"Bu, aku sudah menanam bungkusan itu di halaman rumah Fadli. Apa yang akan terjadi selanjutnya?" Seorang gadis berucap pada ibunya di tengah gelapnya malam.
"Sabarlah, Puspa! Kita tunggu sampai besok pagi!" Sang Ibu menjawab penuh keyakinan.
***
Aku jatuh cinta pada Fadli anak kepala desa. Pemuda itu sangat tampan. Dia punya postur tubuh yang tinggi dan sedikit berotot, idaman para wanita. Bentuk hidung, mata, dan bibir semua sempurna. Aku tidak mau tahu, bagaimanapun caranya aku harus memilikinya.
Seminggu yang lalu, Fadli baru kembali dari kota. Dengan kekayaan yang di miliki oleh orang tuanya, Fadli bisa melanjutkan kuliah di luar daerah. Hal yang tidak bisa di lakukan oleh kebanyakan pemuda di desa kami.
Aku Puspa, sekarang usiaku menginjak 22 tahun. Sejak kecil aku sudah memiliki paras yang cantik di banding dengan teman-teman perempuanku yang lain. Aku mengenal Fadli sejak kecil, kami bahkan duduk dalam satu bangku saat SD.
Fadli adalah anak dari orang yang paling di kagumi di desa kami. Dia adalah Pak Lukman, satu-satunya orang yang menjadi kepala desa selama belasan tahun lamanya. Bukan karena beliau tidak mau di ganti, tapi memang tidak ada yang bersedia menggantikan posisinya itu.
Kinerja Pak Lukman sangat berkesan di hati kami. Dia kepala desa yang adil dan tidak pilih-pilih dalam memberi bantuan, membuat kami enggan memilih orang lain sebagai pengganti.
Siang itu, aku pergi ke warung dengan berjalan kaki. Ibu kehabisan garam dan dia menyuruhku untuk membelinya.
Saat sampai di warung aku mendengar para Ibu sedang bergosip. sudah menjadi kebiasaan bagi mereka, katanya kalau tidak bergosip saat berkumpul ibarat sayur tanpa garam, hambar.
Aku mencebik, merasa tidak senang saat mendengar mereka membicarakan Fadli.
"Mbak yu, sudah tahu belum kalau si Fadli anaknya pak lurah sudah pulang dari kota?" Bulek Entin, sang pemilik warung berkata dengan mimik wajah mengesalakan.
"Iya, aku malah sudah ketemu, Entin," balas Bude Lilik, wanita berpostur tubuh gembul yang tinggal di sebelah rumah Bulek Ntin.
"Opo Iyo? piye ganteng apa Ndak?"
"Wuih ... gantenge pol tenan, Entin. Kalau saja aku masih muda, sudah tak gaet tu anak Pak lurah."
Kedua wanita yang berusia tidak lagi muda itu dengan tidak tahu malu tengah membicarakan seorang pemuda yang sepantaran dengan anak mereka.
"Ee ... Puspa. Mau beli apa?" Bulek Entin akhirnya menyadari kehadiranku setelah dari tadi aku di abaikan. "Garam, Bulek." jawabku datar.
"Puspa, sudah ketemu Fadli belum?" Bude Lilik mulai membawaku dalam bahasan gosip mereka. "Belum, Bude." jawabku malas. Rasanya pengen cepat pulang sebelum mereka mengatakan yang bukan-bukan.
"Kamu pasti kepincut kalau bertemu dia, Puspa." Bude Lilik tertawa lebar entah apa yang dia bayangkan. Sementara itu aku hanya tersenyum kecut.
"Kamu itu ngomong apa to, Yu? Si Fadli pasti sudah punya pacar di kota, wong ganteng pasti banyak yang ngantri," Bulek Entin terus saja bicara membuatku semakin tidak nyaman.
"Ini, Pus. Garamnya! Sama apa lagi?" Aku segera meraih plastik berisi garam dari tangan wanita itu. "Sudah Bulek ini saja," aku berujar sembari memberikan uang dua ribu padanya.
Belum jauh aku melangkah, mereka langsung menggosipkanku.
"Puspa itu ayu lo, Yu. Cocok kalau sama anak Pak lurah," ucapan bulek Entin membuatku tersipu.
Walaupun bulek Entin memujiku, tapi sikap genit mereka membuatku merasa geram. Apa tidak cukup sainganku di desa ini sehingga para wanita sepantaran Ibu juga mau ikut-ikutan?
"Dasar emak-emak genit!" Sampai di rumah pun aku masih menggerutu.
"Ada apa to, Pus? Pulang dari warung kok ngedumel," Ibu yang tengah memasak mulai terganggu. "Itu Lo Bu. Bulek Entin sama bude Lilik pada genit ngomongin Fadli," sahutku dengan nada kesal.
"Fadli, anaknya Pak lurah?"
"Iyo, Bu."
"Fadli sudah pulang?" Ibu mulai penasaran.
"Katanya sih begitu, Bu. Aku juga belum lihat."
"Kamu kesana aja, Pus. Temui dia!"
"Yo malu to, Bu."
"Kenapa malu, dia temanmu to?"
Yang di katakan Ibu memang benar bahwa aku dan Fadli dulu berteman akrab, tetapi kami sudah lama tidak bertemu tentu saja ada rasa malu.
"Puspa ...!" Terdengar panggilan dari luar. Suara yang sudah asing lagi di telingaku "Sopo, Pus?" tanya Ibu.
"Siapa lagi to, Bu. Kalau bukan Tejo."
Aku merasa geram setiap kali pria cungkring itu datang ke rumah. Dasar tidak tahu diri. Sudah dekil, cungkring. Terus saja menggodaku.
"Opo?" Aku berdiri di teras sembari memasang wajah jutek. "Ojo galak-galak to, Pus. Entar cantiknya hilang lo!" Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku emosi.
"Ora usah kokehen lambe! (Tidak usah banyak bicara) Ada perlu apa? Aku sibuk."
Bukannya mundur mendapatkan penolakan dariku, si Tejo malah semakin gencar menyambangiku ke rumah. "Jalan-jalan yok! tak teraktir."
"Emoh, mending jangan ke sini lagi deh Tejo! Pacarku sudah datang dari kota aku nggak mau dia cemburu."
Mendengar ucapan terakhirku Tejo langsung turun dari motor bututnya.
"Siapa maksudmu, Dek?" dia bertanya dengan raut wajah menyebalkan.
"Anaknya Pak lurah. Kamu nggak tahu kalau dia itu pacarku?" Aku sengaja mengakui Fadli sebagai kekasih dengan begitu Tejo akan merasa segan, karena Fadli anaknya Pak lurah.
"Ra percoyo aku, Dek," ucapnya sembari tertawa.
"Ra percoyo Yo wes, karepmu!" Aku bergegas masuk ke rumah pemuda itu akan besar kepala kalau terus ku ladeni.
"Kemana Tejo, Pus?" Ibu keluar dari dapur sembari membawa secangkir kopi susu.
"Untuk siapa kopi itu, Bu?"
"Untuk Tejo, to,"
"Ibu Iki piye to? Kok malah di bikinin
kopi, makin besar kepala dia, Bu." Aku mengambil cangkir kopi dari tangan ibu dan menenggaknya sampai tetes terakhir. "Emang Ibu mau punya mantu cungkring, buluk dan miskin seperti dia?" Bukannya aku menghina, hanya saja sikap Tejo membuatku tidak suka.
"Yo ra sudi," Ibu bergidik ngeri membayangkan memiliki mantu pengangguran seperti Tejo.
"Makanya jangan di kasih perhatian, Bu!" aku nyelonong masuk ke kamar.
Di kamar aku mulai membayangkan Fadli. Bagaimana ya wajah pemuda itu sekarang? Dulu saja ganteng pasti sekarang tambah ganteng. Kuremas bantal dengan kuat karena gemas. "Besok aku akan cari cara untuk menemuinya" gumamku pelan.
***
Semenjak lulus Sekolah Menengah Pertama, aku hanya berdiam diri di rumah. Ingin kuliah, tapi apa daya aku yang hanya anak seorang janda tidak punya biaya untuk sekolah tinggi.
Dua bulan terakhir aku ikut rombongan organ di desa. Bermodal wajah cantik dan body yang aduhai aku langsung menjadi primadona. Kata orang suaraku juga lumayan merdu.
"Pus, kamu sudah di beritahu Mas Agung belum kalau lusa kita manggung?" Anita yang adalah teman satu grup mengabariku lewat panggilan telpon. "Belum, Nit. Manggung dimana?" Aku sangat bersemangat mendengar informasi dari Anita. Sudah hampir satu bulan kami tidak dapat job. Lipstik sama bedak sudah menipis. Mau beli pakai uang tabungan tidak cukup.
Minta sama Ibu juga tidak tega. Ibu hanya berjualan Nasi pecel di depan rumah, itu pun tidak terlalu ramai pasti uangnya juga tidak banyak.
"Pak lurah mengadakan acara syukuran untuk anaknya yang lulus sarjana. Kita di undang untuk nyanyi di sana," ucap Anita.
Bak ketiban durian runtuh. Kabar dari Anita membuatku bahagia. Sambil menyelam minum air. Sudah dapat bayaran dapat juga kesempatan untuk tebar pesona pada Fadli, asyik. "Yang benar Nit? Wah dapat durian runtuh ni,"
"Maksud kamu apa, Pus?" Nita tidak mengerti yang aku maksud.
"Kalau pak lurah yang ngundang, pasti ongkosnya lumayan kan, Nit?" aku memang jagonya berkilah.
"Bener juga, kamu! Ha ha ha."
Nita tertawa bahagia, tetapi disini akulah yang paling bahagia.
"Mala, gimana?" aku teringat dengan sainganku yang satu itu. Mala tidak seperti Nita, dia punya sifat yang buruk. Setiap aku mendapat banyak saweran dia akan langsung mencak-mencak bak cacing kepanasan.
"Nggak tahu aku, Pus. Coba tanyakan ke Mas Agung!"
"Baiklah, aku akan bertanya padanya nanti."
***
Masih ada satu hari sebelum acara itu. Aku berniat membeli gaun baru untuk tampil, tapi uangku tidak cukup. Apa aku harus meminjam sama mas Agung? Baiklah aku akan mencobanya.
Sekali terhubung, Mas Agung langsung menjawab telpon dariku. "Ada apa, Sayang?" Pria itu selalu genit padaku. Tidak kapok saat sang istri menjewer telinganya.
"Mas, untuk acara lusa aku tidak punya gaun yang pas gimana?" Aku sengaja bermanja-manja padanya sekedar untuk merayu.
"Gaun yang biasanya kamu pakai kan ada," jawabnya santai.
"Yang mana, Mas? Semuanya sudah kubas. Acaranya di desa kita sendiri Lo Mas. Harus pakai yang cetar dong!" Aku terus merengek pantang mundur sampai tujuanku tercapai.
"Terus gimana dong, Sayang?"
"Belikan dulu ya, Mas. Nanti kalau sudah dapat honor langsung aku bayar, ya?"
Mas Agung tidak langsung menjawab, sepertinya dia berpikir dulu. Maklum pria beristri, pasti uang di pegang istrinya.
"Baiklah, karena kamu biduanku yang paling mempesona aku kasih pinjam, tapi langsung lunas ya bayarnya jangan di cicil! Nanti Mbak Rum ngamuk."
Mbak Rum adalah istrinya Mas Agung, wanita itu terkenal galak. Mas Agung yang berambut gondrong seperti preman saja tunduk padanya.
"Siap, Mas. Muach!" Aku memberi cium jauh untuknya karena saking bahagianya. "Coba sekali-kali aku ini di servis, Pus. Pasti semuanya akan ku berikan untukmu,"
"Hussh! Mulai ngawur to, Mas," balasku kesal.
"Opo kui, Mas. Seng di servis? Hii ...hh!" Terdengar suara Mbak Rumi dalam sambungan telpon. Dari suaranya bisa di pastikan kalau Mas Agung kena jewer. "Guyon Lo, Dek. Ampun!"
Aku tertawa lepas mendengar perkelahian kedua orang itu dalam sambungan telpon.
Bukan hanya Mas Agung yang sering menggodaku begitu. Tak jarang pemilik hajat menawariku jutaan rupiah asal aku mau bermalam dengan mereka. Namun, dengan tegas aku menolaknya. Tidak semua penyanyi dangdut saweran itu bisa di beli. Termasuk aku.
Suara dan goyangan bisa aku jual untuk di nikmati banyak orang, tetapi tubuhku hanya untuk orang yang aku cintai saja. Siapa lagi kalau bukan Mas Fadli. Membayangkannya saja membuatku tersipu malu.
***
Aku pergi ke pasar ditemani Anita. Toko baju langganan kami menjual aneka gaun bermacam model. Pilihanku jatuh pada gaun bermanik warna biru malam dengan panjang selutut dan bagian dada yang tertutup.
"Tumben, kamu pilih yang modelan begini?" celetuk Nita.
Gaun itu memang berbeda dengan gaun yang biasa aku pakai. Biasanya aku suka mengenakan gaun minim yang memiliki belahan dada lumayan terbuka. Resiko jadi biduan kampung harus bisa sedikit berani. Kalau tidak seperti itu ya nggak bakal laku.
"Apa sih, Nit? Di depan Pak lurah kita harus sopan, Nita! Jangan sampai kita di cekal nanti," aku berujar sembari tertawa geli.
Aku harus memberi kesan positif pada Fadli. Jangan sampai dia jijik melihatku berpakaian seksi di atas panggung. Bisa jatuh harga diriku.
***
"Kamu ngutang ke Agung, Pus?"
Ibu teekejut saat tahu aku berhutang lagi. Ini memang bukan pertama kali aku berhutang pada Mas Agung. Tapi hutangku yang dulu sudah lunas, jadi nggak masalah jika berhutang lagi. "iya, Bu. Habisnya uangku nggak cukup untuk beli gaun," jawabku.
"Hati-hati, Pus. Ibu kok takut kalau Agung naksir kamu!"
"Ibu iki opo to? Jangan mikir ngawur, Mas agung itu sudah punya istri, Bu. Istrinya juga cantik, lebih cantik dariku."
"Jaman sekarang, selingkuhan nggak lebih cantik dari istri pertama lo, Pus. Yang penting mereka tidak tahu diri aja,"
"Walah ... Ibu kebanyakan nonton gosip Iki, wes lah aku ngantuk, Bu." Aku pun segera masuk kamar.
Keesokan harinya aku sudah bersiap dengan riasan tipis tapi tetep cantik. "Pus, kamu berangkat naik apa?" Ibu pun sudah berdandan tak kalah heboh dariku.
Acara yang di selenggarakan di halaman rumah Pak Lurah terbuka untuk umum. Seluruh warga desa boleh menghadirinya. "Nanti Ardi menjemputku, Bu."
Ardi adalah asisten salah satu anggota grup organ tunggal kami, dia bertugas mengurus sound sistem sekaligus tukang antar jemput para biduan untuk menghemat biaya taransportasi.
"Ya udah, Ibu berangkat dulu ya,"
Ibu berdandan bak ibu pejabat. Aku sampai malu dibuatnya. Tapi mau bagaimana lagi, Ibu adalah salah satu anggota dari ibu-ibu PKK di desa kami.
"Ibu, sama siapa?" tanyaku sebelum wanita yang sudah melahirkanku itu benar-benar keluar rumah. "Sama, Bulek Entin." jawab Ibu.
Aku sampai lupa, mereka kan sahabat karib yang tak terpisahkan kemanapun pasti berdua. Maklum lah sama-sama janda.
***
Halaman rumah Pak Lurah sudah ramai di penuhi warga. Ada banyak makanan geratis hari ini, sudah tentu mereka tidak akan melewatkannya begitu saja. Aku mengambil bagianku berjalan menuju panggung yang berada tepat berhadapan dengan rumah sang empunya hajat.
Mataku terus mengedar ke seluruh penjuru untuk mencari sosok yang dari kemarin sudah menggangguku di alam mimpi. Namun, aku tidak menemukannya.
MC sudah membuka acara dengan doa. Pak lurah juga sudah menyampaikan kata sambutan. Kini giliran Fadli sang bintang utama memberikan kata-kata mutiara.
Aku sudah tidak sabar, kakiku bahkan tidak berhenti bergoyang karena gugup. "Kamu kenapa, Pus. Kebelet?" Anita bertanya sembari menatap heran. "Aku gugup, Nit."
"Lah ... Kayak penyanyi baru aja pakai gugup segala," Nita berucap dengan entengnya. Dia tidak tahu saja bagaimana irama jantungku yang sedari tadi berdisko ria. Syukurlah hari ini hanya aku dan Anita yang hadir. Mala sakit jadi dia tidak ikut. Paling tidak gadis itu tidak akan merusak suasana hatiku.
"Kita sambut anak Pak Lurah kita yang paling ganteng se-antero negeri ... Fadli ...!" Mas Agung dengan lantang memanggil nama Fadli.
Hanya ada satu panggung, jadi Fadli akan berpidato di atas panggung itu bersama kami.
Benar yang di bicarakan banyak orang, Fadli sekarang semakin ganteng. Hatiku bergetar saat melihatnya keluar dari rumah. "Kok ada manusia sesempurna itu? Gantenge ...!" tanpa sadar aku bergumam, membuat Anita berdecak heran dengan tingkahku. "Ck ... ck ... Sadar woi!" Anita menepuk kasar pundakku rasanya sakit sekali. Dia itu terlihat lembut tapi tepukan tangannya seperti tangan kuli.
"Sakit to, Nit!" Aku protes, tapi dia tidak menghiraukan aku sama sekali.
"Permisi ..." Fadli melewati kami dengan sedikit membungkuk. Jangan di tanya bagaimana irama jantungku saat itu, kalau di pasang mikrofon di sana, pasti seluruh dunia bisa mendengarnya. Jedugh! Jedugh! Jedugh!
Sudah ganteng, rapi, wangi lagi. Aku sampai lupa menutup mulut karena terpesona. "Mingkem, Pus!" Anita kembali menepuk pundakku. Seketika aku menutup mulut sembari berdehem untuk menetralisir rasa gugup di dalam hati.
Sampai Fadli selesai memberi kata sambutan, jantungku terus bergemuruh. Bisa terkena serangan jantung kalau terus begini. Apalagi Fadli sering curi-curi pandang kepadaku. Bukannya aku terlalu percaya diri, Anita pun memberi kode bahwa pria yang kini berdiri di hadapan kami, terus melirik ke arahku.
"Duluan, Pus." Pria itu berkata sebelum turun dari panggung. "I-iya," aku sampai tergagap karena syok. Ternyata Fadli masih tidak berubah dia tetap santun seperti dulu, dan aku luluh pada dirinya.
"Dia masih ingat kamu, Pus." Anita sepertinya iri. "Tentu saja, siapa yang bisa lupa kecantikan Puspa Maharani?"
"Sombong!" balasnya. Kami pun cekikikan di atas panggung.
Saatnya kami harus beraksi. Anita tampil lebih dulu. Alunan musik dan merdunya suara kami membuat suhu terik siang ini tak terasa.
Aku mengeluarkan goyangan andalanku, membuat warga tergoda dan bergoyang. Bahagia rasanya bisa menghibur mereka.
Sesekali aku melirik ke arah Fadli yang duduk di antara para warga. Pemuda itu tersenyum saat beradu pandang denganku. Bak gayung bersambut, aku yakin cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
"Puspa ...!" Teriakkan itu mengalihkan perhatianku. "Pacarmu datang, Pus," Anita mengejek di tengah nyanyian kami. "Edan, ra Sudi aku pacaran sama modelan walang kadung kayak gitu!"
Tejo terus saja memanggilku, membuat harga diriku jatuh ke dasar bumi. "Aku padamu, Puspa ..." Teriaknya lagi. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya dengan tisu. Kenapa sih, Tejo harus hadir? kenapa dia tidak sakit saja seperti Mala? Tanpa sadar aku sudah mendoakan kemalangan untuk orang lain.
Kebanyakan warga sudah pulang setelah jamuan makanan yang di sediakan oleh tuan rumah. Kami, rombongan organ, paling akhir karena harus belakangan karena harus membereskan dan lain-lain. Aku dan Anita sudah selesai makan dan lega karena perut kami sudah terisi. Aku bahkan lupa sarapan karena terlalu bersemangat.
"Kamu apa kabar, Pus?" Suara asing terdengar di telingaku, membuatku segera menoleh ke arah suara itu. Terkejut aku mendapati Fadli berdiri tepat di sampingku. Bagaimana aku bisa tidak menyadarinya?
"A-aku, baik," jawabku terbata-bata.
"Duduklah, Mas!" Anita bersuara. Aku bahkan lupa menyuruhnya duduk karena begitu gugup.
"Aku tinggal bentar ya, mau bicara sama Mas Agung," Anita berpamitan. Dia pengertian, tahu saja kalau aku mau berduaan dengan Fadli.
"Kamu nyanyinya bagus, Pus." Fadli membuka percakapan. "Enggak juga, Fad. Kamu lupa dulu sering memanggilku cempreng?" Aku dan Fadli bukanlah teman yang akur. Ketika SD sampai SMP, kami terus bertengkar dan saling mengejek.
Waktu kecil tubuh Fadli lumayan gemuk sehingga aku sering memanggilnya Endut, sementara Fadli sering memanggilku cempreng. Wajar sih, aku cerewet dan berbicara nyaring.
Siapa sangka, kini Fadli tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Tubuh atletisnya bisa menghipnotis mata para wanita.
"Iya, kamu kan memang cempreng kalau bicara, sampai sekarang masih cempreng, nggak?"
Tanpa sengaja, aku menatap kedua mata Fadli. Tatapannya sungguh menenangkan dan aku tenggelam. "Pus?" Suaranya membuatku tersadar. Kuatkan imanmu Puspa! Jangan sampai pertemuan ini menimbulkan kesan buruk pada Fadli. "Maaf, aku kurang konsen kalau di dekat pria ganteng," ucapku ngawur dan di sambut gelak tawa oleh Fadli.
Pemuda tampan di sampingku terlihat mengambil selembar tisu dan bolpen. "Ini simpan, ya! Aku harus pergi, hati-hati pulangnya!" Pria itu pun masuk ke dalam rumah. Apa yang dia suruh untuk aku simpan? Apa dia memberi uang sawer? Segera ku ambil tisu yang terlipat di atas meja, di sana tertulis nomor telepon Fadli. Dasar matre, cuma berpikir tentang uang saja.
Segera kucatat nomor itu di layar handphone. Bagaimana tidak kelepek-klepek kalau dapat perlakuan seperti ini? Pesannya pun begitu manis, semanis teh yang ada di gelasku. Segera ku habiskan teh yang tinggal separuh.
"Nit ... ayo pulang!" Dengan suara sedikit lantang, aku memanggil Nita. Aku tahu dia dari tadi memperhatikan, tapi pura-pura tidak tahu.
Setelah berpamitan dengan pak lurah dan istrinya, kami pun segera pulang. Kebetulan Nita membawa sepeda motor, jadi sekalian aku menumpang.
"Cieeh ... yang dapat nomor telepon, " Anita menggodaku di atas sepeda motor. "Opo to? Fokus! Entar masuk parit," ujarku sambil tersenyum malu.
"Lo Bu, kenapa?" Saat sampai di rumah, Ibu duduk di teras di samping Bulek Entin. "Ini to si Entin. Nggak becus bawa motornya," mendengar penuturan ibu, aku menjadi khawatir. Apakah mereka mengalami kecelakaan? Ibu tak henti-hentinya memijat kaki yang terlihat bengkak. "Ada apa to, Bulek?" Kali ini aku bertanya pada Bulek Entin.
"Tadi aku tidak fokus, Pus. Jadinya motor nabrak pohon pisang,"
"Ladalah ... kok iso to?"
"La Ibumu nyerocos ae ... Aku jadi nggak fokus," Bulek Ntin berusaha membela diri.
"Halah ... Dasarnya kamu nggak becus to, Entin!"
Kalau di biarkan, ini tidak akan ada habisnya. "Wes ... yang penting, Ibu nggak papa. Bulek pulang saja biar Puspa yang mengurus Ibu," Aku merasa iba pada Bulek Entin yang terlihat syok karena insiden itu.
"Yo wes, Bulek pulang ya, Pus,"
"Iyo, Bulek, hati-hati!"
Syukurlah, tidak ada luka yang parah. Mereka hanya menabrak pohon pisang tidak sampai terguling.
"Ibu ini Lo sudah di kasih tumpangan bukannya terimaksih makan ngomel ae,"
"Gimana nggak ngomel, ibu di susrukin ke pohon pisang kok,"
"Itu kan kecelakaan, Bu. Bulek Ntin pasti juga kesakitan itu, tapi di tahan."
Hingga menjelang malam, Ibu terus merintih dan mengeluhkan kakinya yang sedikit membengkak. Ibu memang seperti itu, sakit sedikit manjanya tidak ketulungan.
"Kita ke puskesmas ya Bu," usulku.
"Emmoh ... Nanti ibu di suntik," gusar Ibu.
"La terus piye, to?"
Lelah Karena manggung tadi siang begitu terasa. Aku ingin istirahat untuk meluruskan tulang punggung, tapi tidak bisa karena harus meladeni rengekan Ibu.
"Bentar, tak Beli paracetamol di warung Bulek Entin," kataku sambil mengambil kunci motor.
"Kok, paracetamol? Ibu Lo nggak panas, Pus," protes Ibu.
"Yo, wes lah, Bu. Pokok manut karo Puspa kalau mau sembuh." sahutku sambil segera berangkat ke warung.
Ibu begitu memaksakan keinginan ya, entah dari siapa dia menuruni sifat keras kepalanya itu.
"Bulek ...!" Panggilku sebanyak dua kali. Namun, Bulek Entin tidak merespon.
"Bulek Ntin!" Aku mengeluarkan suara lantangku, tak perduli para tetangga bakal terganggu, belum malam juga kan. Pikirku.
"Opo to, Pus?"
Wanita seumuran dengan Ibu itu keluar dari rumah sembari memegangi sebelah kakinya. Jalannya juga sedikit pincang. "Bulek, kenapa?"
"Keseleo kaki Bulek, Pus," jawabnya.
"Lah, kok iso to? Bukannya tadi sore Bulek baik-baik saja,"
"Iya, tadi belum terasa, pas sampai rumah kok bengkak kaki Bulek."
Mendengar penuturan Bulek Entin aku langsung memahami keadaan Bulek Entin, dia merasa sakit tapi tidak mengeluh karena menanggung omelan Ibu. bisa menyimpulkan. Kasihan sekali, apalagi dia tinggal sendirian karena anaknya pergi merantau ke luar kota.
"Kamu, mau beli apa?" tanya Bulek Entin.
"Oh iya, hampir lupa. Mau beli obat pereda nyeri untuk Ibu," jawabku sambil mengambil uang dari saku.
"Lho, ibumu belum baikkan? Coba di bawa ke Mbah Simpen untuk di urut. Aku tadi juga dari sana."
Mbah Simpen adalah tukang urut paling terkenal di desa kami.
"Seperti nggak tahu Ibu saja Bulek ini, tak bawa ke puskesmas saja nggak mau, apalagi urut?" keluhku.
Setelah mendapat obat anti nyeri, aku segera pulang. Rencana untuk mengirim pesan pada Fadli harus tertunda karena Ibu. Takutnya kalau Fadli sudah tidur.
Setelah Ibu minum obat yang ku beli, dia akhirnya bisa tidur. Syukurlah, aku juga merasa tidak tenang kalau Ibu terus merintih seperti tadi.
Sudah larut tapi aku belum bisa tidur. Aku ambil ponsel dalam tas. Mencari kontak Fadli di sana. Sudah jam dua belas malam. Apa Fadli sudah tidur?
Ting!
Tiba-tiba teleponku bergetar oleh pesan singkat dari Fadli. [Belum tidur, Pus?]
Darimana Fadli mengetahui nomer ponselku?
[Belum, aku nggak bisa tidur. Kamu juga belum tidur?] balasku.
[Belum ngantuk. Lagi mikirin apa kok nggak bisa tidur?] Balas Fadli.
Membaca pesannya sudah membaut jantungku berdetak lebih kencang lagi. Aku benar-benar jatuh cinta pada pemuda ini.
Malam semakin larut. Namun, Aku belum bisa memejamkan mata. Bayangan wajah tampan Fadli menghantui pikiranku.
Apa, jatuh cinta memang seperti ini? Sungguh menyiksa. Ingin segera bersua dan memadu kasih dengannya, tapi aku perempuan. Pantang bagiku untuk mengatakan cinta lebih dulu.
Drett!
Drett!
Suara getar ponsel dari panggilan masuk, membuat jantungku berdebar. Segera kuraih handphone yang baru saja kuletakkan di atas meja.
Aku langsung menekan tombol hijau dalam layar, tanpa melihat nama yang tertera di sana.
"Halo ... kamu juga belum tidur?" aku menyapa dengan nada lembut.
"Belum dong, Dek. Mas Tejo mu ini sangat merindukanmu," Terdengar suara seseorang dari ujung telepon. Suara yang berbeda dengan suara Fadli.
Aku pun segera memeriksa layar ponsel, dan benar saja, bukan Fadli yang menelpon melainkan Tejo.
"Ngapain to nelpon malam begini?" ucapku kesal. Andaikan itu Fadli, akan beda lagi ceritanya.
"Aku mau minta maaf, karena tadi sore nggak bisa antar kamu pulang, aku sakit perut, Dek. Jadi pulang lebih dulu." ucap Tejo panjang lebar.
Dari caranya bicara, seolah dia adalah kelasihku. Sungguh menggelikan.
"La kamu siapa? pakai mau antar Aku pulang? Aku bisa pulang sendiri. Sudah ya, Tejo. jangan meneleponku di malam hari, Ganggu!" jawabku, tak kalah panjang lebar dari Tejo.
"Berarti kalau siang boleh, Dek?" Tenjo mencari celah pada ucapanku.
"Nggak boleh!"
Aku segera mematikan sambungan telepon. Kalau tidak, lelaki itu akan semakin besar kepala karena sudah kuladeni bicara.
Fadli pasti sudah tidur, karena pesan yang aku kirim padanya masih bercentang satu. Baiklah aku akan menghubunginya lagi nanti. Bagaimanapun aku harus menjaga harga diri. Masa, baru bertemu sudah terus menghubunginya. seolah aku sudah ngebet sama dia. Aku juga tidak mau membuat Fadli berpikiran buruk tentangku.
Hingga menjelang siang, aku belum bangun. Keadaan semalam membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak, sehingga mataku terasa berat untuk terbuka di pagi hari.
"Puspa! bangun to sudah pagi. Anak gadis kok molor ki piye to?" terdengar sayup suara ibu memanggilku dari arah dapur. Namun, aku tidak menghiraukannya.
Kutarik kembali selimut yang hampir terjatuh dari ranjang. Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Aku pun kembali memakai selimut itu menutupi seluruh tubuh hingga kepala. Kembali tidur untuk meneruskan mimpi yang lagi indah-indahnya.
Akun memicingkan mata saat cahaya matahari tepat mengenai seluruh wajah. Cahaya itu meninggalkan rasa panas yang membakar. Apa ini sudah tengah hari? segera kuraih handphone yang tergeletak di atas meja. Dan benar, terlihat angka 12:12 berjejer sempurna.
Huaaaaahhhh!
Aku menggeliat panjang, untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku.Rasanya nyaman sekali setelah mendapat istirahat yang cukup, lebih malah.
"Puspa ... Bangun!" Dua kali ibu memanggil dengan kalimat yang sama. "Iya ... Bu. Puspa sudah bangun kok," jawabku dengan suara serak.
Saat keluar kamar, aku mendapati ibu sudah rapih, sepertinya lebam di kakinya juga sudah membaik, syukurlah. "Ibu, mau kemana?" tanyaku heran. Satu set rantang sudah ada di tangannya. "Ibu mau mengantar ini ke rumah pak lurah," Ibu menjawab sembari menunjukkan rantang berwarna merah jambu padaku.
"Itu apa, Bu?"
"Ini? Rantang to!" sifat lemotnya Ibu kambuh lagi.
"Isinya ... Bu Ningrum!" Ningrum adalah nama ibu. Kuhela nafas panjang merasa jengah dengan sifat ibu yang satu itu.
"Oh isinya ... opor ayam, sambal goreng tempe sama telur balado," Akhirnya dia faham dengan maksudku.
"Tumben, ada acara apa di rumah?"
"Tidak ada acara, Ibu ingin saja," jawabnya santai.
Ternyata pikiran Ibu lebih maju dariku. Dia pasti sengaja melakukan semua itu demi menarik perhatian pak lurah dan keluargannya. "Nggak papa to, Bu. Seperti itu?" tanyaku ragu.
"Yo nggak papa to, kan kita niatnya baik, Pus. Silaturrahmi," jawab ibu.
"Tunggu, Bu!" panggilku dengan suara lantang.
"Apa lagi?" Ibu mengehentikan langkah kakinya. Tepat di ambang pintu. Aku pun segera menghampirinya. "Kalau manggil itu mbok jangan teriak gitu to, Pus. Sudah kayak Tarzan kamu." Berulang kali Ibu menasehati, agar aku bicara lebih lembut dan pelan. Mau bagiamana lagi, suara nyaringku ini kan turunan dari dia. Sudah bawaan dari lahir.
"Itu sudah paling pelan Lo, Bu." jawabku cekikikan.
"Kamu itu, kalau di bilangi ngeyel."
"Biar, Puspa aja yang antar makanannya, Bu!" Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku berlari ke kamar mandi. Tidak mungkin berkunjung ke rumah Fadli dalam keadaan belum mandi.
Setelah selesai berdandan, aku segera menyahut rantang yang di letakkan ibu di atas meja.
"Hati-hati, Pus! Jangan sampai tumpah!" Ibu mewanti-wanti.
"Siap, Bu!" Aku menjawab sembari menyalakan mesin motor.
Syukurlah, aku punya ibu yang pengertian seperti dia. Tanpa aku memintanya, Ibu sudah tahu apa yang aku mau. Doa kan anakmu, Bu! Semoga berhasil menggaet hati pria ganteng itu. Gumamku dalam hati.
Tak berapa lama aku pun sampai di rumah calon mertua. Enak sekali jadi orang kaya, mobil saja bisa gonta ganti sesuka hati. Setahuku mobil Pak lurah berwarna hitam, sekarang sudah berubah jadi merah.
Semoga usahaku mendekati Fadli berhasil, biar bisa naik mobil mewah itu setiap hari.
Dengan tidak sabar, aku mengetuk pintu rumah Fadli. Berharap bisa bertemu dengannya hari ini.
"Assalamualaikum," ucapku lantang.
"Wa'alaikumsalam, " terdengar sahutan dari dalam.
"Ee ... Puspa. Ayo masuk!"
Bu lurah sendiri yang menyambut kedatanganku. Sepertinya ini memang hari keberuntunganku, karen semuanya berjalan dengan sempurna.
Aku masuk ke rumah besar itu mengikuti langkah kaki Bu Lurah. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Nampak Fadli tengah duduk santai di sofa ruang tamu. Akhirnya usahaku tidak sia-sia. Kupasang wajah termanis saat menyapanya.
"Puspa?" Pria itu berdiri dan menghampiri. Membuat irama jantungku yang awalnya baik-baik saja, langsung bergemuruh bak genderang perang tengah di tabuh.
"Oh iya, ini ada sedikit makanan dari Ibu," aku berkata sambil menyerahkan rantang yang kubawa pada ibunya Fadli. Karena terpesona, aku sampai lupa masih menenteng rantang itu di tangan.
"Walah ... kok repot-repot to ibumu. Makasih yo," Bu lurah membawa rantang beserta isinya masuk ke dapur. Aku membatin, sudah pasti lah mau repot wong ada maunya.
Fadli mengajakku duduk di sofa. Dengan malu-malu aku pun menurut.
"Rumah kamu nyaman banget Lo, Sayang,"
Belum sampai bokongku menempel dengan sempurna di atas sofa, terdengar suara lembut dari arah dalam. Seorang gadis cantik keluar sembari membenahi pakaiannya, sepertinya dia dari kamar mandi.
Refleks aku pun segera bangkit dari duduk.
"Eh, ada tamu?" ucapnya kaget.
"Kenalkan dia Puspa, teman sekolahku dulu," Fadli memperkenalkan diriku padanya.
"Hai, Puspa. Aku Yasmin pacarnya Fadli," perempuan itu berucap sembari mengulurkan tangan padaku.
Degh!
Pacar? Jadi Fadli punya pacar? Secantik ini? Seketika tubuhku terasa menciut, dia begitu cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus. Seketika ku pandangi sisa-sisa gigitan nyamuk di lengan dan betisku, jelas aku kalah jauh dari wanita ini.
Bagaimana aku bisa lupa? sudah pasti banyak makhluk cantik dan mulus seperti dia di kota. Apa yang aku harapkan? Fadli menaruh hati pada gadis desa sepertiku? Penyanyi hajatan pula. Sudah pasti tidak mungkin.
"Pu-Puspa," aku menyambut uluran tangannya dan mengenalkan diri dengan tergagap.
Ya Tuhan, kulit tanganya saja sangat halus. Aku jadi tidak percaya diri saat menyentuhnya.
"Senang bertemu denganmu, Puspa," balasnya.
Dari nama kami saja sudah terbentang berbadan yang sangat jauh. Puspa dan Yasmin.
"Ayo, Sayang! Aku harus segera pulang, besok ada meeting di kanto," Perempuan itu berkata sembari menggandeng tangan Fadli. Sementara itu, aku hanya plonga-plongo menyaksikan kemesraan mereka.
"Sebentar ya, Pus. Aku antar Yasmin keluar," Fadli berpamitan padaku.
"Tunggu! Aku juga sudah mau pulang. Aku pamit ya Fad," enak saja mereka mau meninggalkan aku begitu saja. Aku akan pergi lebih dulu setidaknya itu terlihat lebih baik.
"Nggak nunggu Ibu, Pus? Rantangnya gimana?" Fadli malah memikirkan soal rantang.
Aku tidak lagi memikirkan rantang merah jambu milik ibu, karena menyelamatkan muka lebih penting.
"Nggak papa, Fad. Besok-besok masih bisa di ambil, atau untuk Bu Lurah saja rantangnya. Geratis," Entah apa yang aku ucapkan, yang penting aku bisa segera kabur dari sana.
"Aku duluan ya, ada urusan penting soalnya. Assalamualaikum,"
Segera ku putar sepeda motor yang terparkir di halaman rumah.
nggreng!
Aku melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku tidak perduli mereka mau berpikir apa tentangku, satu hal yang pasti aku sakit hati. Rasanya ada yang terluka dalam diriku, tapi tidak berdarah.
Di sepanjang jalan aku menangis. Dasar gadis kampung tidak tahu diri! Tak hentinya aku merutuki kebodohanku.
Dadaku terasa begitu sesak, apa begini rasanya patah hati? Apa ini karma karena aku sering menolak Tejo? Lah, kenapa juga aku malah teringat Tejo di saat-saat seperti ini? Membuat dadaku semakin sesak saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!