"Apa yang terjadi? Kenapa ada bayi di kamarku?"
Lucy menatap seorang anak kecil yang duduk di keranjangnya. Pipi gembul dan senyum ceria menghiasi wajah batita itu. Matanya berbinar saat menatap Lucy.
Ia mengerjapkan matanya berulang kali dan berharap ini hanya mimpi meski matahari sudah mulai meninggi. "Ini mimpi, kan? Untuk apa ada bayi di sini? Dari mana dia? Kenapa bisa masuk ke kamarku?" tanyanya bertubi-tubi.
Gadis itu mundur perlahan dan hampir menyenggol meja yang ada di belakangnya. Ia menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Ingatannya berputar berusaha mengingat apa yang sudah terjadi semalam.
"Tunggu, kupikir aku sedang bermimpi..." racaunya.
"Mama!" Bayi itu berseru sembari mengangkat tangannya.
Lucy menggeleng dan melambaikan tangannya. "Tidak, bukan. Aku bukan mamamu," ujarnya lemas.
Ia tersenyum miris. "Bagaimana aku yang single ini punya anak padahal tak ada lelaki yang mau dekat denganku? Ahahah," gumamnya.
Ia kembali mengambil memori yang semalam ua lupakan. Malam itu ia begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Padahal seharusnya ia cuti malah disuruh lembur habis-habisan.
Ia akhirnya menyelesaikan pekerjaan yang tidak sedikit itu. Tepat pukul 12 malam ia mematikan komputernya dan kembali bersandar pada kursi. Matanya memejam sebentar lalu melihat ke langit-langit kamarnya.
Suasana malam ini benar-benar sepi, serangga yang biasanya berisik pun sudah tertidur. Tak ada satupun kendaraan yang melintas dan membuat bising. Padahal rumahnya dekat dengan jalan raya, tetapi malam ini pun seperti hanya dirinya yang tinggal di sana.
Lucy menyudahi acara mengeluhnya pada sang malam. Ia melirit ke jendela yang mengarah langsung ke langit dan menemukan bulan tengah bersinar terang di atas sana. Hal itu cukup menghiburnya lantaran ia jarang sekali mendapatkan pemandangan seindah itu.
Langit malam hari ini dihiasi dengan bintang-bintang yang seolah bertaburan. Tak lupa cahaya bulan yang paling terang di antara mereka. Angin yang berhembus pelan pun menyelinap masuk melalui celah di jendela rumahnya.
Gadis itu bangkit dari kursinya. Ia menghela napas ketika melihat seisi rumahnya yang seperti kapal pecah. Sudah dua hari ini ia melupakan keadaan dalam rumahnya.
Pakaian kotor miliknya masih tergeletak di sofa. Ia lupa kalau belum memasukkan mereka pada laundry kemarin. Bahkan botol-botol minuman pun masih ada di pojok ruangan.
Ia mulai membersihkan baju-bajunya yang kotor itu dan memasukkannya pada mesin cuci. Sembari menunggu mesin itu selesai bekerja, ia mengambil karung sampah dan mulai memungut bungkus-bungkus makanan yang sudah menumpuk. Tak lupa ia menata botol-botol kaca itu ke dalam kardus daur ulang.
Lucy tak langsung membuangnya ke tempat sampah depan. Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada televisi. Ia menekan tombol nyala dan benda persegi itu menampilkan acaranya.
Meski ini bukan malam Minggu, ada stasiun televisi yang menayangkan film. Lucy memilih film fantasi untuk menemani malamnya. Ia mengambil sekotak pizza dan memakannya di depan televisi.
"Aku akan membersihkannya nanti," gumamnya saat melihat pilahan sampah yang sudah menunggu di dekat pintu.
Padahal beberapa menit yang lalu ia mengeluh matanya mengantuk. Namun sekarang ia malah menyaksikan film di layar televisinya. Seolah rasa kantuknya hilang entah ke mana.
Jam tengah malam sudah lewat beberapa menit, Lucy masih duduk sembari menikmati pizza yang sudah tidak hangat lagi. Pandangannya terus fokus mengikuti alur cerita film yang ia tonton.
"Astaga, aku tidak suka dengan si rambut biru!" gerutunya mengomentari tokoh antagonis dalam film.
Filmnya memang belum selesai, tetapi ia tergerak untuk segera membuang sampah itu keluar rumah. Ia mengikat setiap karung dan membawanya keluar. Angin Malam berhembus sangat dingin padahal ia baru saja membuka pintu.
Gadis itu merangkul dirinya. Seakan sia-sia meski ia memakai sweater yang tebal karena angin masih bisa menembus mengelus kulitnya. Tak ingin berlama-lama dia segera mengangkut sampah itu ke tempat sampah umum.
Trak!
Ia dikejutkan oleh sesuatu yang tergeletak di dekat pintu rumahnya. Ketika ia baru saja mengibaskan tangannya dari debu yang menempel setelah buang sampah, sesuatu menyerupai keranjang itu menyita perhatiannya. Ia mengamati lingkungan sekitar yang sudah sepi dari orang-orang.
"Apa ini sudah ada sejak tadi? Aku tidak melihatnya tadi," gumam Lucy.
Lucy mendekati keranjang kecil itu untuk memeriksa isinya. Alangkah terkejut ketika ia melihat ada bayi berusia 1 tahun tengah tertidur di dalam sana. Kembali ia menengok kanan kiri memastikan apakah ada orang lain di sana.
Tetap saja gadis itu tak menemukannya. Tengah malam bukan waktunya orang-orang untuk keluar dari gubuk nyaman mereka. Jujur saja, dalam hatinya ia penasaran siapa gerangan yang meninggalkan anak bayinya di malam yang dingin ini.
Secarik kertas terselip di bawah bantal bayi itu. Lucy segera mengambilnya untuk dibaca. Ia dibuat penasaran oleh kehadiran bayi misterius itu.
[Tolong rawat dia untuk sementara waktu. Orang tuanya akan kembali, mungkin agak lama. Ada uang untuk biaya hidup di bawah selimutnya. Sangat membutuhkan pertolonganmu, aku percaya kau orang yang baik.
Terima kasih.]
"Orang tua mana lagi yang meninggalkan bayi seimut ini?" keluhnya sedih.
Banyak kejanggalan yang ia terima begitu selesai membaca surat. Tak disertakan nama orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas bayi malang ini. Lucy menggelengkan kepalanya, ia segera membawa bayi itu masuk ke dalam rumah agar tak lama-lama kedinginan.
Gasp!
Lucy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia syok setelah ingatan itu muncul dan memberitahu dirinya bahwa ini bukanlah mimpi. Ia benar-benar mengambil bayi itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Bodohnya aku..." gerundelnya sembari berjongkok di dekat meja.
Lucy memegangi kepalanya, mengelus rambutnya gusar. Ia tak tahu bagaimana bisa seenak jidat itu mengambil keputusan penting. Mengambil bayi itu berarti bersedia merawatnya.
"Apa yang kau lakukan, Lucy?! Kau bahkan tak pernah bertemu anak kecil 10 tahun terakhir," gerutunya dengan sesekali memukul kepalanya pelan.
Ia agak menyesali tindakannya. Wajahnya murung padahal cuaca sedang cerah di luar sana. Ia terlalu gegabah padahal tidak tahu apa-apa.
"Tetapi kalau tidak aku bawa masuk, dia bisa kedinginan. Kalau tetangga yang menemukan, aku juga bisa kena kasus..." pikirnya.
Ia menatap anak kecil yang ada di depannya. "Siapa yang membawanya ke depan rumahku? Apa alasannya?"
Srak! Srak!
Seorang wanita berjalan lunglai ke arah taman penuh pepohonan. Ia memegangi dadanya yang bercucura darah. Racun yang diminumkan padanya mulai bekerja.
Air matanya mulai mengalir setelah tak kuat ia bendung. Ingatan tentang dirinya dan seorang anak kecil mulai terputar. Senyuman di bibirnya sangat tulus tetapi juga paling sakit.
"Aku mencintaimu, anakku sayang."
Ia menahan erangan sakit di sekujur tubuh. Jantung yang berdetak lemah itu perlahan berhenti. Membuatnya memuntahkan darah dan mengotori baju tidur yang ia kenakan.
"Ma–maafkan ibu, nak... manusia, aku percaya padamu, tolong jaga anakku."
Bruk!
Cerahnya mentari mulai menyusup di balik tirai. Burung-burung yang berkicauan itu belum sanggup mengusik tidurnya. Lucy masih ingin berlama-lama di dalam mimpinya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia mulai terusik setelah merasakan pergerakan asing. Seseorang seperti mengguncang kasurnya dengan perlahan.
Plak!
"Mama!"
Tangan mungil itu menepuk-nepuk muka Lucy. Hal itu membuatnya terkejut dan membuka mata. Sinar yang silau membuatnya mengerjap beberapa kali.
Lucy terbangun dengan perasaan bingung. Matanya membulat melihat seorang bayi imut berada di depannya. Ia bahkan kembali menepuk pipi Lucy yang baru saja bangun itu.
"Kau... siapa?" gumamnya.
Sepertinya ia lupa sejenak akan kejadian semalam. Dengan cepat ia terbangun dari tidurnya setelah mengingat sesuatu tentang bayi berusia 1 tahun itu. Ia duduk dengan pikiran yang campur aduk.
"Mama!"
Teriakan bayi itu membuatnya buyar. Ia menangkup pipinya sendiri dan mencerna apa yang sedang terjadi. Ingatan sebelum tidur kembali muncul seperti kepingan yang tersusun dalam kepalanya.
Tiba-tiba mata lucu bayi itu berkaca-kaca. Ia menangis keras membuat Lucy hampir dilanda panik. Dengan sigap ia menggendong bayi laki-laki itu dan membawanya ke dapur.
"Sial! Aku kan tidak punya asi. Susu formula juga tidak punya!" rutuknya dalam hati.
Bayi itu masih terus merengek bahkan lebih keras dari sebelumnya. Lucy mulai mengendus sesuatu yang asing. Bau busuk itu menusuk hidungnya.
"Ah, kau buang air rupanya," ujar Lucy ketika melihat popok yang dikenakan si bayi sudah menggembung.
Ia meletakkan bayi itu di ranjangnya. Ia merutuk lagi, "Aku tidak punya popok!" katanya.
"Oweeekk!"
"Ah, iya sebentar!" Lucy tak berpikir pusing lagi. Gadis itu segera membersihkan dan mengganti popoknya dengan balutan kain bersih.
Ia memesan popok secara online melalui ponselnya. Tak lupa beberapa kardus susu formula untuk persediaan. Uang yang ia temukan di dalam keranjang bayi itu, ia gunakan untuk ini.
"Hah, masalah satu sudah selesai," ucapnya lega ketika pesanan telah dikonfirmasi.
Lucy mengernyit menatap uang yang ia pegang. Jumlahnya sangat banyak meski hanya beberapa lembar. Karena, uang yang pegang itu adapah nominal tertinggi di negara ini.
"Aku rasa ini bisa menghidupinya selama dua bulan kalau tidak ada masalah," gumamnya sembari melirik bayi yang tengah bermain sendiri itu.
Baru saja ditinggal sebentar, kain pengganti celana itu sudah terlepas. Membuat si bayi merangkak ke sana ke mari setengah telanjang. Lucy menghela napasnya, ia tak mengira dirinya yang single ini harus mengurus seorang bayi yang entah dari mana asalnya.
Bicara tentang bayi itu, Lucy mengamati keranjang yang semalam ia temukan. Tak ada apapun selain secarik kertas dan uang dengan jumlah lebih dari cukup. Semalam pun tak ia temukan jejak orang yang membawa bayi itu ke rumahnya.
"Aku bahkan tidak tahu namanya," gumam Lucy pasrah.
"Mama!"
Bayi itu terus memanggilnya mama. Lucy hanya mengangguk, pasrah dirinya yang kekasih pun tidak ada sudah dipanggil mama. Ia juga tak menolak dipanggil begitu oleh bayi yang menggemaskan ini.
Ia duduk di kursi yang menghadap ke ranjang. Dengan begitu, ia bisa mengawasi anak kecil itu bermain. Helaan napas perlahan mengudara.
Ia bingung, haruskah mengatakan ini keberuntungan atau sebaliknya. Di hari cuti, bukannya memanjakan diri sendiri malah mengurus bayi. Namun, tak ia bayangkan kalau hari ini ia harus masuk dan menelantarkan bayi malang itu.
Ia meraup wajahnya lelah, "Kenapa aku harus mengambil dan merawatnya?" keluhnya.
"Apa karena aku sendiri yang keluar dan membuang sampah? Tidak ada orang selain aku di sana, jadi karena itu?"
Ting tong!
Bel rumah berbunyi, ia mengeceknya melalui kaca kecil di pintu rumahnya. Seorang kurir membawakan pesanannya. Dua bungkus besar berisi popok dan sisanya susu formula.
"Mama!"
"Iya, sebentar ya."
Ia memberikan boneka miliknya untuk bayi itu bermain. Sementara ia merapikan belanjaannya dan membersihkan rumah. Ia berkacak pinggang dari kejauhan sembari mengamati tingkah bayi itu.
Rasanya aneh ketika orang asing berada di rumahnya. Bukan hanya satu sampai dua jam, tetapi semalaman. Lalu, bayi itu juga akan tinggal di rumahnya sampai si orang tua muncul.
"Masalahnya, kapan mereka datang menjemput anak itu?" pikir Lucy.
Masa cutinya hanya satu minggu ke depan. Ia terpaksa membawanya ke penitipan anak karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Atau mungkin panti asuhan adalah pilihan terbaik bagi anak itu.
"Benar, kenapa tidak dimasukkan penitipan anak saja?" batinnya.
Ia tak mengerti, mengapa orang menyerahkan bayinya pada rumah orang asing di tengah malam? Lucy tak percaya hantu atau film horor. Baginya itu hanya fantasi manusia saja.
Namun, kalau diingat lagi, Lucy merasa merinding. Ia memeluk lengannya sendiri dan mengusap-usap agar bulu kuduknya turun. Nalar logisnya masih berkuasa daripada imajinasi.
"Imajinasi? Mungkin terakhir kali terjadi saat aku kelas 3 menengah pertama," gumamnya.
Lucy menganggap dirinya tak ada waktu untuk berfantasi. Anak-anak memang identik dengan dunia imajinasi. Namun, Lucy memilih untuk mengurungnya seolah tak pernah melakukan hal itu sebelumnya.
Kehidupan orang dewasa sudah menyerangnya sejak ia duduk di bangku SMA. Ia tak ada waktu mengurusi hal 'kekanak-kanakan' selagi dunia kerja menyerangnya. Ia harus mengumpulkan uang untuk hidup daripada tidur dan bermimpi indah.
Lucy menghampiri anak itu dan menyentuhnya. "Tidak tembus, berarti bukan hantu," katanya.
Bayi itu menoleh dan tersenyum pada Lucy. Ia mengangkat kedua tangannya. "Mama!" pekiknya riang.
Lucy ikut tersenyum hangat, "Mau gendong?" Ia menjulurkan tangannya, merengkuh makhluk kecil itu dan membawanya ke dalam pelukan.
"Astaga, lembut sekali," gumamnya senang.
Benda yang berkilau ketika terkena cahaya itu menarik perhatiannya. Sebuah benda yang mengalungi leher bayi itu tak pernah ia gubris. Rupanya ada nama si bayi tertulis di sana.
"Loofyn de Woove..."
"Oh, jadi namamu Loofyn? Unik juga," ujarnya.
Matanya bertatapan dengan si bayi yang ia gendong. "Loofyn," panggilnya.
Entah ia salah lihat atau tidak, sekilas mata bayi itu berubah warna ketika ia menyebut namanya. Lucy kembali mengerjapkan matanya dan memastikan bahwa Loofyn memiliki mata biru gelap, bukan emas. Loofyn hanya tergelak melihat Lucy yang kebingungan.
"Loofyn?" panggilnya lagi, tetapi tak ada kilatan seperti sebelumnya.
Lucy memutuskan bahwa ia hanya halusinasi. Ia menganggap, efek lembur semalam membuatnya lelah. Ia mengambil kursi dan duduk sembari memangku Loofyn yang tak lagi membuat tingkah.
"Huft... kenapa kau ditinggalkan oleh orang tuamu di rumahku?" tanyanya pada bayi yang belum bisa bicara itu.
Ia mengelus pipi tembam Loofyn. "Padahal kau lucu begini, kenapa mereka meninggalkanmu di malam yang dingin itu?"
"Astaga, sejak kapan aku emosional begini? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali merasakan perasaan seperti ini," gumamnya menahan mata yang berkaca-kaca.
"Kenapa harus aku yang merawatmu?"
"Ayo, makan dulu." Lucy menyodorkan satu sendok bubur pada Loofyn.
Bayi itu melahapnya segera. Ia bertepuk tangan sambil tersenyum. Lucy begitu lembut dan sabar menyuapi Loofyn.
Ini hari ketiga setelah Loofyn tergeletak di depan pintu rumahnya. Ia merawat bayi itu dengan sabar. Meski masih berusia 1 tahun, Loofyn tidak rewel seperti bayi pada umumnya.
Lucy menghela napasnya lega. Sejak hari itu, tak ada gejala tantrum dari Loofyn. Saat menangis pun tak sampai mengganggu tetangga sebelah.
Yang ia repotkan hanyalah soal perut dan popok yang penuh. Setiap tengah malam, ia dikejutkan dengan tangisan Loofyn yang minta digantikan popoknya. Tak ada waktu bagi Lucy untuk merutuki keadaan, ia masih dibuat bingung dengan alasan bayi itu ada di rumahnya.
"Nah, Loofyn pintar makannya lahap."
Ia mengelap sisa bubur yang belepotan di pipi Loofyn. Bayi laki-laki itu bergumam riang di bangkunya sembari Lucy membersihkan tempat makan. Ia menggendong Loofyn untuk digantikan bajunya.
"Bagaimana kalau kita ke taman, hm?" Loofyn hanya memekik senang.
Lucy menganggapnya sebagai jawaban setuju seolah anak itu mengerti apa yang ia katakan. Ia mengenakan jaket karena hari ini sedikit lebih dingin dari biasanya. Padahal matahari bersinar sangat cerah di atas sana, tetapi angin enggan menghangat.
Ia merangkap pakaian hangat Loofyn sebelum keluar dari rumah. Bayi itu digendongnya di dada mendekap di sana mencari kehangatan. Sejujurnya, posisi ini membuat Lucy geli karena bayi itu terus mendusel.
Namun, ia mencoba mengabaikan itu demi kenyamanan Loofyn. Seperti yang pernah ia baca di internet, bayi suka mencari kenyamanan pada ibunya. Dan Lucy tengah menjadi sosok ibu untuk sementara bagi Loofyn.
Klak!
Ia pergi setelah mengunci pintu. Taman tak seberapa jauh, karena itu Lucy hanya berjalan kaki. Ia tak mengenakan sepeda karena kedua tangannya mendekap Loofyn dalam gendongan.
"Loofyn senang?" tanya Lucy.
Loofyn menggoyangkan badannya antusias. Di mata orang-orang, mereka selayaknya ibu dan anak. Tak ada yang tahu kebenaran kalau Lucy 'mengadopsi' sementara Loofyn.
Saat berjalan pun di siang yang cerah pun, Lucy merenung. Ia berpikir dan membayangkan seperti apa rupa orang tua Loofyn. Bayi ini sangat menggemaskan.
"Apakah ayahnya tampan? Atau ibunya sangat cantik? Aduh, kenapa lucu begini...!" Lucy mencubit lembut kedua pipi Loofyn.
Taman di kompleks perumahannya itu nampak sepi. Hanya satu dua anak yang tengah bermain pasir. Tak ada orang tua yang mendampingi mereka.
Lucy memilih untuk duduk di salah bangku. Ia melepaskan Loofyn dari dekapannya. Loofyn yang sudah bisa berjalan itu mulai menunjukkan bakatnya.
"Mama!" Loofyn mengulurkan tangannya pada Lucy.
"Ada apa, Loofyn? Loofyn menemukan sesuatu?" tanyanya.
Kelopak bunga berwarna merah itu ada di tangan mungil Loofyn. Rupanya ia ingin mempersembahkan hadiah pada Lucy. Bunga-bunga kecil itu, Loofyn petik dari semak-semak di dekat mereka.
"Terima kasih," ucap Lucy dengan tersenyum hangat.
Tak lama kemudia, dua anak yang tadi bermain pasir itu sudah pulang. Tinggallah Lucy dan Loofyn di taman. Hanya mereka berdua bersama angin sepoi yang berhembus sejuk.
Ia membiarkan Loofyn duduk di tanah sembari bermain bunga-bunga. Lucy mengawasinya dari dekat sembari duduk. Ia menghirup napas dalam dan menghembusnya pelan.
Matanya memang terfokus pada Loofyn, tetapi pikirannya entah di mana. Berbagai pertanyaan yang menumpuk sejak hari itu mulai bermunculan. Satu persatu ingin diperhatikan dan dijawab.
Bagaimana orang setega itu menelantarkan bayinya di tengah malam yang dingin? Bagaimana kalau dirinya tak keluar membuang sampah? Bukankah Loofyn bisa dalam bahaya akibat dinginnya udara?
Di samping itu, ia bisa dibombardir tetangga keesokan harinya. Ia bisa kena tuduhan penelantaran anak. Ia tak membayangkan hari cutinya dimulai dengan berita gempar seperti itu.
"Huft... kalau orang tuamu tidak datang setelah seminggu, aku terpaksa menitipkanmu ke panti asuhan atau daycare," gumamnya.
Tanpa keduanya sadari, sepasang mata mengintai dari balik bayangan. Semak belukar dekat taman menjadi tempatnya bersembunyi. Sosok itu terus mengamati Lucy dan Loofyn dengan sorot yang tajam.
Sesekali ia menghembus napas garang. Dengan sabar ia menunggu waktu yang tepat untuk muncul. Tatapannya tertuju pada batita yang sedang bermain bunga di tanah itu.
Grrroar...!
Ia mendengus dan menggeram. Kukunya yang tajam mungkin siap mencabik siapa saja yang menjadi musuh. Surai halus berwarna perak itu bak jubah kebanggaan. Telinganya berdiri tegak memastikan ia mampu mendengar suara yang jauh.
Manik mata yang kelabu itu mengkilat tajam. Ia menggaruk tanah untuk mengambil start. Saat dua orang di taman pergi dan menyisakan dua orang lainnya, ia rasa ia sudah siap.
Drap! Srak!
Serigala berbulu perak itu muncul dengan tenang. Menghampiri si bayi yang tengah bermain sendiri. Ia membuat pergerakan yang tenang.
Hembusan napasnya menerpa pipi si bayi. Hal itu membuat Loofyn menoleh. Anehnya, ia tak menangis melihat binatang buas tengah berdiri di depannya.
Loofyn malah terlihat sangat senang seolah mendapat teman baru. Serigala itu menggunakan moncongnya untuk menyentuh pipi Loofyn. Di saat yang sama, Lucy membelalak dengan apa yang ia lihat di depan mata.
Ia akan menganggapnya mimpi kalau mau. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera menarik Loofyn dan membawanya menjauh dari serigala besar itu. Sialnya, ia harus terjatuh dan terjerembab di tanah.
Tangannya terus mendekap Loofyn, ia berusaha melindungi bayi itu. "Ke–kenapa ada serigala di taman?" gumamnya panik.
Serigala itu terlihat tidak terima ketika mangsanya direbut. Ia menggagahkan dadanya dengan sedikit membusung. Kaki-kaki yang kuat itu menapak tanah ketika melangkah.
Ia menatap tajam Loofyn yang berada dalam dekapan Lucy. Gadis itu berusaha minggir sampai menyentuh kursi yang ia duduki tadi. Lidahnya mendadak kelu untuk berteriak meminta bantuan.
"Papa!" Loofyn memekik membuat serigala itu berhenti melangkah.
"Be–berhenti...! Ja–jangan makan Loofyn, dia tidak enak! Makan aku saja!" pekik Lucy.
Setelahnya, ia benar-benar merutuki diri sendiri. Seenak jidat si mulut berbicara padahal seluruh badan bergetar hebat. Dalam pikirannya hanya ada rencana bagaimana agar Loofyn selamat.
"Mama! Papa!"
Loofyn menepuk-nepuk Lucy sembari tangan yang lain menunjuk ke arah serigala itu. Makhluk buas itu mundur satu langkah. Ia terlihat menghela napas.
"Kembalikan anakku, manusia!"
Lucy membelalakkan matanya yang semula terpejam. Ia tak salah dengar, suara itu berasal dari si serigala. Tak ada orang lain di dekat sana selain ia dan Loofyn.
"Apa kau tidak dengar? Kembalikan anakku!"
Kalimat kali ini lebih tegas dan penuh penekanan. Lucy memberanikan diri menatap serigala besar itu. Ia ikut menajamkan tatapannya dengan keberanian yang tersisa.
"Apa maksudmu? Kau–kau bisa berbicara, hah?!"
"Benar. Sudahi basa-basimu, serahkan Loofyn padaku!"
Lucy mendekap Loofyn semakin erat. "Tidak! Aku tak tahu teknologi macam apa yang sedang digunakan untuk menjailiku. Aku tidak akan menyerahkan anak ini!" pekiknya.
Serigala berbulu perak itu tak bisa menahan sabarnya. Ia menghentakkan kakinya sebagai peringatan pertama. Lucy yang terkejut itu memejamkan matanya.
"Dasar manusia! Kau akan menyesal tidak menuruti perintahku!"
PYASS! CRANG!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!