"Ada penyumbatan sel darah beku yang menempel pada dinding istri anda Pak! jadi setelah 30 hari, saya mohon istri anda kembali dilakukan pengecekan, dan kami akan menangani semacam operasi jika itu adalah kangker atau tumor ganas."
Deg.
"Apa .. Arka, jadi istri kedua kamu ini penyakitan?" teriak sang ibu, dibalik pintu Mira nampak syok akan mertuanya yang ikut campur.
"Terimakasih dokter, saya akan ke ruangan dokter setelah ini." senyum Arka berusaha menjaga emosi.
"Kartu kredit perusahaan papa, ibu sita!asalkan kamu ceraikan istri kamu, benar benar ga sehat. Kamu pikir ibu mau punya menantu penyakitan, cek cucu ibu Arka! Jangan sampe ketularan penyakit ganas!"
"Bu .. ssssst!! jangan bicara gitu bu, ini pasti salah dan dugaan ga benar."
"Alaah .. bodo!" pergi sang ibu tak jadi menjenguk menantu yang baru saja melahirkan.
Dan ucapan mertua dan suami dibalik pintu, membuat Mira sakit hati menahan amarah, apalagi kram di perutnya semakin menjadi.
***
Di Rumah :
Mira di kamarnya nampak cemberut menyusui bayinya, dengan sebuah botol kecil berisi air teh membuat Mira, masuki ke mulut kecilnya kasar.
Tidak pernah membayangkan, menjadi madu adalah impian kecil tidak semua bahagia, di atas penderitaan orang yang kebahagiaannya kita rampas.
Jika ia mengulang kembali, rasanya sudah terlambat jika Mira meminta maaf pun, rasanya mustahil sang istri pertama, sudah hilang tanpa jejak. Apakah ia marah atas kejadian sembilan bulan yang lalu.
Huhuhu ..
Tangisan Mira pecah, membasahi tangisan di pipi bayi mungilnya, yang berada dalam pelukannya dengan tatapan kosong, saat ini. Bahkan beberapa jam lalu, Mira masih ingat pernyataan dokter dengan sang suami tanpa sengaja ia dengar, dibalik pintu saat ia mencoba berjalan mencari angin dengan bantuan besi penahan selang infus.
"Bisa gak sih, jangan nangis terus. Hah?" teriak Mira, meletakkan kasar bayi itu begitu saja.
Tangisan bayi itu semakin keras, sementara Mira ia nampak jalan ke ujung sudut, bulak balik dengan tertawa dan sedih wajahnya berubah dalam itungan detik. Tidak memperdulikan sang bayi yang nampak rewel kehausan.
Treeeth.
Suara motor bebek tahun lama, membuat Mira nampak melihat jendela. Ia senyum dan kembali menggendong bayi mungil itu, kembali pada tatapan wajah manis dan penyayang, ketika seseorang datang dengan ucapan yang membuat Mira nampak berlarian menggendong bayi, semoga dengan ini suaminya tidak pernah mencari istri baru lagi karena kondisinya.
Cekleg.
"Assalamualaikum dik."
"Walaikumsalam bang! bang ini Ciya kamu pegang, aku mau tidur dulu!"
Arka nampak syok, setiap hari perlakuan Mira berubah kucel, berubah tidak penyayang dan jauh dari kata istri yang normal, berbeda seperti istri pertamanya yang pernah keguguran tapi masih bisa merawat diri.
"Dik, Ciya udah dikasih susu belum?"
"Udah minum tadi, iya udah bang." jawab sekenanya, sementara Mira nampak membuka kantong plastik berwarna kuning.
"Abang bawa cuma satu bungkus aja?"
"Iya dik! hari ini maafin abang, karena upah kerja tadi, hanya cukup untuk membeli seporsi makanan. Mungkin karena hujan, semoga besok panas dan abang bisa belikan makanan sehat dan buah lainnya ya dik. Andai atm abang tidak diblokir, maaf ya dik."
Prang.
Mira, meletakkan piring kasar hingga mengagetkan.
"Kenapa ibu abang memblokirnya, apa karena Mira sakit bang? apa pantas, pengeluaran pasca melahirkan itu butuh banyak uang dan pengeluaran, bukankah toko butik abang dan istri abang udah dijual, bukannya realistis jika dibagi 2. Bang, kita perlu untuk anak kita dan kebutuhan sampai Mira benar benar sehat, makanan sehat dan tempat tinggal sehat." ujarnya membuat Arka syok.
"Dik, kamu istighfar. Kamu ini bicara apa sih, abang ngerti kamu sakit pasca melahirkan jangan berpikir aneh aneh ya! abang janji akan bahagiakan kamu."
Mira nampak kesal, sebab suaminya masih berlaga bodoh, jelas jelas ia mendengar dirinya ada satu masalah, yang mungkin ini cara mertuanya untuk mencari istri pengganti baru, saat benar benar dirinya dinyatakan kangker rahim.
TBC.
Hello All, jangan bosan dengan karya baru Author! Tap Love beri dukungannya sebagai tanda semangat Up.
"Aku tuh masih menyusui bang! abang ini kenapa enggak terima kerjaan jadi pegawai lain aja sih bang, atau yang pernah hubungi abang itu loh! gak apa kalau jadi karyawan, emang masalah?"
"Astagfirullah dik, teman abang itu enggak nerima abang karena ga enak, karena abang pernah jadi bos dan klien mereka. Di tambah, abang sedang hindari yang namanya bunga, abang anti dik. Maafkan abang, yang hanya bisa ikut usaha loundry."
Arka sendiri nampak kewalahan, ketika Ciya menangis, ia segera membuatkan air hangat dan membuat susu untuk anaknya itu.
Sehingga nampaklah pikiran Mira membuat ia meraih ponsel suaminya diam diam.
'Tidak ada nama istri pertama suaminya! sebenarnya si istri tua itu kemana ya? kenapa tidak ada nomor mbak Diyan disana,' gumam Mira, entah pada siapa ia bicara sendiri.
Arka nampak kembali, dengan telaten memberikan susu pada putrinya. Nampak sehat dan gembil, namun ia kaget ketika pelipisnya merah membiru.
"Dik, Ciya kenapa ini kok biru, apa dia jatuh?"
"Enggak! mana mungkin anak kita yang aku banggakan, bisa jatuh. Abang lupa, anak itu kan kemauan abang dan keluarga. Ya pasti Mira jagalah sepenuh hati." ketusnya, sambil membuka sambal.
"Astagfirullah! Dik, sudah semestinya karena kamu ibunya. Oh iya, ibu abang enggak jadi datang minggu ini. Nanti kalau ibu datang, tolong suruh tunggu abang ya dik! tunggu sebentar kalau abang akan pulang cepat, dari loundryan."
"Iya bang. Emang kapan ibu mau datang?"
"Nengokin kabar kamu, juga nengokin sekalian Ciya, Senin depan katanya dik. Ya udah, Ciya udah bobo nih. Abang lanjut mandi dulu ya, kamu makan duluan aja!"
Mira pun mengangguk, dan melahapnya makanan soto dengan nasi tanpa sisa, melupakan Arka untuk porsinya saling setengah.
Sungguh Mira memang mencintai amat dalam pada suaminya itu, sampai sampai ia membuat Istri pertamanya menyingkir, dan itu adalah hal terbahagia Mira. Namun siapa sangka, kehamilan Mira yang membuat dirinya bedrest, dan penyakit istri tuanya itu membuat perusahaan koleps. Sementara butik dipasaraya sudah dijual oleh istri pertamanya, tanpa sepeserpun Mira dibagi.
"Dasar istri tua, semua karena dia. Karena mbak Diyan yang sok manis, sok baik. Kehidupan bang Arka 90° berubah drastis, aku harus pulih pasca lahiran, supaya aku bisa kerja dan ninggalin Ciya, biar sama bang Arka aja." cetusnya membuat Mira kesal setiap hari, entah kenapa dirinya seolah tidak menerima keadaan.
Arka yang selesai mandi, ia niatnya mengajak Mira untuk shalat berjamaah. Namun tampak sekali lahapnya Mira, semua makanan habis berisi air teko setengah saja. Arka sendiri berusaha sabar, dimana ia yang sebenarnya lapar harus mengalah demi istrinya yang masih penuh asupan gizi.
"Bang udah mandinya, abang udah makan belum?" menoleh Mira, ke arah hordeng pintu.
"Udah kok dik. Abang mau ajak kamu jamaah shalat isya."
Eeeugh!
Berdahak Mira, membuat Arka sendiri tampak kaget, apakah setiap ibu melahirkan akan berubah sikap karena bawaan lelah ia mempunyai bayi.
"Abang duluan aja, nanti Mira nyusul, sebab masih flek lagi deh, gagal shalat."
Arka mengangguk, terlihat Mira merapihkan piring, gelas kotor dan plastik kebagian dapur. Sementara Arka sendiri, ia nampak menggendong Ciya, untuk masuk ke dalam kamarnya, karena ia dibiarkan begitu saja di sofa.
"Maafin Abie ya nak! Abie belum bisa berikan yang terbaik, yang terpantas untuk kamu dan bunda." menetes Arka, sesaat bayi itu dalam pelukan Arka sangat pulas dan merasa nyaman, tak menangis.
Arka kembali shalat, dimana sujud syukurnya ia meminta Tuhan, memberikan kemudahan di setiap langkahnya untuk membahagiakan istri dan buah hatinya.
Memohon ampunan semua dosa yang mungkin ia lewati tak sadar, telah menyakiti dan inilah balasan atau bentuk hukuman Arka yang akan ia terima, sampai masa hukuman darinya telah habis, karena telah menyianyiakan Diyan.
'Ya rabb, ampuni kesalahan dosa saya sebagai suami yang tidak adil, mudahkan urusan saya mencari rejeki untuk anak dan buah hati saya, bahkan sembuhkan luka serta kesedihan istri saya, yang baru ditinggal ibunya, sepekan lalu. Saya yakin, Mira sangat terluka dan kebingungan karena tidak ada ibunya lagi saat ini, tunjukan saya menjadi imam yang lebih baik untuk keluarga saya. Agar saya tidak gagal menjadi suami dan imam.' batin Arka, kala itu bersujud, berjanji dalam keadaan apapun tidak akan meninggalkan Mira.
TBC.
Esok harinya, Mira nampak senyum setelah habis mandi. Di sana Arka yang sudah nampak shalat sunnah, ia merasakan keceriaan Mira yang setelah memandikan Ciya, bahkan bayinya sudah diam di babywalker tertidur, mungkin sudah kenyang sehabis minum susu.
"Dik, apa tidak ada lauk?" tanya Arka yang saat itu sedang mencuci botol susu.
"Bang, semalam abang cuma kasih Mira uang 65 ribu loh, udah habis buat beli beras, dan minyak goreng. Terus telur satu biji, tadi pagi pagi sekali, Mira rebus dan maaf ya bang! udah habis. Belum lagi popok Ciya, abang lupa uang segitu enggak cukup." cetusnya semakin kasar.
"Ah! maafkan abang ya Dik, semoga cuaca hari ini cerah. Abang minta maaf!"
Arka saat itu mencoba sabar, mengelus pundak dan mencium istrinya. Rasa laparnya sejak sore lalu ia tahan, dengan minum air putih. Arka sendiri enggan bicara pada ibunya, jika ia sedang kesulitan ekonomi. Tapi mengingat keadaan, mau tidak mau Arka akan makan di rumah orangtuanya, sebab ia tidak mau membebani Mira saat ini yang sudah repot dengan bayi mereka saat ini, pasca melahirkan memang akan membuat ibu muda berubah mood.
"Bang ada bubur semangkok, tapi cuma kecap aja bumbunya. Mira masih sisain mangkuk buat siang, abang kalau udah penglaris di loundry, cepat anterin makan buat Mira ya bang! ketimbang abang makan di rumah ibu, nanti Mira lagi yang kena damprat."
"Iya dik, abang pasti akan cepat pulang." senyum Arka yang kala itu bibirnya terlihat pucat.
Arka mencium kening istrinya, dan tak lupa Mira hormat mencium tangan suaminya, tak lupa Ciya yang saat itu tertidur pulas, Arka mendoakan putrinya dan membacakan surat al ikhlas, di ubun ubun bayinya yang terlelap agar tenang menjaga bundanya.
"Abie pergi dulu ya sayang! Jaga bunda, jangan rewel. Jadi putri Abie dan bunda yang baik." kecup pipi yang seperti bakpau.
Mira sendiri mengantar bang Arka sampai gerbang, lalu setelah tak terlihat, ia memetik daun pepaya, disekitar halaman rumahnya, melupakan Ciya di dalam seorang diri yang gusar menangis pelan, tangisan bayi itu pun benar benar pelan tak terdengar oleh Mira.
Mira bahkan memetik daun pepaya, dan sejengkal tanah lempung di samping rumahnya, karena semenjak ibu berpulang ke pangkuan ilahi, Mira selalu ikut bantu tanaman yang mungkin bisa banyak manfaat. Hingga Mira pun asik memetik, lalu sampai belakang rumah, ia baru sadar suara tangisan anak kecil.
Beberapa Puluh Menit Kemudian.
"Aduh itu anak siapa sih, emaknya gila apa ya. Dasar tetangga enggak peka, punya anak nangis bukan di diemin." lirihnya, membuat Mira slow masih memetik dedaunan, selama belasan menit ia segera ke depan rumahnya.
Eeaaak .. Eaaak ..
"Astagfirullah. Ciya anak bunda, ya allah maapin bunda nak!"
Mira memeluk anaknya, yang sudah ada dilantai, dengan babywalker terguling begitu saja. Beruntung wajahnya tidak tertutupi, hanya kakinya yang tertindih membuat Mira merasa bersalah.
"Maafin bunda ya nak!" peluknya kala itu, membuat Ciya masih saja menangis keras.
Mira membuatkan air hangat, dalam gendongan, hari itu pun benar benar membuat Mira lemas, karena Ciya benar benar tidak mau berhenti menangis.
Mira nampak tidak tega, ketika dan merasa bersalah karena meninggalkan baby Ciya, sebab karena ia memetik daun demi bisa memasak, endingnya bayinya terluka tanpa pengawasan.
'Sebenarnya aku kenapa ya, kenapa aku bisa sampai lupa meninggalkan Ciya di baby walker.' batin Mira, yang menggendong menenangkan Ciya yang habis terjatuh.
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!