NovelToon NovelToon

Love Is Not Based On Bibit Bebet Bobot (But Lillaahita'Alaa)

Bertemu Lagi

...☕🍜Tidak ada sesuatu yang hilang kecuali akan diganti dengan yang lebih baik. Hatimu yang kini patah esok pasti akan sembuh, yakinlah!🍜☕...

Gerimis turun dengan malu-malu, awan hitam berarak-arakan memenuhi cakrawala, kilat petir membelah langit yang mendung, menumpahkan air hujan ke hamparan bumi yang haus.

Semerbak aroma tanah kering yang diguyur hujan mulai menyentuh cuping hidung seorang wanita berbalut gamis coklat susu yang sedang duduk di sebuah kedai kopi kota Metropolitan.

Jilbabnya melambai mesra oleh hembusan angin. Khumaira melengkungkan bibirnya, sebuah lesung pipit menghiasi pipi sebelah kanannya.

Pandangan matanya melihat lurus jauh ke seberang jalan, memperhatikan sebuah daun kering yang tertiup angin dari rantingnya. Kemudian jatuh pasrah ke tanah yang telah basah.

Khumaira tersenyum sekali lagi, namun senyumnya kali ini seolah mengejek diri sendiri.

'Inikah yang dimaksud oleh seorang penulis dengan nama pena Tere Liye? Daun yang jatuh takkan pernah membenci angin?' katanya dalam hati.

Ia menarik napas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Seketika ia merasa malu, lucu, dan sakit hati secara bersamaan.

'Aku yang tak layak untuk dia, lalu kenapa pula aku kesal pada orang yang berkata demikian padaku? Haha lucu sekali!'

Khumaira menatap cangkir kopi di hadapannya, yang sudah beberapa menit lalu tandas hanya menyisakan ampas.

Ia baru saja menertawakan dirinya, namun buliran air tengah bertengger di pelupuk mata. Yang pasti akan terjatuh hanya dengan satu kali kedipan saja.

Ah! Entah sudah berapa kali buliran air jatuh bebas membasahi pipinya. Tak sadarkah dia matanya yang telah sembab akibat cairan bening yang berkali-kali keluar dari manik matanya?

Come on, Maira! Sudahi tangis hari ini, dan pulanglah. Jiwa dan hatimu sudah lelah. Secangkir kopi takkan pernah cukup untuk membuatmu melupakan dia.

Maira mengerutkan dahi melihat sepotong kain berwarna orange yang ia letakan di atas meja. Ia teringat tujuan datang kemari adalah untuk menemui seseorang yang memberinya sapu tangan pada hari kemarin.

Ia berniat untuk mengembalikannya. Meski sebenarnya ia tidak begitu ingat wajah pria itu. Tapi, barangkali dengan melihat postur tubuhnya lagi kemudian ia bisa ingat dan bisa mengembalikan sapu tangan yg diberikan kepadanya.

Namun sudah 2 jam menanti, tak ada tanda-tanda pria itu datang, apalagi di luar sana sedang hujan. Padahal Maira datang sengaja seperti jam kemarin ia duduk di kedai itu, tapi sepertinya hari ini yang dinanti memang tak akan datang. Hm, mungkin lain kali.

Akhirnya Maira memutuskan untuk pulang setelah numpang sholat ashar pada pemilik kedai kopi langganannya—setiap weekend.

Di era yang serba online ini, orang-orang tak perlu risau tak bisa pulang karena terjebak hujan. Kini bisa memesan taksi online hanya dengan sentuhan jari.

Kling!

Sebuah notifikasi muncul di layar gawainya.

****Your driver has arrived****

Maira menengak-nengok, memperhatikan mobil yang berlalu lalang di depan kedai, mengecek nomor polisi kendaraan milik driver pesanannya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna abu-abu menepi tepat di depan kedai kopi. Setelah mencocokkan nomor polisinya, Maira buru-buru masuk ke dalam mobil dengan tangan memayungi kepalanya dari sisa-sisa hujan yang masih turun rintik-rintik.

Brak!

Pintu mobil ditutup. Maira duduk di belakang driver, ia meletakkan tasnya di jok sebelah. Tangannya menggenggam sapu tangan berwarna orange yang ia sendiri tidak tahu milik siapa.

'Bodo amatlah! Aku capek'

Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Sapaan driver hanya dijawab seperlunya oleh Maira. Matanya terpejam, meski baru saja minum kopi tetap saja mata yang lelah tidak bisa diajak kompromi. Maira tak sengaja terlelap.

Diam-diam sang driver memperhatikan Maira dari kaca spion dekat kepalanya. Tampak Si Driver tersenyum melihat Maira yang terlelap.

Ia terus melajukan mobilnya menembus hujan yang mendadak kembali deras. Menekuri jalanan Kalimalang yang seperti biasa selalu padat merayap.

Terlebih, sore ini ialah akhir pekan. Orang-orang berbondong-bondong memadati jalanan untuk merayakan hari liburnya.

Entah perayaan macam apa yang mereka inginkan, saat weekend bukan untuk istirahat malah untuk bermacet-macetan di jalan.

Sesekali Si Driver melirik ke spion, dan lagi-lagi mendapati Maira masih terlelap. Wajahnya tampak mulai gusar, karena maps menunjukkan perjalanan hampir tiba pada lokasi yang dituju.

Beberapa menit berlalu, mobil berwarna abu-abu yang dinaiki oleh Maira melaju memasuki gang perumahan yang jalanannya cukup untuk dua mobil berlawanan arah.

Mobil melaju pelan, memasuki halaman yg cukup luas. Si Driver mulai menilik ke arah luar, mengecek satu persatu nomor rumah kontrakan yang berbaris rapi. Tidak banyak, terdapat empat pintu yang berhadapan dengan empat pintu yang lain di seberangnya.

Cekiiittt!!!

Mobil direm pelan, saat berada tepat di depan pintu dengan nomor sesuai chat yang dikirim oleh Maira saat memesan taksi onlinenya.

Hujan sudah reda, beberapa saat sebelum mobil sampai depan rumah yang terdiri dari 3 ruangan yang dikontrak oleh Maira.

Si Driver mengurungkan niatnya untuk membangunkan Maira. Sehingga ia memilih Maira terbangun dengan sendirinya. Yah, mungkin tidak lama, begitu pikir Si Driver.

Sembari menunggu penumpangnya terbangun, ia memperhatikan rumah yang dihuni oleh Maira. Tampak sepi, tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam sana. Ia mulai berpikir, mungkinkah penumpangnya tinggal di kontrakan itu sendirian?

Ia mengerutkan dahi. Kemudian tangannya menyisir rambutnya yang panjang hingga sebatas bahu.

 ***

 

Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya Maira terbangun. Ia mengerjapkan kedua matanya, seketika ia terperanjat begitu melihat ke luar ternyata taksi yang ditumpanginya telah terparkir di depan kontrakannya.

'Sudah berapa lama?'

Ia segera mengecek jam tangan, betapa terkejut ketika melihat jarum jam telah menunjukkan pukul 17.30 WIB, menjelang maghrib.

Grasak-grusuk.

Maira dalam keadaan merasa tak enak pada Si Driver, tergesa-gesa mencari dompetnya yang ia simpan di dalam tas.

"Aduh, maaf ya, Pak. Saya ketiduran," kata Maira seraya mengulurkan sejumlah uang untuk membayar tarif taksinya.

Si Driver menoleh menampakkan senyumnya.

"Tidak masalah," jawabnya. Tapi tidak mengambil uang yang diulurkan oleh Maira.

Maira terkejut ketika melihat wajah Si Driver yang ternyata bukan bapak-bapak, namun karena ia sudah terbiasa menyebut Driver dengan panggilan Pak, sehingga panggilan tersebut pun seolah refleks ia ucapkan kepada Driver yang ternyata tampak belum layak dipanggil Bapak.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, wajah Si Driver seperti tidak asing di matanya. Ia seperti pernah melihat dia di suatu tempat. Tapi, entah di mana.

Maira tampak berpikir sejenak, setelah menemukan jawabannya ia lantas menepuk dahi.

"Kamuuu ... eh maaf maksudnya Kakak, ngngngng ... yang memberikan sapu tangan ini waktu di kedai kopi, 'kan?" Maira menunjukkan sapu tangan berwarna orange kepada Si Driver.

"Iya," jawabnya singkat menunjukkan sejenak gigi serinya.

Maira tergagap, perasaan tak enak dan perasaan senang bercampur menjadi satu. Ia merasa tak enak sebab sudah tertidur di mobilnya, namun, ia senang karena ternyata Si Driver adalah pemilik sapu tangan orange, sehingga ia bisa mengembalikannya.

"I ... ini, terima kasih, ya," ucap Maira sedikit ragu. Ia menyodorkan uang dan sapu tangan berwarna orange.

"Tidak usah. Aku tidak bisa menerima kembali sesuatu yang sudah kuberikan kepada orang lain. Ongkos taksinya gratis dan bonus sapu tangan untuk seseorang yang hatinya sedang patah," kata Si Driver dengan lugas, jelas, dan mengena hati Maira.

***

...‼️ PERHATIAN ‼️...

...DENGAN HORMAT, KAMI BERITAHUKAN ... JIKA ANDA BUKAN SESEORANG PECINTA AKSARA, BACA ASAL-ASALAN, TIDAK MERESAPI SETIAP SUSUNAN KALIMAT, MAKA, ALANGKAH BAIKNYA STOP MEMBACA CERITA INI. SILAKAN ANGKAT JEMPOL SEBELUM ANDA MENYESAL LEBIH JAUH. SUNGGUH, ANDA TIDAK AKAN PAHAM DENGAN CERITA INI. KARENA "LOVE IS NOT BASED ON BIBIT BEBET BOBOT" DITULIS BUKAN TENTANG BAGAIMANA AKHIR DARI KISAH INI. MELAINKAN BAGAIMANA SETIAP SUSUNAN AKSARA DAPAT SAMPAI DAN DINIKMATI DENGAN BAIK OLEH PARA PENIKMAT AKSARA SEJATI....

...MAKA, TAK PERLU BERKATA-KATA, SILAKAN LANGSUNG PERGI SAJA .......

^^^Tertanda^^^

^^^✍️Bukan Author Femes☕^^^

Hari Baru dan Job Baru

...☕🍜Kemarin hatimu boleh terluka, kemarin matamu boleh bercucuran air mata. Tapi, pastikan esok, hatimu sudah baik-baik saja, dan matamu tidak menangisi lagi hal yang sama🍜☕...

Berbicara soal cinta, bagi gadis manis pemilik lesung pipit di pipi kanan ini bukanlah hal yang mudah untuk memberikan hatinya pada seseorang. Terlebih lagi setelah luka hatinya beberapa waktu lalu, kisah cintanya dengan Ferry yang kandas begitu saja.

 

Keduanya memiliki niat yang baik, yaitu meminta restu dari kedua orangtua atas hubungan yang mereka jalani ke jenjang pernikahan. Namun, hasilnya tidaklah sesuai dengan harapan.

Hati mana yang tidak terluka, ketika harapan telah mereka tambatkan, yaitu mendapat akhir yang indah, itulah harapan besar mereka. Namun naas, perkara bibit bebet bobot tak dapat mereka hindari, hingga hatilah yang menjadi korbannya.

Hati Maira telah hancur berkeping-keping, entah ke mana saja kepingan itu berjatuhan, hingga ia pun sulit memungutinya dan membuat hatinya utuh kembali.

Yang paling menyakitkan bukan karena Maira akhirnya tak dapat bersanding dengan pria yg dicintainya, melainkan perihal bibit bebet bobotnya yang tampak begitu hina di mata keluarga Ferry.

Ia pun masih tak menyangka bahwa dalang di balik semua ini adalah ayah dari sahabatnya sendiri. Sahabat yang memperkenalkan dirinya dengan Ferry.

Maira tak ingin menjadikan hal tersebut suatu alasan untuk membenci seseorang. Ia berusaha yakin bahwa, semua yang terjadi adalah sudah takdir dari Yang Mahakuasa.

Pena telah diangkat, dan tinta telah mengering. Lembaran-lembaran kertas telah dilipat. Sederas apa pun air mata mengalir, tetap tidak akan mampu menghapus segala apa yang telah tertulis di Lauh Mahfudz.

***

Azan shubuh menyentuh lembut telinga Maira, namun, kelembutan itu belum mampu menembus hatinya yang lengang sejak duka yang bertamu lebih dulu ke hatinya.

Walau demikian, ibadah tetap menjadi prioritas dalam hidup Maira. Itu adalah pesan dari Abdullah, ayahnya yang kini berada di kampung halaman.

Dengan malas-malasan Maira bangkit dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Usai sholat ia tak lupa memanjatkan do'a kepada yang Mahakuasa agar hatinya diberi ketenangan dan keikhlasan yang lapang atas semua yang telah menimpanya.

Demikianlah obat hati, tidak ada yang paling manjur selain mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Maira memastikan sekali lagi, tidak ada secuil pun rasa benci di dalam hatinya, dan membiarkan sisa sakit di hatinya menyembuh dengan sendirinya.

Maira memutuskan untuk ikhlas.

 

***

 

Cahaya mentari menembus jendela, dan menyinari wajah gadis manis yang sedari tadi duduk menikmati ritual paginya. Cairan hitam dalam cangkir keramik berwarna putih yang di atas meja, kini tandas menyisakan ampas.

Maira bangkit dari tempat duduk setelah menyelesaikan ritual pagi yang tak pernah sekali pun ia lewatkan, hukumnya fardhu 'ain bagi Maira menikmati secangkir kopi hitam di pagi hari untuk mengawali harinya yang selalu sibuk berkutat dengan mesin, jarum, benang dan kawanannya.

Pagi ini, Senin, saatnya ia memulai lagi aktivitasnya seperti biasa. Melupakan segala hal tentang luka, dan fokus kembali menjalani hari baru demi menata masa depan yang lebih baik.

Hari ini segala urusan yang lalu telah selesai, salah satunya tentang sapu tangan berwarna orange, yang pada akhirnya diikhlaskan begitu saja oleh sang pemilik. Apa daya, tak enak ia menolak sehingga sapu tangan itu kini resmi berpindah tangan menjadi miliknya.

Mengingat itu, membuat seulas senyum tampak di sudut bibir Maira. Terlebih lagi mengingat ucapan si driver, apa katanya? Bonus untuk orang yang hatinya sedang terluka? Mengapa sok taunya bisa kebetulan pas sekali.

Awal pagi yang baru tanpa cinta ini, Maira sudah berencana pergi ke toko textile langganannya. Yaitu, untuk membeli bahan kekurangan baju pesanan Ibu Arini yang baru fitting beberapa hari lalu—sebelum peristiwa naas menimpa hatinya. Ah! kok, jadi dibahas lagi. Oke, lupakan.

Baju pesanan Ibu Arini akan dipakai seminggu lagi, jadi Maira harus benar-benar fokus dan profesional untuk menyelesaikannya tepat waktu dengan hasil yang tidak mengecewakan.

Dari usaha menjahitlah Maira bisa membiayai hidup dirinya dan membantu orangtuanya di kampung halaman. Wabil khusus membantu membiayai sekolah adiknya yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas.

Abdullah—ayah dan Aminah—ibu berusia sudah lebih dari setengah abad. Mereka sudah bercerai ketika Maira masih duduk di kelas 5 sekolah dasar. Kini, mereka menjalani kehidupan sehari-hari di kampung halaman sebagai petani. Penghasilannya tak seberapa, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, dan dibantu sedikit oleh Maira.

Keduanya tinggal di beda desa. Setelah perceraian, mereka tentu memilih hidup masing-masing. Tidak ada lagi pertikaian yang dulu kerap bising di dalam rumahnya. Mungkin sejak saat itu, rasa cinta sudah tidak lagi bersemayam di hati keduanya, sehingga mereka sulit untuk saling mengerti dan akhirnya memutuskan untuk berpisah.

 

Entahlah persoalan pelik macam mana yang membuat rumah tangga Abdullah dan Aminah akhirnya kandas begitu saja. Maira sendiri tidak mengerti, atau mungkin lebih tepatnya tidak mau mengerti.

Baginya, kini sudah cukup mereka hidup masing-masing dalam keadaan damai tidak mengurusi kehidupan satu sama lain.

Demikianlah rumah tangga, tak melulu berjalan indah penuh romansa. Banyak sekali pada kenyataannya tidak seindah apa yang dipikirkan oleh muda-mudi yang dimabuk asmara.

Andai mereka tahu, masihkah mereka mengumbar gombalan omong kosong tentang cinta? Atau setidaknya berhenti berhalusinasi tentang kehidupan setelah menikah yang selalu indah. Hm ... dasar anak muda.

Memang benar apa kata orang bijak, bahwasanya orang yang paling sulit dinasihati ialah orang yang sedang jatuh cinta. Lazim sudah tampaknya apabila sepasang muda-mudi yang tengah dimabuk cinta selalu mengira kehidupan pernikahan selalu indah, meski sudah berkali-kali diberitahu menikah itu isinya bukan hanya perkara indah saja.

Ada banyak hal yang terjadi di dalam bahtera rumah tangga. Ketika sebelum menikah segala sesuatu diputuskan sendiri dan semaunya sendiri. Maka setelah menikah apa pun perkaranya harus didudukan berdua—suami dan istri. Tujuannya agar tercapai kehidupan yang sakinah mawaddah warahmah.

Namun, banyak sekali suami istri yang tidak bisa mendudukkan masalah secara bersama, saling egois, marah, lalu bertengkar. Hingga hal tersebut kerap menjadi salah satu penyebab perpisahan.

Begitulah kiranya kehidupan rumah tangga. Tak selalu berjalan lurus dan mulus. Hanya orang-orang yang hebat yang bisa melaluinya.

***

 

Hiruk pikuk kota Jakarta sudah tak asing lagi bagi Maira. Identik dengan segala kemacetannya, yang membuat beberapa orang tidak menyukai wilayah calon mantan Ibu Kota ini, hm ... mantan saja pakai calon.

Namun, tidak bagi Maira. Kota Jakarta dengan segala apa pun di dalamnya telah menjadi sahabat karib.

Maira sama sekali tidak punya alasan untuk membenci kota Metropolitan ini. Kota di mana ia berjuang dan menempuh segala mimpi-mimpi. Kota yang penuh sejarah.

Walau dikenal sebagai kota dengan kehidupan yang keras, tetap saja banyak sekali orang-orang dari berbagai penjuru datang ke kota ini untuk mengadu nasib, bukan? Lantas mengapa harus membenci?

***

 

Sesampainya di toko textile langganannya, Maira menyapa manis si pemilik toko. Bapak Togar namanya.

 

"Selamat pagi, Pak."

 

Pak Togar yang sedang melayani calon pembeli spontan melempar senyum ketika mendengar sapaan dari Maira.

 

"Wah! Selamat pagi juga, manis!" Togar menyambut Maira dengan antusias.

"Ini dia orangnya, Bu," kata Pak Togar lagi, seraya menunjuk Maira, memberitahu kepada seorang wanita paruh baya yang ada di hadapannya.

 

Wanita itu menyapa Maira dengan senyuman yang mengembang. Maira mematung sejenak, masih belum mengerti. Mungkinkah ada pembicaraan mengenai dirinya sebelum ia datang? Itu yang ada di benak Maira.

 

"Ngngngng ... ada apa, ya?" tanya Maira sopan dan sedikit gugup.

 

Pak Togar tersenyum sembari menggerakan tubuhnya yang gemuk melangkah mendekati Maira, si wanita paruh baya mengekor di belakang.

 

"Sebelumnya perkenalan dulu, ya. Kenalkan ini Ibu Tampubolon." Pak Togar memperkenalkan wanita yang bersamanya.

 

Maira lantas menjabat tangan Ibu Tampubolon, lalu balik memperkenalkan diri diiringi dengan seringai yang manis.

 

"Saya Khumaira, Bu. Panggil saja Maira."

"Saya Maria, biasa dipanggil Ibu Ria. Atau Ibu Tampubolon juga tak masalah, Itu marga dari mantan suami saya."

 

Ibu Ria memberikan senyuman yang bersahaja. Sehingga membuat Maira merasa sedikit lebih percaya diri karena mendapat sambutan yang hangat. Begitu pula Ibu Ria, merasa senang karena Maira anak yang manis, ramah dan memiliki attitude yang baik.

Pak Togar kembali menjelaskan tujuan awal memperkenalkan mereka berdua. Yaitu, Ibu Ria yang sedang mencari penjahit meminta rekomendasi dari Pak Togar. Karena sudah kenal dan menjadi langganan cukup lama, Pak Togar percaya pada Maira sebagai rekomendasi untuk menjahitkan baju Ibu Ria.

Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka pun sepakat sudah. Maira tak luput dimintai bantuan oleh Ibu Ria untuk memilihkan bahan yang bagus dan mencocokkannya.

Cukup lama mereka memilah-memilih, memadupadankan warna dan bahan yang bagus, akhirnya terpilih sudah bahan dan warna yang sesuai.

Ibu Ria memutuskan untuk pulang setelah mendapat apa yang ia inginkan. Tak lupa mereka saling bertukar nomor telepon.

 

"Terima kasih banyak, ya, Maira. Senang sekali bertemu denganmu," ucap Ibu Ria sembari memasukan ponsel ke dalam tas berwarna hitam yang menggantung di tangannya.

"Sama-sama, Bu. Ikut senang juga karena saya jadi mendapatkan job baru ... he-he-he," jawab Maira diiringi kekehan kecil.

Ibu Ria ikut terkekeh mendengar jawaban jujur dari gadis manis berlesung pipit itu.

"O iya, nanti saya kirimkan alamat saya. Ibu bisa kabari saya kalau sudah punya waktu untuk fitting," kata Maira.

"Ok, siap!" timpal Ibu Ria mantap seraya mengacungkan ibu jarinya.

 

Maira kembali ke dalam melanjutkan tujuannya yang tertunda, yaitu mencari bahan kurangan baju pesanan Ibu Arini. Sementara Ibu Ria, duduk di depan toko untuk menanti jemputan datang.

 

"Dijemput siapa, Bu?" tanya Pak Togar berbasa-basi sebelum meninggalkannya ke dalam.

"Anak saya yang jemput, Pak."

"Oh, kalau begitu saya tinggal ke dalam dulu, ya, Bu." kata Pak Togar sembari mengulas senyuman. Ibu Ria mengangguk dan membalas senyumannya.

 

Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna abu-abu menepi di depan toko textille Pak Togar. Jemputan Ibu Ria sudah datang. Kaca mobil dibuka, tampak seorang pemuda memiliki wajah menawan melambai ke Ibu Ria.

Ibu Ria bangkit dan berjalan ke arah mobil seraya berteriak—berpamitan pada Pak Togar. Dari dalam terdengar jawaban dari yang dipamiti.

 

"Yaa ... hati-hati di jalan!"

 

Ibu Ria pun segera masuk ke dalam mobil.

 

***

🗣️: "Novel ini bagus. Tapi percakapannya dikit."

☕: "Silakan Anda baca karya-karya Penulis Tersohor, seperti karya: Tere Liye, Habiburrahman El Shirazy, A. Fuadi, Andrea Hirata, dsb. Barangkali dari sana Anda mengerti perbedaan NOVEL dan NASKAH DRAMA YANG BANYAK PERCAKAPANNYA SEPERTI YANG ANDA INGINKAN."

Keluarga Tampubolon

...☕🍜Kemarin, kulihat matamu masih hujan, pipimu masih basah, senyummu masih ragu. Namun, kini, aku kembali menjumpaimu dengan senyuman yang tidak mudah kulupa dari ingatan. Apakah hatimu sudah benar-benar sembuh, Nona?🍜☕...

Minggu pagi hari, seorang wanita paruh baya tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua putra-putrinya.

"Juan ... Chilla ... cepat turun, Nak. Sarapan sudah siap." Maria memanggil anak-anaknya yang masih berada di dalam kamar masing-masing di lantai dua.

Gadis remaja yang kini tengah menempuh pendidikan menengah pertama di salah satu sekolah kristen daerah Jakarta Timur, tampak sudah siap turun memenuhi panggilan mamanya.

Kakinya dengan anggun menuruni anak tangga, dress berwarna biru muda yang membalut tubuh mungilnya membuat ia terlihat memesona.

Maria menyambut putri bungsunya dengan senyuman bersahaja khas seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya.

Chilla memposisikan diri pada kursi meja makan, sembari bersenandung ria.

"Kak Juan mana, Sayang? Kok, nggak ikut turun?" tanya Maria, tangannya sibuk menuang air susu ke dalam gelas.

"Tau, tuh, kamarnya masih sepi," jawab Chilla seraya mengedikkan bahu.

Setelah menuangkan cairan putih ke dalam 3 gelas hingga penuh, Maria menghela napas. Ia tahu pasti anak sulungnya masih terlelap di balik selimut.

"Chilla sarapan dulu, ya, Sayang. Mama ke kamar kakak dulu."

Chilla mengangguk takzim. Gadis remaja itu memang amatlah patuh kepada orangtuanya. Cantik, baik dan penurut. Ia pun termasuk siswa yang pintar di sekolahnya. Chilla hampir selalu mendapat rangking 3 besar sejak sekolah dasar hingga kini duduk di bangku kelas 2 menengah pertama.

Chilla cenderung pendiam, dan memiliki kesulitan dalam bersosialisasi. Ia bahkan tidak punya teman dekat sama sekali. Karena teman-temannya pun merasa kesulitan untuk mendekati gadis berdarah Batak dan Manado ini.

Nama lengkapnya Prischilla Paula br Tampubolon, nama belakangnya diambil dari marga papanya. Begitu pula Maria, karena ia menikah dengan pria bernama Luhut yang bermarga Tampubolon, sehingga ia sering dipanggil dengan sebutan Ibu Tampubolon.

Tapi, itu bukan marganya. Itu hanyalah panggilan saja di Jakarta, karena aslinya dia orang Manado. Meski sudah berpisah dengan Luhut, tapi panggilan itu masih melekat pada Maria. Pun sudah menjadi tanda pengenal yang memudahkan. So, Maria sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Lagi-lagi kasus Broken Home, belum lama mereka berpisah. Setelah sidang selesai Maria memutuskan untuk pindah ke Jakarta, dan memulai hidup yang baru.

Mengenai hak asuh anak, Maria dan Luhut sepakat untuk tidak saling mempermasalahkan. Membiarkan kedua anaknya untuk bebas memilih, dan juga tidak melarang satu sama lain untuk tetap bisa bertemu dan menjaga hubungan antara orangtua dan anak.

Tok-tok-tok ....

Maria mengetuk pintu kamar putra sulungnya. Namun, tak ada jawaban. Sehingga ia pun memilih menerobos saja ke dalam karena waktu sudah hampir mepet. Pagi ini seperti biasa, mereka pergi ke Gereja untuk menjalankan ibadah rutin setiap minggunya.

Wanita paruh baya itu lantas menarik gordyn yang masih tertutup. Sengaja ia lakukan supaya sinar matahari masuk ke dalam kamar dan membuat ruangan menjadi terang.

"Juan, ayo, bangun!" teriak Maria seraya menarik-narik selimut yang membungkus tubuh Juan. Biasalah anak muda memang bebal sekali disuruh bangun pagi.

Juan menggeliat, pria dengan nama lengkap Johanes Raymond Tampubolon itu menunjukkan kepalanya dari selimut. Ia menutup mata kembali menahan silau sinar matahari yang mengenai wajahnya.

"Jam berapa, Ma?" tanya Juan dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

"Jam 7, kebaktiannya dimulai jam 8, belum sarapan, belum mandi, belum pula perjalanannya. Cepatlah kau pergi mandi dulu!" terang Maria dengan tegas. Ia berdiri di sisi ranjang, menunggu anaknya bangkit dari tempat tidurnya.

"Tak usah mandi kalau gitu, biar cepat." Juan menyeringai setelah berhasil mengumpulkan nyawanya.

"Hey, percuma ketampananmu itu kalau tidak mandi!" Maria mendengus. Lalu imbuhnya, "Nanti cewek-cewek di luar sana menyebutmu GGB!"

"Apaan, tuh, GGB?" Juan mengernyit.

"Ganteng-ganteng bau!"

Maria melengos. Juan tertawa melihat tingkah Mamanya. Ganteng-ganteng serigala kali, ah!

Setelah memperingatkan anaknya, Maria segera turun untuk sarapan membersamai putrinya. Tinggallah Juan yang masih malas-malasan bangun di dalam kamar bernuansa serba gelap.

Pria berambut gondrong hingga bahu dan memiliki wajah menawan turunan dari papanya itu memiliki karakter tak beda jauh dengan adiknya. Di usianya yang menginjak 28 tahun, apakah ia masih layak disebut anak muda?

Lihatlah rambut halus sengaja dibiarkan lebat di area dagunya. Meski demikian sama sekali tidak menghilangkan wajahnya yang memang sudah tampan turunan. Namun, hilang ketampanannya ketika di tanjakan.

Kini, ia menggeluti profesi sebagai seorang akuntan di salah satu perusahaan swasta daerah Jakarta.

Tak ingin membuat Mamanya mengeluarkan urat, ia segera bangkit dari tempat tidurnya untuk menunaikan mandi agar ketampanannya tidak sia-sia.

Rupanya Juan telah mencontek baik-baik kalimat yang beberapa menit lalu dilontarkan oleh Maria. Emang dasar anak laki-laki.

***

"Chilla, kamu mau ikut Mama ke tempat jahit atau mau diantar pulang dulu?" tanya Maria sembari memasang seatbelt, Juan tengah siap menstarter mobil.

Mereka telah selesai beribadah. Tujuan Maria yang selanjutnya adalah ketempat Maira untuk fitting baju. Namun, sebelumnya ia bertanya dulu kepada putrinya yang ia tahu tidak senang ikut bepergian.

Di luar aktivitas sekolah, Chilla memang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.

"Mama lama nggak?" tanya Chilla yang duduk di jok belakang.

"He-he-he ... sepertinya nggak sebentar, Sayang." Maria menoleh ke belakang, melayangkan senyuman kepada putrinya.

Chilla mengerutkan dagu, tampak menimbang-nimbang.

"Pulang aja, deh."

Seperti biasa. Rumah selalu jadi pilihan yang terbaik bagi Chilla.

"Pir, Supir! Dengar, tuh, kita antar Nyonya Muda dulu ke rumah." Maria meledek Juan dengan julukan sebagai supirnya.

Memang apalagi julukan yang cocok untuk Juan? Di luar jam kerjanya, dia memang selalu bersedia mengantar mama dan adiknya ke mana saja. Ya, tak lain itu adalah bentuk dari kasih sayang seorang anak laki-laki pada mama dan adik perempuannya.

Juan memutar bola matanya, jengah. Di belakang, Chilla cekikikan mengimbangi candaan Maria.

***

Setelah mengantar Chilla ke rumah, mereka langsung menuju ke lokasi selanjutnya.

"Nggak begitu jauh, sih kayaknya, masih sama-sama Jakarta Timur." Maria menunjukkan maps yang sudah ia bubuhkan dengan alamat yang diberikan oleh Maira melalui pesan WhatsApp tadi malam.

Karena sedang melewati tikungan, Juan hanya melirik sebentar dan lebih fokus ke jalan.

"Ya sudah, Mama arahkan saja, Supir, mah, nurut." ucapnya sengaja mengembalikan ledekkan Maria.

Maria menyeringai tanpa berkata-kata. Ia mencubit lengan putranya.

Sesuai pernyataan sebelumnya, sepanjang perjalanan, Juan mengikuti arahan Maria. Disuruh ke kiri nurut, ke kanan oke, putar balik tidak masalah. Benar-benar sudah hampir tidak ada bedanya dengan supir pribadi.

Kendaraan roda empat berwarna abu-abu itu terus melaju membelah jalanan calon mantan Ibukota. Cukup padat, maklum weekend. Orang-orang selalu berlomba-lomba memadati jalanan setiap akhir pekan.

Apa mau dikata? Memang selalu seperti ini keadaannya. Seluruh warga +62 juga tahu kalau kota Jakarta adalah salah satu kota tersibuk di negara ini.

Ok. Si supir tampaknya santai-santai saja, malah terlihat seperti menikmati kemacetan.

Dalam hati Maria berkata, "Putraku sudah dewasa, kapan dia akan memperkenalkan calon menantu padaku? Sampai kapan dia akan terus membujang seperti ini, weekend pun malah sibuk menjadi supir."

"Perempatan itu belok kiri, Pir!" teriaknya spontan, ketika melihat maps mengarahkannya untuk belok.

"Udah kayak ngomong sama aki-aki aja sampai teriak-teriak." Tentu saja Juan terkejut karena teriakan Maria yang spontan dan cukup memengakkan telinga.

Maria hanya terkekeh, lalu kembali mengarahkan, sebab lokasi sudah tak jauh lagi. Tinggal beberapa ratus meter saja.

"Nah, ini masuk kiri, lalu masuk ke gang."

Juan menurut.

"Santai, Pir. Ada tikungan satu lagi, nih, di depan."

"Hm."

Mobil melaju pelan memasuki halaman luas yang di sana terdapat beberapa kontrakan.

'Loh? Tempat ini bukannya?' Tiba-tiba Juan teringat sesuatu.

Ia menepikan mobilnya di depan kontrakan paling sudut. Maria tampak menelphone seseorang, memberitahu kalau dirinya sudah sampai.

Juan memperhatikan sekitar, sembari menanti Maria selesai berbicara dengan seseorang di seberang telephone.

Tampak seorang gadis muncul di ambang pintu. Ia memakai kemeja panjang berwarna biru dipadukan dengan rok plisket serta jilbab yang membalut kepalanya.

"Ah, Gadis itu?"Juan membesarkan matanya.

"Ma, itu orangnya?"

"Iya," jawab Maria singkat seraya melepas seatbelt. Lalu, ia segera turun dari mobil meninggalkan Juan yang masih melongo.

Juan memperhatikan mereka dari dalam mobil. Sebelum dua punggung itu menghilang di balik pintu, ia melihat gadis itu tampak antusias menyambut mamanya.

Dilihatnya mereka saling berjabat tangan, saling melayangkan senyuman lalu bercakap-cakap seperti teman dekat yang lama tak berjumpa.

Diam-diam Juan menikmati pemandangan itu dari dalam mobil. Bibirnya melengkung, tampak suatu kebahagiaan di raut wajahnya yang sulit dijelaskan.

"Apakah luka hatinya sudah sembuh?" gumamnya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!