"Dengar - dengar hubungan Nara dan Leo tidak di restui."
"Iya,saya juga dengar begitu, Jeng."
"Benarkah? Saya baru tahu sekarang, kenapa tidak di restui?"
"Ya jelas nggak di restuilah, Bi. Wong si Leo kerjanya bagus, keluarganya juga terpandang sekampung kita, beda sama Nara, kuliah juga sendat-sendat begitu."
"Ohh, jadi yang nggak restuin orang tuanya si Leo, ya? Pantas sih."
Telingaku panas ketika mendengar ibu-ibu yang sedang ngerumpi tanpa perasaan. Ya, aku mendengar semua apa yang mereka gosipkan dan benar, bahwa itu bukan gosip semata.
Aku Ynara Ramsey, anak kedua dari empat bersaudara, gadis desa yang saat ini masih kuliah dan duduk di semeter tiga yang seharusnya sudah semester lima, tapi karena kondisi keuangan kami yang tidak stabil terpaksa aku harus cuti kuliah selama satu tahun saat aku baru duduk di semeter tiga tahun lalu. Dan tahun ini aku melanjutkan kuliahku setelah setahun bekerja dan menabung sedikit penghasilanku.
Sebenarnya bukan mauku untuk cuti kuliah,
tetapi pada saat itu kemalangan menimpa kami, kakakku terjatuh saat bekerja dan ada cedera pada kakinya. Karena tidak bisa bekerja secara optimal lagi, dia dirumahkan hingga cederanya sembuh dan bisa bekerja seperti biasa -buruh kasar pada sebuah pabrik batu bata di desa kami- lagi nanti setelah sembuh. Uang yang
diberikan untuk pengobatan oleh pabrik tidak banyak dan kami harus mengeluarkan uang ekstra demi kesembuhan kakakku.
Dengan keadaan ini otomatis pemasukan untuk keluargaku turun drastis sementara pengeluaran semakin bertambah. Sambil menahan tangis, ibu
dan ayahku yang bekerja sehari-hari sebagai petani memintaku untuk berhenti kuliah.
"Nar, Sebenarnya, Ibu tidak tega meminta ini padamu, tapi, kamu bisa lihat sendiri keadaan kita sekarang.
Bisakah kamu berhenti saja kuliah?" Ibu menggenggam tanganku saat mengatakannya. Mendengarnya, aku hampir menangis dan menjawab tidak mau. Tapi aku masih sadar diri. Selama ini, yang membayar biaya kuliahku adalah abangku.
"Iya, Bu. Tapi, bisakah Nara cuti saja? Tidak berhenti total. Nara bisa ajukan cuti setahun. Selama setahun
itu, Nara akan bantu cari uang." Dengan berat hati, aku mengiyakan permintaan ibu.
Aku tidak ingin membantah dan membuat orangtuaku semakin sedih karena kami harus memikirkan dua adik-adikku yang saat itu akan lulus SMA dan SMP.
Dengan keputusan bersama, aku akhirnya mengajukan surat cutiku. Aku sebenarnya ingin mencari pekerjaan di kota saja, tapi aku urungkan, takut malah keenakan jadi keterusan cuti kuliah.
Hahaha, aku berbohong, bukan aku tidak mau cari kerja di kota, tapi aku belum tega meninggalkan ibuku yang akan mengerjakan semuanya sendirian di rumah.
Aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di desa sebelah, untuk menutupi kebutuhan rumah tangga kami dan juga sedikit tabungan untuk melanjutkan kuliah ku nanti.
Mengenai gosip tentang hubunganku yang tidak di restui, itu benar. Sejak masih duduk di bangku kelas tiga
SMA, aku menjalin hubungan dengan seorang pemuda baik, tampan dan pekerja keras di desa kami, namanya Leonard. Saat ini, dia sudah lulus kuliah dan bekerja sebagai PNS di kantor Gubernur di kota. Sejak awal, hubungan kami memang tidak di restui oleh orang tuanya tapi kami tetap berhubungan dengan sembunyi-sembunyi istilah jaman now backstreet.
Setelah lulus kuliah dan bekerja di kantor Gubernur, Leo -nama panggilannya- dengan terang-terangan mengakui kepada orang tuanya bahwasanya kami masih berhubungan dan dia mengatakan ini bukan pacaran ala cinta monyet, dia serius. Dan tanggapan orang tuanya adalah ....
Ya, seperti yang kalian bayangkan. DITOLAK saudara dan di beri larangan keras.
Benar, bahwa orang tuanya tidak mengatakan satu kata apapun padaku, misal, 'jauhi anakku!' kayak di drama-drama korea itu. Tapi, kabar tidak direstui ini sudah menjadi buah bibir sekampung dan, aku Ynara Ramsey adalah gadis tidak tahu malu dan gadis pemimpi di siang bolong."
******
"Orang tuamu benar, hubungan kita tidak seharusnya dilanjutkan. Sebaiknya kita berhenti sampai disini aja!" Aku menyuarakan isi kepalaku pada kekasihku saat kami bertemu di akhir pekan. Sejujurnya, telingaku sudah semakin panas akhir-akhir ini. Bahkan orang-orang yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengan Leo dan aku, mulai ikut-ikutan mencibirku.
"Jangan menyerah, tunggulah sebentar lagi, aku lagi berusaha menyakinkan orangtuaku."
Selalu saja. Jika ini yang ku bahas, jawaban Leo selalu seperti ini.
"Aku yakin akan sia-sia, mungkin kita memang tidak berjodoh, selain status sosial kita, usia kita juga terpaut jauh dan bany---"
"Apa kamu tidak ada bahasan lain selain status sosial? Apa status sosial yang terus kamu agungkan ini sangat penting bagimu? Sudah kukatakan, sabar dan diam saja aku sedang cari solusinya." Leo tiba-tiba memotong uacapanku dengan suara yang lantang dan penuh emosi, sadar atau tidak ini pertama kalinya dia berteriak
padaku.
Aku tahu aku sudah keterlaluan, hal pertama yang ku bicarakan padanya setelah pertemuan kami adalah mengenai status sosial yang selalu di agung-agungkan oleh ibunya.
Ibunya selalu berkoar-koar sana sini mengatasnamakan status sosial kami, 'Nara gadis tidak tau malu itu seharusnya meninggalkan anakku atau menolak anakku, Nara pembantu itu benar -benar memalukan, apa kata orang-orang kalau dia jadi menantuku, Nara yang begini, Nara yang begitu.'
Nama Nara yang tidak pantas jadi menantu orang terpandang ini selalu saja disebutkan
di sudut mana saja ibunya Leo berada.
Hening diantara kami, aku terdiam cukup lama dan Leo juga, mungkin dia sudah lelah juga meyakinkan orang tuanya tapi sampai hari ini -hampir tiga tahun hubungan kami- tidak ada hasil. Aku juga,
aku sudah mulai menyerah. Aku lelah dengan ketidak jelasan ini.
"Sebaiknya kamu pulang, istirahat aja, jangan terlalu memikirkan masalah ini," kataku
lagi memecah keheningan kami. Terpaksa aku mengalah lagi kali ini.
"Mari kita jalani hubungan ini seperti biasa, memikirkan hal-hal positif dan berharap apa yang sedang kamu
perjuangkan akan berhasil," lanjutku membesarkan hatinya yang mungkin kalut. Sejak dia memotong ucapanku
tadi, dia diam seribu bahasa. Mungkin menyesal karena sudah membentakku tadi?
Mendengar kalimatku tadi, dia hanya mengangguk dalam diam tapi urung berdiri dan bergegas pulang. Kami sama-sama terdiam sejenak sebelum akhirnya dia bicara.
"Bagaimana kuliahmu, apa ada kesulitan?"
"Sejauh ini semuanya baik dan lancar," jawabku singkat.
"Apa ada kendala dengan biaya kuliahmu?" tanyanya lagi.
Aku berusaha menahan airmataku, ini yang membuatku jatuh cinta padanya, dia yang selalu peduli terhadap apapun dalam hidupku terutama pendidikanku.
Dia supporter terbaikku bahkan ketika orang tuaku memintaku untuk pikir-pikir mengenai keinginan untuk kuliahku.
Aku menggeleng lalu berkata, "nggak ada, udah aku lunasi dua semester ini," jawabku.
"Jangan sungkan, jika ada kendala aku akan bantu, aku sudah ada penghasilan sendiri, ini bukan dari orang
tuaku lagi, jadi jangan di pendam, bilang saja kalau butuh ya!" katanyadengan penuh kelembutan.
O Tuhan, bagaimana bisa ada manusia sebaik ini, tolong bantu kami, doaku dalam hati.
Aku hanya bisa mengangguk, tenggorokanku rasanya udah serak, aku ingin menangis.
Tiba-tiba aku merasakan tepukan dikepalaku, tepukan menenangkan yang selalu dia berikan untukku.
"Apapun yang terjadi, apapun yang dikatakan oleh Ibuku, atau siapapun, aku tetap Leo yang jatuh cinta
padamu, dan aku akan memperjuangkannya, asal ..."
Dia berhenti sejenak dan menatapku sangat dalam, dari pancaran matanya aku bisa melihat cinta dimatanya dan aku jatuh cinta lagi padanya.
"Kamu jangan menyerah, tetap selesaikan kuliahmu, rajin belajar dan usahakan dapat nilai bagus, jika
semuanya oke, kamu bisa cari kerja yang bagus dan membantu ayah dan ibumu dan juga kakakmu." berhenti lagi, lalu melanjutkan, "Aku punya teman di kota yang buka usaha, mudah-mudahan kedepan semakin berkembang, kamu bisa kerja disana nanti setelah lulus, aku udah ngomong kedia." lanjutnya, dan aku mengangguk saja, kemudian aku langsung terkekeh geli. Astaga priaku, sudah lobi kerjaan untukku. Aku saja masih semester tiga. Aku masih harus sekolah sekitar dua tahunan lagi.
"Kenapa?" dengan mimik innosen nya dia bertanya.
Dia makin tampan saja dengan mimik seperti itu. Masih sambil terkekeh aku menjawab,
"Iya, mudah-mudahan temenmu tidak lupa, secara kamu lobi dia sekarang untukku dua tahun lagi."
"It's oke," jawabnya enteng sambil mengendikkan bahu, "Dua tahun nanti usahanya udah besar, kamu bisa punya jabatan di kantor besar dan orang-orang akan lihat itu."
"Baiklah! Baiklah pria tertampanku yang baik hati, sekarang pulanglah!" kataku.
"Kamu mengusirku?" malah di perjelas.
"Tidak, aku menyuruhmu pulang pangeran!" jawabku enteng.
"Hahhhh"
Dia menghela dengan keras seperti sengaja -pasti sengaja-
"Aku pulang, tadinya aku pikir aku bisa sedikit lebih lama disini, kita bahkan sudah dua minggu tidak ketemu, tapi kamu malah mengusirku. Aku benar-benar kecewa dan sakit hati." Berucap sambil berdiri tapi masih ngedumel dengan wajah datar.
Aku hanya terkekeh dengan sikapnya - sudah biasa-, Aku mendorong punggungnya pelan saat dia berjalan keluar dari halaman rumah kami.
Aku membalas lambaian tangannya saat dia meninggalkan rumah kami.
"Kita sungguh tidak beruntung dalam hubungan ini, Bang!"
Hari-hari terus berlalu dan tak terasa sudah setahun berlalu dan semuanya berjalan dengan lancar. Kakak laki-lakiku sudah bekerja kembali beberapa bulan ini, terima kasih pada pemilik pabrik karena masih mempekerjakannya. Kakakku yang hanya tamatan SMP memang sangat sulit mencari pekerjaan selain buruh kasar.
Adikku Ryan, setelah tamat SMA, bekerja di tempat bimbingan belajar sebagai office boy. Meski hanya office boy, Ryan bercita-cita menjadi guru dan bekerja di sana untuk belajar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku dan orang tuaku mendukungnya, meski tetap diingatkan bahwa kami keluarga miskin dan tidak selalu mampu membiayai kuliahnya.
Awalnya adikku sedih, tapi kakakku Rein memberi dukungan padanya. "Abang masih muda, masih kuat bekerja di pabrik untuk puluhan tahun lagi, kamu hanya perlu mendoakan abang supaya selalu sehat, selama abang sehat, cita-citamu akan abang wujudkan. Jadi kalau kamu ingin menjadi guru, abang dukung dan belajarlah!" Itu nasihat kakakku Rein dan itu membakar semangat adikku Ryan. Dan sekarang dia sedang berjuang untuk merebut satu kursi di universitas ternama di kota.
Sementara itu, aku sedang duduk di mejaku dengan komputer di depanku. Aku memikirkan masa depanku, apakah aku akan bekerja seperti ini setelah lulus nanti? Mudah-mudahan ya. Saat ini aku sedang menjalani PKL beruntung karena punya pria dengan koneksi banyak. Aku akan bekerja sambil belajar di tempat ini, di kantor teman Leo, selama dua bulan aku akan belajar bagaimana menjadi seorang pekerja kantoran dengan sepatu high heels dan riasan yang cantik - meski aku merasa seperti ondel-ondel dengan merah di pipiku ini - duduk di depan komputer dengan udara yang sejuk karena AC, aku merasa di surga pekerja kantoran. Semoga aku bisa semakin pintar dan sukses, dan semoga keberuntungan selalu bersamaku.
Hubunganku dengan Leo juga baik-baik saja, dia sangat mendukungku dan selalu siap membantuku dalam segala hal yang aku butuhkan. Aku sangat mencintainya.
Namun, suatu saat...
"Saya tidak suka basa-basi. Saya juga tidak akan memberimu nasehat atau apapun mengenai hubunganmu dengan anakku, Leo. Dan saya juga tidak akan memberimu uang. Jangan sekali-kali membayangkan hal itu!" kata sang ibu dengan tenang. Hari ini ibunya Leo mengajakku bertemu. Dan kini kami berada di sebuah kedai kopi yang lumayan ramai. Wanita paruh baya yang sangat cantik dan tetap terlihat muda ini memang wanita yang elegan dan berwibawa. Tetapi di balik semua itu, mulutnya selalu mengeluarkan kata-kata pedas.
Sementara aku menunduk dan siap mendengar apa yang akan dikatakannya, sang ibu berkata lagi. "Putuslah dengan putraku. Kami sudah menemukan jodohnya. Sejak awal kami mengetahui hubungan kalian, kami tidak setuju. Beberapa alasan termasuk bibit, bebet, dan bobot. Suamiku akan sangat malu jika kamu menjadi menantuku dan hal itu akan mempersulit kehidupan Leo di tempat kerjanya jika terhambat olehmu."
Sangat tenang seperti lautan, tapi kata-katanya sangat menyakitkanku. Apa yang salah dengan keluargaku? Apa yang salah dengan kampung tempatku tinggal? Bukankah kita tinggal di daerah yang sama? Apa yang salah dengan ibuku yang berpenampilan sederhana?
Ayahnya Leo memang memiliki jabatan yang lumayan tinggi di salah satu instansi pemerintahan. Kalau tidak salah, menjabat sebagai kepala dinas pendidikan di kabupaten. Sudah jelas punya relasi para pejabat, mungkin ini maksud ibunya, mereka akan malu jika relasinya bertanya mengenai keluargaku seandainya aku menjadi menantunya nanti.
Mengenai menghambat pekerjaan Leo, apa hubungannya? Memangnya aku kriminal? Jodoh seorang PNS kayak Leo nggak di tentuin oleh atasannya atau pemerintah, kan?
Saat aku masih memikirkan kata-katanya beliau dan jawaban yang pas untuk menyanggah, aku mendengar beliau berbicara lagi, "Harusnya kamu sadari itu dari awal," lanjutnya tanpa memikirkan perasaan cintaku dan cinta anaknya. Aku merasa sedih. Berarti, memang harus berakhir, batinku.
"Nara, seharusnya, berterimakasihlah padaku. Jika saja dulu saya langsung menemui kamu dan meminta kamu putus dari Leo, mungkin sekolah kamu ini akan terputus di tengah jalan. Saya dan ayahnya Leo memang tidak tau pasti, tapi kami bisa menduganya, bahwa kamu di bantu oleh Leo, kan?"
Mendengar itu, aku merasa semakin sedih. Serendah itukah aku dan keluargaku di pandang oleh orang berada ini? Benar, beberapa kali Leo memberiku uang. Tapi itu bukan uang kuliahku. Aku bahkan sudah menolaknya, karena aku tidak mau suatu saat jika ini sampai ke telinga orang tuanya, maka aku akan di kira sedang memanfaatkan anaknya. Ternyata, apa yang kutakutkan dulu, kini terbukti.
"Ini bukan uang kuliah, jangan salah paham. Abang tahu, kamu dan keluargamu masih sanggup bayar uang kuliahmu. Ini uang jajanmu atau jadikan tabungan. Suatu saat kalau ada yang urgent, pakai ini!" ucap Leo kala itu ketika dia memberiku uang yang mau tidak mau jadinya ku terima dan ku simpan seperti ucapannya. Di pakai jika ada yang urgent.
"Sudah saya duga dan ternyata benar," kata ibu Leo dengan nada kesal dan juga sedikit dengusan mengejekku.
Beliau menyimpulkan sendiri karena aku tidak menjawab dan tidak menyangkal kata-katanya.
"Nara, tinggalkanlah Leo. Jangan keras kepala. Kali ini, saya berharap, kamulah yang harus mengalah. Tidak peduli sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah cocok dengannya. Seharusnya kamu sadari itu."
Suaranya sangat datar tapi penuh makna, makna penolakan yang sangat keras terhadapku. Sepertinya, penghalang untuk cinta kami lebih kuat dari pada rasa cinta di antara kami. Aku mulai goyah saat bertemu dan mendengar langsung penolakan itu dari orang tua Leo. Aku takut mati muda karena tertekan jika ini di lanjutkan.
"Maaf, Nyonya. Apa saya bisa menjawab sekarang?" tanyaku pelan. Sebenarnya, aku ingin sekali memotong ucapannya sedari tadi. Tapi aku masih ingat siapa beliau. Aku harus sopan demi nama baikku juga. Apa yang kulakukan atau ku katakan padanya bisa beredar di warga setempat ratusan kali lipat dan seratus kali lebih cepat.
"Saya akan menyelesaikannya dengan Leo, Nyonya. Dan saya tegaskan, biaya kuliah saya murni dari keluarga dan hasil kerja saya. Nyonya tahu dan pernah melihat sendiri bahwa saya masih bekerja walau hanya sebagai tukang cuci baju. Jadi, semua biaya saya berasal dari saya dan orang tua saya. Tidak dari orang lain," ucapku tegas dan aku tidak menyinggung perkara uang yang pernah aku terima.
Inhale exhale. Aku lakukan berulang-ulang setelah memberikan kalimat sanggahan.
"Baiklah, anggap saja saya percaya. Dan bagus jika itu kebenarannya. Artinya, anakku masih waras," ucapnya dengan sangat tidak iklas.
"Ingat apa yang kamu katakan barusan, jangan ingkar!" Beliau berdiri dengan dengan elegannya dan meraih tas yang selama ini diletakkan di atas meja lalu pergi.
Pertemuan yang tidak pernah ku duga, karena selama ini, walau aku berpapasan dengan beliau atau aku lewat dari depan rumahnya, beliau tidak pernah mengatakan apapun padaku. Beliau lebih senang mengatakannya pada orang lain dan itu membuatku menjadi topik utama bagi para ibu-ibu yang sedang menggosip.
Me:
"Bisa nelpon? Ada waktu gak?"
Bg Leo:
"Bentar, aku yang akan melakukan panggilan."
Me:
"Oke."
God, should I give up?
Aku memandang ponselku dan memikirkan apa yang harus aku katakan pada pria tampanku nanti.
'Abang, sepertinya kita memang harus mengakhirinya sampai disini!'
Happy reading!!
Kasih komen dan likenya permirsah.
*******
"Ibuku menemuimu, kan? Abang bisa tebak, karna itu kamu minta putus, kan?"
"....."
"Apa kamu menyerah sekarang?"
"...."
"Abang udah bilang berkali-kali, jangan dimasukkan hati apa apa aja yang Ibuku bilang, Abang lagi usaha meyakinkan."
Usaha-usaha, usaha apa? Ibumu itu udah menghina keluargaku tau, batinku.
Percakapan ini di dominasi oleh pria itu. Bagaimana mungkin tidak menyerah, calon
pendampingnya saja udah ada. Tinggal ketuk palu langsung sah. Mau bertahan apa lagi? Empat tahun sudah hubungan ini, tapi tak ada tanda-tanda akhir yang bahagia. Dari pada semakin menderita, lebih baik di akhiri sekarang.
"Ibumu benar, Bang, kita pasti gak berjodoh, dengar - dengar calonmu udah datang kerumah, benar?" tanyaku pelan dan bisa kulihat raut terkejut di wajahnya walau dia cepat-cepat mengubah ekspresinya.
"Gak apa-apa, jujur aja, aku bisa ngerti kekhawatiran orang tuamu, mereka benar, aku gak pantas--"
"Lalu siapa yang pantas?" tanyanya menggebu memotong ucapanku.
"Anak pejabat? Anak pengusaha? Anak orang kaya? Itu yang pantas untukku?" lanjutnya sebelum aku memberi jawaban.
"...." tanyakan ibumu bambang, batinku. Aku tak berani mengatakannya langsung.
"Aku gak mau dengan siapa pun kecuali kamu, Aku akan tunggu kamu sampe kamu selesai kuliah dan sampe kamu kerja, TITIK case closed!"
Case close, case close, case close pintitku, apanya yang close, keputusan sepihak gitu, pake bilang titik lagi.
kayaknya dia nggak ngerti apa arti case closed. Masalah sebesar ini mana bisa di closed dengan enteng begitu ferguso!
"Lain kali gak kan ada topik bahasan kayak gini lagi, abang marah!" hahhahahaha marah sana ke ibumu, berani tidak? Emangnya siapa yang mau marah-marah atau dimarahin?
Inilah yang kerap terjadi pemirsah, setiap kali topik restu - restu di angkat ke permukaan maka sampe akhir nggak akan ada solusi. Lalu apa yang bisa aku katakan lagi? Tidak ada, hanya bisa bilang, 'just let it flow' aja pada diri sendiri. Kalau jodoh gak akan kemana, kan?
******
Aku sudah menyelesaikan magangku yang hanya dua bulan sudah terlewati. Aku kembali ke habitat lama. Berusaha tetap fokus dan bisa menyelesaikan sekolah yang hanya tersisa kurang lebih lima bulan. Dengan alasan sibuk menyusun tugas akhir sambil kuliah dan bekerja, aku bisa mengurangi pertemuan dengan Leo, dan juga
komunikasi kami semakin jarang.
"Aku kangen sebenarnya, tapi harus belajar nggak ngangenin abang lagi." Aku bicara seorang diri lagi.
Sepertinya Tuhan maha baik, saat aku mengaku aku kangen, malamnya Leo datang ke rumah. Seperti
biasa. kami hanya akan berkencan di teras rumahku atau paling jauh kami hanya akan pergi berjalan kaki dan berhenti di jembatan dekat sungai. Walau malam dan terasa menyeramkan, tapi percaya deh, disini tempat kencan yang romantis. Bagi kalian yang tinggal di desa seperti aku dan ada jembatan, cobalah pacaran disana, pasti menyenangkan, apalagi jika mendengar seperti ada suara-suara dari bawah jembatan. Jamin, auto lari terbirit-birit.
"Gimana Tugas Akhir kamu, udah rampung?" tanya Leo ketika kami baru saja duduk.
"Belum rampung, tapi sedikit lagi, aku juga masih sambil kuliah. Minggu depan UAS."
"Diagram yang kamu tanya kemarin itu, udah bisa kamu selesaikan?" tanyanya dengan penasaran.
Aku sempat bertanya waktu kami teleponan hari itu. Tapi sebenarnya aku hanya basa-basi. Aku sudah bisa mengerjakan semuanya. Tapi karena dia sistem supportku, aku harus menghargainya dan membuatnya merasa di butuhkan.
"Udah bisa. Aku cari buku referensi trus aku kasih ke dospem, katanya udah pas. Jadi aku udah lanjut yang lain."
Dia mengacak rambutku. "Semangat, yah!"
Aku mengangguk dengan senyum manisku. Perlakuan manis ini sebenarnya sudah seperti kegiatan rutinnya, tapi setiap kali dia seperti itu, aku masih saja bersemu.
Pertemuan singkat malam ini jauh dari topik putus atau apapun mengenai gadis yang di jodohkan dengannya. Sampai hari ini aku masih bertanya-tanya, siapa kira-kira gadis itu, karena saat ibunya ngomong hari itu, tidak ada menyebut nama. Pun di desa ini, belum ada gosip yang beredar.
"Kamu di jodohin sama siapa, sih?" tanyaku hari itu dengan nada bercanda.
"Ck.. kok bahas itu lagi," jawabnya dengan kesal.
Sejak hari itu, aku nggak berani, belum kuat lihat muka dia yang tiba-tiba berubah jadi keras karena menahan emosi dan kekesalan. Jadi, biar waktu yang menjawabnya. Nah kan, jadi teringat lagu lagi. Jadi
pengen konser.
******
Perjalanan cinta tanpa restu ini tetap berjalan walau ketidakjelasan sudha terpampang
nyata di depan mata. Gempuran orang tua Leo juga datang lagi. Kali ini lewat panggilan.
"Kamu ya Nara, susah di bilangi, kemarin janji kamu apa? Kamu mau ninggalin anak saya, kan? Kok kamu ingkar? Mau kamu apa? Hah?
Mau sampai kapan kamu memperalat anak saya? Mau kamu saya permalukan sekampung?
Pokoknya saya tidak mau tahu, kamu putuskan anak saya dengan alasan apapun sesuka kamu. Saya tunggu itikad baikmu, sebelum saya permalukan kamu. Mengerti!"
Klik
Panggilan terputus bahkan sebelum aku menjawabnya.
"Nara, kamu memang terlalu lembek." Aku meledek diriku sendiri. Bukan aku tidak mau putus dari anaknya. Cuma, anaknya yang tidak mau kan waktu itu? Jadinya aku kelupaanlah minta putus lagi.
Me:
[Sepertinya kita perlu bicara yang serius. Bisakah sabtu ini kita ketemu?]
Bg Leo:
[Tentang?]
Me:
[Kita bahas setelah kita bertemu.]
Bg Leo:
[Apa ini tentang kita lagi?]
[Putus lagi?]
Me:
[Ya.]
[Kenapa kita tidak menyerah saja, Aku capek, kita tidak punya akhir yang bagus.]
[Jangan sampai kamu tidak datang, jika kamu tidak datang, aku anggap kita berakhir.]
[Kali ini, aku tidak sedang bercanda, dan aku tidak terima alasan apapun.]
Dan benar saja, akhir pekan, pria itu tidak datang. Dengan begitu, aku bisa anggap sudah berakhir, kan?
Dasar pengecut!
Aku tertawa, tetapi aku menangis. Baiklah jika harus putus, tapi apa tidak bisa di usahakan untuk datang pas di hari terakhir itu? Apa dia merasa puas putus melalui chattingan?
Bg Leo:
[Sorry Dek! Abang nggak bisa datang, Ibu dan teman-temannya lagi di rumah. Abang nggak di kasih keluar sama Ibu, nggak mungkin abang lawan.]
Me:
[Okay, tapi keputusan waktu itu tetaplah keputusan, tidak datang artinya end. So, kita end sekarang!]
[Thanks buat semua supportnya, buat cinta kamu, Thanks udah menerimaku selama ini.]
[Hope you happy kedepannya, entah siapapun pilihan orang tuamu.]
Bg Leo:
[Itu keputusanmu, abang nggak!]
Me:
[Aku capek, Dan aku tidak ingin membuat ibumu marah lagi]
Bg Leo:
[Ibu temuin kamu lagi?]
Me:
[Nggak, tapi nelpon, nagih janjiku]
Bg Leo:
[Janji apa?]
Me:
[Janji putus sama kamu. ]
[Please! Bantu aku kali ini untuk terakhir kalinya, turuti ibumu]
[Ibumu nggak mungkin salah pilih]
Aku ingin sekali memblokir nomor ponselnya, tapi sungguh tidak sopan.
Dalam hati aku berdoa, semoga kita bahagia walau tidak bersama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!