NovelToon NovelToon

Ruang Dihatinya

Blurb

Blurb:

"Halo, ada apa?" tanya Alza lembut dengan ponsel di telinganya. Sejak tadi, ia membiarkan ponselnya berbunyi. Ia duduk di samping tempat tidur.

Alza Ayesar, pria berbadan proporsional dan bermata coklat itu, melirik ke arah Rumina, perempuan yang baru saja bergelung bersamanya. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita sebatas dada. Sementara itu, ia mendengar seseorang di seberang sana bicara.

"Hmm... baiklah, tunggu sebentar lagi, ya? Aku akan segera ke sana!" katanya lagi.

Sejenak kemudian hening.

"Iya, aku bersama Mina!" Alza kembali berkata tanpa mengalihkan tatapannya dari Rumina.

Mina, gadis yang biasa dipanggil demikian, menoleh, tatapannya bertemu dengan wajah laki-laki yang sedang tersenyum ke arahnya.

Ia pun bertanya, "Siapa? Megan atau Alena?" Dengan wajah cemberut, lalu membelakangi Alza. Sementara itu, pria itu baru saja mengakhiri teleponnya.

"Megan, dia menyuruhku cepat pulang ...!" jawab Alza sambil beringsut dan merebahkan dirinya kembali di sisi Rumina.

"Ya sudah, pulang sana! Aku tahu, jika Megan menelepon, berarti dia membutuhkanmu!"

"Terus, kalau itu Alena?"

"Alena? Aku tidak akan sudi melepaskanmu!" kata Rumina seraya bergeser menarik tangan Alza dan memeluknya.

Keberadaan Alena bagi rumah tangga barunya seperti duri yang mengganggu sebab wanita itu tidak akan membiarkan wanita yang bersama Alza hidup dengan tenang. Berbeda dengan Megan, istri pertama suaminya itu, sudah tak berdaya dan hanya bisa duduk di kursi roda. Wanita itulah alasan pernikahannya.

Rumina mencintai Alza dan rela mengorbankan nyawanya, asalkan ia bisa memadu kasih kapan pun ia mau dengan pria itu. Ia mengakui keinginannya begitu naif, hanya demi mendapatkan cinta sejatinya. Namun, ia juga manusia berhati yang tidak rela jika Megan membutuhkan Alza.

"Hmm... Apa tidak apa-apa, aku pergi sekarang?" kata pria itu sambil melingkarkan tangannya di perut Rumina dan mencium tengkuknya.

Rumina menggelinjang karena merasa geli. Suaminya yang baru ia nikahi secara siri paling tahu bagian sensitifnya. Apalagi saat diendus seperti itu, dia bisa merinding cukup lama. Bahkan, sekarang Alza seperti sengaja mengembuskan nafas hangatnya di kulit bagian belakang leher yang memang sensitif bagi wanita, tapi ia suka.

"Sudah, ah! Pergi sana, kasian Megan menunggumu!" Rumina berkata sambil menjauhkan kepalanya dari bibir Alza.

"Apa tidak apa-apa kalau aku tinggal sekarang? Padahal aku pikir kau mau mengulanginya lagi!" Alza menjawab dengan wajah sendu.

"Mungkin kamu yang mau mengulanginya lagi, bukan aku!"

"Ya sudah, kalau begitu aku akan pulang saja!"

"Pergilah! Sudah aku bilang, kan? Aku akan mengizinkanmu pulang kalau itu Megan yang meminta, tapi jangan harap aku akan membiarkanmu begitu saja kalau Alena yang meminta!"

Alza tersenyum lebar, seraya melanjutkan keinginan yang tiba-tiba muncul dan kembali merapatkan tubuhnya pada gadis yang selalu membuatnya gemes itu. Tangan kekar Alza kembali bermain di atas dada lalu mengulum bibir Rumina dengan lahap.

Gadis itu tidak bisa menolak pesona dan hasrat Alza yang begitu kuat.

Mereka pun mengulangi perjamuan tubuh yang baru saja selesai beberapa jam yang lalu, sebelum mereka tertidur. Mereka terbangun karena mendengar suara ponsel yang terus berdering.

Nyanyian hasrat dua insan bertemu pada satu wadah bagaikan anak panah dan busur hingga menjadi kesatuan irama yang menghanyutkan dan melenakan rasa. Setelah mereka selesai, Alza beranjak meninggalkan tempat tidur dan memakai pakaiannya kembali.

Ia mencium kening Rumina, gadis sederhana yang baru ditemuinya beberapa bulan saja, tapi sudah bisa membuatnya jatuh cinta.

"Aku pergi dulu!" kata Alza setelah selesai berpakaian. Ia melangkah ke luar pintu kamar yang biasa ia gunakan memadu kasih dengan istrinya.

Saat ini ia berada di rumah Rumina yang kecil dan berdiri di ujung jalan Losely, kota Gillead pusatnya provinsi Jawarasen. Rumah itu dekat dengan tempat mereka bekerja dalam satu perusahaan yang sama.

Meskipun mereka telah mengalami kejadian yang tidak mengenakan, yang penting sekarang mereka saling mencintai. Itu saja sudah cukup. Adapun, masalah yang menyusul dalam pernikahan mereka, selama ini masih bisa diatasi karena biasanya terkait masalah Megan atau Alena.

"Oke! Sampaikan salamku pada Megan!"

Ucapan Rumina seketika membuat Alza menghentikan langkahnya dan tangannya yang memutar pegangan pintu mengeras. Sesaat sebelum berangkat bekerja, wanita itu tersenyum sangat aneh padanya dan tatapan matanya pun tidak biasa.

"Alza, kalau aku sudah mati nanti, apakah kamu masih mencintaiku?" pertanyaan yang aneh itu terus saja mengganggu pikirannya. Ia sudah berusaha melupakan itu dengan bergelut di balik selimut Rumina. Namun, ia tak sanggup melenyapkan bayangan saat Megan memandang dengan tatapan aneh dari pikirannya.

❤️❤️❤️❤️

Ini cuplikan yang semoga mengundang rasa penasaran. Silakan baca selanjutnya untuk melihat bagaimana kisah ini bermula 🙏

salam dari saya, El Geisya Tin 😊

Bab 1

Rumah Keluarga Rumina (Awal Mula Kejadian)

“Kakak! Apa maksudmu sih? Aku ini adikmu, aku tidak pernah menggoda suamimu. Itu hanya salah paham!” kata Rumina sambil memegang kedua tangan Akila, kakak perempuannya yang berkacak pinggang, dengan tatapan mata yang nyaris membunuh.

Rumina sangat kecewa dengan sikap sang kakak yang diluar dugaannya, padahal ia begitu bahagia begitu Akila tinggal bersama di rumah orang tua mereka.

Mereka kakak beradik, saudara kandung, tapi memiliki sifat yang sangat berlawanan. Jarak usia yang terpaut cukup jauh mungkin menjadi penyebabnya. Mereka juga dibesarkan di lingkungan yang berbeda bersama orang yang berbeda pula.

Akila menepis tangan adiknya kasar sambil memalingkan muka. Ia muak dengan Rumina, adik kandung yang secara tidak langsung membuatnya terusir dari rumah. Oleh karena itu, ia membencinya. Dirinya harus hidup dengan paman mereka sejak gadis bertubuh kurus itu lahir.

Walaupun Rumina tidak bersalah, ia tetap ingin mengusirnya pergi dari rumah. Sudah cukup baginya sang adik tinggal di sana bersama ayah dan ibu, sedangkan ia harus tinggal dengan orang lain.

Rumina gadis manis yang mudah menangis hanya karena hal sepele. Seperti sekarang ia sudah berlinang air mata, padahal tidak dipukul. Ia gadis berusia 26 tahun dengan pengalaman kerja yang bagus. Hatinya dipenuhi rasa sedih karena saudara yang seharusnya saling menyayangi, justru membenci.

Ia mengusap kasar pipi cabinganya yang sudah dipenuhi air dari mata bulatnya.

“Kakak! Percayalah, aku hanya tidak sengaja jatuh dan suamimu menolongku, jangan salah sangka! Tanyakan saja padanya!” Rumina membela diri.

“Dasar penggoda! Mana mau mengaku?” kata Akila seraya mencibir.

“Aku bukan penggoda!”

“Ibu tahu nggak dia pantasnya kerja di mana? Jadi babu! Atau waitress di Moda Barclub! Cuma itu kerjaan yang pantas buat perempuan seperti dia! Masa, suami kakak ipar sendiri mau diembat!”

Akila, perempuan bertubuh tinggi dan berpakaian berwarna terang, itu berkata pada ibu dan ayah mereka. Sepasang suami istri yang berumur sekitar 55 tahun dan tidak tahu harus berbuat apa pada anak kandung yang baru beberapa bulan saja tinggal bersama.

Mereka tidak mengira kalau Akila akan tumbuh menjadi gadis yang kasar dan senang memakai riasan tebal, juga pakaian yang mencolok. Selama ini mereka pikir pamannya membesarkan dengan baik.

“Akila, kamu harus sabar ... bukankah kalian bersaudara dan sekarang sudah tinggal bersama, jangan bertengkar! Malu di dengar tetangga,” kata Soyu. Ia adalah wanita yang lembut, bertubuh gemuk, dan pandai memasak. Sejak melahirkan Rumina, ia lumpuh dan tidak bisa berbuat banyak. Ia hidup bersama Abe--suaminya yang penyabar.

Dahulu, mereka merasa tidak sanggup mengurus dua anak, karena penyakit stroke yang diderita Soyu. Walaupun Abe tidak mengeluh, tapi adik perempuannya kasihan hingga menawarkan diri untuk merawat salah satu anak perempuannya. Setelah dipertimbangkan, ia memilih Akila yang sudah besar.

“Akila, dengar kata ibumu! Berbaktilah mulai sekarang, sebab paman dan bibi yang merawatmu sudah tiada, jadi kami yang menjadi pengganti mereka!” kata Abe lembut, ia sangat menyayangi dua putrinya.

“Ayah! Apa Ayah percaya begitu saja dengan Rumi?”

“Kalian selesaikan saja sendiri, tunggu suamimu pulang dan tanyakan langsung, bagaimana kejadiannya!” kata Abe lagi, sambil mendorong kursi roda istrinya masuk ke kamar.

Setelah ayah dan ibunya tidak ada, Akila menyeret Rumina ke luar rumah. Rumah kecil yang penuh dengan kenangan manis itu tampak seperti punya tangan dan melambai padanya. Seolah-olah ia akan pergi jauh saja.

“Kak! Akan kau bawa aku ke mana?” tanya Rumina sambil menahan sakit di pergelangan tangannya karena Akila memegangnya dengan sangat kuat. Ia menoleh antara rumah dan kakaknya.

Akila berbalik sambil melotot pada Rumina dan berkata, “Diam kau! Ayo ikut aku!”

“Lepaskan dulu tanganku sakit!”

Akila tidak perduli dengan permohonan Rumina dan terus membawa adiknya itu ke mobil tuanya. Itu kendaraan yang menjadi warisan dari paman dan bibi yang sudah membesarkannya dengan cukup keras. Dari pendidikan seperti itulah, kemudian gadis kecil yang diasuh dengan suka rela, menjadi wanita yang kasar juga.

Rumina pasrah, ia duduk dengan tegang dan sesekali melirik Akila yang duduk di belakang kemudi. Cara menyetir kakaknya buruk, apalagi sebentar-sebentar menghisap sebatang rokok dari sela jari. Ia tahu kalau wanita itu pasti berniat buruk.

Ia dimasukkan secara paksa ke dalam mobil tua itu setelah dicubit dengan sangat keras di pangkal lengan. Namun, anehnya, Rumina yang lemah dan gampang menangis itu tidak menitikkan air mata, ia takut kalau terlihat lemah justru Akila akan lebih senang menyiksanya.

Kini mereka duduk berdampingan, mobil berjalan dengan kecepatan tinggi yang tak tentu arah. Sementara perasaan mereka sangat jauh satu sama lain. Saudara macam apa mereka.

“Kenapa Kakak seperti ini padaku, aku salah apa?” tanya Rumina dengan lagak tak berdosa. Ia belajar kuat begitu keluar dari rumah ayahnya sebab dalam hati ia menduga, jika mulai saat ini, semuanya tidak akan baik-baik saja.

Mereka baru hidup bersama selama dua purnama setelah sekian tahun terpisah. Hanya satu bulan sekali paman dan bibinya mempertemukan mereka. Namun, setelah tinggal satu atap, bukannya bahagia yang diperoleh Rumina, tetapi kesedihan sebab Akila selalu saja menuduhnya menggoda Austin--suaminya. Pria itu memang tampan dan mapan, tapi Rumina tahu diri dan batasan.

“Apa? Kau bertanya mengapa kita seperti ini?” tanya Akila sambil memukul stir mobil dengan keras. ❤️❤️❤️❤️

Bab 2

Di Perbatasan

Lalu, ia tertawa keras seperti orang gila, “Aku benci kamu, Rumi! Benci! Kenapa harus aku yang pergi dari rumah Ayah dan Ibu? Hah! Kenapa bukan kamu saja yang tinggal dengan Paman dan mendapatkan semua siksaannya?”

Rumina tercengang, ia tak percaya Paman dan Bibi mereka jahat dan suka menyiksa. Akila keponakan mereka sendiri. Apalagi pasangan itu sudah lama tidak punya anak, seharusnya kehadirannya adalah anugerah dan bukannya beban.

“Itu mana mungkin! Selama ini mereka baik padamu jika kalian datang ke rumah?”

Akila tidak menjawab pertanyaan adiknya; ia tertawa sesekali seorang diri menertawakan nasibnya. Beruntunglah ia dicintai oleh seorang pria seperti Austin yang tampan dan berwibawa. Satu-satunya orang yang ia percayai sekaligus kebanggaannya. Tidak ada wanita yang boleh dekat dan mencintainya juga. Sekali saja ada wanita yang ketahuan tersenyum pada suaminya, maka detik itu juga akan menjadi musuh selamanya.

Sementara Rumina tidak tahu apa yang dianggap lucu, oleh kakaknya itu sehingga tertawa.

Mobil sedan tua berhenti di perbatasan antara dua kota, Mayore dan Asradele dan menepi di dekat bukit yang di sampingnya ada sungai besar, Malhy. Sungai itulah yang menjadi ciri khas perbatasan kota.

“Turun!” kata Akila sambil melepas sabuk pengamannya.

Rumina menolak, ia enggan turun karena suasana perbatasan itu sepi dan hari mulai gelap. Ia takut kalau ternyata Akila meninggalkannya di sana seorang diri. Ia jarang sekali pergi jauh dari rumah karena Ayah dan Ibu selalu khawatir. Jarak terjauh yang pernah ia tempuh adalah pusat kota Mayore, di sana ada sebuah mall besar dan selalu banyak diskon. Tak jauh dari sana ada tempat kerjanya — Robinson Botanica — ia menjadi asisten laboratorium Mark, pria tua yang sudah bekerja selama sebelas tahun.

“Kubilang turun!” suara Akila mengagetkannya, “Atau kamu mau aku tabrakkan mobil ini di bukit biar kita berdua mati bareng?”

“Tidak!”

Kematian tidak ada dalam otaknya pada saat ini sebab besok hari Senin, itu hari yang membuatnya lebih semangat. Setiap akhir bulan, Alza Ayesar akan datang untuk memeriksa keadaan semua yang berhubungan dengan pabrik pertanian miliknya. Melihat Tuan Alza dari jauh saja sudah sangat menyenangkan. Ia menyukainya dalam diam. Bagaimana tidak, ia pria terhormat dan rapi, ia tahu pasti istrinya di rumah sudah mengurusnya dengan sangat baik. Parasnya jauh lebih menarik dari pada suami Akila. Ia lebih senang menggoda Alza kalau ada kesempatan daripada menggoda pasangan kakaknya.

Kata orang, Alza adalah pemilik Robinson Botanica yang ada di Mayore dan tempat Rumina bekerja adalah cabang ketiga. Pabrik pusatnya ada di provinsi Jawarasen. Jauh lebih besar dan jauh lebih megah tentunya. Rumina ingin mempunyai kesempatan untuk melihat pabrik terbesar mereka. Setiap tahun akan ada pegawai terpilih dan memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan di sana. Tahun ini adalah harapannya karena ia sudah memiliki kompetensi sebagai peserta.

Jadi, ia tidak boleh mati, berhadapan langsung dengan Alza adalah keinginannya yang terbesar.

“Baiklah, aku turun.” Rumina akhirnya melepas sabuk pengamannya dan turun dengan malas saat pintu mobil sudah terbuka.

Angin lembut menyapa begitu ia menginjak tanah, rambut sebahunya berkibar dan acak-acakan. Terlihat debu mengepul samar seperti bayangan asap.

Akila menarik Rumina hingga mereka berdiri di dekat pembatas jalan dan sungai Malhy. Gadis kurus berkukit putih itu bergidik saat melihat ke bawah. Buku matanya yang panjang mengerjap beberapa kali menahan air mata yang nyaris keluar.

“Apa kau takut mati?” kata Akila. Rumina diam saja, ia memberanikan diri melihat wajah kakaknya yang berdandan dengan riasan tebal itu, tepat di bola matanya.

“Bilang saja kalau kau takut!” Akila berkata lagi sambil mencibir. Kedua tangannya ditaruh bertumpuk di atas perut.

Tak lama terdengar teriakan keras dari seorang wanita muda. Suaranya begitu memilukan seolah nyawanya dalam bahaya. Sementara itu angin kembali bertiup seirama dengan matahari yang mulai memasuki celah peraduan.

“Lihatlah langit, begitu-begitu saja walaupun senja itu kadang indah dan kadang suram, tapi langit tidak pernah berubah, ia menerima senja apa adanya!” Rumina berkata sambil tersenyum manis pada Akila, berharap kakaknya akan memberinya kasih sayang.

“Omong kosong!”

Tangan Akila mencengkram leher Rumina dan menekannya kuat-kuat dengan kuku hingga menembus kulit. Ada darah yang keluar dari sana. Matanya menatap sang adik yang sekarat penuh intimidasi dan kemarahan.

“Biarkan aku hidup! Tolong, Kakak! Katakan apa maumu, asalkan jangan bunuh aku!”

$$$$$$$$$$

Rumina memasuki sebuah kamar hotel malam itu dengan lelehan air mata di pipinya. Bukan, bukan kakaknya yang membawanya ke tempat itu, tapi seorang pria kemayu yang cara jalan serta bicaranya seperti wanita. Ia yang menjemput Rumina, mendandani dan menyuruhnya masuk ke kamar di mana ia berada sekarang.

Ceklek!

Suara pintu kamar hotel dibuka, Rumina menoleh dan matanya seketika terbelalak sempurna.

“Tuan Alza?” pekiknya, dan sontak ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka.

“Apa kamu mengenalku?” kata Alza sambil mengerutkan alisnya. Jika wanita itu mengenalnya, maka itu akan berbahaya. Ia terkenal dengan reputasi yang baik dan tidak suka main-main dengan wanita. Namun, hari ini berbeda, ia suntuk setengah mati. Apalagi ia harus menghadapi kunjungan yang tidak disukainya besok.

“Ya! Tentu, sungguh ini sebuah kehormatan bagi saya dipertemukan dengan Anda!”

Bicara Rumina lancar, tertata dengan baik karena ia biasa menggunakan bahasa formal dengan Professor Ryco.

“Siapa kamu?”

“Saya Rumina Ayes, perkenalkan!” Rumina mengulurkan tangannya, “saya salah satu pegawai Anda di Robinson Botanica!”

Alza mengabaikan tangan Rumina yang terulur hingga gadis itu menariknya kembali. Ia kecewa pasti.

“Apa?” Alza berpikir buruk tentang kinerja perusahaan di cabang ketiga.

Mengubah pegawai menjadi pekerja malam dan menggoda pria hidung belang bukan tindakan yang patut dicontoh. Selain itu, mengatakan bahwa bertemu dengan mereka merupakan sebuah kehormatan adalah sebuah kesalahan yang besar. Bagaimana mungkin bertemu dengan orang yang berbeda jenis dan tidak memiliki hubungan adalah sebuah kehormatan?

Tindakan itu kemudian dilanjutkan dengan melakukan hubungan seksual yang tidak memiliki ikatan dan hanya dilakukan demi kepuasan belaka. Tindakan ini sangat memalukan dan patut dicegah.

“Saya tidak ingin pegawai saya menjadi wanita malam dan melayani pria hidung belang!” ujar Alza.

“Apa yang kamu maksud? Siapa yang menjadi wanita malam?” tanya Rumina.

“Kamu!” jawab Alza dengan tegas.

Rumina kemudian terdiam, namun kemudian ia menegaskan bahwa dirinya bukanlah wanita malam. Meskipun begitu, ia tidak keberatan jika harus menjadi wanita malam hanya demi Alza. Namun, ia sangat merisaukan keluarganya dan merasa bahwa hal tersebut tidak benar.

Alza kemudian duduk di sebuah sofa dan Rumina duduk menghadapinya. Saat itu, Alza melihat wajah Rumina dan merasa terkejut. Ia menyadari bahwa Rumina adalah wanita yang pernah ia lihat di perbatasan kota.

Alza merasa sangat heran dan bertanya, “Bukankah kamu tadi berada di perbatasan?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!