NovelToon NovelToon

LAHIRNYA SANG PENCERAH

Bab 1.

Bab 1.

“Bundamu sudah meninggal dunia, Sangga! Yang sabar ya!” Ucap lek Kamto.

“Bunda… Jangan pergi bundaaaaa!” Sangga menangis diatas tubuh bunda yang sudah terbujur kaku. Sangga mengusap muka bundanya yang sangat dia sayangi, dia sekarang sudah menjadi sebatang kara..

“Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, Selamat Jalan, Mak. Maafkan Sangga yang belum minta maaf kepada Bunda.”

Kepergian bundanya yang tiba-tiba, membuat Sanggabuwana sangat sedih. Sangga menangis dipelukan lek Kamto. Dia sangat menyesal tak bisa menemani bundanya untuk terakhir kalinya.

Jenazah bunda Sangga langsung diurus oleh warga lain dan dimakamkan di TPU tak jauh dari  rumahnya. Karena miskin, Sangga tak bisa membuat tahlilan, bahkan sehabis Isya, banyak tetanganya datang dengan membawa makanan dan minuman untuk mendoakan arwah bundanya Sangga.

Sanggabuwana sering termenung  dan melamun dalam beberapa hari ini, sejak dia ditinggal bunda yang sangat dia sayangi dan kasihi, juga hanya satu-satunya keluarga yang dia punya. Selama tiga hari ini juga,  Sanggabuwana tidak datang ke pasar tempatnya menjadi kuli panggul, karena masih berkabung. Sangga saat ini menjadi anak sebatang kara.

Besok paginya, dia pergi untuk bekerja di pasar dari pagi sampai sore, sudah lima hari ini penghasilan menjadi kuli panggul di pasar, lumayan. Sangga berharap dengan tabungannya dia bisa kuliah. Sangga bertekad untuk menabung agar dia bisa mencapai cita-citanya setelah dia kuliah.

Pada saat pengumuman kelulusan sekolahnya, Sangga berhasil lulus dengan predikat yang  terbaik juga hasil

rapornya . Semua guru dan teman-teman sekelasnya memberikan selamat kepada Sangga atas keberhasilannya menjadi yang terbaik.

Sanggabuwana sangat bahagia, tapi dia sedih ketika ingat kepada bundanya yang sudah tiada.  Setelah

urusan sekolah selesai, Sangga berjalan keluar sekolah dengan langkah malas. Ketika dia hamper sampai di gerbang sekolah hendak keluar sekolah, tiba-tiba ada sebuah motor oleng yang dikendarai oleh dua ornag siswi sekolah yang menabraknya.

Perempuan yang bernama Diana jatuh dari motornya dan dia terluka karena ketiban motor matiknya sendiri. Sanggabuwana yang sempat tertabrak, jatuh terduduk, tapi dia segera berdiri dan menolong Diana mengangkat motor dan membantu menyetandari. Diana masih duduk di atas lantai beton di depan gerbang sekolah, merintih kesakitan dan lecet kakinya akibat jatuh tadi.

Sangga bermaksud membantu Diana untuk berdiri, tapi dia malah dimarahi dan dimaki oleh Diana. Kawannya, Rosa yang juga ikut jatuh pada saat itu, langsung terbangun.

“Ayo bangun, gimana sih lo naik motor kenceng gitu! Ayo bangunlah.” Sangga mengulurkan tangannya berniat menarik tangan Diana agar bangun dari lantai beton yang banyak tanah. Tapi ditepis oleh Diana sambil marah.

“Udah, udah, sana! Lo pakai mata kalau jalan!” Diana berdiri dibantu oleh kawan baiknya, Rosa yan diboncengnya.

“Elo sendiri yang salah, bawa motor masuk ke sekolah, ngebut! Kok gue jadinya yang disalahin? Kan gue jalan mau arah keluar! Elo dong yang salah! Main selonong dan ngebut aja dari luar, mana nggak pake rem lagi! Bisa kagak sih lo naik motor?? Kalau nggak bisa elo belajar dulu sana!” Sangga membela diri sambil tangannya membersihkan kotoran di celana belakangnya.

“Eh, orang miskin! Katro!! Elo tidak liat apa, kalau Diana lewat! Elo harusnya minggir! Elo harus ngalah dong sama cewek!” teriak Rosa membela Diana.

“Eh Rosa, gue udah menghindar dan minggir, tapi kenapa dia sengaja mau nabrak gue??! Emang nih anak tidak suka sama gue atau benci sih??!” Sangga balik membantah omongan Rosa.

“Elo harus tanggung jawab dong, motor gue rusak berat nih! Motor baru gue jadi lecet! Ayo ganti, cepat!” Diana setengah menangis melihat motor baru kesayangannya lecet-lecet di bodi depannya.

“Enak aja, gue tidak salah kok! Lagi pula bisa dipoles Ini mah, tidak parah kalii!” ucap Sangga sambil menggelengkan tangannya.“Awas lo miskin! Gue bhilang sama bokap gue nanti di rumah, baru tau rasa lo!!!” Diana mengancam secara serius kea rah Sangga.

“Hah, apa-apa bokap lo, apa-apa bokap lo! Emang bokap lo pejabat, apa? Gue juga nggak salah kok, mentang mentang elo punya  motor baru dan bagus gitu, elo lantas mau nindas dan ancem gue??! Semuanya juga tau kalau bokap elo itu rentenir, tukan ambil barang orang!!” Sangga tak terima dengan ancaman Diana yang tak beralasan.

“Hahaha, takut lo sama bokap gue, kan?? Nanti biar bokap gue buat elo tambah miskin! Emang kenapa kalau bokap gue rentenir? Masalah buat lo? Dikasih makan sama elo??” Diana malah kesal dengan jawaban Sangga yang seenaknya dan menghina bokapnya

“Heh, gue dari dulu juga emang udah miskin! Udahlah sana, urus aja sendiri motor lo yang masih baru ini! Gue mau pulang, cari masalah mulu aja lo!” Sangga langsung berjalan menjauh dari tempat Diana dan Rosa dengan cuek. Sangga tidak mengindahkan sumpah serapah yang dieriakkan Diana dan Rosa dari jauh. Setelah sampai di rumah, Sangga meletakkan tasnya dan berjalan menuju makam bunda dan bapaknya yang bersebelahan.

“Bunda, aku lulus sekolah, bunda gimana kabarnya di sana? Seharusnya bunda saat ini senang karena Sangga lulus sekolah dengan hasil yang terbaik. Bunda, Sangga kangen sama bunda.” Sangga bicara sendiri disamping makam bundanya yang bersebelahan dengan makam bapaknya, sambil memegang Nissan kayu makam. Sangga menngis di pusara sang bunda.

“Bunda, aku mau kerja saja. Tahun depan saja sangga kuliah, doakan ya bunda, Sangga bisa teruskan sekolah sampai sarjana. Supaya nanti, bunda dan bapak bisa bangga dengan Sangga bisa sukses!” Tanpa disadari Sangga menangis lagi.

“Bunda di sana tenang ya, Sangga pamit dulu, assalamualaikum bunda, ayah!.” Sangga berdiri dan meninggalkan makam bunda dan ayahnya sambil menghapus air mata.

Besok paginya Sangga ergi ke pasar untuk bekerja. Saat dia sedang istirahat duduk di sebuah trotoar, dia melihat ada pak Kardi dan tiga orang yangke rumahnya kemarin malam, berjalan menuju dirinya. Sangga yang masih duduk di sebuah trotoar jalan menuju  gudang beras, sedang menanti pekerjaan selanjutnya merasa kaget.

“Heh, kamu Sangga, ya!??!!” Pak Kardi langsung menunjuk ke arah Sangga dengan nada marah dan kesal. Sangga hanya melihat dengn tenang ke arah Pak Kardi dan si botak yang dia kenal.

“Iya, kenapa pak? Bapak cari saya?” tanya Sangga merasa tak kenal dengan pak Kardi, walaupun dia tahu kalau itu pak Kardi. Orang yang berperawakan pendek, ceking dan memakai topi koboi warna coklat sambil menghisap rokok klobot.

“Sini kamu! Saya mau bicara dengan kamu, brengsek!!” Panggil Pak Kardi dengan lagak sombongnya dan merendahkan.

“Elo ada urusan sama pak Kardi?” tanya Warno yang tampak heran karena tiba-tiba kawannya dipanggil oleh pak Kardi, orang yang kejam kalau menagih hutang.

“Paling masalah anaknya yang jatuh dari motor!” bisik Sangga ke Warno sambil berdiri. Keempat teman Sangga pun berdiri semua.

“Ada apa, bapak memanggil saya?” tanya Sangga yang sudah sangat kenal dengan karakter pak Kardi yang kejam dan suka melukai orang.

“Hm, kamu sudah tau kan siapa saya, Sangga? Kenapa kamu berani melukai anak saya, hah!!! Dia anak saya satu-satunya, dan sangat saya sayang!” Kardi kembali menghisap rokok klobotnya setelah marah.

“Saya kan sudah bicara sama si botak ono noh!” Sangga menunjuk ke arah si botak. “Saya itu ditabrak, dan anak bapak itu jatuh setelah nabrak saya! Kalau tidak nabrak saya, ya tidak bakalan jatuhlah, pak!”

“Tapi kamu harusnya bisa menghindar, bisakan??” ucapnya lagi.

“Gimana mau menghindar, pak? Wong anak bapak itu ngebut, saya sudah menggeser ke pinggir malahan dia juga ikutan ke pinggir.”

“Halah, kamu saja yang ingin melukai anak saya yang cantik itu kan??! Pokoknya kamu ganti biaya kerusakan motornya dan kegoncangan mental anak saya!!” Pak Kardi tak mau kalah gertakan dengan Sangga.

“Berapa saya harus gantinya, pak? Wong, cuma lecet saja kok bemper depannya. Sini saya saja yang mengerjakannya!” Ucap Sangga.

 “Dua juta!!"

 “Hahahaha, broo…Masa gue harus bayar dua juta?” Kardi memandang ke semua kawan-kawannya yang tampak kesal dengan kesombongan pak Kardi dan tingkahnya yang menyebalkan.

 “Emang saya ini ATM, pak Kardi? Saya ini tidak punya uang, kalau punya uang segitu, ngapain saya kerja jadi tukang panggul?? lagi pula bapak juga harus ganti dong,  kegoncangan mental saya juga! Kan saya yang ditabrak?? Banyak saksi loh pak, di sekolah!!” Sangga tak mau kalah karena dia merasa tak bersalah.

“Gila lo pak, kalau mau meras temen kita, ya lebih baik kita ribut aja sini! Kita berantem aja deh!! Kita ini semua orang miskin! Kalau bapak dan anak buah bapak masih memaksa Sangga buat membayar uang dua juta karena kerusakan motor anak bapak dan mentalnya,  mending kita berantem aja disini! Kami semua akan membela Sangga! Ayo maju!!” Sahut Badar yang berperawakan tinggi, besar dan brewokan lebat

........

........

BERSAMBUNG

Bab 2.

BAB 2.

Pak Kardi dan anak buahnya, semua ketakutan dengan tantangan Badar yang sudah maju bersama ketiga kawannya, mendekat ke arahnya dengan tampang marah.

“Kalau begitu, pak Kardi  yang harus membayar lima juta kepada Sangga! Untuk mengganti gangguan mental Sangga karena ditabrak oleh anak bapak! Ayo sekarang bayar, cepat!! Atau saya lempar tubuh bapak ke kali untuk jadi makanan buaya dan ular!!!” Badar sudah mengangkat kerah baju pak Kardi yang sudah ketakutan. Sangga tersenyum simpul melihat pak Kardiyang sudah gemetar badannya.

“Iy-iyaaa…Saya ng-gakkkk jadi minta sama Sang-Sanggaaaaa…” Dia ketakutan dan ketiga anak buahnya juga sudah didatangi oleh beberapa orang kuli pasar lainnya kawan Sangga. Sangga hanya diam saja sambil tertawa dalam hatinya.

“Apanya yang tidak jadi minta, Hah?? Bapak harus tetep membayar lima juta ke Sangga! Kalau masih belum bapak bayar ke Sangga, tetap kalian akan kami habisi disini!! Mengerti semua??! Kalian itu bisanya menindas orang miskin saja supaya kalian bisa tambah kaya!!” Badar mengangkat kerah baju pak Kardi lebih ke atas lagi.

Sangga sebenarnya kasian kepada pak Kardi, tapi dia membiarkan kepada teman-temannya untuk melakukan sesuatu, biar dia kapok, karena dia juga sering bertindak seperti itu kepada orang yang menunggak bayar hutang kepadanya.

“Iy-ya…Lepaskan dulu ke-kerah baju sayaaaaa!” Badar melepaskan kerah baju pak Kardi. Kemudian pak Kardi membuka tas kecilnya untuk mengambil uang lima juta, sesuai yang diminta oleh Badar. Badar melihat ke arah Sangga dan mengacungkan jempol kepadanya, tandak sukses.

 “Ini…Ini uang lima juta, tolong lepaskan kami semua!!” Kardi memberikan uang kepada Badar sambil memohon.

“Sana pergi!! Awas, kalau sampai si Sangga tetap lo suruh bayar, gue samperin rumah lo!” Badar memegang uangnya dan kembali mengancam Kardi.

“Iya…Saya pulang dulu! Ayo kita pergi semua!!” Kardi langsung balik arah dan jalan ke arah berlawanan bersama dengan ketiga anak buahnya. Mereka semua terlihat ketakutan bercampur kesal.

“Bro, ini uangnya! Simpan, buat elo hidup, karena yang gue tau, dia pasti melakukan sesuatu ke depannya terhadap lo! Pasti dia akan cari gara-gara terus sama lo! Kayak elo nggak tau aja si Kardi!” Badar menyerahkan uang itu ke tangan Sangga, tapi Sangga menolaknya.

“Aku nggak mau terima uang itu! Itu kan uang haram, bro!” Sangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Halah Sangga, Sangga, ayo ini pegang!” Badar maksa dan akhirnya Sangga menerima. Sangga membelikan nasi padang dan membagi kepada kawan-kawannya.

Tiba-tiba ada kontainer pengangkut jagung dan beras datang, dan mereka kembali bekerja. Sesudah makan, mereka kembali bekerja mengangkut karung-karung jagung tersebut.

Dua jam kemudian, Kamto berlari ke arah Sangga sambil berteriak-teriak sejak dari jauh.

“Mana Sangga, Sangga, Sangga…Mana Sangga??” tanya Kamto menanyakan ke salah satu kawan Sangga di dekatnya.

“Itu lek, masih manggul disana!” Jawab orang itu. Kamto berlari ke arah Sangga.

“Sangga, Sangga, ayo cepat pulang!!” Lek Kamto berteriak memanggil Sangga dengan nada panic.

“Hah, kenapa lagi lek?” Sangga langsung mendekat kea rah Lek Kamto.

“Rumahmu kebakaran! Dibakar oleh pak Kardi dan anak buahnya,” Ucap Lek Kamto. Sangga langsung  berlari menuju ke rumahnya yang berjarak dua kilometer itu bersama dengan Kamto.. Sampai di sana, rumahnya sudah hangus terbakar. Semua barang-barang didalamnya juga hangus, karena tidak ada yang berani mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam rumah Sangga dengan api yang sudah besar. Semuanya tidak ada yang bisa diselamatkan, Api sudah membakar rumah itu dengan cepat.

“HAHAHAHAHA!!” Terdengar suara beberapa orang tertawa kesenangan.

Sangga hanya bengong sambil terduduk, melihat rumahnya yang sudah hangus terbakar yang tak menyisakan satu barang pun yang bisa diselamatkan. Sangga tak bisa bicara apa-apa lagi. Dia bengong sambil mengatur nafasnya yang masih tesengal-sengal sambil memandang api yang berkobar melahap rumahnya.

“Sabar Sangga, kamu bisa tinggal dirumahku, kalau kamu mau tinggal untuk malam ini.” Lek Kamto memberikan semangat. Dia juga sudah datang dengan napas yang ngos-ngosan.

“Tidak usah lek, saya akan pergi saja dari sini. Saya sudah tak punya siapa-siapa juga di sini. Biarlah rumah yang terbakar ini menjadi saksi betapa kejamnya pak Kardi!” ucap Sangga dengan sedih.

PLOK PLOK PLOK

Suara tepok tangan dari seseorang yang datang dengan pakai kaos dan topi koboi.

“Bagus, kerja kalian bagus!” Ucapnya.

“Bos..!” Mereka menundukkan kepala.

“Heh Sangga! Rasakan pembalasanku, kau tadi memerasku di pasar! Lagi pula saya baru ingat, Bundamu punya hutang ke saya sebesar lima juta dua tahun yang lalu, setelah bapakmu meninggal! Dan kamu juga harus membayar dengan bunganya  menjadi sepuluh juta. Jadi kalau dipotong dengan uang yang saya kasih ke kawan-kawanmu tadi, dipotong juga dengan rumahmu yang sudah hangus ini, kamu harus membayar kekurangannya! Lima juta saja, pokoknya saja!!” teriak pak Kardi yang lantang. Sangga hanya diam saja tak menjawab.

 “Sekarang kamu mau bayar tidak??” Pak Kardi kembali mendekati Sanggabuwana. Tangannya menggenggam rahang Sangga dengan keras.

“Bayar lima juta! CEPAT!!” Pak Kardi makin keras menekannya.

“Aduhh…Sttt..Tidak!!??” Sanggabuwana terkejut sambil memegang rahangnya yang sakit karena dicekal dengan kuat oleh pak Kardi.

“Apa kamu bilang?” Dagu Sangga makin dicekal dan dittekan dengan kuat. Sangga merintih dan menahan sakit.

“Jangan pak, saya tidak punya uang!!” Jawab Sangga.

“Apa? Mana uang lima juta yang saya kasihkan tadi? Kembalikan!!” Kardi makin marah.

“Semuanya masih dipegang Badar!!” teriak Sangga kesakitan.

“Hah?? Kalau begitu saya sita tanah ini!!”

“Jangan! Walaupun rumah ini sudah terbakar, tapi ini adalah warisan orangtua saya satu-satunya! Tidak bisa!!” Sangga masih dalam cekalan tangan pak Kardi.

“Pergi kamu dari sini atau aku dan anak buahku akan melemparkanmu ke kali sana, biar dimakan buaya!” Pak Kardi mengancam Sangga seperti yang diancam ke dia oleh Badar.

 “Ya sudah, saya akan bayar, tapi lepaskan saya dulu!” Jawab Sanggabuwana. Dengan memegang dagunya yang sakit. Sangga pura-pura mau membuka tas kecilnya yang ada di pinggangnya. Tapi kemudian Sangga mendorong pak Kardi hingga terjatuh dan dia berlari sekencang-kencangnya menuju keluar kampung.

Sanggabuwana terus berlari tanpa melihat ke belakang, dimana semua anak buah pak Kardi masih mengejar sambil berteriak memanggil namanya. Sanggabuwana berhenti di ujung jalan kampung. Tiba-tiba ada temannya naik motor menyapa Sanggabuwana.

“Sangga, Sangga! Mau kemane lo?” Sangga menengok ke arah kawannya tadi yang sudah berhenti di seberang jalan.

“Cok, anterin gue ke stasiun kereta, dong!” teriak Sanggabuwana dari seberang jalan.

“Oke, ongkoin yee!??”

“Siap!” teriak Sangga. Ucok memutar motornya dan mendekat ke Sangga.

“Ayo cok, cepatan Cok!! Gue mau ngejar kereta sore! Gue mau ke Jakarta ini!” Sangga takut keliatan sama anak buah pak Kardi.

“Oh gitu, oke boss!!!” Ucok melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di Stasiun Kereta, Sangga memberikan uang dua puluh ribu. Ucok senang sekali.

“Elo, mau ngapain Sangga ke Jakarta?” tanya Coki sambil mengantungi uang ke kantung celananya.

“Gue mau ke rumah paman, eh nanti ya, kalau ada yang nanyain gue ke elo, jangan bhilang gue ke Jakarta! Oke?”

“Iya Sangga, elo kan udah baik ke gue. Tapi kenapa baju elo masih kotor gitu, Sang??” tanya Ucok.

“Oh iya, nanti gue beli baju sama celana di dalam stasiun!”

“Ya udah, gue balik dulu, ya Sangga!” Ucok memajukan motornya meninggalkan Sangga.

“Oke Cok, terima kasih!” Sangga langsung berjalan ke dalam stasiun membeli tiket kereta yang menuju ke Jakarta. Setelah dapat, dia keluar lagi untuk membeli beberapa kaos dan pakaian lainnya. Sangga menyempatkan makan dulu dan kemudian Sholat. Karena kereta yang akan ditumpanginya tinggal setengah jam lagi sampai di stasiun, Sangga kembali lagi ke stasiun dan masuk ke dalam peron.

Sangga bersembunyi di sebuah warung, agar tak terlihat oleh anak buah pak Kardi, kalau mencarinya.

Kereta api pun datang dan Sangga naik ke dalam kereta. Dia mencari tempat duduknya dan setelah dapat, Sangga duduk. Di sampingnya ada seorang gadis yang sangat cantic memakai hijab, Sangga menganggukan kepalanya saat sang gadis tersenyum kepadanya.

“Cantik banget ya ini cewek…!”gumam Sangga dalam hati.

Kereta api pun jalan, tampak seorang anak buah pak Kardi melihat Sangga sedang duduk di dalam kereta dari peron stasiun.

“Sangga!!” Orang itu memanggil dari luar kereta sambil berlari. Tapi karena kereta sudah jalan agak cepat dia tak bisa mengejarnya. Amanlah Sangga.

Apakah Sangga sampai di Jakarta dengan Selamat?

.......

.......

BERSAMBUNG

Bab 3.

BAB 3.

“Hei, kamu namanya Sangga, ya? Tadi dipanggil tuh sama orang di peron!” Gadis itu buka suara sambil tersenyum.

 “Iya saya Sangga, lengkapnya Sanggabuwana. Kamu siapa?” tanya Sangga malu-malu.

“Kenalkan, saya Istikah!” Gadis itu mengulurkan tangannya.

“Sanggabuwana!” Sangga menyambut uluran tangannya.

“Kamu mau ke Jakarta juga?” tanya Istikah dengan senyumnya yang manis.

“Iya, kamu?” tanya Sannga balik.

“Iya nih, aku juga, aku mau melanjutkan kuliahku di sana, Sangga. Kebetulan, aku mau dikuliahkan oleh pamanku yang seorang bisnis man, di Jakarta,” jawab Istikah dengan ramah.

“Wah, enak ya, ada yang mau kuliahin kamu. Aku juga mau lanjutkan kuliah, tapi belum bisa kayaknya, karena uangku belum ada.” Sangga menyenderkan punggungnya ke belakang.

“Hm, ya sabar, aku juga dikuliahkan oleh pamanku yang seorang pebisnis besar di bidang kain. Dia baik sekali.”

“Oh begitu, selamat ya, mungkin saya akan menyusul kuliah di Jakarta!” Sangga berusaha tersenyum.

“Oh iya, kamu mau ke Jakartanya, kemana?” tanya Istikah penasaran.

“Akuuu…Tidak tau, aku tidak punya sanak saudara juga di sana. Aku memang mau merantau dan mengadu nasib ke Jakarta. Aku mau bekerja dulu dan kumpulkan uang, terus kuliah.” Sangga menjawab dengan nada sedih.

“Jangan sedih gitu Sangga, kalau ada tekad pasti berhasil.” Istikah menyemangati.

“Iya, terima kasih, Istikah!” sahut Sangga. Mereka masih terlibat obrolan di seputar kehidupan mereka masing-masing. Pagi sekali, mereka sampai di Stasiun Senen, mereka berpisah karena Istikah langsung dijemput oleh pamannya sendiri. Mereka saling melambaikan tangan. Sangga langsung mencari masjid untuk istirahat dan menunggu subuh.

Setelah sholat subuh, Sangga berjalan keluar masjid dan menunggu bus di pinggir jalan sambil yang menuju ke arah Kota. Tak lama, bus itu muncul dan dia naik. Perjalanan pagi membuat dirinya merasa segar karena sudah istirahat yang cukup.

Sesampainya di terminal Kota, dia turun dan berjalan ke arah stasiun Beos. Sangga membeli minum dan cilok untuk mengisi perutnya. Dia tak tahu arah tujuannya di Jakarta, karena dia baru pertama kali ke Jakarta. Hanya dia mencari keberuntungan sajaTiba-tiba dari seberang jalan tampak seorang bapak yang sudah tua ingin menyeberang jalan ke arahnya, tapi karena jalanan ramai si bapak selalu ragu.

Sangga memperhatikan terus ke arah bapak itu dan berdiri mengamati. Benar saja, sewaktu bapak itu mulai mendorong gerobaknya yang sudah di tengah jalan, tampak sebuah motor dengan kecepatan tinggi tiba-tiba oleng karena kaget melihat gerobak si bapak yang muncul tiba-tiba. Alhasil, motor tersenut menyenggol gerobak depannya.

“AWAS KEK!!” Sangga berteriak tapi sudah terlambat.

BRAKK

BRAKK

KROMPYANG

Karena bapak itu tidak bisa menahan gerobaknya yang cukup besar, gerobaknya pun terjatuh dan semua barangnya berhamburan semua. Kendaraan yang ada di belakangnya semua langsung berhenti, otomatis melihat hal itu, pengendara motor yang tak mau tanggung jawab melajukan motornya dan kabur.

Melihat kejadian itu, Sangga langsung membantu gerobak kakek tua itu dan mendorong gerobak ke pinggir jalan agar tak menghalangi jalan yang sudah padat itu. Dibantu oleh beberapa orang Sangga mengangkat gerobaknya. Semua barang-barang yang di gerobak langsung dibawa oleh beberapa orang ke pinggir jalan.

“Kek, kakek tidak apa-apa?” tanya Sangga.

“Terima kasih nak, kakek tadi sempat dengar suaramu, tapi saya tidak bisa menghindar dari orang yang naik motor itu. Mungkin sudah nasib kakek, nak!” Sang kakek sedih.

“Sudahlah kek, saya bantu dorong gerobaknya, tenang saja kek. Kakek rumahnya jauh nggak dari sini?” tanya Sangga sambil menaikkan barang-barang yang tercecer ke dalam gerobak si kakek.

“Agak jauh nak dari sini! Sudahlah nak, kakek saja yang dorong!” Sahut Kakek mau mengambil dorongannya. Dia terlihat masih gemeteran tangannya karena peristiwa tadi.

 “Sudah kek, jangan! Keliatannya kakek belum sarapan, ya? Kakek gemeteran gitu loh!” tanya Sangga bicara dengan kakeknya.

“Belum nak,kakek memang belum sarapan! Kakek sudah kehabisan modal untuk dagang, jadi tadi belum sempat beli sarapan. Eh, sekarang malah habis semua barang dagang kakek tumpah semua. Tapi ya namanya apes. Mau bagaimana lagi??!” Kakek itu menunduk lesu karena sedih dan kesal. Terlihat sang kakek meneteskan air matanya.

“Saya Sanggabuwana, kek!” Sangga langsung mengulurkan tangannya.

“Saya Kresna!” Kakek menyambut tangan Sanggabuwana dan mengusap air matanya yang menetes dari pelupuk matanya.

“Ya sudah, kita ke rumah kakek saja, saya bantu saja kek, tenang saya kuat  kok!” Sangga langsung mendorong gerobak cilok itu yang beberapa kayunya ada yang patah. Tapi Sangga sudah mengikatnya dengan tali rafia yang dia temukan dipinggir jalan, sehingga bisa didorong.

Mereka berjalan saling diam memperhatikan jalan, Sangga menikuti kkek yang berjalan pelan. Terlihat sang kakek masih shok dengan kejadian yang baru dialaminya. Sesampainya di rumah kontrakan kakek, gerobak cilok oleh Sangga dipepetin ke tembok.

“Mari masuk, nak Sangga!” Ajak kakek yang membuka pintu kontrakannya.

“Iya, terima kasih kek. Ini kawasan padat ya, kek?” tanya Sangga yang masuk dan melepaskan sandalnya. Dia meletakkan tasnya di dalam kamar yang hanya berukuran 3 X2 meter saja.

“Iya nak, ini kawasan padat, nak! Inilah tempat tinggal kakek. Sudah 10 tahun ini, kakek hidup sendiri disini. Kamu mau minum apa, nak?” tanya kakek.

“Air putih saja kek. Kakek tinggal sendiri saja disini?” tanya Sangga yang tak menemui satu orangpun di rumah kecil itu. Dia melihat kontrakan kakek tidak banyak isinya.

“Iya nak, kakek hidup sendirian di sini, hanya sebatang kara di Jakarta ini. Kakek hidup sendiri di Jakarta sudah lama!”

“Apa Kakek tak punya keluarga, anak atau cucu gitu?” tanya Sangga salut dengan ketangguhan kakek yang bisa hidup sendirian.

“Tidak nak, mereka ada di kampung semua. Tapi sudah sepuluh tahun lebih kakek tidak bertemu dengan mereka! Entah, apakah mereka masih di sana atau tidak? Ataumereka memang sudah tak ingat kepada kakek!” Jawab kakek yang sudah susah untuk berjalan.

“Kek, kakek tidak usah jualan lagi, kakek jaga kesehatan saja.” Sangga kasian melihat sang kakek

yang sudah susah untuk jalan, dan tenaga nya yang juga sudah tidak kuat lagi.

“Kalau kakek tak jualan, kakek hidup dan dapat uang dari mana, Sangga! Sekarang saja kakek sudah tak punya modal untuk berjualan!” ucapnyasambil menuangkan air putih di gelas Sangga.

“Terima kasih, kek.” Sangga langsung meminum air putihnya sampai habis.

“Kalau boleh tau, nak Sangga ini darimana dan mau kemana?” Kakek duduk di seberang Sangga dan mendekatkan teko air putihnya ke dekat Sangga.

“Saya dari Cirebon kek, saya ke Jakarta ini untuk mengadu nasib, kek.  Beberapa minggu lalu, bunda saya meninggal dunia. Setelah lulus SMA kemarin, saya diusir oleh rentenir yang bilang kalau bunda saya dulu telah hutang ke dia. Saya harus membayar sepuluh juta, sedangkan hutangnya saja lima juta, karena sudah membakar rumahsaya, dia anggap impas dengan bunganya! Saya uang darimana kek segitu??” Sangga tampak sedih terlihat oleh kakek Kresna.

“Jadi dia membakar rumah kamu juga?? Ya, namanya rentenir, Sangga. Mereka pasti ingin bunga yang besar. Kadang manusia tidak tau bahayanya Riba dan jadi rentenir!!” Kakek ikutan minum.

“Iya kek, makanya saya lari dari sana, setelah melihat rumah saya hangus terbakar. Makanya dengan uang sisa saya bekerja, saya kabur ke Jakarta ini. Kali saja nasib membawa keberuntungan!”

“Oh iya kek, saya mau beli makanan untuk sarapan kita. Kasian kakek belum makan! Apa ada warung di dekat sini, kek?” Sangga berdiri.

“Itu sebelah belokan ke arah sini ada warung lengkap! Ada jual makanan kecil dan kelontong!” Jawab kakek.

“Hm, baiklah kek, saya ke sana dulu ya kek. Kakek mau makan apa?” tanya Sangga.

“Apa saja nak, maaf ya kakek sudah tak punya uang lagi. Untuk besok jualan saja, kakek tidak tau dapat uang tidak?” jawab kekek sedih.

“Sudahlah kek, kalau untuk modal jualan besok, Sangga ada, pakailah dulu. Ini kek uangnya.” Sangga menyerahkan uang satu juta kepda kakek.

“Terima kasih nak Sangga, kamu baik sekali. Padahal kita baru kenal, dan kamu belum kerja lagi. Kakek pinjam dulu ya, nanti kakek ganti kalau sudah ada hasil dari jualan ciloknya!”

“Tidak usah diganti kek. Sangga Iklas kok!”Sangga tersenyum kepada kakek Kresna.

“Hmmm…Terima kasih nak Sangga.”

“Iya kek, aku ke warung dulu ya, kek.” Sangga langsung berjalan ke warung yang dituju. Diamembeli kebutuhan yang diperlukan dirumah itu.

Setelah sampai di rumah kakek. Mereka makan nasi uduk yang dibeli Sangg dan makan berdua dengan lahap.

“Nak Sangga, kamu disini saja tinggal bersama kakek. Selagi kamu belum dapat pekerjaan bisa membantu kakek jualan cilok, mau?” tanya kakek Kresna

“Kek, saya berterima kasih kalau boleh diijinkan oleh kakek. Tapi apakah tidak memberatkan kakek? Saya kan belum bekerja? Lagi pula saya belum paham bikin cilok?” tanya Sangga dengan nada sopan.

“Tidak nak Sangga. Kalau ada kamu, kakek ada temannya disini, sekaligus kamu bisa nemani kakek berjualan cilok! Nanti kakek juga bisa juga jualan somay dan batagor!”

“Ya, baiklah kek. Saya mau, tapi ajarkan saja membuat cilok dan somay yang enak, hehehe.”

“Boleh, tenang saja. Semua ilmunya akan kakk turunkan kepadamu!” ucap kakek Kresna. “Ayo, nak Sangga, tehnya mumpung masih panas. Atau mau kakek buatkan kopi?” tanya kakek.

“Tidak usah kek, biar saya saja yang bikin sendiri kek!”

Sangga melihat beberapa bingkai foto kakek saat muda dan dia berdiri melihat foto yang ada di tembok dari dekat.

 “Ini ada kakek di dalam foto ini? Yang mana kek?” tanya Sangga sambil menebak foto kakek yang berdiri bersama beberapa kawan seperguruannya.

Kakek berdiri pelan-pelan dan mendekat ke Sangga.

“Ini kakek! Ini guru kakek!” Ucapnya sambil menunjuk ke foto.

“Mana guru kakek? Tidak kelihatan ahh, itu cuma tiga orang! Yang mana kakek??” Sangga mendekatkan matanya ke foto takut salah melihat. Kakek Kresna langung menjentikkan jarinya di depan mata Sangga. Sangga kaget karena melihat ada orang tua berjenggot putih sampai sedadanya, sedang berdiri disamping foto

kakek dengan memakai kalung liontin batu berwarna hijau menyala. Dia tampak tersenyum ke arah kamera.

“Masya Allah, kek. Aneh, tadi tidak ada, kok sekarang ada? Kenapa baru bisa Sangga lihat ya?? Tadi padahal tidak ada guru kakek!” Kakek langsung menjentikkan kembali jarinya dan Sangga kembali kaget karena foto gurunya kakek kembali tak terlihat alias menghilang.

“Subhanallah, kok bisa sih, Kek? Kakek hanya menjentikkan jari saja, begini, terus aku bisa lihat. Kemudian, aku tidak bisa lihat lagi setelah kakek menjetikkan jari lagi. Kakek hebat, belajar dimana kek? Kok bisa begitu?” tanya Sangga terheran-heran melihat sendiri aksi kakek Kresna.

“Kalau saya buka mata batin kamu, nanti bisa melihat Guru kakek. Dan kamu akan juga bisa melihat semua makhluk tak kasat mata di dunia nyata. Karena mata kamu sudah menjadi mata Jin!” Kakek menjelaskannya.

“Maksudnya kek? Kalau dibuka mata Jinnya, aku bisa melihat makhluk halus, begitu??” Sangga tak mengerti maksud kakek Kresna.

“Maksudku, kamu bisa melihat Jin dan sebagainya yang tak kasat mata. Ya, kalau memang  kamu sanggup dan tidak takut dengan banyak bentuk aneh-aneh, tak apa-apa.Tapi kalau kamu tidak kuat, kamu akan ketakutan terus! Karena bentuk mereka yang aneh-aneh. Mau kakek buka saja mata Jin kamu?” Jawab kakek menjelaskan.

“Hmmmm..Hmmm….Baik kek, memang sih saya nggak pernah melihat yang seperti itu sampai sekarang! Apa saya boleh tetap dibuka mata Jinnya, nanti kalau Sangga sudah tak kuat, akan bilang sama kakek deh untuk ditutup lagi. Bagaimana kek?” tanya  Sangga.

“Baiklah.Kakek akan membuka lagi mata batinmu!” Kakek langsung menjetikkan kembali jarinya. Sangga kembali bisa melihat gurunya kakek Kresna di bingkai foto itu.

"Aku sudah bisa melihat nih, kek?" tanya Sangga penasaran.

"Kamu sudah bisa lihat gurunya kakek belum di foto itu?" Sangga melihat kembali ke fotoitu dan tersenyum.

Kenapa Sanggabuana tak bisa melihat? Apakah ada sebuah rahasia?”

.......

.......

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!