis yang membuatnya terkejut itu, gadis yang pernah membuat hatinya sakit itu.

Dengan tenang dia meletakkan pesanan kedua gadis itu di hadapan mereka masing-masing, baik makanan maupun minuman. Sama sekali gerakan tangannya tidak kaku atau gemetar.

Perlu diketahui bahwa ketika Raihan tiba di meja ini tadi kedua gadis itu tidak terlibat lagi dalam obrolan.

Sementara salah seorang gadis itu yang duduk di sebelah kiri terus menatapnya lekat-lekat sejak tiba tadi. Bukan karena dia mengenal Raihan, melainkan karena terpesona akan ketampanan sang pemuda.

Sedangkan gadis yang duduk di sebelah kanan tampak masih sibuk dengan HP-nya, menulis chat di aplikasi WA-nya saat Raihan menghidangkan pesanan mereka.

Tanpa sekejap pun dia menoleh pada Raihan. Dan pemuda itu juga sama sekali tidak menunjukkan gelagat menarik perhatian si gadis, selain gerakannya selayaknya menghidangkan pesanan.

"Silahkan dinikmati hidangannya!" kata Raihan bernada lembut dengan penuh kesopanan serta senyum ramah mempersilahkan. "Semoga Mbak berdua dapat menikmati malming ini dengan penuh bahagia di kafe kami."

Tarikan suaranya begitu lurus dan bersih, tidak terdengar bergetar atau tercekat sedikitpun. Hal itu dikarenakan dia mampu mengendalikan gejolak perasaannya.

"Makashi, Mas Ganteng," tanggap gadis bergaun hijau muda itu bernada centil sambil memamerkan senyum manis serta daya pesonanya.

"Boleh kenalan nggak?" lanjutnya sambil menyodorkan telapak tangan kanannya dengan gaya centil lemah gemulai.

Sedangkan gadis yang bergaun biru langit seketika mengangkat kepalanya dengan cepat saat mendengar Raihan berbicara.

Bukan terkesan dengan ucapan Raihan yang penuh kesopanan dan kelembutan. Seketika hatinya merasa kalau dia pernah mengenal pemilik model suara seperti itu.

Dan benar saja. Begitu gadis itu menoleh pada Raihan, tidak sampai 5 detik dia telah mengenal pemuda itu. Kejap berikut dia langsung terkejut bukan alang kepalang.

Rasa malu, sedih, bahagia, rindu, berbagai macam perasaan bercampur aduk di dalam hatinya saat ini. Hal itu telah tampak dari binaran matanya yang membulat.

"Mas Rai....," desahnya mendesis amat pelan. Saking pelannya cuma dia sendiri yang mendengarnya.

Sementara Raihan sebenarnya tahu kalau gadis itu sudah menggubrisnya. Namun dia masih berlagak pura-pura tidak tahu dan tidak mengenalnya. Malah dia meladeni ucapan gadis bergaun hijau muda itu.

"Maaf, Mbak, kami dilarang berbicara dengan pelanggan jika bukan menyangkut pesanan atau semisalnya. Mohon pengertiannya!"

"Silahkan dinikmati hidangannya!"

Lalu dia berbalik dengan cukup cepat hendak tinggalkan kedua gadis itu. Namun baru saja badan bidangnya berbalik, kedua gadis itu langsung berseru mencegatnya.

"Tunggu, Mas Rai!"

"Tunggu, Mas Ganteng!"

Raihan memang tidak jadi beranjak dari situ. Bahkan dia segera berbalik kembali menghadap pada kedua gadis itu. Namun sikapnya tetap tenang, tetap berlagak bagai orang yang belum pernah mengenal gadis itu. Senyum ramahnya terus mengembang di wajah tampannya.

Sama sekali dia tidak terkejut apalagi terpengaruh dengan sikap gadis yang tidak lain adalah Melinda yang mengenal dirinya. Atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak terkejut dan tidak terpengaruh.

Yang terkejut malah gadis bergaun hijau muda. Dia langsung menatap Melinda dengan sorotan mata tidak percaya. Dia tidak menyangka kalau Melinda mengenal pemuda itu.

★☆★☆

Namun baru saja si gadis hendak bertanya kepada Melinda, keburu Raihan berkata bernada tanya.

"Apa Mbak berdua masih ada pesanan yang lainnya?"

"Lu kenal cowok ganteng ini, Lin?" akhirnya terlepas juga pertanyaan itu dari sepasang bibir merah si gadis.

Melinda bersikap seolah tidak menggubris temannya itu. Perhatiannya kini fokus pada Raihan. Bahkan dia terus menatap pemuda itu tanpa berkedip, seolah takut hilang dari pandangan matanya.

"Kamu nggak kenal aku lagi, Mas Rai?" tanya Melinda bernada heran. Karena melihat sikap Raihan yang seolah tidak mengenalnya.

Sebenarnya Melinda masih merasa malu bercampur takut. Namun melihat sikap Raihan itu, perasaan itu tertindis oleh rasa heran dan penasaran.

"Maaf, mungkin Mbaknya salah orang," kata Raihan masih menjalankan perannya. "Saya tidak pernah bertemu dengan Mbak. Bagaimana bisa kita saling kenal?"

Melinda tidak mungkin salah mengenal orang. Dia amat yakin pemuda tampan di dekatnya ini adalah Raihan yang pernah dia kenal.

Bermodal dengan keyakinan itu Melinda langsung berdiri dengan cepat, lalu melangkah hendak memeluk Raihan.

Sebenarnya dia masih didera rasa malu karena tidak menyangka kembali bertemu dengan Raihan di saat dia tidak siap seperti saat ini. Namun rasa rindu yang telah menggebu mengalahkan rasa malunya itu.

Tapi siapa sangka Raihan bertindak diluar ekspektasi.

Raihan segera mundur ke belakang 1 langkah. Bersamaan kedua telapak tangannya yang terbuka bertindak seakan memalang di depan wajahnya. Jelas sikapnya itu menolak untuk dipeluk.

"Saya harap Mbak berlaku sopan di depan umum seperti ini," kata Raihan seolah menasehati. Sikapnya masih seperti biasa. Pula tetap menebar senyum penuh keramahan.

"Kamu udah nggak kenal aku lagi, Mas Rai?" tanya Melinda bernada heran sekaligus penasaran.

"Sepertinya Mbaknya salah orang," kata Raihan masih menjaga perannya dengan sempurna. "Mana mungkin saya yang pemuda miskin ini pernah berkenalan dengan wanita kaya seperti Mbaknya."

Ucapan Raihan barusan jelas membuat Melinda merasa tertampar amat keras. Ucapannya itu mengingatkannya pada momen di saat mereka putus setahun yang lalu. Tepatnya dia yang meminta putus.

Terngiang lagi ucapannya kepada pemuda itu setahun yang lalu yang memintanya agar melupakannya. Karena dia juga akan melupakan pemuda itu selamanya.

Namun nyatanya dia tidak bisa melupakan Raihan, sampai pun saat ini. Rasa cintanya terhadap Raihan benar-benar tulus dan murni, buka rekayasa atau sekedar main-main.

Adapun dia tiba-tiba mengungkit tentang status Raihan di momen saat dia menyatakan putus dulu, dan segala apa yang dia ucapkan waktu itu, sebenarnya hanya alasannya saja agar Raihan benar-benar percaya kalau dia serius ingin putus dengannya.

Dia tidak sanggup lagi mendengar hinaan orang tuanya yang menyoal tentang status Raihan. Ditambah lagi buleknya yang ada di Surabaya selalu menghina Raihan saat dia diantar pulang ke rumah buleknya waktu itu.

Dikarenakan tidak ingin menyakiti hati Raihan, dan di saat pikirannya sedang kalut akibat orang tuanya tidak merestui hubungan mereka, bersamaan dengan itu orang tuanya menjodohkannya dengan pengusaha muda, maka dia memutuskan untuk putus dengan Raihan.

Dengan terpaksa dia mengarang segala alasan agar Raihan percaya kalau dia memang benar-benar ingin putus.

Tapi ucapannya yang menyuruh Raihan agar melupakannya itu serius. Karena dia juga ingin melupakan Raihan. Agar tidak terkenang lagi masa-masa indah bersama pemuda tampan itu.

Namun nyatanya dia tidak berhasil. Dia tidak bisa melupakan Raihan yang begitu baik dan begitu tulus mencintainya. Bahkan dia menyesal mengatakan hal itu.

Nyatanya Raihan yang bisa dan berhasil melupakannya. Sikapnya saat ini begitu sempurna menganggapnya orang asing atau berlagak tidak mengenalnya.

Mengingat perkataannya dulu dan menyaksikan kenyataan yang membuatnya makin perih menelan penyesalan.

Mendengar ucapan Raihan yang sungguh menyakitkan itu, Melinda hendak menanggapi ucapan pemuda itu. Tapi keburu Raihan melanjutkan ucapannya.

"Maaf, Mbak, saya masih banyak tugas. Silahkan dinikmati hidangannya! Permisi!"

Raihan langsung berbalik dengan cepat, lalu meninggalkan tempat itu tanpa perduli kalau misalkan kedua gadis itu mencegatnya lagi.

★☆★☆

Melinda terus saja memandang kepergian Raihan meski tubuh pemuda itu telah hilang. Wajah cantiknya kini telah menerbitkan kesedihan. Tatapan matanya membinarkan kerinduan, namun sekaligus menerbitkan rasa malu.

Tanpa sadar dia kembali terkenang masa-masa indah bersama Raihan.

"Linda...!" panggil gadis bergaun hijau muda seolah menegur Melinda yang masih saja berdiri bagai orang bengong.

Panggilan temannya tidak keras. Akan tetapi tentu saja membuat Melinda terkejut sekaligus membuyarkan lamunannya. Barulah dia menyadari kalau saat ini dia masih berdiri.

Kemudian dia duduk kembali di kursinya dengan perlahan. Tapi pikirannya masih didominasi oleh keberadaan Raihan yang dia tidak sangka-sangka. Gairahnya untuk menikmati makanannya telah hilang.

Sedangkan gadis cantik bergaun hijau muda itu masih saja menatap Melinda dengan penuh keheranan. Berbagai macam pertanyaan berseliweran dalam benaknya saat melihat sahabatnya itu yang dilanda masygul.

"Lu kenal cowok ganteng tadi, Lin?" tanya gadis bergaun hijau muda itu seolah mengulang pertanyaannya tadi yang belum terjawab.

"Ya..., gue kenal, kenal banget," sahut Melinda bernada mendesah.

Perasaannya kini makin terbawa hanyut dalam kesedihan mana kala mengingat kembali masa-masa indah bersama Raihan, pemuda yang sebenarnya belum bisa dia lupakan.

"Lu kok kayak sedih gitu sekarang?" tanya gadis yang sebenarnya bernama Friska bernada heran campur curiga. "Kalian pernah ada hubungan spesial ya?"

"Kami pernah pacaran...," sahut Melinda makin sedih hingga kini sepasang mata indahnya telah berkaca-kaca.

"Berarti mantan lu dong?" kata Friska seolah menebak.

Bukan tanpa dasar Friska menebak demikian. Dia tahu Melinda sekarang tengah berpacaran dengan seorang pengusaha muda.

Sementara barusan Melinda mengaku kalau pelayan kafe ganteng tadi adalah pacarnya dulu. Kalau begitu apalagi namanya kalau bukan mantan?

"Entahlah," desah Melinda meragu, "gue belum bisa nganggap Mas Rai mantan."

"Maksud lu...? Eh cowok tu siapa tadi namanya, Lin?" tanya Friska jelas kepo.

"Mas Raihan," sahut Melinda tanpa mau menutupi.

"Maksud lu belum bisa nganggap Raihan mantan apa?"

"Sampai saat ini gue masih mencintai Mas Rai. Sampai saat ini gue masih nganggap Mas Rai pacar gue. Gimana bisa gue bilang mantan?"

"Terus Miko gimana?" tanya Friska bingung. "Dia pacar lu 'kan?"

"Cowok tu pilihan orang tua gue," aku Melinda dengan ekspresi seperti tidak senang mengingat pria pilihan ortunya itu. "Mau nggak mau gue harus terima."

"Tapi gue liat Miko sayang banget ama lu. Meski ya... lu nggak sayang-sayang banget ama dia kayaknya."

"Gue harus akuin kalau Miko memang cowok yang baik, Fris," ungkap Melinda jujur. "Gue nyadar kalau dia memang cinta banget ama gue."

"Asal lu tau, demi gue bisa ngelupain Mas Rai, gue coba ngebuka hati gue ama pilihan ortu gue itu. Tapi... nyatanya gue nggak bisa, Fris.... Gue belum mampu ngelupain Mas Rai gitu aja...."

"Makin ke sini gue makin bingung deh ama omongan lu," gerutu Friska. "Secara..., selama kita bersahabat lu belum pernah cerita tentang Rai ama gue."

"Sorry, Fris. Gue bukan bermaksud nutupin tentang Mas Rai ama lu," kata Melinda mengaku. "Cuma... gue kepingin ngelupain dia selamanya. Jadi, gue nggak pernah nyinggung-nyinggung tentang dia."

"Eh, tunggu!" kata Friska dengan sontak saat teringat sesuatu. "Beneran cowok yang ngantar pesanan kita adalah cowok lu yang dulu? Apa emang lu salah orang?"

"Gue nggak pernah ngelupain dia," kata Melinda meyakinkan. "Jadi, gue nggak mungkin salah kenal orang."

"Tapi... napa dia kayaknya nggak kenal lu?" tanya Friska heran. "Dan gue ngeliat sikapnya itu nggak dibuat-buat. Fix Rai nggak kenal ama lu...."

"Itu memang salah gue," ungkap Melinda mengaku. "Gue yang nyuruh dia ngelupain gue. Dan kayaknya Mas Rai berhasil."

Saat berkata demikian Melinda makin sedih dibuatnya. Sepasang mata indahnya makin berkaca-kaca. Kalau tidak mengingat tempat ini masih tergolong tempat umum, mungkin dia sudah menangis sedari tadi.

★☆★☆★

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!