NovelToon NovelToon

Dipaksa Menikah Dengan Pria Dingin

Bab 1 Pria Menyebalkan

Sudah kesekian kalinya mereka bertengkar dan bertengkar. Kenapa harus bertengkar ? Pada akhirnya mereka tidak menemukan titik penyelesaiannya. Mereka akan saling tutup mulut semalaman dan akan berusaha berbaikan keesokan harinya, itu adalah sebuah keterpaksaan, karena Ibu datang berkunjung dan yang mereka lakukan adalah menutupi semuanya, seakan mereka baik-baik saja.

"Delia, ibu punya rekomendasi tempat untuk berbulan madu, sangat cocok untuk pengantin baru seperti kalian !"

Ujar Ibu, begitu bersemangat.

"Hmm !"

Delia nampak tak bersemangat, dia seperti sedang melamun dan memikirkan sesuatu.

"Bagaimana kalau kalian berbulan madu di Bali atau di Jogjakarta ?"

Ujar Ibu setelah selesai mencuci tangannya yang tadi berlumuran tepung.

Siang ini Delia sedang membuat kue bersama Ibunya, mereka membuat kue untuk Ayah dan... Sebut saja orang yang sangat menyebalkan dan tak begitu penting bagi Delia, Suaminya, ya.. Dia hanya Pria menyebalkan bagi Delia.

"Kami tidak ingin menghabiskan uang terlalu banyak hanya untuk itu, Bu. Sudah cukup di Jakarta saja. " jawab Delia dengan tenang dan tanpa ekspresi.

Ibu mengamati oven listrik yang didalamnya ada dua loyang kue, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Delia untuk kesekian kalinya.

"Memangnya kamu tak ingin jalan-jalan ? Kamu kan baru pulang setelah empat tahun di pesantren, harusnya sih begitu."

Sungguh ibu menyumbangkan ide yang sangat buruk bagi Delia, lagi-lagi yang dia bahas adalah tentang bulan madu, siapa juga yang menginginkan hal itu, Delia sungguh tak menginginkan hal semacam itu dengan laki-laki menyebalkan itu.

Delia memang dari Sekolah menengah pertama dia nyantri di Pondok Pesantren di daerah Padang, waktu masih sekolah menengah dia rutin pulang setahun sekali jika libur puasa dan Hari Raya, hingga lulus Sekolah menengah Atas Delia tetap lanjut nyantri sambil meneruskan S1 di sana jurusan Tarbiyah, setelah Kuliayah Delia memang tak pulang ke Jakarta hingga dia lulus baru pulang.

"Suamimu belum pulang ? Jam berapa biasanya dia pulang, Del ?

"Belum. Gibran tak akan pulang secepat ini, pasti dia masih banyak pekerjaan di kampus."

Gibran bukan lah suami yang menyenangkan bagi Delia, bahkan dia adalah pria yang dingin dan menyebalkan bahkan membosankan setiap harinya.

Delia duduk dikursi ruang makan rumahnya bersama Ibu yang saat ini menatapnya cemas. Delia tak tau apa yang sebenarnya membuat ibu menatap cemas seperti itu kepadanya, karena penasaran Delia pun memberanikan diri bertanya kepada ibunya.

"Ada apa Bu ? Kenapa Ibu menatap Delia seperti itu ?"

Ibu menggeleng pelan dan sedikit mendesah, seharusnya Ibu tak berada di rumah Delia saat ini, karena itu semua hanya akan memperburuk keadaan rumah yang memang sudah buruk dari awal. Akhirnya setelah sekian detik Delia menunggu jawaban ibu, ia pun menjawab dengan nada lelah.

"Delia ! Apa kau baik-baik saja dengan suamimu ? Kenapa kalian tidak terlihat sering bersama ?"

Sungguh pertanyaan ibu bagaikan bom yang mungkin sengaja ibu lemparkan kepada Delia, Delia sudah pasrah dan siap menerima bom berikutnya. Delia tidak mungkin menjawab apa adanya kepada beliau. Delia mengernyitkan alisnya sebentar, lalu menunjukkan ekspresi datar dengan maksud menyembunyikan sesuatu dari Ibunya.

"Maksud Ibu ?" Tanya Delia, sungguh itu bukan pertanyaan yang natural dari mulut Delia, namun dia tak mungkin bisa berkata jujur pada Ibunya, bagaimana keadaan rumah tangganya yang sebenarnya. Ibunya mendesah pelan, ia tau bahwa putrinya mencoba untuk menghindarinya.

Alarm oven tiba-tiba berbunyi sebelum Ibu sempat memperjelas pertanyaannya. Delia benar-baenar bersyukur karena Ibunya kini urung mengorek lebih dalam pertanyaan yang menyebalkan itu.

Ibu mengecek oven dan membukanya, lalu mengeluarkan dua loyang kue yang ada didalam oven tersebut.

Sesekali Delia melihat raut wajah Ibunya yang tersenyum memperhatikan kue lapis yang sudah mengembang itu dalam waktu lima belas menit.

"Ayahmu pasti suka dengan kue lapis ini, dia selalu memuji Ibu ketika dia memakan kue buatan Ibu !"

Ibu tak berhenti tersenyum, sampai tidak menyadari bahwa baru saja dia menggumamkan kalimat yang membuat putrinya iri.

Kalimat itu bukan perasaan percaya diri yang berlebihan, dari dulu Ayah memang selalu menghargai apapun yang dilakukan Ibu, meskipun hasilnya tak sesuai dengan ekspektasi. Memuji istri adalah sesuatu yang bisa membuat seorang istri menjadi bangga dan percaya diri.

"Del, jangan lupa kamu cepat telephone Gibran untuk lekas pulang, katakan saja kau baru saja membuatkan dia kue, pasti dia akan senang dan akan cepat pulang !"

Pesan Ibu, dengan malas akhirnya Delia menuruti kata-kata Ibunya itu dan harus terpaksa juga menelephone Gibran saat bersama Ibu.

Terdengar nada sambung namun tak kunjung diangkat, Delia tau Gibran begitu sulit untuk mengangkat telephon darinya, dan sebaliknya, Delia juga akan enggan untuk mengangkat telephon dari Gibran juga.

Delia dan Gibran memang pasangan suami istri namun sikap mereka tak selayaknya pasangan suami istri pada umumnya, mereka selalu bersikap acuh satu sama lain.

Delia pun memutuskan mengirimi Gibran pesan singkat agar mengangkat telephonnya karena ada Ibu dirumah, barulah Gibran mengangkat telephon dari Delia, itu juga karena terpaksa, karena ada Ibu dirumah mereka.

Dengan ragu Delia bersuara ditelephon.

"Ibu memintamu untuk cepat pulang !"

"Ya !"

Hanya sesingkat itu Gibran menjawab dan langsung mematikan sambungan telephonnya. Dalam hati Delia benar-benar memaki Gibran.

'Dasar laki-laki menyebalkan, Alien ! Seenaknya saja menutup telephon, tidak mengucap salam !'

Delia benar-benar kesal tapi dia mencoba menenangkan dirinya lagi kemudian dia menghampiri Ibunya yang tengah mengiris kue lapis menjadi beberapa potong, sebagian diletakkan dirantang untuk Ayah dan sebagian lagi ia letakkan kepiring. Ibu menata kue lapis itu dengan sangat manis, dengan diberi garnise berupa buah leci dua buah diatasnya, terlihat sangat cantik dan mengesankan siapa saja yang melihat kue lapis didalam piring itu.

"Ini untuk suamimu Del, dia pasti suka melihat kue lapis ini, apa lagi yang membuat adalah istri tercintanya."

Delia hanya tersenyum kecut mendengar celoteh Ibunya itu. Benarkah Gibran akan suka jika yang membuat kue itu adalah dirinya, Delia tak yakin.

Ibu mendongak memperhatikan Delia.

"Bagaimana ? Apakah suamimu bisa pulang cepat hari ini ?"

Delia mengangguk kecil sambil mendesah pelan. Ibu terlihat begitu senang karena menantunya akan datang cepat hari ini, dia cepat menata kue itu dan meletakkannya di meja makan, kemudian dengan cepat ia mencuci tangannya.

Delia sendiri dia segera pergi kekamarnya dan menghempaskan tubuhnya diatas ranjang dan memejamkan matanya, dia sudah lelah bersandiwara, dia ingin segera mengakhiri sandiwara ini, namun dia tak tau caranya.

Tak lama kemudian suara mobil terdengar memasuki halaman rumah Delia, Delia sudah mengira bahwa mobil itu adalah mobil Gibran.

'Saatnya Drama dimulai kembali'

Dengan terpaksa Delia pun bangkit dan keluar dari kamarnya dan ternyata tanpa sengaja dia berpapasan dengan Gibran. Terlihat raut wajah Gibran yang sangat acuh itu pada Delia, membuat Delia benar-benar ingin memakinya saat itu juga, namun dia hanya bisa memendamnya.

Bersambung...

Bab 2 Canggung

Suasana di sebuah masjid di dekat kampus itu nampak ramai, jam menunjukkan waktu dhuhur, seorang pria baru saja keluar dari masjid itu setelah sholat berjamaah bersama disana.

Ia baru saja selesai mengurus data mahasiswa yang harus ia lengkapi untuk program studi magisternya, dia nampak termenung sambil duduk di teras masjid sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang masjid. Dia nampak tak semangat, persoalan klasik yang selama seminggu ini berada dalam lingkup hidupnya, dia kadang begitu sebal dan sering menyalahkan dirinya sendiri dan bahkan dia ingin dirinya bisa lenyap seketika di dunia ini. Tapi dia harus bertahan sampai akhirnya ia takkan bisa lagi bergelut dalam dunianya sekarang. Ia tak menyangka bahwa dia akan menjalani cerita hidup yang rumit yang bahkan ia pikir hanya ada dalam cerita novel belaka.

Kini Gibran memilikinya sebagai cerita mustahil yang sangat miris ini dan tak kunjung ia percayai. Namun dia tetap percaya Tuhan Maha Tahu segalanya, dan dia memiliki rencana yang sangat baik dibalik kisah yang dia miliki saat ini.

Beberapa menit kemudian, Gibran hampir saja terlelap sambil menyandar ditiang masjid, suasana masjid yang sejuk nampaknya membuat Gibran ingin menutup mata barang sejenak, namun ponselnya tiba-tiba berdering beberapa kali, ia pun mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum memungut ponselnya yang ada dalam saku bajunya.

Terlihat dalam layar hanphonenya, nama seseorang yang membuat dia langsung tak bergairah untuk mengangkatnya, dia begitu malas untuk menjawab panggilan dari seseorang itu dan dia pun mengabaikannya.

Gibran kembali mengistirahatkan kepalanya di tiang masjid itu dan tak berjarak lama ada dering pesan masuk di ponselnya, ia merogoh lagi saku bajunya dan mengambil ponsel itu. Membuka pesan dari seseorang yang tak ia harapkan pengirimnya. Benar saja, itu dari Delia, wanita yang baru beberapa hari ini ia nikahi. Pesannya cukup mengejutkan dan ia harus menuruti isi pesan itu saat ini. Akhirnya dia pun mengangkat panggilan Delia yang kedua.

Suara Delia masih sama seperti biasa, canggung dan malas, mereka berdua malas untuk bertutur kata seperti ini bahkan bisa dibilang mereka tak mengenal satu sama lain.

Gibran tak punya pilihan untuk menolak permintaan Ibu mertuanya untuk pulang cepat hari ini, dia tak mungkin setega itu untuk menolak permintaan orang tua Delia itu, atau sebut juga Mertuanya.

Sebenarnya Gibran tak ingin melihat siapapun dirumahnya kecuali Delia dan dirinya. Karena dengan begitu mereka bisa saling mengatur dan mengendalikan diri mereka masing-masing tanpa harus bersandiwara didepan semua orang, karena dia tak mau seorang pun yang tau tentang hubungan rumah tangganya dengan Delia. Namun ia kini memilih untuk pulang cepat dan menemui Ibu mertuanya. Karena dia tak senang melihat orang tua manapun yang sedih hanya gara-gara dirinya. Dan Gibran pun beranjak dari duduknya, ia mengambil tas lalu menggendongnya dibelakang, diapun kini menjalankan mobilnya kearah pulang, dia akan pulang hanya karena ingin menemui Ibu mertuanya, bukan karena yang lain

Sesuatu hal sebenarnya selalu saja terjadi saat ia menemuai orang-orang yang tidak tahu-menahu dengan kondisi keluarga kecilnya. Mungkin mereka tau dari luar bahwa Gibran dan Delia adalah sepasang suami istri. Tapi hatinya sendiri menolak hal itu. Entahlah, disebut apa semua ini, sebuah lakon sandiwara. Hanya waktu yang dapat menentukan akan perjalanan rumah tangganya bersama Delia, ia tak banyak berharap, mungkin saja rumah tangganya hanya akan bertahan hingga hari keenam, ketujuh, delapan ? Entahlah.

Ditengah perjalanan, Gibran menemukan bungkusan sebuah souvenir berisi gelas cangkir di hiasi pita kecil di pegangannya.

Gelas itu yang nantinya akan menjadi souvenir untuk pesta resepsi pernikahannya dengan Delia yang sudah Ibu mereka siapkan.

Gibran mendesah pelan sambil melirik pada Gelas kecil itu, seharusnya tak begini nasib gelas kecil yang malang itu.

Pikirannya kini melayang jauh entah kemana, tahu-tahu dia kini sudah memarkirkan mobilnya di garasi rumah pemberian orang tua Gibran, walaupun mereka sebenarnya tak menginginkan rumah ini.

Memasuki rumahnya yang tampak sepi Gibran berjalan pelan, samar-samar dia mendengar suara-suara kecil yang berasal dari dapur. Gibran sudah mengira pasti mertuanya berada disana.

Melihat kedatangan Gibran, Ibu terlihat tersenyum karena senang. Gibran pun menyalami mertuanya itu dengan penuh hormat.

"Delia ada dikamarnya sekarang !"

Ucap mertuanya itu, itu bukan sebuah jawaban yang seharusnya, karena Gibran sama sekali tak menanyakan dimana Delia berada, dia sungguh tak mau tau dimana keberadaan gadis itu.

"Oh, Iya Bu !"

Gibran menjawab seolah-olah dia mencari Delia berada. Mungkin Ibu berpikir seorang suami yang meninggalkan istrinya sedetik saja pasti akan merindu.

Gibran pun melangkah meninggalkan dapur, namun nampaknya dia melihat Delia baru saja keluar dari kamarnya dan menatap dirinya dengan tatapan sinis, Gibran tak memperdulikan tatapnnya itu dia nampak acuh tak acuh.

"Kita harus beraikap sebagaimana mestinya jika didepan Ibu !"

Ucap Delia tanpa menoleh sedikitpun kepada Gibran, lalu diapun berjalan mendahului suaminya itu, sedangkan Gibran hanya bisa terpaku dan tak lama kemudian diapun berjalan mengekor pada gadis membosankan itu.

Di meja makan, sang ibu mertua pun langsung menyuguhkan kue lapis yang dia bikin tadi bersama Delia. Gibran hanya menatap piring dengan kue lapis diatasnya, dia menatap dengan perasaan bersalah yang bercampur aduk dengan rasa sesal. Perasaan bersalah seringkali menjadi penyakitnya saat ini, ia tidak ingin membuat orang lain merasa sedih, namun dia terus saja melakukannya.

"Makanlah, itu buatan Delia loh, khusus buat kamu, kau pasti suka !"

Delia langsung menegang mendengar perkataan ibu, namun dia tak bisa protes sedikit pun karena dia tahu bagaimana dia harus bersikap jika didepan ibu.

Dengan ragu Gibran menyomot satu kue yang tersusun rapi diatas piring itu dan memakannya, dia berharap apapun yang ia makan saat ini tak akan mendatangkan rasa kagum atau pujian, tapi nyatanya lidahnya melakukan kesalahan.

"Enak, lumayan untuk cemilan !"

Gibran berkata dengan seulas senyum, dia tak tau apakah dengan memakan semua kue yang ada di piring itu bisa membuat Ibu percaya bahwa hubungannya dengan Delia baik-baik saja.

"Wah, pastinya dong, Delia memang dari dulu dia itu hobi banget masak, masakan apa saja, pasti Delia bisa, dan rasanya pasti enak, kamu beruntung menjadi suaminya !"

Sungguh rasanya kue lapis itu tiba-tiba menjadi duri yang menusuk ditenggorokan Gibran, mendengar pernyataan ibu, sedangkan Delia langsung menarik tangannya dari atas meja dan memebenamkannya dipangkuannya, nampak Delia khawatir bahwa sandiwara ini akan terus berlangsung dan dia tak tau bagaimana cara untuk menghentikannya.

"Oh iya, sepertinya ibu harus pulang, Ayahmu pasti sudah menunggu !"

Kata ibu penuh semangat, mereka begitu nampak serasi dimata Delia, membuat dia iri karena kisah percintaannya kini penuh dengan sandiwara.

"Bagaimana jika Gibran yang mengantar ibu pulang ?"

Ujar Gibran dengan tulus.

"Tidak usah sayang, temani saja istrimu dirumah, dia pasti sudah merindukanmu !"

Lagi-lagi ibu melontarkan kata-kata yang membuat Delia menegang. Akhirnya ibu pun pulang menaiki sebuah taxy online yang ia pesan tadi dan kelegaan pun kini dirasakan oleh Delia maupun Gibran, karena dengan tidak ada siapapun dirumah kecuali mereka, mereka kini tak perlu bersandiwara lagi, sungguh sandiwara yang melelahkan.

Bersambung....

Bab 3 Pertengkaran yang tak Berujung

Delia kini merasa lega, tugas menjaga rahasia bersama Gibran kini sudah selesai untuk saat ini, setidaknya sang Ibu tidak curiga sedikit pun dengan kondisi rumah tangganya yang benar-benar buruk ini.

Tapi pikirannya kini seakan masih bergelayut di pertanyaan-pertanyaan dan nasihat-nasihat dari ibunya tadi.

Ia berjalan terus sampai ke pintu kamarnya yang masih tertutup, lalu langkah kakinya berhenti.

"Sampai kapan sandiwara ini akan berakhir ?" gumamnya.

Gibran yang mendengar gumaman dari Delia pun menghentikan langkahnya yang akan pergi kekamarnya yang berseberangan dengan kamar Delia. Ya, mereka memang tidak seranjang dan tak sekamar, mereka bak pasangan yang sedang pisah ranjang.

"Sampai orang tua kita yang memutuskannya." Ujar Gibran dari balik punggung Delia.

Delia menarik napasnya dengan berat, rasanya ia ingin melabrak Gibran kalau saja menjawab dengan jawaban seperti itu, mungkin seharusnya Gibran yang harus bertindak, semua ini ada ditangannya, agar sandiwara ini tidak berlanjut terlalu jauh.

"Dasar, kau hanya bisa berargumen seperti itu !" Delia membalikkan tubuhnya menghadap ke Gibran.

Gibran pun memutar tubuhnya dengan malas menghadap pada Delia.

"Memangnya kamu pikir aku mau menikahi gadis seperti mu, kasar dan menyebalkan !"

"Kau bilang apa ? Aku juga tidak sudi menikah dengan laki-laki sepertimu, dingin dan tak tau perasaan wanita, kalaupun aku harus pergi dari rumah ini, aku rela, sekarang juga aku akan angkat kaki dari rumah ini. Tapi seperti katamu kita harus menjaga perasaan kedua orang tua kita. Apa kau masih ingat dengan kata-katamu yang bijak itu kan, Tuan Gibran yang menyebalkan ?"

Delia menatap Gibran dengan tatapan sinis yang mematikan, namun Gibran seakan tak gentar menatap kearah Delia.

"Tentu saja aku ingat, dan aku tidak akan mengingkari semua kata-kata aku itu, semua sandiwara ini akan terus berlanjut hingga kau bisa membujuk kedua orang tua kita untuk memutuskanya !"

"Kau bilang apa ? Kenapa harus aku yang membujuk orang tua kita ?"

"Iya karena sumua ini adalah salahmu ?"

"Kenapa harus salahku ? Kau yang pertama kali datang bersama keluargamu untuk melamarku waktu itu !"

Gibran terkekeh mendengar perkataan Delia.

"Itu semua kulakukan demi keluargaku, jika bukan karena keluargaku, aku tak sudi menikahimu !"

"Aku pun juga sama, aku menerima lamaran keluargamu bukan semata-mata aku mencintaimu, namun kulakukan demi keluargaku, siapa juga yang sudi dinikahi oleh pria dingin menyebalkan sepertimu !"

Gibran pun enyah dari hadapan Delia dan membanting pintu kamarnya dengan keras, hingga membuat Delia terlonjak kaget.

"Dia itu memang bukan manusia, sssshhh, selalu menyebalkan." rutuk Delia dengan sangat kesal. Delia pun kini masuk kedalam kamarnya dengan membanting pula pintu kamarnya, dan menjatuhkan tubuhnya dengan kasar diatas ranjang.

"Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti dia ?" gumam Delia, setetes air matanya pun mengalir. Jika saja dulu dia bisa menolak perjodohan dengan Gibran, mungkin saat ini dia bisa bahagia dan menjadi wanita bebas tanpa harus merasa menjadi orang lain dengan bersandiwara didepan semua orang. Ini sungguh tak adil bagi Delia.

Sedangkan Gibran dia membenamkan mukanya pada bantal, sesekali dia menarik napas untuk menghilangkan pikiran-pikiran rumitnya, tanpa disadari, Gibran sudah terlalu jauh berpikir tentang kehidupannya yang kacau begitu saja dan dia tidak tau harus berbuat apa selanjutnya, dia sudah pasrah. Dia tak tau akan berbuat apa pada hidupnya nanti, ia tak bisa mengambil keputusan, karena selama bersama Delia dia tak pernah merasakan getaran-getaran kecil dihatinya. Terasa aneh dan sepele, hanya karena ingin melihat orang tuanya bahagia dia harus menerima untuk dinikahkan denga Delia yang tak pernah dia kenal, bahkan asal-usulnya pun dia tak tahu menahu tentang gadis itu, entahlah Gibran masih tak mau mencari tahu tentang gadis itu, yang dia tahu Delia dulu pernah nyantri di daerah Padang, hanya itu saja dan Gibran tidak perduli lagi selebihnya.

Gibran menarik napasnya dalam-dalam lagi, dulu waktu dia mondok, seorang ustandznya akan menjodohkannya dengan seorang santriwati disana, namun bodohnya dia tak mau, mungkin ini salahnya, seandainya saja dia mau, mungkin dia tak akan bertemu dengan Delia, dan menikahi Delia.

Namun dunia ini memang penuh dengan teka-teki, orang pun juga akan salah memecahkan sebuah misteri itu, apakah dia akan menggantungkannya dengan waktu, tapi waktupun kadang tak pernah bisa mengubah keadaan.

Dia harus bisa membujuk kedua orang tuanya untuk menyetujui perpisahannya dengan Delia, sebelum resepsi pernikahan itu terjadi. Tapi mungkin saat itu dia pasti akan menjadi seorang anak yang tak dianggap oleh orang tuanya, bahkan dia masih ingat kata-kata ayahnya waktu itu saat melamar Delia. Jika dia menolak untuk dinikahkan dengan Delia, maka dia akan menjadi anak durhaka, pendosa dan yang pasti tidak akan dianggap. Itu ancaman atau doa ? Pikirnya murung.

Meskipun Gibran kini pusing memikirkan dunianya, setidaknya dia masih bisa menutup matanya dan mengistirahatkan otaknya itu untuk hari ini, ini sungguh hari yang sulit yang dirasakan oleh Gibran, Gibran menjalaninya seakan tertatih dan merangkak saking beratnya beban hidup yang ia rasakan. Gibran meraih bantal disampingnya dan membekap mukanya lalu berteriak sekencang-kencangnya. Dia tak sadar kini dia melakukan hal rewel yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia sudah tak kuat memikirkan hidupnya, ditambah dengan Delia.

Namun Hal yang sudah biasa beberapa hari ini saat mereka sedang berdebat, mereka akan berdiam diri dalam kamar masing-masing dengan waktu yang tak bisa ditentukan dan bisa ditebak, mungkin tiga jam, lima jam atau seharian. Mereka akan keluar kamar jika mereka akan makan dan kekamar mandi. Tapi seperti biasa, Gibran yang tak pernah tahan jika harus berlama-lama diam, dia pasti tetap membutuhkan Delia untuk menyiapkan makanan, karena dia tak pandai bekerja didapur, jadi ketika dia hendak makan dia harus bisa membujuk Delia agar mau menyiapkan makanan untuknya, sedangkan Delia sendiri dia pun kadang merasa tak tega membiarkan anak orang harus merasa kelaparan dirumahnya sendiri. Jadi walaupun mereka kadang sering bertengkar, mereka akan berusaha membujuk satu sama lain jika mereka sedang butuh sesuatu.

Delia kini bangkit dari rebahannya, dia baru ingat bahwa dia belum menanak nasi, jadi dia harus segera menanak nasi dan masak seadanya yang ada didalam kulkas, agar Gibran tak perlu membangunkannya nanti ketika dia sedang tidur, karena rencananya dia akan tidur dalam waktu yang cukup lama. Ceritanya dia akan berhibernasi gitu, dia berharap ketika dia terbangun nanti pikirannya akan menjadi fress kembali dan akan lanjut beraktifitas, karena dengan banyak beraktifitas dia bisa melupakan segala masalah yang ada di hidupnya kini.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!