NovelToon NovelToon

Mutiara Yang Ternista

Awal Mimpi Buruk

"Sempurna! Mbak Tiara sangat cantik dengan kebaya ini. Mas Shaka pasti terpesona dan nggak sabar untuk menghabiskan malam pertama." 

Seorang penata make up memuji paras cantik Tiara yang sangat menawan kala itu. Dengan dibalut kebaya putih dan jarik cokelat, postur tubuhnya tampak ideal. Tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus, sangat layak jika disebut sebagai dambaan kaum adam. 

Karena selain bentuk tubuh yang nyaris sempurna, wajah Tiara juga tidak ada cela. Hidung mancung, pipi tirus berlesung, bibir tebal dan ranum, juga gigi gingsul yang menambah kadar manis ketika tersenyum. Belum lagi bulu matanya yang lentik bak boneka, sungguh beruntung bisa memilikinya. 

"Ini nggak lepas dari keahlian Mbak dalam mengaplikasikan make up." Tiara menjawab sambil tersenyum lebar, merasa puas saat menatap pantulan diri di depan cermin. 

Dengan rambut yang tertutup kerudung putih panjang, serta hiasan bunga melati yang menjuntai hingga menyentuh pinggang, Tiara yakin Shaka akan terpukau dengan penampilan khas pengantinnya. 

"Rasanya aku udah nggak sabar, Mas, melihat kamu duduk di sampingku sambil menjabat tangan penghulu. Lalu kita menjadi suami istri yang sah dan ke depannya terus bersama-sama," batin Tiara sembari mengulum senyum. 

Namun sayang, senyum manis itu tak berlangsung lama menghiasi bibirnya, karena sesaat kemudian pintu kamar diketuk kasar dari luar. 

"Tiara! Tiara! Buka pintunya, Tiara! Cepat!"

Tiara sangat kaget, pun dengan penata make up yang masih sibuk menyiapkan high heels. Kompak keduanya berjalan cepat menuju pintu dan membukanya selebar mungkin. 

"Ada apa?" tanya Tiara dengan mata yang tak henti menilik wajah tegang di hadapannya. 

"Itu ... itu___"

"Itu apa, Bi? Jangan membuatku bingung!" Tiara mengguncang lengan bibinya yang masih terengah-engah. 

Perasaannya kini ikut kacau, takut jika terjadi masalah serius yang berhubungan dengan pernikahannya. 

"Di luar ada temannya Shaka, dia ngasih tahu kalau ... kalau mobilnya Shaka kecelakaan. Kondisinya parah, Tiara."

Jawaban Yanti—bibinya, seperti petir yang menyambar tepat di ulu hati Tiara. Menyakitkan dan nyaris membuatnya mati.

"Nggak! Ini nggak mungkin, Bi! Itu pasti bukan mobilnya Mas Shaka!" jerit Tiara sambil menangis histeris. Bahkan, tubuhnya sampai lemas dan ambruk ke lantai. 

Yanti pun ikut menangis, sangat tidak tega melihat nasib keponakan yang sudah dianggap seperti anak kandung. Lantas, dengan tangan yang gemetaran ia mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Tiara. 

"Tenangkan hati kamu, Ra, setelah ini kita ke sana. Kita doakan semoga Shaka baik-baik saja," ujar Yanti, menenangkan Tiara. 

Kendati tidak menyahut, tetapi dalam hatinya Tiara mengiakan ucapan sang bibi. Dia juga berusaha meyakinkan diri bahwa Shaka baik-baik saja. Lelaki itu sangat tidak suka melihatnya menangis, jadi tidak mungkin tega membuatnya sekhawatir itu. 

"Kamu udah janji akan nikahin aku, Mas, jadi nggak boleh kenapa-napa. Kamu harus sehat dan selamat seperti kemarin-kemarin," batin Tiara dengan jantung yang berdetak melebihi batas normal. 

Tak ingin membuang waktu lagi, Tiara dan bibinya bergegas keluar. Lantas dengan menggunakan mobil Benny—teman Shaka, mereka meluncur ke tempat kejadian. Kala itu bukan hanya Tiara dan Yanti saja yang pergi, melainkan juga Seno—paman Tiara. 

Sepanjang perjalanan itu, Tiara tak henti-hentinya memanjatkan doa. Berusaha merayu Tuhan untuk menyelamatkan Shaka. Dia tidak bisa ikhlas jika Shaka mengalami hal buruk yang membuatnya gagal menikah. 

Tiara mencintainya dan sangat membutuhkannya. Ibarat kata, masa depannya tergantung pada lelaki itu. 

"Kamu harus baik-baik saja, Mas," batin Tiara ketika tiba di tempat kejadian. 

 

Saat itu, masih banyak orang yang berkerumun di sana. Namun, semua korban sudah dilarikan ke rumah sakit, tak terkecuali Shaka. Alhasil, Tiara hanya bisa menggigit bibir. Karena selain tidak bisa melihat keadaan Shaka, ia juga banyak mendengar omongan warga yang cukup mengerikan. 

"Kecelakaan maut, korbannya parah semua. Nggak tahu mereka akan selamat atau tidak."

"Kasihan sekali, masih muda dan mau nikah, tapi malah kecelakaan separah ini."

"Wajahnya tadi sampai nggak berbentuk, mustahil bisa selamat."

"Hanya keajaiban Tuhan yang bisa menyelamatkan mereka."

Itulah beberapa komentar warga terkait kecelakaan yang menimpa Shaka, didukung dengan keberadaan mobil ringsek yang masih ada di TKP. Tiara tak berani melihatnya lama-lama, menatap sekilas kaca yang pecah tak tersisa saja sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bayangan-bayangan buruk terus mengusik, hingga air matanya terus berjatuhan tanpa henti. 

"Selamatkanlah Mas Shaka!" Hanya kalimat itu yang terus keluar dari bibirnya, sebuah doa yang jika boleh memaksa harus dikabulkan. Namun, entah bagaimana nanti, hanya Tuhan yang tahu. Terkadang harapan manusia tak seindah rencana-Nya. 

Tidak sampai setengah jam, mobil yang membawa Tiara tiba di halaman rumah sakit. Tanpa peduli dengan paman dan bibinya, Tiara langsung keluar dan berlari menuju IGD. Ia sampai tak malu menyingkap jarik hingga batas lutut. 

"Bagaimana keadaan Mas Shaka? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Tiara pada beberapa orang yang berdiri di depan IGD. Ada yang dari keluarga Shaka, ada pula yang dari keluarga korban lain. 

Namun, dari sekian banyaknya orang, semua diam membisu, hanya mata yang menatap sendu. Hal itu membuat Tiara tak sabar lagi, lalu dengan suara yang lebih tinggi ia mengulangi pertanyaan serupa. Sialnya, banyak dari mereka yang malah menunduk, membuat Tiara nyaris frustrasi dengan kondisi yang ada. 

"Kita harus sabar, Ra, Shaka nggak terselamatkan. Dia udah meninggal ketika dalam perjalanan kemari." Akhirnya, Alina yang mendekat dan memberikan jawaban, dengan tangis yang tertahan tentunya. Dia adalah kakak ipar Shaka. Hati sama hancurnya ketika menyaksikan kejadian nahas itu. 

Di hadapan Alina, Tiara menutup mulut dengan kedua tangan. Jawaban barusan sangat sulit untuk dipercaya. Kehilangan Shaka, sedetik pun ia tak pernah membayangkannya. 

"Nggak mungkin! Ini cuma bohong kan, Mbak?" teriak Tiara dengan berurai air mata. Namun, diamnya Alina membuat Tiara sadar bahwa semua itu memang nyata. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, semua sudah digariskan dan dia harus menerimanya. 

Masih dengan air mata yang tak henti mengalir, Tiara melangkah mundur dan bersandar pada dinding. Tenaganya perlahan hilang, hingga akhirnya jatuh perlahan. Dalam beberapa saat, dia diam dengan tatapan kosong. Paras ayu yang tadi tampak menawan pun kini terlihat mengenaskan. 

Orang-orang yang ada di sana mendekat dan berusaha menenangkan, tetapi Tiara hanya larut dalam pikirannya sendiri, karena sejatinya tidak ada satu pun yang tahu apa yang dia rasakan saat itu. 

"Bagaimana nasibku nanti, Mas?" batin Tiara sembari mengusap perut yang masih rata. Namun, sudah ada kehidupan yang bersemayam di dalam sana.

Malam panjang penuh dosa yang pernah ia lalui, meninggalkan setitik noda hitam yang harusnya bisa ditutup rapat dengan pernikahan. Akan tetapi, kenyataan seolah ingin menunjukkan aibnya pada dunia, mengatakan bahwa dia hanyalah wanita hina. 

Bersambung... 

Hamil?

Hari pernikahan yang digadang-gadang menjadi hari paling bahagia, nyatanya menjadi luka paling menganga dalam hidup Tiara. 

Kebaya dan bunga melati yang seharusnya menjadi saksi janji suci, nyatanya menjadi saksi air mata yang tak berhenti menetes. 

"Jangan tinggalkan aku, Mas! Kita akan menikah, kamu harus bangun, Mas!"  Teriakan yang berulang kali keluar dari bibir Tiara, sebuah suara yang menambah kesedihan mereka yang mendengar, hingga tanpa dijelaskan pun semua tahu betapa terpukulnya hati Tiara atas kematian Shaka. 

Namun, sesakit-sakitnya hati Tiara kala itu, masih ada yang lebih sakit lagi. Mereka adalah Dewi Rahmawati—ibu kandung Shaka, Devano Reynandar—kakak kandung Shaka, dan Sherina Anjani—adik kandung Shaka. Dalam waktu yang bersamaan, mereka kehilangan dua keluarga terdekat, yaitu Shaka dan ayahnya—Hilman Sugia. 

Sherin dan Devan sangat kalut, tetapi tak sampai kehilangan kesadaran. Berbeda dengan Dewi, wanita paruh baya itu berulang kali pingsan sejak tahu bahwa mobil yang dikendarai anak dan suaminya tabrakan dengan truk. Kini kondisi Dewi masih buruk, hingga tak bisa menghadiri pemakaman karena harus dirawat di rumah sakit. 

"Papa, Mas Shaka, kenapa mereka pergi secepat ini?" ratap Sherin sambil menutup wajahnya, tak sanggup lagi menatap dua jenazah yang kini sudah ada di rumah dan sebentar lagi akan dibawa ke pemakaman. 

"Ikhlaskan mereka, Sayang. Kita doakan semoga mendapat tempat yang indah di sisi-Nya," jawab Karrel Adiguna—suami Sherin. Direngkuhnya tubuh sang istri yang kala itu sedang hamil tua. 

"Aku nggak bisa, Mas. Ini terlalu cepat, bahkan mereka belum sempat melihat anak kita. Kenapa harus mereka yang mengalami semua ini, Mas?" Sherin makin terisak-isak, perut buncitnya sampai ikut naik turun. 

Dengan lembut Karrel mengusapnya, seakan menenangkan bayi di dalam sana agar tidak merasakan kesedihan ibunya. 

"Aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Menangislah jika itu bisa meredakan sakitmu, aku selalu siap menjadi sandaranmu, Sayang," bisik Karrel sembari menciumi puncak kepala Sherin. Ia curahkah semua kasih sayang demi menenangkan sang istri. 

Menurutnya wajar Sherin bersikap demikian. Dia saja yang asalnya orang lain, juga ikut hancur menyaksikan  kematian mertua dan iparnya. 

Memang, kecelakaan yang melibatkan mereka sangat tragis. Kini sudah tercatat semua korban yang berjumlah lima orang meninggal semua. Dua di antaranya pengemudi truk, sedangkan seorang lagi adalah sopir pribadi Hilman, yang saat ini sudah disemayamkan di rumahnya sendiri. 

Akhirnya sore itu, sekitar jam setengah empat,  jenazah Hilman dan Shaka dibawa pergi dari rumah duka. Mereka akan dikebumikan di TPU Kota Surabaya. Dengan beriring tangis dari hampir semua orang yang hadir, keduanya diistirahatkan di tempat terakhir.

Sherin dan Tiara jatuh pingsan ketika tubuh Shaka sudah berubah menjadi gundukan tanah. 

"Kita bawa mereka ke rumah sakit!" ujar Karrel, yang kemudian disetujui oleh Devan. 

Lelaki yang sejak tiba di pemakaman diam membisu karena menahan tangis, kini runtuh sudah pertahanannya. Melihat adik perempuan dan calon adik iparnya pingsan, pikiran Devan kian kalut. Apalagi jika ingat dengan kondisi ibunya yang masih terbaring lemah di rumah sakit sana, rasanya Devan ingin ikut mati saja. 

__________

"Pasien mengalami goncangan mental yang cukup parah, sangat beruntung segera dibawa kemari. Karena jika tidak, akibatnya bisa fatal, baik untuk pasien sendiri maupun janin yang dikandungnya."

Yanti sangat terkejut ketika mendengar penjelasan dokter terkait kondisi Tiara saat ini. Saking terkejutnya, ia sampai membelalak dan menganga. 

Hamil? 

Satu hal yang sama sekali tak pernah ia bayangkan, karena selama ini Tiara adalah gadis yang baik dan tidak pernah macam-macam. Pun dengan Shaka, lelaki itu tak pernah meninggalkan citra buruk. 

"Ternyata ... yang terlihat baik belum tentu baik. Shaka ... Tiara ... kenapa kalian sampai melakukan hal fatal itu? Lalu ... bagaimana caraku memberi tahu Mas Seno?" batin Yanti sambil memegang dadanya sendiri. 

Tiara adalah anak dari kakaknya Yanti, yang sudah yatim piatu selagi masih bayi. Itu sebabnya Yanti dan Seno yang mengasuhnya, kebetulan anak mereka sendiri hanya satu dan usianya lima tahun lebih dewasa dari Tiara. Sekarang sudah menikah dan hidup di luar kota. 

"Bagaimana jika nanti Mas Seno marah dan nggak bisa memaafkan kamu, Tiara?" Yanti kembali membatin, mengkhawatirkan masalah besar yang mungkin saja akan terjadi, mengingat sifat Seno yang keras, tegas, dan disiplin. 

Hamil di luar nikah merupakan aib besar baginya, jadi entah masih bisa dimaklumi atau tidak kesalahan itu. 

"Bu, Anda baik-baik saja?" tegur dokter. 

Yanti gelagapan, lalu memaksa senyum sambil mengatakan 'tidak apa-apa'. Selanjutnya, ia tak bisa mencerna lagi penjelasan dokter yang panjang lebar karena pikirannya hanya dipenuhi oleh Tiara. 

Setelah selesai berbicara dengan dokter dan mendapat resep yang harus ditebus, Yanti keluar ruangan dengan langkah lunglai. Bukan kondisi Tiara yang masih pingsan yang membuatnya kacau, melainkan nasib Tiara ke depannya. Bagaimana jika Seno marah besar? 

"Bu, bagaimana keadaan Tiara?" tanya Seno ketika sang istri sudah tiba di luar ruangan. Pria itu turut cemas dengan keadaan Tiara, yang memang sudah dianggap seperti anak sendiri. 

"Masih pingsan, tapi kata dokter sebentar lagi akan siuman." Yanti tidak berbohong, memang seperti itu keadaan Tiara. Dia hanya menyembunyikan bagian 'hamil', yang menurutnya belum tepat jika dikatakan sekarang. 

"Tiara pasti terpukul. Dia sangat mencintai Shaka dan pernikahan mereka juga tinggal beberapa menit lagi. Tapi ... Tuhan malah berkata lain," ujar Seno, menyesali nasib malang yang menimpa keponakannya. 

Yanti menunduk. Dalam kebingungannya, dia hanya bisa membatin, "Semoga simpatimu tetap ada meski nanti tahu bahwa Tiara sudah hamil. Aku sangat berharap kamu bisa memaafkan dia, Mas, karena hanya kita orang tuanya."

"Keluarga pasien!" Panggilan dokter yang juga ikut keluar dari ruangan, membuyarkan lamunan Yanti dan membuatnya medongak. 

"Iya, Dok."

"Maaf, saya tadi lupa memberi tahu Anda kalau pasien juga membutuhkan susu khusus ibu hamil. Nanti___"

"Susu khusus ibu hamil? Apa maksudnya?" Seno dengan cepat memotong ucapan dokter, tatapannya berubah tajam, sekejap saja mengikis kesedihan yang tadi terpancar. 

"Iya, Pak, goncangan mental yang dialami pasien berpengaruh pada janinnya. Jadi, dibutuhkan tambahan nutrisi untuk menjaga kesehatannya." 

"Jadi maksudnya ... kondisi pasien saat ini sedang hamil?" tanya Seno dengan pelan, tetapi penuh penekanan. 

"Benar, Pak."

Bersamaan dengan jawaban dokter, Yanti menunduk sambil memejam. Kedua tangannya mencengkeram ujung baju yang dikenakan. Takut, khawatir, itulah yang dirasakan saat ini. Seharusnya menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan kondisi Tiara, tetapi ternyata terungkap saat itu juga. 

"Baik, terima kasih untuk arahannya, Dok." Seno berusaha tersenyum kepada dokter, demi menutupi emosi yang sudah tersulut. 

Sesaat setelah dokter pergi, Seno melayangkan tatapan tajam ke arah sang istri, yang kala itu masih menunduk. 

"Yanti!" panggilnya dengan tegas. 

Bersambung... 

Rahasia Masa Lalu

"Jelaskan padaku, apa artinya ini!" bentak Seno. Ia kesal karena Yanti malah menangis.

"Tolong jangan marah dulu, Mas. Kita tunggu bagaimana penjelasan Tiara nanti. Ini juga nggak mudah untuknya." Di sela-sela isakannya, Yanti berusaha membujuk Seno.

"Penjelasan apa lagi yang harus aku dengar, Yanti? Jika Tiara hamil, sudah pasti itu anak Shaka. Dan artinya, keponakanmu itu tidak bisa menjaga kehormatan. Dia gampangan dan mau mau saja ditiduri lelaki yang belum menikahinya!" Meski bukan bentakan, tetapi suara Seno tetap terdengar tegas.

Yanti tak bisa menjawab. Dia hanya menunduk dan menyesali kebodohan Tiara.

"Sejak kapan kamu tahu hal ini?" tanya Seno sesaat kemudian.

"Baru saja, Mas. Sebelumnya aku juga tidak tahu kalau Tiara hamil," jawab Yanti, sangat pelan. Dia tak kuasa menahan kesedihan, membayangkan bagaimana nasib Tiara nantinya.

Seno membuang napas kasar, "Setelah dia sadar, aku tidak mau lagi menerimanya sebagai anak. Suruh pergi keponakanmu itu, biarkan menanggung hidupnya sendiri!"

Yanti tersentak dan mendongak seketika.

"Tapi, Mas___"

"Kamu boleh membelanya jika sudah bosan menjadi istriku," pungkas Seno.

"Mas!"

"Bukan hal mudah merawat dia sampai sebesar ini, Yanti! Kamu pikir sudah berapa banyak tenaga dan uang yang kukeluarkan untuk dia. Aku sebenarnya tidak mengharap balasan apa pun, hanya saja ... jangan mencoreng harga diriku. Tapi, dia sama sekali tidak bisa melakukan itu. Aku kecewa, Yanti." Seno menjawab dengan napas yang naik turun tak beraturan, saking kesalnya atas tingkah Tiara.

Tanpa menunggu jawaban Yanti, Seno pergi begitu saja dari hadapan sang istri. Meninggalkannya dalam tangis yang tak kunjung reda.

__________

Dua hari sudah Tiara tersadar dari pingsannya. Namun, dokter masih memintanya tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, karena saat ini kondisi janinnya cukup lemah.

Selama itu, Yanti lebih banyak diam. Dia hanya membantu makan atau minum obat, tanpa bertanya yang macam-macam. Dia masih bergelut dengan bebannya sendiri—bagaimana jika Seno tidak bisa dibujuk lagi dan benar-benar mengusir Tiara.

Sementara Tiara, dia juga tak banyak bicara. Dia sadar bahwa Yanti sudah mengetahui semuanya, dan kini sudah tak ada alasan untuk menutupinya lagi. Yang bisa ia lakukan hanya berdoa, semoga paman dan bibi masih bisa memaafkannya.

"Nanti pamanmu akan ke sini," ucap Yanti usai menaruh gelas, bekas minum Tiara.

Jantung Tiara berdetak cepat. Ketenangan selama dua hari berakhir sudah ketika mendengar kabar kedatangan pamannya, yang mungkin akan menjadi masalah besar baginya.

"Maafkan aku, Bi," ujar Tiara sambil menggenggam tangan Yanti. Ia meminta maaf dengan tulus karena sudah mencorengkan aib besar.

"Kenapa, Tiara?" Suara Yanti gemetaran. Apa lagi kalau bukan karena air mata yang kembali mendesak keluar.

"Aku salah, Bi. Aku bodoh. Maafkan aku, maafkan aku, Bi." Hanya kata maaf yang terus keluar dari bibir Tiara.

Sudah tak ada lagi yang bisa ia ucapkan. Pembelaan apa memangnya? Dia sendiri yang dengan rela hati mengiakan ajakan lekaki itu. Bukan sekali dua kali, melainkan berulang kali dia melakukannya. Bahkan, dalam percintaan yang terakhir, ia bersedia menanggalkan alat pengaman.

"Aku bisa memaafkanmu, Tiara. Tapi, entah dengan pamanmu. Kamu tahu sendiri bagaimana tegasnya dia. Dan aku ... tidak bisa berbuat banyak."

"Aku paham, Bi. Ini memang salahku. Jika Paman marah, cukup aku yang menanggung. Bibi jangan terlalu membela. Maafkan aku yang telah menjadi beban untuk Bibi." Tiara makin terisak. Ucapan Yanti seperti petunjuk bahwa akan ada hal buruk yang terjadi nanti.

Tiara tak bicara lagi. Ia membiarkan keheningan mengalun begitu saja, dan Yanti juga melakukan hal yang sama. Alhasil, dalam waktu yang cukup lama, hanya deru napas masing-masing yang menyelimuti keduanya.

Sampai kemudian, Seno datang dan menghampiri Tiara yang masih duduk di atas ranjang. Tatapannya tajam dan menghakimi, membuat Tiara menunduk dan tak berani mendongak lagi.

"Maafkan aku, Paman." Dengan susah payah, Tiara mengeluarkan suara, meminta maaf atas kesalahan besar yang telah ia perbuat.

"Setelah ini tidak usah pulang, kecuali untuk mengambil baju dan barang-barangmu!" jawab Seno dengan nada dingin dan datar.

Yanti menggigit bibir kuat-kuat demi menahan tangis, sementara Tiara langsung tersentak dan mendongak seketika. Dia tahu Seno akan marah, tapi tak menyangka jika pria itu tega mengusirnya.

"Paman___" bisik Tiara.

"Dulu orang tuamu mengambil alih semua warisan dari kakek nenekmu. Sedikit pun mereka tidak memikirkan perasaan Yanti yang juga hidup dalam kekurangan. Aku yang berjuang keras memberikan kehidupan layak untuknya. Dan ketika orang tuamu mati, kami masih bersedia merawatmu dan melupakan keserakahan orang tuamu. Tapi sekarang, hanya aib yang kudapatkan. Seharusnya dari awal aku memang tidak merawatmu."

Mendengar penjelasan Seno, Tiara makin terperangah. Dia tak tahu jika ada rahasia sebesar itu di masa lalu. Yang ia pahami hanya satu, bibinya itu sangat menurut pada suami.

"Bi," panggil Tiara sembari menoleh ke arah Yanti.

"Aku sudah menerima semua itu. Tapi untuk keputusan pamanmu sekarang, aku tak bisa menentangnya," ujar Yanti.

Tiara mencengkeram selimut yang menutupi kakinya. Jawaban Yanti sudah cukup menjelaskan bahwa ucapan Seno barusan memang benar.

Kenapa baru sekarang dia tahu semua itu, di saat semuanya sudah sangat terlambat.

"Apa yang telah kulakukan? Aku udah mengecewakan Paman dan Bibi. Sedangkan dulu, mungkin butuh usaha keras bagi mereka untuk menerimaku," batin Tiara.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!