"Kita bahas masalah ini di tempat lain aja, ya, Jes. Aku nggak enak dilihat orang lain, apalagi yang kenal Susan dan kamu," cetus Ian begitu mereka berdua bertemu untuk membahas masalah Susan, saudara sepupu Jeslin yang kabur dari rumah. Ian adalah kekasih Susan, lebih tepatnya kekasih gelap saudaranya itu.
Susan berumur 3 tahun di atas Jeslin, sudah menyandang status istri dari seorang pria bernama Fachri. Mereka pun sudah dikaruniai seorang putra yang baru berumur 3 tahun. Tapi karena peliknya masalah rumah tangga Susan dan Fachri, Susan memutuskan kabur dari rumah, dan sudah ia jalani selama satu bulan lamanya. Lucunya Fachri justru tampak tidak peduli pada kepergian sang istri.
Susan yang pontang panting sendirian di luar, akhirnya ia menginap di apartemen Jeslin untuk sementara waktu. Ternyata hanya hitungan hari sejak Susan kabur dari rumah, dia justru sudah memiliki seorang kekasih yang umurnya masih tergolong muda. Perselingkuhan tersebut berawal dari sebuah event di salah satu mall, di mana Susan menjadi pengisi acaranya, dan sang kekasih, sebagai salah satu tamu undangan. Mereka yang makin dekat, saling bertukar nomor ponsel, dan akhirnya Susan sering curhat pada Ian. Di saat itulah, kedekatan mereka makin intens, dan akhirnya mereka pun saling memadu kasih. Jeslin sebenarnya sangat tidak menyetujui apa yang Susan lakukan, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun, hingga akhirnya Susan pergi dari apartemen Jeslin, kemudian tinggal di rumah Ian.
Tapi baru beberapa hari berselang, Susan justru bertengkar dengan Ian, dan kembali melakukan aksi kabur dari rumah Ian, hingga membuat pemuda itu cemas. Itulah alasan Ian mendatangi Jeslin sekarang.
"Memangnya mau ke mana? Kenapa nggak di sini aja?" tanya Jeslin agak tidak nyaman.
Mereka sudah berada di sebuah cafe yang memang sengaja dipesan untuk janji temu keduanya. Sebelumnya Ian menghubungi Jeslin perihal kaburnya Susan dari kediamannya, dan meminta tolong Jeslin untuk mencari Susan. Ian cemas terjadi sesuatu pada Susan.
"Ke rumahku saja, ya. "
"Ke rumah kamu? Eum, gimana, ya...." Jeslin terus menatap jam di pergelangan tangan, dan sedikit tidak nyaman dengan permintaan Ian. Jeslin tidak enak jika harus terlambat masuk kantor, karena pergi ke rumah Ian lebih dulu.
"Sebentar aja, Jes, please," kata Ian terus memohon.
Akhirnya Jeslin pun menurut, karena dia memang ingin tau, apa yang sebenarnya terjadi antara Ian dan Susan. Apalagi orang tua Susan berkali-kali menghubungi Jeslin, karena menanyakan keberadaan Susan. Fachri ingin menggugat cerai Susan karena kepergiannya dari rumah. Tentu ini adalah kabar yang harus segera di sampaikan pada Susan.
Jeslin mulai naik motor Ian. Mereka melaju cepat menembus jalanan ibukota menuju ke rumah Ian. Jeslin terlalu polos dan baik, dia tidak tau kalau sebenarnya dia sedang dimanfaatkan karena kejadian ini.
Tak butuh waktu lama, Ian dan Jeslin sudah sampai. Ian mempersilakan Jeslin masuk. Rumah Ian memang terbilang megah, dan besar. Dia beruntung karena lahir dari orang tua kaya, padahal dirinya sendiri tidak memiliki keinginan serta usaha keras untuk bekerja. Ian hanya anak manja yang lebih suka menikmati kekayaan orang tuanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang ia inginkan.
"Mau minum apa, Jes?" tanya Ian sambil melepas jaketnya.
Jeslin yang baru pernah datang ke rumah Ian tampak sedang memperhatikan isi rumah kekasih Susan tersebut. Ia tidak memperhatikan apa yang Ian lakukan sekarang.
"Apa aja, Ian."
"Oke. Aku buatkan minum dulu, ya."
Pintu rumah Ian kunci, dia bahkan mengantungi kunci rumahnya itu. Ada gelagat tidak baik yang sedang Ian rencanakan sekarang. Ian segera masuk ke dapurnya, dan mengambilkan segelas jus jeruk dingin dari kulkas. Tapi tidak hanya itu, karena tanpa sepengetahuan Jeslin, Ian menambahkan beberapa tetes obat tidur ke minuman tersebut. Ian menyeringai sambil membawa minuman itu ke depan.
Jeslin masih berdiri sambil mengamati foto-foto milik keluarga Ian. Rupanya Ian memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah dewasa. Kedua orang tua Ian merupakan salah satu pemilik restoran terkenal di Jakarta. Tidak hanya satu cabang, tapi sudah memiliki beberapa cabang yang semuanya laris manis setiap harinya.
"Minum dulu, Jes," kata Ian sambil meletakkan cangkir minuman dingin berwarna kuning itu ke meja. Jeslin lalu duduk dan segera menyambar minuman itu yang memang tampak menyegarkan dari luar. Ian menunjukkan smirk di wajahnya saat Jeslin mulai meneguk habis minum tersebut. Tinggal menunggu beberapa saat saja sampai obat tadi bekerja.
"Jadi awal mulanya bagaimana, kenapa kalian bertengkar?" Jeslin memang sedikit kesal dengan tingkah Ian dan Susan, karena ini bukan pertengkaran pertama mereka, tapi imbasnya selalu Jeslin yang harus menanggungnya.
"Biasa, Jes. Susan cemburu ke Lili. Padahal aku sama Lili kan, nggak ada hubungan apa-apa."
"Yakin begitu? Bukannya kamu sama Lili sering pergi sama-sama, ya pantas Susan cemburu. Kamu ini gimana sih!" omel Jeslin kesal. Namun perlahan dia justru merasakan kepalanya mulai pening, pandangan matanya mulai kabur, dan dia mulai sulit bernafas. "Ian ...."
"Jes, Jeslin, kamu kenapa"
Jeslin benar-benar tidak sadarkan diri, tapi bukan berarti dia pingsan dan tidak mengetahui apa pun. Justru gadis itu tetap merasakan apa yang sedang Ian lakukan. Tanpa basa basi, Ian mulai melucuti pakaian Jeslin, dia yang sudah berada dalam pengaruh nafsu birahi terus melancarkan aksinya dan menyetubuhi Jeslin.
"Ian ... Jangan," desah Jeslin yang tidak mampu menolak, walau sebenarnya ia ingin beronta dan menendang Ian yang kini berada di atas tubuhnya. Tenaga Jeslin tidak kuat untuk melawan, dan ia hanya mampu menangis saat Ian melakukan hal keji itu padanya.
Kesuciannya telah direnggut. Ian dengan santainya tersenyum begitu Jeslin sudah benar-benar sadar. "Jes, mandi dulu sebelum pulang, nanti aku antar ke apartemen," kata Ian tanpa rasa bersalah.
Jeslin menatap tajam pemuda itu, ingin rasanya dia mengamuk dan menghajar wajah Ian, tapi dia tau kalau itu hanya akan memperburuk keadaan. Jeslin segera memakai pakaiannya dan angkat kai dari rumah Ian. Bahkan dia meninggalkan alas kakinya dan pergi dengan bertelanjang kaki.
Hari sudah malam saat Jeslin pergi dari rumah Ian. Dia menangis sepanjang jalan dengan tubuh gontai. Ingin segera pulang, tapi juga tidak ingin kembali ke rumahnya. Walau sebenarnya dia pun tinggal seorang diri di sana. Jeslin juga tidak mungkin datang ke apartemen Daniel, karena sang adik pasti mengetahui ada yang tidak beres pada kakaknya. Entah karena takut atau malu, Jeslin tidak ingin orang lain tau apa yang telah terjadi pada dirinya.
Ia putuskan hanya berjalan tanpa tujuan, mencari sebuah tempat yang mampu menawarkan ketenangan serta kedamaian. Sampai akhirnya langkah kakinya tiba di arena bela diri taekwondo yang berada di sebuah gelanggang olahraga. Sekalipun sudah malam, tapi tempat itu masih terlihat ramai dengan beberapa orang yang masih berlatih. Jeslin duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari tempat itu. Menyaksikan orang-orang saling beradu kemampuan fisik membuatnya sedikit tertarik. Apalagi setelah kejadian yang telah Ian lakukan tadi, membuat Jeslin ingin bisa berlatih taekwondo juga guna bisa membela diri jika ada orang yang akan berniat jahat padanya.
"Maaf, kamu sedang menunggu siapa" tanya salah satu pemuda yang memakai pakaian putih dengan ikat pinggang warna hitam. Sekalipun Jeslin tidak pernah mempelajari taekwondo, tapi dia tau kalau orang di depannya adalah salah satu pelatih, terlihat jelas pada ikat pinggang yang ia kenakan. Apalagi di tambah postur tubuh yang proporsional, membuat lelaki itu tampak sempurna menyandang status sebagai pelatih di sini.
"Hm Maaf, saya cuma numpang duduk saja. Apa tidak boleh" tanya Jeslin degan wajah polosnya.
"Oh begitu Tapi sebaiknya kamu jangan duduk di sini, hujan sebentar lagi akan turun deras, lebih baik duduk di sana saja," kata pria itu lagi sambil menunjuk ke aula tempat anak-anak kecil berlatih. Tempat itu memang luas, ada beberapa kelompok yang sedang berlatih sesuai umur mereka.
"Hm ... Tidak usah, saya cuma sebentar kok di sini, terima kasih tawarannya," tolak Jeslin sambil menengadahkan wajah ke udara. Rupanya dia tidak sadar kalau gerimis sudah turun sejak tadi, bahkan bajunya sudah mulai basah.
Pemuda tadi diam beberapa saat lalu menarik nafas panjang sambil terus menatap Jeslin yang tampak kacau. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Kalau kamu mau, duduk saja di sana. Tidak akan kenapa-kenapa kok, daripada kamu kehujanan di sini," katanya lagi.
"Iya, terima kasih." Jeslin hanya menatap pemuda itu di tengah derasnya gerimis yang mulai membasahi tubuhnya.
Ben. Adalah salah satu pelatih di tempat itu. Bersama sepupu-sepupunya serta Om serta ayahnya, Ben membuka sebuah tempat bela diri yang mengkhususkan pada taekwondo. Sudah lima tahun berselang, dia dan keluarganya membuka tempat itu, dan sebenarnya ini pertama kalinya mereka berlatih di sana, karena sebenarnya mereka sudah memiliki tempat latihan sendiri di dekat rumah. Tapi malam ini lain. Ayahnya memutuskan pindah sementara di sana karena untuk menarik minat orang-orang yang sering berolahraga di tempat itu. Mereka ingin memperbesar club mereka agar mampu bersaing dengan club bela diri lain selain taekwondo tentunya.
Rupanya kehadiran Jeslin berhasil mengusik perhatian Ben. Beberapa kali Ben memperhatikan Jeslin yang masih diam di tempatnya duduk. Tidak peduli hujan gerimis yang membasahi tubuhnya. Wajah Jeslin tampak kurang sehat, tapi sebenarnya sorot mata gadis itu yang membuat resah Ben setelah menatapnya tadi. Ada rasa sakit yang sedang dirasakan Jeslin dan Ben mengetahui hal itu. Hanya saja, Ben sadar diri kalau dia adalah orang asing, tentu Jeslin akan menolak segala bantuannya, atau pun tidak mungkin juga jika gadis itu akan bercerita tentang apa yang telah terjadi padanya. Ben hanya menatap Jeslin dari kejauhan sambil melatih anak-anak yang masih semangat malam itu.
Sudah satu minggu lamanya, Jeslin tidak keluar dari apartemen. Dia mengambil cuti dengan alasan kesehatan. Jeslin hanya menghabiskan waktu di apartemen dengan bermalas-malasan. Dia tidak ingin melakukan apa pun sekarang. Kondisi tubuhnya yang memang sebenarnya tidak sehat, membuatnya hanya ingin menghabiskan waktu di atas pembaringan. Berbekal koleksi film yang ada di laptop, Jeslin tampaknya sudah cukup nyaman sekarang.
[Kakak sakit?] Sebuah pesan masuk ke dalam gawainya. Ia yang sedang menonton drama Korea lantas hanya melirik sekilas pesan dari Daniel.
[Sudah ke dokter?] Pesan kedua tidak mampu membuat Jeslin bergerak, hanya bola matanya saja yang melirik notifikasi di telepon genggamnya itu.
[Aku ke sana!] Akhirnya pesan terakhir itu, mampu membuat Jeslin mendengus sebal sambil meraih ponsel. Ia lantas mengetik pesan balasan untuk sang adik.
[Nggak usah, Dan. Aku cuma masuk angin. Cuma butuh istirahat aja kok.]
[Tapi kakak sudah satu minggu sakit! Kakak yakin cuma masuk angin?]
[Iya. Cuma masuk angin, Daniel sayang!]
[Ya sudah. Aku cuma khawatir. Untung kakak masih lajang, jadi aku nggak berpikir kakak sedang hamil sekarang.]
Deg! Jantung Jeslin hampir berhenti sesaat membaca pesan terakhir dari Daniel.
Hamil? Jangan-jangan .... Ah, tidak mungkin! Tapi .... Apa yang Ian lakukan tempo hari, tidak cuma ia lakukan sekali.
Pikiran Jeslin kembali berkecamuk. Bayangan kehamilan mulai terlintas di pikirannya. Trauma atas perlakuan Ian saja sudah membuatnya hampir gila. Bagaimana jika sampai dia benar-benar hamil? Mungkin dia akan benar-benar gila!
Jeslin meninggalkan laptop dalam keadaan menyala. Dengan terburu-buru ia segera meraih kunci mobilnya, dan sweeter yang tergeletak di atas sofa. Yah, dia harus memeriksa kandungannya.
•••••
Rumah sakit selalu sama. Ramai oleh para pasien yang datang. Apalagi ini merupakan jam besuk untuk pasien yang sedang rawat inap. Tapi hanya pada waktu ini, dokter kandungan terbaik di rumah sakit itu buka praktek.
Jeslin sudah mendaftar via online saat berkendara ke tempat itu. Dia langsung menghubungi asisten Dokter Frianton SpOG yang dikenalnya sebagai dokter yang dulu pernah membantu proses kelahiran sepupunya. Almarhumah ibundanya pun pernah mendatangi dokter tersebut karena keluhan datang bulan yang tidak teratur yang ternyata dia sebenarnya hampir memiliki adik, tapi sayangnya Ibundanya keguguran karena terlambat mengetahui hal tersebut. Kandungan Bu Amy, almarhumah ibunda Jeslin, memang lemah, apalagi dengan banyaknya aktifitas yang ia lakukan sebagai pengusaha.
Jeslin hanya tinggal melapor atas kedatangannya ke bagian resepsionis khusus bagian obgyn. Namanya sudah terdaftar dan kini hanya tinggal menunggu giliran. Di tangannya sudah ada secarik kertas yang menunjukkan nomor antrean miliknya. Jeslin lantas duduk di deretan kursi yang sebagian besar sudah terisi wanita-wanita yang sedang berbadan dua.
Ia tampak kikuk duduk di antara mereka. Melihat kondisi para wanita yang sedang hamil, memang tampak menyenangkan. Berkali-kali mereka mengelus perut, sambil tersenyum, bahkan tak jarang mengajak bicara bayi yang ada di dalam perut. Mungkin jika dia dalam kondisi yang sama, Jeslin akan melakukan hal serupa. Tapi ia langsung menggeleng cepat saat bayangan kehamilan terlintas di pikirannya. Dia tidak mau hamil. Dia tidak mau memiliki anak dari hasil perkosaan. Jika dia benar-benar hamil, maka Jeslin berencana menggugurkan bayi yang ada di kandungannya. Jeslin akan membayar berapa pun agar anak tersebut tidak dilahirkan ke dunia.
"Ibu Jeslin Haryono?" panggil perawat yang duduk di sudut ruang tunggu. Jeslin segera beranjak dan mendekat, namun dia justru bertabrakan dengan seseorang.
"Maaf!" kata Jeslin sungkan. Wanita yang ia tabrak lantas tersenyum sambil menggeleng. "Nggak apa-apa kok," ujarnya dengan ramah.
"Di? Kenapa? Kamu nggak apa-apa?" tanya seorang pria yang dengan cekatan mendekat dan memeriksa kondisi wanita tersebut. Perutnya yang sudah membesar menunjukkan kalau kehamilannya sudah masuk trimester ketiga.
"Maaf, saya nggak sengaja," kata Jelasin lagi dan berusaha memungut barang-barang wanita tersebut yang terjatuh di lantai.
"Nggak apa-apa kok. Saya yang nggak memperhatikan jalan," kata wanita itu bijak. Memang benar kalau kali ini bukan kesalahan Jeslin, karena wanita itu justru yang menerobos jalan Jeslin tanpa memperhatikan sekitar.
"Aku nggak apa-apa, Ben." Pemuda itu tampak terus memperhatikan wanita itu dengan seksama.
"Serius, kan, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak?" tanya Jeslin lagi. Dia memang benar-benar mencemaskan kondisi wanita itu, karena sadar kalau tabrakan tadi cukup keras sehingga membuat keduanya terjatuh. Jeslin paham betul, wanita hamil rentan dengan goncangan. Dia tidak mau dituduh atau menjadi alasan seorang wanita keguguran.
"Tenang aja kok. Aku baik-baik saja."
Ben menoleh dan terkejut saat melihat orang yang ditabrak Diva ternyata adalah gadis yang ia temui di gelanggang olahraga beberapa hari lalu. Ben masih sangat hafal wajah Jeslin. Terutama sorot mata gadis itu yang membuat nya tidak mampu berpaling. Semua masih sama. Ada rasa sedih dan sakit mendalam yang ia lihat dari kedua bola mata Jeslin.
"Loh kamu, kan ...." Ben tidak melanjutkan perkataannya karena dia memang tidak tau harus mengatakan apa pada Jeslin. Mereka belum mengenal, bahkan Ben tidak tau nama gadis tersebut.
Jeslin menatap Ben dengan tatapan bingung. Merasa kalau dia tidak mengenal Ben, tapi pemuda itu justru seperti tau tentang dirinya.
"Kamu kenal, Ben?" tanya Diva menatap keduanya bergantian.
"Eum, enggak sih. Cuma kami pernah ketemu sebelumnya," jelas Ben sambil garuk-garuk kepala.
"Wah, di mana?" tanya Diva menyelidik. Senyum memojokkan terlihat di wajahnya. Sambil terus menunggu jawaban dari Ben. Diva sadar kalau Ben tampak lain saat melihat Jeslin.
"Kita pernah ketemu? Di mana?" tanya Jeslin yang benar-benar tidak ingat apa pun. Sekali pun dia berusaha mengingat wajah Ben, tapi tidak ada satu pun kenangan masa lalunya tentang pemuda di hadapannya itu.
"Kamu lupa? Kita ketemu di Gor seminggu lalu. Kamu duduk di dekat arena taekwondo sambil hujan-hujanan," kata Ben semangat.
"Oh iya ya. Oh itu kamu?" tanya Jeslin yang akhirnya mengingat hal itu.
"Iya."
Jeslin tersenyum, begitu pula Ben. Ben terus menatap gadis itu mendalam.
"Kamu mau cek kandungan?" tanya Diva membuat keduanya tersadar. Jeslin yang ingat kalau namanya sudah dipanggil oleh perawat jaga, segera pamit. Sementara senyum Ben langsung pudar begitu Jeslin pergi ke ruangan dokter Frianton.
"Cie, gagal deh kenalan sama cewek. Mana cantik lupa," ledek Diva sambil mencolek perut Ben.
"Apa sih, Va!" gerutu pemuda itu sambil membantu Diva berjalan.
"Ye, kelihatan tau. Kamu naksir dia. Tapi sayang, dia udah nikah, ya. Padahal cantik banget loh, Ben. Uh, kalau aku cowok, aku juga pasti naksir. Eh, namanya siapa?!"
"Nggak tau. Kenalan juga enggak."
"Oh iya, ya. Lagian masa iya, mau kenalan sama bini orang. Bisa di mutilasi kamu nanti," ejek Diva terus menerus. Ben pun makin kesal tapi tetap menuntun saudaranya tersebut keluar dari rumah sakit.
•••••
"Jadi gimana, Dok?" tanya Jeslin dengan raut wajah gelisah. Dia menggigit bibir untuk menutupi kegugupannya. Tubuhnya bergetar, karena sangat takut pada kenyataan jika dia benar-benar hamil.
"Belum kok, Bun. Belum ada tanda-tanda kehamilan. Haid terlambat mungkin karena stres atau banyak pikiran, ya," jelas Dokter Frianton sambil menuliskan sesuatu direkam medis Jeslin.
"Serius, Dok? Saya nggak hamil?" tanya Jeslin dengan mata berbinar. Dokter tersebut justru menatap aneh pada wanita di depannya. Baru kali ini ada wanita yang di diagnosis belum hamil, justru malah senang.
"Saya tuliskan resep obat, ya. Agar haid Bunda lancar. Kalau belum lancar juga, nanti datang ke sini lagi saja. "
"Terima kasih, Dok!" Jeslin segera meraih resep obat itu dan pamit pergi.
****
...Andai manusia dibumi memiliki nurani,...
...Aku yakin tidak akan ada harga diri wanita yg dikuliti...
...Indy R.P...
Sebuah paket mendarat di kantor Jeslin. Rupanya beberapa bingkisan dari Oma dan Opa-nya yang tinggal di Bali baru saja sampai setelah melewati beberapa hari dalam perjalanan di antar kurir. Oma Opa yang masih ia miliki adalah dari pihak Papa, dan hanya merekalah satu-satunya keluarga yang paling dekat. Sebenarnya Jeslin masih memiliki Om dan Tante, hanya saja mereka semua tinggal di luar negeri dan jarang sekali kembali ke tanah air.
Jeslin segera menghubungi Daniel, karena bagaimana pun dia harus membagi makanan itu kepada adiknya. "Dan, kamu di mana?" tanya Jeslin begitu telepon tersambung.
"Seperti biasa. Di kantor. Kenapa, kak?"
"Ya sudah, nanti aku mampir ke kantormu. Ada oleh-oleh dari Oma."
"Wah, asyik. Oke, aku tunggu."
Jeslin keluar kantor di jam istirahat. Membawa paper bag yang sudah ia siapkan untuk sang adik. Ia sudah membagi makanan khas Bali dari Oma nya secara adil. Bahkan Jeslin juga membaginya untuk teman-teman di kantor. Oma-nya memang sangat suka membuat berbagai camilan, dan Jeslin sangat suka makanan buatan sang nenek.
Gedung bertingkat yang dulu milik sang Papa, kini sudah beralih diurus oleh Daniel. Begitu Jeslin masuk, di pintu depan dia sudah disambut oleh karyawan yang sudah hafal betul siapa Jeslin.
"Daniel mana?" tanyanya sambil jalan terus menuju lift.
Wanita dengan setelan rapi tersebut juga mengikuti langkah Jeslin. "Ada di kantornya, Bu. Mari saya bantu bawakan belanjaannya," katanya berusaha sopan. Dia adalah sekertaris Daniel yang sebenarnya hendak keluar kantor sebentar karena suruhan sang pemimpin perusahaan untuk membeli kopi.
"Nggak usah. Aku sendiri saja. Kamu mau ke mana, Siska?" tanya Jeslin sambil melirik padanya.
"Disuruh Pak Daniel beli kopi di depan. Ada temannya juga di atas."
"Teman? Siapa? Pacar?"
"Bukan, Bu. Laki-laki."
"Oh ya sudah. Kamu beli kopi saja sana. Saya pesankan satu juga, black coffe, ya. Makasih Siska," ucap Jeslin yang kini sudah masuk ke dalam lift, dan menutup pintunya.
Siska hanya berdiri di depan pintu lift sambil mengangguk. Semua orang tau, kalau Daniel memiliki selera bagus untuk seduhan kopi. Dia jarang minum kopi di kantor, atau memesan ke pantry. Daniel lebih suka kopi buatan kafe yang ada di depan kantornya.
Jeslin sudah sampai di lantai 15. Di mana itu merupakan lantai paling atas di gedung ini, dan ruangan Daniel berada. Lantai ini hanya memiliki satu ruangan khusus milik Daniel. Tempat kerja Siska berada tepat di depan pintu masuk ruangan Daniel, dengan meja besar dan panjang ditambah sekat setinggi dada orang dewasa sebagai privasinya.
Tanpa ragu, Jeslin berjalan menuju ruangan Daniel sambil menenteng beberapa paper bag di kedua tangannya. Sampai di depan pintu yang bertuliskan direktur, Jeslin segera masuk ke dalam tanpa mengetuk atau mengucapkan salam lebih dulu.
Dua pria yang berada di dalam langsung menoleh padanya. Sama-sama terkejut dengan kedatangan gadis itu.
"Loh, Kakak sudah sampai? Nggak ketemu Siska? Kan bisa bantu bawakan barang-barang," kata sang adik sambil menyambut kakaknya dan langsung mengambil alih barang bawaan Jeslin.
"Ketemu tadi di bawah. Aku bisa kok sendiri. Kasihan nanti Siska bolak-balik."
"Duduk dulu. Capek, kan?"
Pria satunya, yakni teman Daniel tadi, sempat bengong sambil terus memperhatikan Jeslin. Gadis itu pun ikut menatap laki-laki tadi sambil mengerutkan kening.
"Kamu ...?" tanya Jeslin sambil menunjuk pria yang masih berdiri kaku di dekat meja kerja Daniel.
"Iya, aku. Kita ... Ketemu lagi," ucapnya dengan seulas senyum tipis.
Ben tidak menyangka jika dia akan bertemu lagi dengan Jeslin di tempat ini. Terlebih lagi dia terkejut saat mendengar Daniel memanggil gadis itu dengan sebutan kakak. Ben tidak tau kalau gadis yang ia jumpai dua kali sebelumnya itu ternyata kakak Daniel, sahabatnya. Daniel memang tidak pernah memperkenalkan keluarganya. Ben hanya mendengar cerita tentang keluarga Daniel dari mulut sahabatnya, tanpa tau bagaimana rupa mereka. Tidak ada satu pun foto di ruang kerjanya, tentang orang tua ataupun kakaknya. Karena mereka memang tidak pernah melakukan foto keluarga sebelumnya. Sedekat apa pun Daniel dan Jeslin, keduanya tidak pernah sekalipun mengabadikan kebersamaan sejak dulu.
"Loh, kalian sudah saling kenal rupanya?" tanya Daniel sambil menatap keduanya bergantian.
"Enggak kenal kok. Cuma pernah ketemu aja," sahut Jeslin sambil membuka bawaannya tadi.
"Ketemu di mana?"
"Dua kali. Pertama di Gor beberapa minggu lalu, yang kedua ...." Jeslin langsung melotot mengingat tempat kedua yang tidak jadi ia ucapkan ke adiknya.
"Yang kedua, di ...?" tanya Daniel meminta kelanjutan kalimat Jeslin tadi. Kini Daniel beralih menatap Ben, sahabatnya untuk memberikan penjelasan lebih.
Gadis itu langsung menatap Ben sambil melotot, tak lama menggeleng pelan. Ben yang bingung dalam situasi itu tampak gugup. "Yang kedua di ... Mal. Aku lagi sama Diva, nemenin dia belanja keperluan bayi. Terus kakakmu juga lagi jalan-jalan. Eh dia sama Diva nggak sengaja tabrakan. Jadi kita tegur sapa sebentar. Nggak sangka aja kalau dia kakak kamu, Nil?"
"Wah, kebetulan banget sih itu. Jangan-jangan kalian berjodoh," sindir Daniel.
Pintu diketuk, suara Siska mengalihkan pembicaraan tadi. Daniel segera menyuruh sekretarisnya masuk. Aroma kopi pun langsung masuk ke pangkal hidung Jeslin. Dia segera meminta jatah miliknya. "Punyaku, Siska?" pinta gadis itu dengan tingkah menggemaskan. Ia mengulurkan tangan kanannya ke Siska, sambil memiringkan kan kepalanya ke kiri, tak lupa senyum manis Jeslin kembali terbit.
"Ini, Bu. Kopi hitam dengan sedikit gula?" tanya Siska mengoreksi apa yang sudah ia pesan.
"Betul. Pinter kamu," sahut Jeslin segera menerima gelas kertas berwarna cokelat dari tangan Siska.
"Kakak sudah menghubungi Oma?" Daniel segera duduk di dekat sang kakak, sambil menyeruput kopi panas miliknya. Ben yang sejak tadi berdiri, kini ikut duduk di dekat mereka. Beberapa kali dia memandang Jeslin tanpa gadis itu ketahui. Tingkah Jeslin terlihat menggemaskan bagi Ben. Hingga dia tidak ingin berpaling menatap Jeslin yang kini ada di hadapannya. Cara Jeslin menyeruput kopi dengan suara berisik, sambil membuka camilan yang ia bawa sendiri tadi. Tanpa ragu dan malu, ia membuka sebuah pai buah, lalu menggigitnya. Ujung jari telunjuk serta ibu jarinya, ia kecup karena sisa pai yang tertinggal di sana.
Kedua kakak beradik itu terlibat obrolan mengenai kakek dan nenek mereka. Ben tidak keberatan saat mereka seolah tidak menganggap dirinya ada, karena tidak melibatkannya dalam obrolan keluarga itu. Toh, Ben justru sedang menikmati menatap segala tingkah Jeslin yang baru ia ketahui sekarang.
Namun sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Mengingat tentang pertemuannya dengan Jeslin di tempat dokter kandungan kemarin. Ben menilai kalau Jeslin belum menikah, tapi kenapa dia mendatangi dokter kandungan.
Satu jam berlalu, kopi sudah tanda beserta beberapa camilan yang Jeslin bawa. Akhirnya dia pamit karena harus kembali ke kantornya lagi.
"Kakak mau aku antar?" tanya Daniel saat Jeslin sedang merapikan penampilannya, karena remahan kue-kue yang jatuh di blazer abu-abu kesukaan kakaknya membuat Jeslin makin terlihat seperti anak kecil, yang makan berantakan.
"Nggak usah, aku naik taksi aja." Jeslin tidak menatap sang adik, dan hanya fokus pada pakaiannya.
"Eum, maaf, bareng aku aja. Kebetulan aku juga mau balik," kata Ben tiba-tiba.
Jeslin menatap sahabat adiknya tersebut tajam. "Nggak usah. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih," katanya agak sinis.
Daniel berdeham sambil melirik Ben, ingin melihat bagaimana reaksi Ben mendapat penolakan dari Jeslin. Tapi Ben tampak bisa menguasai situasi. Ben hanya tersenyum tipis dan terus melihat Jeslin yang sama sekali tidak memedulikan keberadaannya. Jeslin akhirnya pergi meninggalkan ruangan Daniel. Ben masih menatapnya, bahkan saat pintu sudah ditutup, membuat Daniel menarik ujung bibirnya. Daniel mendekat dan berbisik. "Kenapa? Kakak ku cantik, kan?" tanya Daniel dan berhasil membuat Ben menatapnya dan segera melayangkan pukulan ke perut datar Daniel.
Keduanya lantas kembali duduk santai dan membahas rencana bisnis yang tadi dibahas sebelum Jeslin datang. Namun dipertengahan obrolan tersebut, Ben memberanikan diri bertanya tentang Jeslin lebih jauh. Ia berusaha menjadikannya sebuah obrolan basa basi, agar tidak terlalu ketara apa maksud dan tujuan Ben sendiri.
"Kakakmu ... Udah nikah, ya?" tanya Ben sambil meneguk kopi yang sudah mulai dingin.
Daniel mengerutkan kening lalu melirik sahabatnya. "Kenapa?"
"Cuma tanya. Kelihatannya dia udah dewasa dan udah pantas punya suami dan anak," tutur Ben agak kelabakan saat ditanya seperti itu.
"Maksud mu, kakakku terlihat tua?"
"Nggak gitu, Nil." Ben tampak menunjukkan wajah masam karena kalimat Daniel tadi.
"Hahaha. Iya, aku cuma bercanda. Enggak kok, kakakku belum menikah. Masih lajang. Kenapa? Kamu naksir?" sindir Daniel sambil menggoda Ben.
"Memangnya boleh?"
"Loh, kenapa nggak boleh. Silakan saja, kalau kamu memang punya niat lebih. Yah, asal kuat saja menghadapi sikap kakakku."
"Maksud kamu? Sikap yang bagaimana?" tanya Ben yang makin penasaran.
"Kakakku itu nggak gampang dekat sama laki-laki. Malah terkesan suka menutup diri. Dan kamu lihat sendiri, kan, tadi? Gimana?"
"Oh begitu."
"Iya. Kenalan ku yang berniat mendekati Kak Jeslin itu bukan cuma kamu. Banyak. Cuma mereka selalu berhenti ditengah jalan, dan mundur pelan-pelan. Nggak ada yang tahan."
Ben menarik nafas dalam. Ada setitik harapan baginya untuk bisa mendekati kakak sahabatnya itu. Namun ada satu pertanyaan yang justru mengganjal di hatinya sekarang.
Kalau memang Jeslin masih lajang, untuk apa dia datang ke dokter kandungan kemarin?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!