NovelToon NovelToon

Misteri Hotel 27

Terror Hari Pertama

Aku menatap maps di mobil dengan teliti, aku tidak ingin terlewat barang seinci pun dari arahan jalan. Aku tidak pergi sendiri tapi di temani oleh suamiku Bagas. Dulu Bagas juga tinggal di daerah ini tapi sudah sangat lama dia merantau ke kota semenjak ayah dan ibunya meninggal dunia. Setidaknya mas Bagas masih bisa di katakana sebagai warga sini, sedangkan aku lahir dan besar dikota sampai umur 24 tahun baru ke Desa ini. Mas Bagas sudah menceritakan tentang kampungnya tapi aku tidak menduga akan satu kampung dengannya.

Ayah tidak pernah menceritakan tentang kampungya jadi aku tidak pernah tahu tentang hal ini. Sedangkan ibu sudah meninggal semenjak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama di kelas 1. Aku ingat betul bagaimana ibu meninggal dengan cara tidak wajar, ibu dalam keadaan sehat namun malam harinya ibu malah menunjukkan perilaku aneh dengan mencekik lehernya sendiri sampai meninggalkan lebam. Padahal ibu terkenal sebagai seseorang yang baik di kalangan banyak orang, namun di akhir hayatnya beliau menghadap tuhan dengan cara yang aneh dan mendadak.

Semenjak kematian ibu, hubunganku dengan ayah juga merenggang karena aku menganggap kematian ibu disebabkan oleh ayah yang terlalu sibuk dan menyebabkan ibu sakit tanpa di ketahui oleh siapapun. Kami hidup dengan pas-pasan tapi ayah selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku bahkan sampai aku sudah menikah dengan Mas Bagas setelah pacarana selama 2 tahun. Ayah meninggal dunia karena serangan jantung dirumah adikku. Jadi aku mempunyai kakak tiri Bernama Ratih, dialah yang selalu menjaga dan merawat ayah. Namun ayah meninggal tanpa sepersen pun harta warisan termasuk untukku dan juga Mbak Ratih.

Aku kembali fokus menatap sekeliling, ternyata kampung Jati Ireng tidaklah terpencil, dapat di lihat dengan sarana dan prasarana yang sangat memadai dan juga bangunan-bangunan megah di sepanjang jalan. Pemandangan ini membuatku sangat terpukau, begitu juga dengan Mas Bagas yang sangat antusias saat memasuki area Desa.

“Mas masih ada keluarga gak disini?” Tanyaku melirik suamiku.

“Aku juga gak tahu pasti dek, karena sudah sangat lama. Tapi aku yakin pasti masih ada keluarga dari ayah dan ibu. Hanya saja kampung ini sudah sangat jauh perubahannya.” Ucap Mas Bagas memperhatikan sekeliling dengan khitmat.

Tak lama kami mengikuti Maps akhirnya kami sampai di depan bangunan yang bertingkat dengan nuansa yang sangat kuat. Namun terlihat sangat sepi dan kami pun turun untuk masuk. Saat pertama kali masuk aku merasakan angin dingin menyapu wajahku pelan, Mas Bagas masih di luar memarkirkan mobil.

Meskipun agak gelap namun aku bisa melihat hotel yang mewah dan juga bersih, segera aku ke resepsionis untuk menanyakan tentang pemilik hotel ini. Seorang Wanita di balik meja resepsionis adalah Wanita paruh baya yang tersenyum dengan tenang. Aku melirik sekilas name tagnya tertuliskan dengan font tebal yaitu Hartati. Tak lama juga datang seorang pria yang terlihat lebih tua dari ibu ini. Aku menatap keduanya bergantian yang sedang mengepalkan tangan sebagai sambutan ramahnya.

“Maaf mbak, manager hotel ini dimana ya?” Tanyaku dengan membalas senyuman mereka lebih dulu.

“Saya yang bertanggungjawab dengan hotel ini mbak.” Jawab bapak itu dengan sopan.

Aku kemudian menjelaskan tentang maksud kedatanganku yang membuat mereka berdua saling menatap satu sama lain.

“Kamu anaknya Pak Juna yaa?”

“Iya pak.” Jawabku ramah.

Mereka kemudian mempersilahkan aku untuk masuk keruangan bapak penanggung jawab hotel ini lebih dulu, ditemani oleh Mas Bagas yang baru saja datang. Sepanjang jalan ke ruangan manager, Mas Bagas mengatakan kecurigaannya mengapa di hotel sangat besar dan mewah pekerjanya adalah dua orang yang sudah tidak muda lagi. Meskipun heran tapi kami tetap berusaha tenang.

Sepanjang koridor tidak ada yang aneh, aku bisa melihat anak-anak yang berlarian dan juga gadis muda yang sedang sibuk memainkan ponsel, juga beberapa pria yang merokok dengan santai. Kami kemudian diarahkan naik lift yang tembus pandang jadi bisa melihat keluar. Saat memasukinya aku merasa heran karena orang-orang yang aku lihat tadi sudah tidak ada.

Mas Bagas dan Penanggungjawab hotel saling bercerita satu sama lain, hingga kami ketahui Namanya adalah pak Bisma. Ditengah-tengah obrolan kami, aku langsung bertanya karena heran.

“Kemana perginya mereka semua?” Tanyaku heran.

“Maksudnya dek?” Tanya Mas Bagas menaikkan alisnya.

“Tadi disana banyak orang kan.” Ucapku menunjuk kearah koridor ruang santai hotel yang di penuhi banyak orang.”

“Disini jarang sekali ada tamu mbak, paling hanya wisatawan yang datang selebihnya sudah tidak ada.” Ujar Pak Bisma dengan lesu.

“Tapi aku liat tadi disana banyak orang” Ucapku kekeh.

“Mbaknya mungkin kecapean.” Sanggah pak Bisma dengan wajah yang tidak nyaman dan membuatku curiga.

“Iya sayang mungkin efek kamu capek dan kurang tidur juga kan.”

“Emmmm…” Mungkin saja yaa, apalagi butuh waktu 13 jam untuk sampai disini. Aku hanya berhalusinasi saja, ujarku membatin.

Tak lama kamipun sampai di lantai 2, ruang Manager hotel. Aku memasuki ruangan itu, dan Pak Bisma mulai menceritakan tentang hotel milik ayahku ini. Tak lupa sebelumnya aku sudah memperlihatkan sertifikat kepemilikan hotel ini.

Pak Bisma menjelaskan, bahwa hotel ini memang sangat sepi tapi hanya berlaku pada siang hari, pada malam hari akan sangat ramai.

“Mengapa begitu pak?” Ujar Mas Bagas penasaran.

“Mas dan Mbak nanti juga akan tau.” Ucap Pak Bisma dengan penuh teka-teki.

“Lalu mengapa hanya bapak dan ibu Tati saja disini?” Tanyaku juga.

“Pegawai lain akan datang disaat malam hari Mbak.”

“Ohh seperti itu.”

“Lalu berapa omset penghasilan hotel ini pak?”

“Bisa mencapai 5 Miliar dalam satu tahun Mbak.”

“Tapi itu masih di luar sewa dan sarana disini.”

Mulutku hamper membulat sempurna, bagaimana bisa Ayah menyembunyikan sumber uang yang sangat banyak ini dan memilih hidup sederhana dan membuat aku anaknya menderita dengan kemiskinan.

Selesai ngobrol dengan Pak Bisma, aku dan Mas Bagas diantarkan ke lantai 4 untuk memasuki kamar untuk istirahat. Jadi hotel 27 ini terdiri dengan 5 lantai, masing-masing lantai memiliki ciri khas penghuninya. Di lantai 4 yaitu khusus tamu yang akan sewaktu-waktu checkout, sedangkan di lantai yang lain bisa checkout sampai hitungan minggu dan bulan. Begitu penjelasan pak Bisma tadi yang membuatku dan Mas Bagas merasa bingung karena konsep hotel ini sudah seperti apartement saja.

Pak Bisma memberikan kami kunci dan berlalu pergi, saat memasuki kamar mataku menari melihat seisi ruangan yang sangat bersih dan full fasilitas.

“Kamarnya bagus banget ya dek, tapi kenapa malah sepi gini.” Ucap Mas Bagas setelah merebahkan tubuhnya diatas Kasur.

Aku memilih untuk mandi dan menata barang bawaan kami, karena aku dan Mas Bagas akan tinggal disini mulai sekarang apalagi mengetahui keuntungan hotel ini yang sangat banyak.

Selesai mandi, aku mendapati Mas Bagas sudah tertidur dengan sangat pulas. Lalu terdengar ketukan pintu yang sangat keras dari luar. Apa mungkin Pak Bisma yang mengetuk tapi berkesan tidak sopan jika mengetuk dengan suara besar. Aku mendekati pintu kamar dan melihat melalui celah pintu. Namun tidak ada apa-apa. Aku mencoba membuka pintu dan melihat sekitar tapi tidak ada siapapun. Aku kemudian masuk kamar dan saat mengunci kamar, kembali suara ketukan itu terdengar. Aku kemudian membuka celah pintu lagi namun kali ini nampak sepasang mata yang membuatku langsung kaget, berteriak dan melangkah mundur. Sepasang mat aitu Nampak berdarah dan mengerikan.

Mas Bagas ternyata terbangun karena suara teriakanku langsung melompat dari tempat tidur dan memapahku untuk duduk.

“Ada apa dek?”

“A…..A….ADA”

“Ada apa dek?”

“Ada orang di depan pintu Mas.”

Mas Bagas langsung berdiri dan membuka pintu, namun lama dia di luar tidak ada siapapun. Mas Bagas kemudian masuk untuk mengunci pintu, namun pintu kamar tidak juga bisa tertutup seperti ada yang mengganjal.

“Kenapa Mas?”

“Gak tau dek, tapi gak bisa ketutup pintunya.”

“Mas dorong kuat-kuat.” Ucapku memberi saran.

Mas Bagas mengikuti instruksi dariku dan akhirnya berhasil.

“Aneh.” Gerutu Mas Bagas.

Belum cukup 24 jam disini, tapi aku sudah merasakan firasat buruk tentang hotel ini, aku mulai meragukan pilihanku untuk tinggal di hotel ini. Aku merasa hotel ini juga sangat aneh, tapi bisa juga yang terlalu overthingking ditambah Mas Bagas terus mengatakan aku hanya berhalusinasi.

saat makan malam, aku dan Mas Bagas turun ke bawah, nampak aku sangat terkejut karena suasana hotel yang sangat berbeda dari siang tadi yang tidak kalah aneh aku tidak bisa menemukan keberadaan Pak Bisma dan Mbak Hartati dimanapun.

Pelayannya yang cantik mempersilahkan kami untuk masuk namun aku merasa insecure karena hanya aku yang memakai pakaian seadanya sedangkan yang lain terlihat rapi. Tanpa sengaja aku melihat anak-anak yang berlarian siang tadi. Jadi memanggil mereka dan memberikan kue, mereka tersenyum bahagia. Namun aku belum pergi salah satu anak dengan rambut kepang membisikkan sesuatu yang membuat seluruh tubuhku menjadi lemas.

Lantai 5

Suara lembut memanggil telingaku dengan sangat sopan, namun isinya membuatku syok.

"Kak, kami sudah mati." Ucap Gadis berkepang dua sebelum akhirnya berlari menjauh.

Mbak Tati, yang melihat perubahan wajahku, langsung bertanya, "Ada apa dek?"

"Emm, tidak ada apa-apa, Mas. Aku mau ke toilet dulu yaa." ucapku mencoba menenangkan diri.

Akupun berjalan perlahan tetapi berpapasan dengan seseorang yang sepertinya ingin ke toilet juga.

"Mbak baru ya disini," ucapnya berbasa-basi. Aku pun terkekeh dan menjawab iya. Dia melirik ke arah belakang dan menunjuk Gadis berkepang dua tadi. "Dia anakku, Mbak. Dia sangat nakal. Kalau dia mengomongkan hal-hal aneh, jangan didengarkan. Anak saya memang seperti itu." Dia menjelaskan sambil menatap ke arah Gadis tadi yang berada di sekitarku tadi.

"Anak ibu baik kok, dia juga sangat ceria,"ujarku sembari menepuk bahunya. Kami berdua berjalan beriringan menuju toilet. Tak lama kemudian, dia mengatakan akan pergi lebih dulu, karena takut anaknya berbuat ulah jadi tinggalah aku seorang diri di dalam toilet.

...

"Kamu yakin anak itu bisa bertahan malam ini?" Hartati menatap lurus ke depan. Sedangkan Bisma hanya terdiam dengan hati yang sangat kecut.

Mereka adalah sepasang suami istri yang sejak awal mereka menjaga Hotel 27.

"Aku yakin, karena dia tidak sendirian, adanya juga suaminya," jawab Bisma.

"Tapi suaminya terlihat sangat lemah, Mas," ucap Tati memprotes.

"Aku ragu," ucapnya.

"Lah, mau gimana lagi dek? Kita juga tidak bisa berbuat banyak. Toh, mereka juga datang tiba-tiba padahal Pak Juna sudah menyembunyikan hotel ini agar tidak diketahui oleh keluarganya."

Sepasang suami istri ini saling berdiam, mereka memikirkan hal-hal lama dan peristiwa-peristiwa masa lalu yang telah mereka alami selama bekerja di Hotel 27.

"Semua ini tidak akan terjadi, Mas. Andaikan Mas Juna tidak melarikan diri dari Sy...."

"Huts, jangan lanjutkan dek," sanggah Pak Bisma kepada istrinya. Tati langsung terdiam.

"Tidurlah dek, kita harap saja mereka berdua baik-baik saja."

...

Tiba-tiba lampu di toilet mati, nyala mati terus. Buru-buru aku membuka pintu dan hendak keluar karena merasa tidak nyaman. Saat akan melangkah keluar, aku merasa ada seseorang berada di belakangku, hawa dingin sangat mengganggu. Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung keluar dari toilet dengan terburu-buru.

"Syukurlah, kali ini aku tidak berpapasan dengan apapun yang menakutkan. Meskipun Mas Bagas mengatakan semua hal yang aku alami adalah halusinasi, namun aku merasa semua ini sangat nyata," ucapku terus mengomel sebelum langkahku terhenti.

"Mas Bagas... ," aku berteriak kesal melihat Mas Bagas sedang berdansa dengan perempuan lain. Rasanya hatiku panas sekali. Aku langsung menghampiri mereka dan menarik Mas Bagas untuk kembali ke kamar. Meskipun Mas Bagas sempat menolak, aku terus menarik lengannya dengan sangat kuat.

"Ngak jadi makan bu?" tanya pelayan yang tadi menyambut kami.

"Tidak," jawabku cuek.

Sepanjang jalan di lift, aku terus menerus mengomeli Mas Bagas hingga di kamar. Seseorang merasakan cemburu jika baru saja ditinggal sebentar suaminya sudah memeluk wanita lain dengan tertawa.

"Benar-benar memuakkan," ucapku menghela nafas kasar.

"Maaf sayang."

"Kamu cantik kalau marah kayak gitu."

"Sini sayang, yaampun istriku lagi cemburu," Mas Bagas merayuku.

"Mas jangan kayak gitu lagi, aku cemburu," ujarku mendekap tubuh suamiku. Aku bisa merasakan aroma melati yang sangat kuat dari tubuhnya yang membuatku merasa pusing dan tidak nyaman.

"Tubuh Mas kok ada aroma melati sih?"

"Jangan-jangan gadis tadi kuntilanak lagi?"

"Astagfirullah sayang, ngucap ihhh."

"Mana ada krek cantik tadi kuntilanak," refleks Mas Bagas menutup mulutnya dan melirik ke arahku.

"Mas... ," aku langsung murka dan mencubit lengannya yang membuatnya meringis kesakitan. Tanpa memperdulikan Mas Bagas, akupun memilih segera tidur dan tidak memperdulikan rayuan dan omong kosongnya lagi.

...

Matahari masih malu-malu di ufuk timur, Hartati dan suaminya sudah membuka pusat hotel. Seketika, aroma busuk menyengat hidung keduanya. Namun, mereka terlihat sudah terbiasa, ditambah mereka sudah memakai masker. Keduanya pun membersihkan setiap sudut dengan telaten. Tepat jam 7 pagi, semuanya sudah bersih dan wangi.

"Mas, berapa pendapatan malam ini ya?"

"Ayok kita cek dulu, dek."

Mereka membuka brankas yang ditutupi kain hitam di bawah meja.

"Ada 50 juta, Mas."

"Jadi itu sebabnya menjadi lebih kotor," ucap Tati.

Mereka buru-buru membereskan uang tersebut, dan Pak Bisma menuju bank untuk melakukan penyetoran tunai.

Di tengah kesendirian, dia melihat anak kecil berkepang dua berjalan melambaikan tangan kepadanya, Hartati pun membalas lambaian tangannya dengan tersenyum.

Aku, yang baru saja keluar dari lift secara tidak sengaja, melihat interaksi antara mereka berdua.

Akhirnya, aku bisa tenang karena Gadis berkepang dua bukanlah hantu karena ibu Hartati juga bisa melihatnya.

"Selamat pagi bu," sapaku dengan sopan.

"Selamat pagi juga mbak," ternyata kehadiranku sudah divalidasi sehingga ia memanggilku "ibu." Aku langsung membayangkan aku menjadi kaya raya.

"Oh, Pak Bisma ke mana mbak?"

"Lagi pergi ke bank, bu."

"Sepagi ini?"

"Iya, karena bank di sini cukup jauh."

Meskipun aku bertanya-tanya tentang uang hotel, aku masih belum tertarik menanyakannya.

"Umm, begitu," ucapku merespon.

"Apakah di sini ada kendaraan, Mbak Tati?"

"Ibu mau kemana?"

"Ke supermarket, Mbak."

"Kalau tidak salah aku pernah melihat, tidak jauh dari sini. Aku malas bawa mobil, Mbak." ucapku cengengesan padahal aku tidak pandai mengemudi, hanya ingin memamerkan diri ke Hartati.

"Ada motor saya di halaman parkir, ibu bisa pakai ini."

Mbak Hartati kemudian memberikan kunci motornya.

"Bu, apakah Pak Bisma sudah memberitahu Anda tentang ini?" tanya saya.

"Memberitahu tentang apa, Mbak?" Balas Bu.

"Tentang larangan, Bu. Jangan lupa untuk memberitahukan suaminya bahwa jangan sekali-kali pergi ke lantai 5, Bu." Jawab saya sambil menunjukkan gerakan mengalihkan pandangan.

"Apa yang terjadi di lantai 5, Mbak?" Tanya Bu khawatir.

"Banyak lantai-lantai yang belum diperbaiki, Bu." Ujarku sambil memberikan gerakan yang mencurigakan. Saya hanya bisa menyetujui tanpa menanyakannya banyak, meskipun saya juga cenderung berpikir terlalu banyak.

Saya segera pergi untuk berbelanja, karena sejak kemarin saya sangat ingin minum minuman bersoda. Sepanjang jalan, saya menikmati udara yang segar dan kabut yang masih menutupi sebagian jalan di kejauhan. Saya berusaha melupakan semua kekacauan dan beban pikiran saya yang banyak.

Pada suatu pagi, bel berbunyi mengganggu Bagas yang masih sangat mengantuk. Meskipun begitu, bel terus berbunyi tanpa henti membuat dia sangat kesal.

"Sayang, bukalah pintunya dulu." Panggilnya.

"Sayang..." Panggilnya berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, dia membuka pintu dan langsung sorot matanya melotot dan menyala sempurna seolah-olah menemukan semangat pagi.

"Maaf, Mas mengganggu pagi-pagi." Kata seorang perempuan dengan rambut pirang dan baju tidur tipis di hadapan Bagas.

"Ada apa, Nak?" Tanya Bagas dengan lembut.

"Kran air di kamar aku rusak, Mas. Aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa," ujar perempuan itu dengan nada manja.

Bagas setuju untuk membantunya dan pergi bersamanya. Dari percakapan mereka di lift, Bagas mengetahui namanya adalah Jasmine.

Setelah itu, Bagas membantu memperbaiki kran air Jasmine yang terlepas, dan dia juga membantu membersihkan kamarnya. Bagas berada di kamar Jasmine cukup lama, namun ketika Jasmine berusaha menggoda Bagas, dia segera menyadarinya dan memilih pergi.

Bagas keluar dari kamar Jasmine dengan perasaan bingung antara menyia-nyiakan kesempatan atau menyesal. Bagas melihat raut kecewa di wajah cantiknya. Saat dia akan menekan tombol lift, lampu lift padam, jadi Bagas memilih untuk naik tangga. Namun, tertera papan penutup di tangga dengan tulisan "PERINGATAN!!! Dilarang ke lantai 5." Tulisan itu ditulis dengan cat merah dan penuh penekanan.

Bagas heran karena Jasmine tinggal di lantai 5. Setibanya di lorong lantai 4, dia melihat sekeliling dan memastikan bahwa tidak ada orang agar tidak ada yang marah padanya. Untungnya aman, jadi Bagas kembali ke kamarnya dengan buru-buru.

Saat Bagas membuka pintu kamarnya, saya sudah menatap tajam dengan tatapan yang menusuk hatinya.

"Dari mana, Mas?" Tanyaku dengan mengatupkan pinggang dan melotot ke arahnya.

"Mas sedang mencari udara segar," jawab Mas Bagas dengan datar.

"Ya sudahlah, Mas Bagas juga tidak mungkin aneh-aneh di sini," gumamku dalam hati.

"Mas, kesini dong. Aku tadi belanja," ujarku sambil mengeluarkan barang belanjaanku. Mas Bagas terlihat antusias melihat banyak makanan ringan.

"Ohiya Mas, Mbak Tati tadi bilang jangan pernah naik ke lantai 5."

"Kenapa, Mbak?" Tanya Mas Bagas dengan antusiasme.

"Katanya, banyak kuntilanaknya," ujarku sambil bercanda.

"Kalau kuntilanaknya cantik, Mas mau aja," ujar Mas Bagas sambil menggoda. Namun, aku langsung mencubit lengan Mas Bagas kuat-kuat karena kesal.

"Bercanda sayang, memang tidak ada di lantai 5," kataku dalam hati.

Padahal Bagas tadi sudah ke lantai 5, namun semuanya terlihat baik-baik saja, hanya tangga dan lift nya yang bermasalah. Bagas tidak mungkin berani menceritakan sosok Jasmine gadis cantik di lantai 5. Sosok Jasmine membuat Bagas semakin penasaran sekarang.

Merasa Aneh

Aroma melati kembali menyapu hidungku. Aku tidak ingin terlalu banyak berpikir, jadi aku memilih mengabaikan semuanya. Hari ini, aku dan Mas Bagas sepakat untuk melakukan rapat meskipun hanya berempat dengan Pak Bisma dan Mbak Tati. Aku juga sudah menyampaikan rencanaku hari ini kepada Mbak Tati.

Setelah sarapan dan bersiap-siap, kami berkumpul di ruangan Pak Bisma. Aku membuka rapat sebaik mungkin. Pertama-tama, aku menanyakan tentang aliran keuntungan Hotel kemana karena selama ini aku tak pernah merasakan harta kekayaan ayah.

"Sebenarnya semua keuntungan bersih hotel, Pak Juna amanahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit, rumah ibadah, dan panti asuhan," ucap Pak Bisma menjelaskan.

"Mengapa ayah tidak mengambil untuk dirinya sendiri?" tanyaku.

"Saya juga kurang tahu, Bu. Karena dari awal beliau pindah ke kota, itu amanahnya tiap bulan," jawab Pak Bisma.

Aku mengernyitkan alis malas dan merasa tertekan dengan ulah ayah. Bahkan saat kami hanya punya nasi dan garam saja setiap hari untuk dimakan, ayah tidak pernah mengambil sepeserpun. Meskipun ayah akan di kenal sebagai orang dermawan, namun dia sangat dzolim terhadap keluarganya.

"Benar-benar membuatku kesal," gerutuku.

"Mulai sekarang, semua keuntungan hotel berikan kepada kami," ucap Mas Bagas mengambil alih. Aku hanya menatap Bagas pelan.

"Tapi, Mas. Ini amanat yang kami jalankan dari Pak Juna sudah bertahun-tahun," kataku.

"Ayahku sudah meninggal, Mbak. Dia sudah bersatu dengan tanah," ucapku semakin kesal.

Mbak Tati dan Pak Bisma hanya bisa diam dan mengangguk pelan. Aku merasa bersalah telah bertindak tidak sopan kepada mereka berdua. Namun, apa boleh buat. Alasan saya kemari adalah untuk mengubah hidup saya. Saya ingin menjadi bos dan kaya raya.

"Aku juga akan menambah pekerja agar Mbak Tati dan Pak Bisma bisa bersantai."

"Tetapi, Bu, hotel ini tidak boleh memasukkan pegawai," ucap Mbak Tati. Namun, Pak Bisma segera minta maaf untuk kelancangan Mbak Tati. Aku hanya menaikkan alis sebagai respon.

Kami pun meninggalkan ruangan dan berjalan ke lobby. Saya sudah menuliskan lowongan pekerjaan di depan pintu hotel. Tetapi orang-orang hanya melewati hotel dengan acuh tak acuh, padahal, saya telah menuliskan jumlah gaji yang menjanjikan.

Saya sengaja duduk di depan dan menunggu yang ingin datang interview kerja, tetapi sampai sore hari tidak juga siapa-siapa datang.

Saat akan masuk ke rumah, tiba-tiba seorang pria menghampiriku.

"Itu masih buka tidak lowongan kerjanya?" tanya pria tersebut.

"Masih kok, Mas."

"Silakan masuk dulu untuk membicarakan kontak kerja."

Langkahku dan pria itu malah dihentikan oleh teriakan seseorang dari belakang.

"Kamu kenapa malah kesini untuk cari kerja tuh, Nak?" Aku bisa melihat bahwa itu adalah ibunya.

"Aldo ingin membantu ibu untuk menghasilkan uang, Bu," jawabnya berusaha meyakinkan.

"Ibu tidak peduli, Nak. Kita hidup pas-pasan, tapi ibu tidak mau kehilangan kamu," ucap ibunya sambil menangis histeris.

"Ayok Nak, kita pulang. Hotel itu terkutuk."

"Mohon maaf, Bu, apa hubungannya dengan hotel saya?" ucapku mulai kesal.

"Mbak harus segera pergi dari hotel itu, sebelum bernasib sama dengan yang lain," ucapnya sembari menarik anaknya pergi. Sedangkan, anaknya hanya bisa menatap ke arahku dengan sedih.

Aku masuk ke hotel dengan kesal dan mengamuk. Mbak Tati yang melihatku langsung berjalan menghampiri.

"Ada apa, Bu? Kenapa kelihatannya kesal begitu?" tanya Mbak Tati.

"Gimana gak kesal, ada ibu-ibu bilang hotelku terkutuk," kataku.

"Padahal aku sudah sangat baik, mau memberikan pekerjaan kepada anaknya," kataku lagi.

"Istighfar, Mbak. Berhentilah mengoceh," kata Mbak Tati sambil menggenggam tanganku. Saya merasakan rasa khawatir dari ucapannya yang terdengar gemetar.

"Ibu sebaiknya naik ke atas karena sudah malam. Sebelum ke kamar, sebaiknya ambil makanan supaya tidak keluar kemana-mana kalau sudah malam ya," kata Mbak Tati. Aku bisa merasakan khawatir dari suaranya.

"Baik, Mbak."

Aku yang sedang kesal tidak berniat untuk banyak bertanya lagi. Saya tidak ingin menambah beban pikiran hari ini. Tepat pukul 6 malam, Mbak Tati dan Pak Bisma meninggalkan hotel. Sementara itu, aku juga sudah mengambil makanan.

"Loh, kok membawa banyak makanan begitu, Sayang?" tanya Mas Bagas melihatku yang agak kesulitan membawa banyak makanan.

"Tolong bantu dulu, Mas," jawabku.

Mas Bagas pun sigap membantuku. Saya lalu menjelaskan tentang perkataan Mbak Tati tadi sebelum pulang.

"Ah, padahal kita bisa makan di bawah, Sayang. Apalagi tadi malam, aku belum makan apapun. Malah kamu suruh balik ke kamar," cerocos Mas Bagas.

"Gimana gak, Mas. Kamu membuat darahku tinggi, malah pejantan dengan perempuan lain," kataku dengan nada kesal.

Mas Bagas hanya bisa tersenyum melihatku kesal.

Kami pun duduk di balkon, menikmati udara malam yang sejuk. Aku lalu menceritakan tentang ibu-ibu yang mengatakan bahwa hotel ini terkutuk.

"Itu hanya alasan si ibu, Sayang. Supaya anaknya tidak kerja di sini," kata Mas Bagas.

"Tapi anak itu kelihatan sangat butuh uang," balasku.

"Kita tidak tahu, Sayang," ucap Mas Bagas.

"Aku menjadi lebih tenang di samping Mas Bagas. Tepat pukul 8 malam, kami bisa melihat begitu banyak orang yang datang masuk ke dalam hotel. Pakaian mereka sangat rapi dan mewah.

"Orang-orang kaya itu, dari mana ya asalnya, Mas?" tanyaku.

"Kenapa, kalau siang hari, mereka tidak ada muncul sama sekali?" saya penasaran.

"Orang kaya kan memang seperti itu, Sayang. Siang kerja, dan malam menghabiskan uang," ucap Mas Bagas.

"Umm, iya Mas. Ternyata, alasan uang, hotel sangat banyak, Mas," ucapku.

Dibalik itu semua, saya masih merasa aneh tentang asal-usul para tamu yang menurutku mencurigakan.

"Tapi, Sayang, sebenarnya Mas bingung tentang satu hal?" ucap Mas Bagas.

"Bingung kenapa, Mas?" tanyaku.

"Kenapa ayahmu menyembunyikan kekayaan yang berlimpah ini?" ucap Mas Bagas.

"Hmm, aku juga bingung, Mas," balasku.

Udara dingin mulai merayap dibalik celah-celah malam. Jadi, Mas Bagas segera memintaku untuk masuk ke dalam kamar, dan dia akan menghabiskan rokoknya lebih dulu.

Di dalam kamar, entah mengapa aku masih ingat betul ibu dari siang tadi yang sangat cemas dengan anaknya. Dia mengatakannya dengan tulus. Aku akhirnya semakin bingung dengan semua ini. Mulai hari ini, aku akan mencari tahu tentang hotel milik ayahnya. Jika tidak menjanjikan atau tidak menyebabkan bahaya untuk orang lain, aku akan segera menjualnya.

Tetapi kalau difikir-fikir, uang dari hotel ini dalam satu minggu saja bisa membuatku berhasil membeli banyak barang, termasuk mobil dan juga rumah. Aku tidak akan direndahkan lagi oleh para tetangga di kota dan aku bisa bergabung dengan kelompok sosialita kota.

Lama rasanya aku bermimpi, tetapi Mas Bagas tak kunjung masuk ke kamar. Aku pun langsung menyusul keluar.

"Mas............ "

"Mas..... Apa yang kamu lakukan?"

Mas Bagas berhasil membuatku sangat syok.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!