NovelToon NovelToon

Dari Korea

p r o l o g

Di sebuah taksi yang melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah  tempat, seorang anak laki-laki bernyanyi dengan gitarnya untuk menghilangkan rasa bosan perjalanan. Nyanyian itu ditujukan pada Ibunya, yang duduk di sebelahnya.

Kau adalah darahku

Kau adalah jantungku

Kau adalah hidupku

Lengkapi diriku

Oh Ibu kau begitu

Sempurna...

Nyanyiannya selesai. Dari awal hingga akhirnya, anak laki-laki itu menyanyikannya sepenuh hati. Lagu Sempurna milik Andra and the Backbone memang sangat-sangat cocok untuk menggambarkan perasaannya untuk Ibundanya.

Sementara Ibu yang mendengarnya seketika tertawa. Entah itu haru, sebal, kesal, malu ataupun jijik. "Suaramu seperti kodok terendam air. Jelek sekali, haha. Siapa yang mengajarkan?"

Anak laki-laki itu cemberut, agak kecewa dengan tanggapan Ibunya. "Aku belajar sendiri, Bu. Khusus untuk Ibu, hanya untuk Ibu."

Ibu tersenyum lebar, mengacak rambut anaknya dengan sayang. "Jangan macam-macam di sini, ya. Hiduplah dengan baik, buka lembaran baru dan bersenang-senang."

"Siap, Bu. Aku tak akan mengecewakan Ibu."

"Anak yang baik."

***

***

jadi, ini adalah tulisan pertama aku yang dibuat. merupakan karya yang paling cepat aku selesaikan juga. pengerjaannya hanya satu bulan karena aku sangat-sangat mood waktu menyelesaikannya.

inspirasi cerita ini datang begitu saja. yang kemudian aku kembangkan dan akhirnya menjadi sebuah cerita panjang seperti ini.

aku hanya ingin memberi saran, bagi siapapun yang ingin mewujudkan cita-citanya, jangan berhenti di tengah jalan

jika bingung dalam mewujudkannya, maka kamu bisa memulai dengan selalu mengerjakan dengan baik setiap cobaan dan rintangan yang ada.

semua yang sulit ada hikmahnya, ingat saja

sebenarnya ini hanya prolog, tapi karena kata minimalnya adalah 500, maka aku akan memperpanjang catatan yang sebenarnya isinya curhatanku.

mohon mengerti, ya

bagi pembacaku, terimakasih telah hadir dan memberiku semangat dalam menciptakan karya lainnya. terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca. terimakasih telah baik padaku walaupun sepertinya kita tak akan bertemu dalam waktu dekat.

terimakasih.

tertanda. dini salim.

bye. bye. bye. bye.

t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t. b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b

c c c c c c c cc c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c

01

Ilyssa Devania adalah seorang gadis biasa yang tak begitu menonjol di kelasnya, tak terlalu dikenal di sekolahnya ataupun ternama atas prestasinya sampai walikota sekalipun mengenalnya.

Gadis itu berumur 18 tahun yang genap hari ini. Biasa dipanggil Ily dan tak ada yang spesial dari pesta ulang tahunnya kini. Biasanya orang-orang seumurannya akan mengadakan perayaan besar-besaran, namun itu tak berlaku pada Ily. Bahkan ulang tahunnya yang kemarin hanya dirayakan di halaman belakang rumah dengan kue tart sederhana buatan Ibu.

Ily cemberut menatap kue donat cokelat di depannya. Ia hanya ditemani Ayah dan Ibunya di atas meja makan dengan sebuah lilin untuk mati lampu di depannya. Mungkin keuangan keluarga sedang tak lancar, tapi Ily menyadari tekad Ayah Ibunya untuk merayakan hari ulang tahunnya.

Namun, tetap saja, Ily masih merasa kurang.

"Ayah, Ibu, Ily mau pesta," rengek Ily merasa kecewa. Minggu ini adalah musimnya liburan, namun ia harus berada di rumahnya bahkan saat berulang tahun. Ily merasa sangat mengenaskan.

Mereka bertiga hanya memakai piyama dan tak ada pernak-pernik ulang tahun seperti topi kerucut ataupun balon-balon. Benar-benar sederhana. Bahkan Ily tak melihat kotak kado.

"Ini kita lagi pesta," kata Ayah semangat. Tangannya bergerak heboh, bertepuk tangan dan mulai bernyanyi, "happy birthday to you, happy birthday Ily, happy birthday Ily! Woouuuu!"

"Yeah, sekarang tiup lilinnya. Ily mau apa, bilang aja," tambah Ibu dengan nada tak ajalah cerita.

"Ini jam 8 malam, malam Minggu dan Ily harap bisa berada di pantai sekarang juga," kata Ily dingin.

Ayah dan Ibu saling berpandangan dengan mata khawatir. Melihatnya, Ily justru tertawa dan membuat Ayah Ibu menatapnya dengan senyuman kecil.

"Ily bercanda, kok, hehe." Ily masih juga tertawa. "Makasih udah rayakan hari ultah Ily."

Tawa Ayah Ibu langsung menyusul, mengudara bahagia.

"Semoga kamu selalu sehat dan makin pintar, ya, nak," kata Ayah menyuarakan doanya.

"Semoga ulang tahun kamu kali ini diberkahi dan banyak kebaikan yang datang, ya," tambah Ibunya dengan senyum lebar. "Harapan kamu apa, nak?"

"Aku ingin lulus dengan nilai UN besar, masuk PTN dan meraih cita-citaku setinggi-tingginya," jawab Ily semangat.

Kalau bisa dapet pacar ganteng juga, sih, tambah Ily dalam hati.

"Bagus," puji Ayahnya sambil mengacak kecil rambut anak putrinya itu. "Semangat ya, bentar lagi kamu masuk sekolah sebagai siswi kelas XII."

"Iya, yah." Ily tersenyum lebar  dan merasa semangat atas kata-kata dari Ayah. "Sekarang mana kadonya?"

Ily menengadahkan kedua tangannya pada Ayah dan Ibu yang kini lagi-lagi berpandangan dengan tatapan khawatir. Ily hampir saja merenggut kecewa saat Ayah Ibu tak tiba-tiba bangkit dari duduknya dan memeluk Ily dengan segenap kasih sayang.

"Kadonya Ayah Ibu. Ily akan selalu Ayah Ibu temani sampai menikah, punya anak dan pulang pada Sang Pencipta. Kita bertiga akan selalu bersama dan bahagia."

Harusnya Ily selalu menyadari, tak ada bahagia selain diberi cinta yang melimpah dari Ayah Ibunya yang sederhana ini.

"Ily beruntung jadi anak satu-satunya Ayah Ibu."

***

Kegiatan pagi keluarga Ily berlangsung damai dan bahagia meski dibangun dalam kesederhanaannya yang khas.

Ibu sedang menggoreng telur mata sapi untuk sarapan di dapur dengan semua jendela rumah yang dibuka, membuat udara segar dan cahaya matahari yang lembut menghiasi rumah sederhana ini.

Ditemani suara burung tetangga, Ayah berhadapan koran di sofa ruang keluarga dengan kacamata bertengger di pangkal hidungnya, wajahnya tampak serius. Tentu, Ayah sedang memecahkan permainan sodoku di dalamnya.

Sementara Ily baru saja bangun karena menghirup aroma telur mata sapi buatan Ibu. Penciuman Ily lebih tajam dari pendengarannya saat tidur. Ini keunikannya.

"Ily! Ayah! Sarapan!" seru Ibu ketika setelah menyiapkan tiga piring dengan porsi masing-masing.

Ily segera mendudukkan diri di salah satu kursi meja makan. Menghadap seporsi sarapan dengan mata berbinar.

"Makasih Ibu udah siapin sarapan," kata Ily seperti biasanya. Kemudian Ayah akan melanjutkan perkataannya setelah duduk di seberang Ily.

"Jangan bosan-bosan, ya," kata Ayah akhirnya.

Ily tertawa, diikuti Ibu yang membalas dengan tawa yang sama juga. Ayah ikut tertawa setelah Ibu duduk di sebelahnya. Bahkan sesering apapun mereka melakukanya, itu selalu lucu.

"Ayo sarapan!" seru Ily bahagia.

Mereka bertiga sarapan dengan hening. Lagipula siapa juga yang akan sarapan dengan bising? Tak ada. Sekitar lima belas menit, meja makan telah kosong dan Ibu kini akan mencuci piring.

Seperti yang telah disepakati, Ily menyapu dan Ayah menyiram tanaman yang ada di halaman rumahnya. Di sana ada bunga mawar, anggrek, tanaman stroberi dan beberapa tanaman hias yang beragam.

Rumah keluarga Ily sesederhana penghuninya. Rumahnya tak bertingkat, namun memiliki taman belakang dan halaman yang luas. Isi rumahnya pun tak kalah luas dengan terdapat lima kamar, tiga kamar mandi di dalamnya.

Setelah kegiatan pagi selesai dilakukan, Ayah, Ibu dan Ily berkumpul di ruang tengah. Di sofa, menonton televisi sambil beberapa saat mengobrol acak ditemani kue jahe langganan keluarga.

Mereka menghabiskan pekan liburan seperti ini. Bersama, sederhana dan bahagia. Mereka bertiga sama-sama kurang menyukai kegiatan di luar.

Sampai tak terasa, kini penghujung hari libur telah di depan mata. Ily merasa liburannya singkat dan bahagia karena ada orang tuanya.

Tak ada harta yang lebih berharga daripada keluarga. Ily sangat menyetujui kata-kata itu. Di mana lagi dia bisa menemukan keluarga serukun ini?

***

Di malam liburannya--meskipun ini yang terakhir, seperti biasa, Ily berada di kamarnya. Menghadap laptop yang menyala dengan makanan ringan di sekelilingnya. Rutinitas Ily sejak ia menginjak bangku SMP yang bahkan tak akan ia hilangkan sampai kapanpun, karena apapun.

Menonton drama Korea, tentu saja. Ia kan menghabiskan tiga jam untuk menonton sambil makan cemilan, lalu mendengar lagu-lagu yang dibawakan penyanyi favoritnya, Shawn Mendes sampai puas kemudian tidur.

Ayah Ibunya tak melarang, karena semuanya tak masalah asal Ily bahagia. Sedamai itu keluarganya.

Jangan iri, ya.

Ily hampir bisa melihat drama dari semua genre. Fantasi, komedi, romantis, thriller, sampai action. Namun, tentu, ada yang menjadi favoritnya. Ily tak begitu menyukai drama romantis yang hanya akan membuatnya cemburu, ia juga tak begitu menggemari lawakan hingga membuatnya kelelahan karena tertawa, serta kurang menikmati drama bergenre fantasi yang segalanya hanya khayalan.

Thriller, action dan misteri merupakan genre favoritnya. Butuh pemikiran kritis, super konsentrasi dan menyiapkan mental. Semua itu seru dan Ily sangat-sangat menyukainya melebihi apapun.

Namun, Ily tak bisa menonton film horor. Benar-benar tak bisa. Jangan tanyakan mengapa.

Suara getaran ponselnya membuat Ily mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Ia berdecak, mengambil ponselnya dan mengumpat kecil karena lupa mematikan datanya. Kini notifikasi di grup kelasnya yang tak berbobot mengotori penyimpanan Ily.

Ily penasaran, mengapa bisa sampai ada seribu obrolan dalam grup yang beranggotakan duapuluh sembilan jiwa ini.

Bima : guys, malam Senin nih, JANGAN LUPA BESOK SEKOLAH

Bima : JANGAN LUPA BESOK SEKOLAH

Bima : JANGAN LUPA BESOK SEKOLAH

Bima : JANGAN LUPA BESOK SEKOLAH

Fani : ayo guys, semangat besok sekolah~~

Hafiz : jangan males-males, ya, mari sekolah

Gina : ayo semuanya sekolah~~ woo~~ rame lho

Alfin : ketua kelas, wakilnya, bendara sama sekretarisnya udah bawel noh nggak mau sibuk ngurusin yang absen

Fani : bacot Alfin lo juga seksi keamanan

Gia : gue nggak sekolah ye, sakit pilek

Alfin : cupu

Gia : nanti dikirim surat dokternya

Karin : siap-siap bosque, gue bakal sekolah besok! Ketemu dong! Kangeeeen!

Alfin : centil

Karin : bacot Alfin

Gina : bacot Alfin

Fani : bacot Alfin

Alfin : kok gua?!?!

Ily langsung menyecroll sampai ke bawah dan tak ada kepentingan yang perlu ia urusi. Grup kelasnya hanya berisi perdebatan antara pengurus kelas dengan anak-anak bandel, siswi centil dan siswa bermulut pedas atau tukang pamer dan tukang gosip. Selain itu, tak ada chat penting yang masuk juga dalam akun WhatsApp miliknya.

Ily berdecak sekali lagi dan akhirnya mematikan data ponselnya, menyimpannya kembali ke tas meja belajar dan lanjut menonton dramanya.

Semulus itu hidup Ily.

Sekali lagi, jangan iri, ya.

***

02

"Hai, kecil!"

"Eh, si pendek, makin pendek aja deh keliatannya!"

"Wah, udah dua minggu nggak ketemu, kok lo nggak ninggiin sih?"

"Cari lo mah gampang, tinggal liat aja yang pake tas pink! Nggak ganti-ganti juga itu tas, hadeuh!"

Bukan sapaan senang atau yang menggambarkan betapa kangennya seseorang pada sosok Ily setelah dua minggu tak bertemu, namun cacian dan ledekan yang ia dapatkan dari anak sekelasnya. Ily cemberut, memilih berjalan ke tempat duduknya dan mengabaikan mereka yang ingin berkata sepuasnya.

Dia tak punya teman dekat. Hidup ini pilihan. Ily memilih untuk sendiri dan terhindar dari segala marabahaya yang bisa ditimbulkan oleh pertemanan anak SMA jaman sekarang.

Ily memilih bukan tanpa alasan, salahkan saja pada siswa-siswi SMA Taruna Utara ini yang sangat-sangat sensitif terhadap tinggi badan. SMA ini menyeleksi calon muridnya dengan mengukur tinggi badan, paling pendek itu 155 cm dan saat masuk Ily benar-benar pas di tinggi itu.

Sementara banyak dari siswi-siswi yang tumbuh, kini rata-rata mereka 160 cm. Namun hal itu tak terjadi pada Ily. Selama dua tahun hidup, ia hanya tumbuh 2 cm dan itu sangat menyebalkan. Banyak dari temannya di kelas 10 yang meninggalkannya, seolah tak mau mengenal Ily lagi. Ditambah sistem sekolah ini yang mengklasifikasikan kelas siswa-siswinya berdasarkan nilai.

Setiap tahun selalu berubah. Yang paling tinggi nilainya berada di IPA-1 atau IPS-1 maupun Bahasa-1. Kini, setelah dua tahun setengah berlalu dan Ily naik kelas, dirinya berada di kelas XII IPA-4, hampir saja menjadi penghuni kelas paling bawah.  Total kelas IPA setiap angkatan ada 6.

Otomatis, teman-teman satu kelas Ily selalu berubah dan tak tentu juga akan satu kelas lagi dengan teman-teman dulunya. Sekarang Ily benar-benar tak punya teman di sisinya, yang membantu atau membela dirinya saat sedih karena mendapat perlakuan tak baik karena tinggi badannya.

Ily tahu mereka bercanda, namun ia tak pernah menganggap cemoohan fisik untuk dirinya itu adalah candaan. Tak bisa. Tak pernah bisa.

Setengah semester Ily berada di kelas ini, menerima perlakuan itu dengan diam. Ia hanya harus bertahan enam bulan lagi.

Selama menunggu bel masuk berbunyi, di antara anak kelas yang saling berbicara, saling bercanda, saling bermain atau saling menggoda, Ily memilih untuk memainkan ponselnya sendiri. Ia menyalakan data dan bermain game werewolf di Hago.

Ingin tahu apa yang tak kalah menyakitkan lagi?

Ily duduk sendiri. Harusnya satu meja diisi dua orang. Pada awal kelasnya terbentuk, Pak Aldi, wali kelas XII IPA-4, menggunakan sistem acak untuk penempatan tempat duduk. Setiap kursi diberi nomor dan para murid memilih kertas gulungan yang berisi salah satu nomor.

Takdir pahit menghampiri Ily, karena jumlah siswa dan siswinya tak seimbang (laki-laki ada 14, perempuan ada 15), ia duduk sendiri. Di barisan paling ujung dari pintu kelas, kursi paling depan.

Ily benar-benar merasa terasingkan selama ini. Namun, ia terima saja dengan sabar. Mau bagaimana lagi?

Akhirnya bel masuk berbunyi. Ily kira kelas XII akan efektif KBM-nya, mengingat tiga bulan lagi mereka UN. Namun, rupanya hari ini tak ada pelajaran apapun seperti kata Bima, ketua kelas.

"Hari ini guru-guru pada sibuk ngurusin anak baru sama program mengajar. Kita kelas kosong sampai jam dua, udah itu boleh pulang. Jangan main, belajar. Ingat, tiga bulan lagi UN, guys!"

"WOO! PUR, AYO MAEN!" seru Lito, cowok gondrong yang sering main dengan Purna, semangat dengan mata membara.

"OKE-OKE!" balas Purna, cowok yang sebangku dengan Alfin langsung berdiri dengan semangat membara.

"WEI, IKUT DONG!" seru Maldi, tak mau ketinggalan.

"OKE-OKE! SEMUANYA BOLEH IKUT, RUMAH GUE FREE!" seru Purna, seperti biasa, ia punya rumah besar yang sedikit penghuninya. Purna selalu jadi sasaran menyediakan prasarana untuk apa-apa.

"CAPCUS!"

"Eh, kita jalan-jalan ke cafe yang baru itu, yuk!" seru Melly, cewek yang paling sosialita di kelas ini, jelas tak mau kalah juga dengan anak cowok.

"Ayo, ayo!" balas Dina, cewek imut yang selalu memakai bandana di rambutnya, tak kalah semangat. "Gue pengen banget ke sana. Kata temen gue di sekolah sebelah, tempatnya itu instagramable, lho!"

"Iya, makanya gue ngajak lo!"

"Hu, anak cewek nggak seru banget," ledek Lito tiba-tiba.

"Apasih, To," decak Melly tak suka.

"Hei, dasar, kata guru-guru kan belajar, bukan main, woi," kata Bima mengingatkan.

"Jangan abisin itu uangnya, jangan susah buat ditagihin uang kas. Ini buat lo-lo pada kok nantinya," tambah Fani, selaku bendahara, mengingat juga.

Anak-anak kelas langsung mengeluh tak suka. Di dunia ini, memangnya siapa sih yang suka dengan adanya uang kas?

"Eh, gimana kalau kita keluar bareng?" saran Alfin yang sedari tadi diam. Dia selaku wakil ketua kelas, berniat untuk mengajak temen kelasnya pada arah yang baik. "Kita ke rumah Purna, belajar bareng. Kita bentar lagi UN, nggak ada waktu buat dibuang-buang. Kita harus lulus dengan nilai bagus dan banggakan orang tua kita."

Hampir seluruh anak kelas, mulai terajak hatinya. Mereka juga ingin bagus nilainya, ingin cerdas dan mencapai cita-cita. Bahkan Lito yang semester kemarin malas-malasan, segera menyahut semangat.

"Gue setuju!"

"Gue juga!" Maldi ikut berseru semangat.

"Gue juga!" Dani menyahut kemudian.

"Gue juga ikut!" seru Akbar juga setuju atas pemikiran sang wakil ketua kelas.

Alfin tersenyum atas keantusiasan teman kelasnya."Oke. Kalau begitu, Gin, mau kan jadi guru kita-kita?"

Gina, sekretaris kelas, sekaligus si peringkat satu yang merasa namanya dipanggil itu berpaling dari buku yang dia baca. Ia langsung disambut tatapan tanya dari teman-temannya, juga Alfin yang menaik-naikan alisnya.

"Lo baik, deh," kata Lito memelas. "Ayo, belajar bareng-bareng. Gue merasa tersulut."

Gina tersenyum tipis. Kemudian mengacungkan jari jempolnya. Membuat suara-suara senang anak kelas menyahut gembira.

Ily hanya mendengarkan obrolan seru anak kelasnya yang akan belajar bersama sambil bermain itu. Ily tak minat untuk mengikuti kegiatan anak kelasnya itu, ia sudah punya agenda sendiri di rumah.

***

Dengan tangan yang memegang eskrim cone yang tadi ia beli di mini market seberang jalan masuk komplek, Ily berjalan menuju rumahnya yang berada di serambi kiri komplek urutan ke tiga dari rumah yang paling ujung.

Jam dua siang yang sepi karena waktunya jam kerja membuat suara sepatu Ily yang menggesek aspal terdengar jelas. Suara burung berkicau milik tetangga sesekali terdengar, namun begitu Ily berbelok menuju tempat rumahnya berada, suara mesin truk besar yang nyalakan tiba-tiba, benar-benar membuat terkejut hingga hampir menjatuhkan eskrim cone-nya.

Pasalnya, perumahan ini jarang sekali ada truk yang masuk, mobil pun hanya sesekali, paling banyak itu sepeda dan motor karena kebanyakan penghuninya tak punya garasi yang besar untuk cukup menampung mobil. Setelah Ily telusuri, kebanyakan orang-orang di sini lebih suka menanam di halaman depan rumahnya, karenanya udaranya sangat sejuk.

Ily terus berjalan, sementara truk itu sudah melaju melewatinya. Setelah dilihat, rupanya truk itu membawa barang-barang dalam kotak dus milik rumah seberapa rumahnya.

Ada penghuni baru? Ily bertanya-tanya dalam hati. Namun ia tak seberani itu untuk menghampiri dan masuk untuk menyala tetangga baru itu. Yang Ily lakukan selanjutnya adalah membuka gerbang rumahnya dan masuk seperti biasa.

Ily membuang sampah bekas eskrim cone-nya di tempat sampah pinggir pintu masuk, kemudian membuka sepatunya dan membuka pintu rumahnya. Ia meletakkan sepatunya di rak, kemudian berjalan di dapur untuk menemukan Ibunya yang sedang memasak.

"Ibu!" seru Ily senang.

"Lah, udah pulang?" tanya Ibunya terkejut. Ia melepas apron yang melekat di badannya kemudian memeluk Ily dan mencium keningnya, kebiasaannya sejak dulu. "Kenapa?"

"Guru-guru sibuk urusin anak baru sama program mengajar katanya," jawab Ily jujur. "Aku mau ke kamar, ya, Bu. Dah!"

Ibu tertawa. "Ya udah, nggak ada yang larang."

Ily mengacungkan jempolnya kemudian berlari ke kamarnya. Setelah masuk, ia melepas tas dan segera berbaring di ranjang empuknya sambil membuang napas panjang dengan mata terpejam.

Yang lebih nikmat dari berbaring setelah penat melanda, ada?

Kamarnya yang berada paling ujung, dekat dengan taman belakang, dengan jendela besar menjadi kesenangan tersendiri bagi Ily. Ia dapat melihat langit, awan dan tanaman bunga rambat milik keluarga dari kamarnya.

Ily memejamkan matanya lebih lama, membayangkan dirinya berada di taman bunga-bunga, kemudian benar-benar terlelap.

Ini adalah agenda yang ia rencanakan sejak di sekolah.

***

Mata Ily langsung terbuka saat mencium aroma cokelat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah jendela kamarnya, kemudian wajah kesal Ibu yang menjauhkan brownies cokelat dari hadapannya.

Ily mengernyit bingung. "Kenapa dijauhin, Bu? Ily pengen brownies-nya."

"Kamu kenapa nggak ganti baju dulu, itu jadi kusut gitu seragamnya. Besok masih dipake, kan?" tanya Ibu khawatir, menatap anak putrinya sambil geleng-geleng kepala.

Ily langsung bangun, terkejut karena kini seragam yang masih harus dipake besok sudah kusut tak karuan. Perlu setrika untuk merapikannya, Ily berniat melakukannya nanti malam.

"Aku beresin nanti malem, ya, Bu. Maaf," kata Ily.

"Mending sekarang kamu mandi, udah sore. Kita makan brownies bareng-bareng. Ayah juga udah pulang soalnya KBM masih belum efektif."

Ily mengangguk semangat. "Siap, Bu!"

Baru saja Ibu hendak keluar dari kamarnya saat Ily bersiap-siap untuk mandi di kamar mandi yang berada di sebelah kamarnya, Ily menghentikan langkah Ibu dengan pertanyaan.

"Kenapa beli brownies, Bu?" tanya Ily pemasaran. Setahunya, Ibu lebih suka donat cokelat ketimbang brownies.

"Dikasih tetangga baru," jawab Ibu seadanya.

"Oh, jadi beneran tetangga baru, ya. Pas pulang sekolah aku lihat truknya," kata Ily bercerita. "Untunglah, ya, Bu. Aku takut kalau kelamaan nggak berpenghuni, bakal ada 'penghuninya'."

Ibu tertawa kecil. "Iya, untung. Kita nggak perlu merasa terlalu takut lagi, apalagi kalau malam. Gelap banget, seram, kalau keluar."

"Iya, benar, Bu," balas Ily merasakan hal yang sama. Setiap kali ia ingin membeli sesuatu keluar saat malam, kadang niat itu diurungkan karena melihat rumah seberang yang mencekam.

"Kamu sekarang nggak perlu takut lagi," kata Ibu sekali lagi, merasa senang mendapat tetangga baru.

"Bukan aku, tapi kita," koreksi Ily dengan senyum lebar.

"Tetangga kita baik, lho," simpul Ibu gembira.

"Iya, jelas, hati pertama pindah aja udah ngasih bingkisan, apalagi nanti," balas Ily setuju.

"Katanya ini buatan sendiri," kata Ibu lagi, sambil menunjuk brownies yang ia bawa.

"Woah! Hebat!" seru Ily senang tiada tara. "Aku pengen banget cobain!"

Ibu agak melotot. "Kok kita jadi ngobrol?"

"Biasa, cewek," jawab Ily ringan.

"Kamu mandi cepet, kita makan nih brownies. Euh, wanginya nggak nahan!" Ibu berseru sebelum akhirnya pergi dari kamar Ily dan membuat Ily berlari untuk segera mandi.

Dia juga menginginkan brownies itu. Sangat-sangat.

Sekitar lima belas menit, akhirnya Ily selesai dengan piyamanya dan keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke ruang keluarga dan mendapati Ayah Ibu sedang duduk sambil berbincang ringan. Ily segera berlari, duduk di antara dua orang yang ia sayangi itu dan segera bertepuk tangan dengan riang.

"Ayo, makan!" serunya sambil melihat brownies yang sedang dipotong kecil-kecil oleh Ibu.

"Kayak anak kecil," kata Ayah sambil mengacak kecil rambut sebahu Ily dengan gemas.

Ily hanya tertawa. Tak ada yang bisa mengalahkannya menyukai cokelat. Apapun itu, asal ada cokelatnya, Ily bahkan sanggup melahapnya sampai perutnya penuh.

Ketika akhirnya Ibu membolehkan, Ily mengambil sepotong dan mengunyah brownies yang super lezat itu dengan mata terpejam, menikmati. Ayah Ibu hanya tertawa melihatnya, ikut menikmati juga.

Sepotong, dua potong, tiga potong, empat potong, Ily sudah menghabiskannya. Lalu saat tangannya mengambil potongan ke lima, bel rumah berbunyi dan membuatnya langsung berdiri.

"Biar aku aja, paling itu tukang kirim koran Ayah, kan," kata Ily pada Ayah.

Ayah mengangkat bahunya. "Ayah udah terima tadi siang, masa dikirim lagi sekarang?"

"Ya udah, siapapun itu, akan aku sambut," putus Ily akhirnya, berjalan menuju pintu rumah dengan langkah riang.

Ayah dan Ibu hanya berpandangan, kemudian tertawa kecil. Mereka tahu jelas, setiap anak semawayangnya memakai cokelat, mood-nya akan naik dua ratus persen.

Sementara itu, Ily membuka pintu dan langsung melotot terkejut ketika melihat dua orang asing yang berdiri sebagai si pembunyi bel. Satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Jelas, itu adalah Ibu dan anak.

Ibunya membawa makanan dalam kotak makan yang mengeluarkan wangi cokelat, jelas ini semakin membuat Ily bahagia. Anak dari Ibu itu memang tampan dan membuat Ily salah tingkah, namun semuanya memudar karena fokus Ily hanya satu.

Wangi cokelat.

"Sore, Tante," sapanya ramah.

"Oh, kamu anaknya Alisa, ya," katanya dengan logat yang khas. "Tante tetangga baru, namanya Sofie."

Ily mengangguk. "Tante kenal Ibuku?" tanya Ily heran.

"Tadi Ibumu bercerita saat Tante ke sini, berkunjung. Lalu Tante lupa masih ada donat yang belum dikasih, makanya Tante ke sini lagi," jelas Tante Sofie dengan ramah. Ia begitu saja menyerahkan kotak makan berisi donat itu pada Ily.

Ily tersenyum lebar. "Tante baik banget sih," pujinya sambil menerima kotak itu dengan haru.

Tante Sofie tertawa melihat tingkah Ily yang begitu gembira hanya dengan makanan. "Kamu harus kenalan sama anak Tante," katanya kemudian. "Kalian seumuran. Tante udah ngobrol banyak sama Ibumu juga. Ibumu udah ketemu anak Tante juga, ngobrol-ngobrol dikit."

Ily yang sedang menatap kotak makan donat itu dengan liur hampir menetes itu segera mendongak, kemudian menatap laki-laki yang sedari tadi diam dengan wajah datar.

"Oh, namaku Ilyssa, Tante, biasa dipanggil Ily," kata Ily ramah, bahkan mengulurkan tangannya pada laki-laki itu, sebagai bentuk penghormatan pada Tante Sofie yang telah baik padanya.

Laki-laki itu menjabat tangan Ily, namun tanpa senyum dan hanya wajah datar, ia menjawab, "Kim Yohan."

Jabatan tangan mereka lepas begitu saja. Kening Ily mengerut. "A-apa?"

Tante Sofie tertawa kecil. "Suami Tante orang Korea, anak Tante juga lahir di Korea, jadi namanya begitu. Kamu kaget, ya?"

Ily menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti tak percaya. "Da-dari Korea?"

Tante Sofie mengangguk kecil. "Kalian bisa berteman, kok. Yohan bisa pake bahasa Indonesia. Iya, kan?"

Yohan mengangguk kecil, setelah terdiam lama ia agak gatal juga untuk segera bicara. "Aku belajar delapan belas tahun dari Ibu. Bahasa Indonesiaku lancar seperti pribumi."

Mata Ily mengedip berkali-kali. Yohan bukan lancar seperti pribumi, dia seperti robot di mata Ily. Dari wajah datarnya, suara beratnya dan tubuh tegapnya. Ditambah wajah tampannya, kini Ily merasa mimpi saja.

Melihat reaksi Ily, Tante Sofie tertawa renyah, kemudian menepuk-nepuk punggung Yohan dengan wajah meyakinkan. "Yohan anak baik, kok. Kamu nggak perlu khawatir. Kalian yang akur, ya."

"Eh, iya, Tante," balas Ily canggung. Seumur-umur ia tak pernah punya teman laki-laki. Lalu kini, disarankan untuk akur dengan tetangga laki-laki ini.

"Kamu teman pertama Yohan di sini, karena kalian seumuran, Tante yakin kalian akan cocok."

Ily membuang napas tak percaya. Mimpi macam apa ini?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!