NovelToon NovelToon

MATI RASA

BAGIAN 1

Bau disinfektan begitu menyengat menyapa indera penciuman. Aroma obat-obatan menyebar di ruangan dengan dinginnya AC menyapa kuat.

Kamar dengan nuansa putih bersih tertangkap pandangan yang sudah tidak asing lagi dalam pandangan.

Satu objek yang sama sedari tadi terus menjadi pusat perhatian seorang wanita berbaring di atas ranjang. Denyutan rasa sakit di pergelangan tangan serta pusing di dalam kepala menyapa begitu kuat.

Kain kasa melilit pergelangan tangan sebelah kiri menjadi saksi seperti apa kejadian yang pernah terjadi. Semua beban hidup yang menumpuk terlihat jelas dari sorot mata menyayat dari sepasang jelaga di sana.

Kedipan demi kedipan mata dilakukan berulang kali tanpa adanya ekspresi berarti.

Ini bukan pertama kali kejadian mengerikan itu dilakukan. Seolah sudah terbiasa ia tidak merasakan apa pun lagi.

Tidak lama berselang pintu ruang inap dibuka perlahan. Seorang wanita berambut sebahu dengan anting menjuntai di kedua telinga masuk ke dalam.

Suara heels dari kaki jenjang mengalun dan bergema di sana. Tanpa ada minat, sang pasien hanya terus memandang langit-langit tidak mengindahkan keberadaan orang lain.

"Apa yang sudah kamu lakukan lagi kali ini? Bagaimana bisa kamu melakukan hal sama untuk kedua kali?" tanya wanita tadi duduk tepat di samping ranjang.

"Aku Naura, adik dari tuan ayahmu, apa kamu lupa? Cahaya, apa yang-"

Wanita bernama Naura tadi menghentikan ucapannya seraya berpaling ke samping sekilas. Ia menghela napas kasar dan melipat tangan di depan dada.

Kejadian yang sama terus terulang, selama ini ia menjadi penanggungjawab seorang Cahaya. Ia tidak tahu apa sedang dipikirkan wanita lebih muda darinya ini.

Namun, yang jelas Naura sadar kehidupan kelam menjadi satu-satunya alasan.

"Aku tahu apa yang terjadi di keluargamu, untuk itu... aku datang ke sini ingin membicarakan sesuatu. Kamu tahukan putra bungsu keluarga Reynold? Mereka ingin kamu-"

"Tidak, terima kasih. Aku sama sekali tidak ingin terlibat dalam hubungan apa pun dengan siapa pun," potong Cahaya cepat.

Cahaya Jelita Jaharah, wanita berusia dua puluh lima tahun itu menatap kosong langit-langit rumah sakit. Ini kedua kali dalam setahun ia terdampar di sana dalam kasus yang sama.

Pergelangan sebelah kiri yang terlilit kain kasa dengan obat merah sebagai pertanda ada jahitan luka di sana menjadi saksi bisu.

Tanpa rasa bersalah ataupun menyesal, Cahaya melakukan itu dua kali berturut-turut. Dokter yang menanganinya sampai menggelengkan kepala, sudah terlalu banyak jahitan luka baik fisik maupun batin dideritanya.

Peristiwa demi peristiwa terus hadir menghantam hidupnya yang semula baik-baik saja.

Cahaya adalah seorang anak dari pasangan Pelangi dan Arkana, sebuah keluarga sederhana yang hidup berdampingan saling mengasihi.

Namun, kehidupan keluarga cemara mereka hancur berantakan saat badai menerpa. Hujan, kilat, petir, saling menyambar bersahut-sahutan.

Kapal yang berlayar di lautan lepas seketika tersapu ombak ganas hingga mengakibatkan semuanya luluh lantak.

Di dalam keluarga itu hanya Cahaya satu-satunya sebagai pelengkap juga korban keegoisan. Terlalu banyak lika-liku yang tejadi padanya, hingga membuat ia memilih untuk menghilang dari dunia.

Luka yang teramat besar di relung hati memberikan kegelapan tiada akhir sampai menutupi rasa simpati.

Sudah dua tahun Cahaya hidup dengan bayang-bayang kelam. Masih segar dalam ingatan bagaimana kejadian-kejadian tidak diharapkan menimpa ayah dan ibu menerjang begitu kuat.

Masih jelas bagaimana rasanya hidup bersama seorang ayah yang sudah kehilangan nyawa. Ia hanya bisa bertahan dalam kengerian.

"Kamu tahu Cahaya, siapa orang yang selama ini memberikan pasongan untukmu bisa terus bertahan hidup? Aku... aku yang sudah membiayai mu selama ini. Tidakkah kamu berterima kasih?" tutur Naura menyadarkan.

"Aku tidak pernah meminta siapa pun untuk membiayai hidupku. Karena aku berharap hidup ini selesai selamanya." Cahaya pun menutup mata enggan melihat terangnya lampu di ruang inap itu.

Naura terkesiap, tersadar jika terlalu banyak luka yang tumbuh di jurang kehidupan seorang Cahaya. Wanita yang biasanya memberikan senyum terbaik kini redup tidak tersisa apa pun.

"Kamu... benar-benar sudah mati rasa, Cahaya," kata Naura lagi.

Cahaya hanya diam tidak menanggap perkataan Naura, tetapi mengiyakan ucapan wanita di sampingnya dalam keheningan.

"Apa kamu tidak ingin melihat kebenarannya?"

Cahaya tegang beberapa saat memikirkan apa yang baru saja dikatakan sang lawan bicara.

...***...

Ibu kota masih dipadati dengan segudang aktivitas. Orang-orang terus melakukan pekerjaannya guna mencapai kesuksesan.

Banyak kendaraan mewah berlalu lalang di jalanan. Semua orang sibuk dengan segala kegiatan yang menguras energi.

Indahnya kehidupan kota, kebebasannya yang semakin marak, serta kelamnya dunia malam, menjadi ciri khas tersendiri.

Di salah satu hotel mewah terletak di tengah-tengah kota, dua insan tengah memadu kasih bersama.

Mereka tiduran di atas kasur dengan hanya dihalangi oleh selimut tebal. Pria menawan dengan wajah tampan bak pangeran tengah memeluk erat tubuh semampai seorang wanita cantik.

Keduanya sama-sama polos tanpa mengenakan sehelai benang pun. Punggung tegap sang pria bersandar di kepala ranjang dengan wanita itu tiduran di dada bidangnya.

Elusan demi elusan lembut di rambut panjang menjuntai nya membuat sang wanita nyaman. Kelopak mata yang semula menutup perlahan terbuka menampilkan sepasang iris kebiruan bening memandangi rahang tegasnya.

"Jadi, kapan Mas akan menikahi ku? Apa Mas cukup hanya dengan hubungan seperti ini? Apa Mas tidak menginginkan aku lebih dari ini?" tanyanya terus menerus.

"Hei... Sayang, tidak seperti itu. Kamu tahu, Fiona... tidak ada siapa pun di hatiku selain kamu. Jadi, jangan berpikir berlebihan, aku hanya... menunggu waktu yang tepat saja," balasnya masih mengelus puncak kepalanya sayang.

"Tapi Mas Zaydan-" Fiona bangkit dari berbaring menghadap langsung pria bernama Zaydan, kekasihnya.

Mereka sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Meskipun keduanya telah saling terbuka dalam segala hal, tetapi hubungan itu masih berjalan di tempat.

Fiona menginginkan hal lebih dari kekasih tercintanya, mengingat teman-teman sebaya sudah banyak yang menikah, ia terkadang iri dan menginginkan sebuah keseriusan dari pria tercinta.

"Shut, jika waktunya sudah tiba, aku pasti melamar mu. Kamu sendiri kan yang menginginkan menikah di sebuah pulau? Aku sedang mencarinya sekarang dan... aku akan memberikan kejutan yang tak terlupakan untukmu," jelas Zaydan mengelus pelan pipi sebelah kanannya lembut.

Manik Fiona melebar mendengar penuturan tersebut. Wajahnya pun merona tidak sabar menunggu kejutan yang hendak diberikan sang pujaan kepadanya.

"Benarkah? Kalau begitu aku akan menunggunya dengan sabar." Ia kembali melemparkan diri memeluk erat tubuh kekar Zaydan.

Pria itu kembali membalasnya erat dan memberikan kecupan hangat di puncak kepalanya.

Malam semakin larut, selepas melakukan aktivitas melelahkan, mereka pun menyelami mimpi masing-masing.

Namun, sebelum kesadarannya hilang, ponsel di atas nakas bergetar. Zaydan menggapai-gapainya pelan dan menemukan benda pintar dan membawanya.

Di sana tertera nama adik dari sang ayah, dengan malas ia menerima panggilan telepon itu.

"Em, iya ada ada tan?" tanyanya langsung.

".........................."

Mendengar penjelasan dari orang di seberang sana sontak membuat Zaydan bangkit dari tidur. Kedua mata kelamnya melebar sempurna, tidak percaya.

"Apa tante bilang? Benarkah itu? Bagaimana bisa?"

Wanita yang berada di balik ponsel menjelaskan segala sesuatunya. Zaydan berang dan meremas ponselnya dengan kuat.

Tidak lama kemudian panggilan pun terputus, ia menoleh ke samping kiri melihat Fiona tengah terlelap. Ia lalu mengusap wajahnya gusar, tidak menyangka bisa mendapatkan kejadian tidak terduga seperti itu.

"Bagaimana mungkin? Apa pria tua itu tidak punya rasa bersalah? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Dua tahun lalu... apakah tidak cukup?" racau nya seraya berdecak sebal.

Ia melemparkan ponsel ke atas nakas lagi dan berusaha untuk kembali tidur.

BAGIAN 2

Langit mengkhianati keluh kesah dalam dirinya lagi. Cuaca siang ini terlihat sangat terik nan cerah, cakrawala biru membentang sepanjang mata memandang tanpa adanya awan sebagai penghias.

Sang raja duduk di singgasananya dengan nyaman menebarkan cahaya sangat menyilaukan.

Di tengah indahnya suasana siang, ada awan kelabu menempati sepasang jelaga di sebuah bangunan megah milik keluarga Reynold.

Sedari tadi ia terus duduk diam di sofa panjang mewah di ruang tamu. Bola matanya bergulir ke sana kemari melihat-lihat furniture berharga fantastis di sana.

Ia tahu harga satu guci yang terletak di bawah tangga bisa membeli kehidupannya. Ia merinding ngilu membayangkan jika sampai dirinya memecahkan salah satu dari mereka.

Sedari tadi para pelayan yang biasa bekerja terus hilir mudik menatapnya dengan sorot mata nyalang. Ia sadar keberadaannya di sana tidak pantas dan tidak lebih berbeda dari asisten rumah tangga.

Namun, ada alasan kenapa ia harus diam di rumah mewah tersebut. Kesepakatan antara dirinya dan wanita itu di rumah sakit telah terjalin.

Ia harus melakukan apa yang sudah ditugaskan padanya. Sebagai seseorang bertanggungjawab ia akan melaksanakan apa pun, terutama bagi orang yang telah menyelamatkan nyawanya.

"Kamu sudah menunggu lama?"

Suara halus seorang wanita turun dari lantai dua mengejutkan. Ia beralih ke sana melihatnya terus berjalan mendekat.

"Sebentar lagi dia pulang, anak itu memang tidak pernah bisa betah di rumah," celotehnya duduk di samping Cahaya.

"Em," gumamnya menjawab perkataan Naura.

Wanita berambut sebahu itu melipat tangan dan kaki seraya tersenyum penuh arti. Tidak ada lagi sepatah kata pun keluar dari mereka.

Baik Cahaya maupun Naura sama-sama bungkam membiarkan detik kan jam mengambil alih. Pesona yang tercipta di dalam bangunan mewah membuat pandangan wanita berhijab di sana teralihkan.

Cahaya tidak pernah menduga jika dirinya bisa duduk di tempat elegan seperti ini. Terlebih keluarga Reynold adalah sebuah keluarga konglomerat, pemilik perusahaan berbasis perhiasan.

Berlian, emas, permata, semua ditampung di sana untuk dijadikan berbagai macam perhiasan. Harganya pun sangat fantastis tidak sebanding dengan pakaian yang saat ini tengah Cahaya kenakan.

Ia bagaikan kerikil kecil yang menggelinding di tanah, tidak ada artinya sama sekali.

Di tengah lamunan yang semakin larut, pintu ruang depan dibuka lebar oleh seseorang. Suara sepatu pantofel mahal bergema di ruangan.

Para maid mengangguk melihat kedatangan sang tuan muda. Pria kharismatik dengan aroma maskulin hadir menemui keduanya.

Aroma mint pun menelisik indera penciuman membuat Cahaya sedikit melirik ke arahnya.

"Jadi, apa yang Tante katakan semalam itu benar?" tanyanya duduk begitu saja di sofa tunggal dan mengangkat sebelah kaki, pongah.

"Itu benar, Zaydan. Semalam orang tuamu sudah sepakat membicarakan masalah ini, juga... kamu tidak bisa menolaknya begitu saja," jelas Naura.

Zaydan, pria berjas formal itu berdecih kasar membuang muka ke samping singkat.

"Apa kita hidup di zaman dulu yang menikah dengan cara dijodohkan seperti ini? Lagi... wanita ini yang akan menjadi istriku di masa depan? Yang benar saja?" Zaydan mengusap wajah gusar berkali-kali masih tidak menyangka mendengar berita semalam seraya menunjuk Cahaya begitu saja.

Naura, adik dari ayahnya mengabarkan jika hari ini ia akan diperkenalkan dengan seorang wanita. Pertemuan itu dimaksudkan untuk membuat mereka saling mengenal satu sama lain.

Sang tante juga mengatakan jika ia akan dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya. Namun, meskipun begitu Zaydan tidak bisa menolak ataupun menyalahi keputusan yang telah disepakati mereka.

"Itu benar, Zaydan. Wanita ini bernama Cahaya Jelita Jaharah, dia anak-"

"Anak dari selingkuhan ayah, bukan?" Potong Zaydan cepat.

Ia melirik pada Cahaya yang sedari tadi diam membisu. Dahi tegasnya mengerut singkat kala tidak mendapati respon apa pun dari wanita yang hendak dijodohkan dengannya.

"Iya itu benar, Cahaya adalah anak kandung dari Pelangi. Dia sudah hidup sebatang kara selama dua tahun, kamu tahu sendiri jika ibunya pergi begitu saja setelah perselingkuhan itu terungkap. Lalu-"

"Apa tujuan ayah menjodohkannya denganku? Apa dia mau mempermalukan keluarga ini lagi? Atau... dia mau menutupi kebusukannya itu dari media? Apa aku hanya kambing hitamnya saja?" cerocos Zaydan tidak habis pikir.

Naura diam beberapa saat, ingatannya berputar pada hari itu di mana sang kakak mengatakan untuk menjodohkan Cahaya dengan Zaydan.

Ia sempat menolak, dengan mengatakan permintaan kakaknya begitu konyol. Bagiamana bisa anak selingkuhan dijodohkan dengan putra kandungnya sendiri? Pemikiran seperti itulah yang sempat mendiami Naura.

Namun, selepas mendengar alasannya ia tidak bisa berkata tidak. Pembelaannya untuk sang keponakan berbalik menjadi menyetujui ide sang kakak.

"Tidak seperti itu Zaydan. Bagaimanapun juga kamu harus menerima Cahaya sebagai istrimu," jelas Naura lagi.

Zaydan kembali membuang napas kasar dan sepenuhnya menatap Cahaya. Ia kembali menautkan kedua alis, tidak mengerti apa yang tengah dipikirkan wanita itu.

Sedari tadi Cahaya hanya diam tanpa berekspresi apa pun. Tidak ada rasa terkejut ataupun tidak suka di wajah cantiknya, seolah ia sudah tahu mengenai perjodohan mereka.

"Ada apa dengan wanita ini? Apa dia patung? Kenapa dari tadi diam terus?" tanya Zaydan buka suara mengatakan rasa penasaran.

Naura memandang lekat Cahaya yang terus menatap lurus ke depan. Ia tidak peduli apa yang tengah dibicarakan tante dan keponakan di sana, sama sekali tidak tertarik.

Wajahnya tanpa emosi, datar se-datar-datarnya. Zaydan masih tidak tahu apa yang terjadi pada wanita bernama Cahaya ini.

"Cahaya memang sudah seperti itu, sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu," jelas Naura, sang keponakan beralih padanya lagi.

"Lalu? Memang berat kehilangan orang berharga, tapi... apa harus sedingin ini?" tanya Zaydan kemudian.

Kini giliran Naura menghela napas seraya menyandarkan punggung ke kepala sofa melirik Cahaya sekilas lalu menengadah melihat langit-langit ruangan.

"Tuan Arkana tidak meninggal begitu saja, tetapi beliau... mengakhiri hidupnya sendiri dengan gantung diri tepat di depan kamar Cahaya."

"Setelah ayahnya meregang nyawa sendiri, Cahaya tidak punya tempat ke mana ia harus pergi. Ia pun tinggal berhari-hari bersama jenazah ayahnya yang tergantung di rumah sederhana itu. Kamu-"

"APA? Be-berhari-hari dengan jenazah ayahnya yang tergantung?" pekik Zaydan terkejut.

Naura menolehkan kepalanya pada sang keponakan melihat raut terkejut begitu dalam. Zaydan pun memperhatikan Cahaya yang masih diam, bak patung.

Padahal di sana sang tante terang-terangan tengah membicarakan masa lalunya.

"Itu benar. Berhari-hari, sampai kondisi ayahnya membengkak serta mengeluarkan bau tidak sedap. Ia terus tinggal di sana, sampai pada akhirnya tetangga pun mencium bau itu dan merasa tidak nyaman."

"Mereka mulai mencari tahu dan betapa terkejutnya saat mendapati Tuan Arkana dalam kondisi mengenaskan. Dari sana kawasan desa tempat mereka tinggal digegerkan atas jenazah Tuan Arkana."

"Cahaya tidak melakukan apa pun, sebab... dirinya tidak punya kekuatan apa-apa untuk mengatakan semuanya pada semua orang. Sejak kecil Cahaya selalu tertutup dan lebih memendam masalahnya sendiri. Para tetangga pun tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapai wanita ini."

"Cahaya... tidak seperti namanya... di dalam kehidupannya hanya ada kegelapan," ungkap Naura lagi.

Zaydan gamang, kepalanya tidak bisa berpikir jernih setelah mendengar sebagian kisah mengenai Cahaya. Wanita itu masih diam tidak menunjukkan tanda-tanda akan menambahkan cerita tentangnya di masa lalu.

Ada rasa kasihan mencuat di relung terdalam. Namun, ia kembali menepisnya jauh-jauh untuk tidak terlalu terbawa suasana.

"Kamu tahu, alasan kenapa Tuan Arkana mengakhiri hidup?"

Pertanyaan yang keluar dari celah bibir semerah tomat sang tante mengejutkan Zaydan. Entah kenapa jantungnya tiba-tiba saja memburu hebat.

"Alasannya adalah... Tuan Arkana mengetahui perselingkuhan istrinya tepat di belakang Cahaya."

"Ma-maksud Tante?"

"Iya, Cahaya yang lebih dulu melihat sendiri bagaimana ibunya melakukan hubungan badan dengan pria lain tepat di depan mata kepalanya sendiri."

"Cahaya yang waktu itu baru pulang kuliah menoleh ke belakang dengan senyum serta linangan air mata mendapati sosok sang ayah."

Kedua manik Zaydan melebar, masih tidak percaya mendengar kisah memilukan wanita yang hendak dijodohkan dengannya ini.

Cahaya masih saja bungkam, tidak tertarik ikut berbicara bersama mereka. Ia hanya membiarkan Naura mengatakan mengenai kehidupannya selama ini.

BAGIAN 3

Hari pernikahan datang juga, hanya ada dekorasi sederhana serta disaksikan orang-orang terdekat saja. Tanpa ada gaun pengantin, kue pernikahan, tamu undangan, maupun orang tua, begitulah acara sakral yang terjadi pada keduanya.

Penampilan Cahaya jauh dari kesan mewah yang mana dirinya akan masuk ke keluarga Reynold dengan hartanya melimpah ruah.

Namun, pernikahan putra bungsu mereka sangat tertutup. Bahkan awak media tidak bisa mengendus acara sakral tersebut.

Setelah ijab kabul dilaksanakan, Cahaya resmi menjadi istri sah dari Zaydan. Pria berprofesi sebagai direktur utama di perusahaan orang tuanya memboyong pasangan hidup ke apartemen mewah.

Ia tidak pernah menduga bisa menikah secepat itu, bahkan rencana untuk melamar sang terkasih jauh dari bayangan.

Apartemen yang baru dibeli beberapa bulan lalu kini menghadirkan orang asing. Selama ini tidak ada siapa pun yang mengetahui tempat itu, dan Zaydan tidak pernah membawa orang lain. Bahkan Fiona, tunangannya sendiri tidak tahu jika ia mempunyai apartemen di kawasan elit tengah-tengah ibu kota.

Sepanjang jalan hanya ada keheningan menyambut. Deru mesin mobil menjadi backsound kebersamaan pasangan pengantin baru menuju kediamannya sendiri.

Di jok samping Cahaya terus bungkam tanpa ada niatan berbasa-basi.

Sesekali Zaydan menoleh pada Cahaya yang tengah duduk diam seraya meletakan kedua tangan di atas pangkuan.

Bola mata kelamnya berputar seraya menghela napas pelan. Zaydan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah angin malam.

"Wanita ini... apa dia sama sekali tidak punya emosi?" benaknya gamang.

Tiga puluh menit berselang mereka tiba di apartemen. Kamar yang dimiliki Zaydan berada di lantai lima dan membutuhkan beberapa saat untuk tiba di sana.

Pintu lift pun terbuka, Zaydan melangkah lebih dulu menuju kediamannya berada. Setelah memasukan enam digit angka di pintu masuk, ia pun membukanya lebar.

Dalam diam Cahaya mengikuti ke mana pria itu pergi hingga berdiri tepat di belakang pintu.

Zaydan yang tidak merasakan gerakan apa pun dari istrinya lagi berbalik menghadapnya.

"Kita memang sudah menjadi suami istri, tetapi ada batasan yang harus kamu ingat. Pertama aku tidak mau seranjang dengan wanita yang tidak aku cintai."

"Kedua kamu bisa menggunakan kamar sebelah sebagai ruangan pribadimu. Ketiga, aku tidak mau kamu mencampuri urusan pribadiku, dan keempat-"

"Baik Tuan, saya mengerti. Selamat malam." Tiba-tiba Cahaya memotong kalimatnya seraya membuka sepatu dan berjalan menuju kamar yang sudah dikatakan Zaydan tadi.

Sedari tadi Cahaya menunggu kata-kata di mana dirinya bisa tidur dan setelah mendapatkan clue ia langsung pergi begitu saja.

Sang empunya cengo dan mengedip-ngedipkan mata menyaksikan kepergian pasangan hidup. Ia mendengus kasar lagi seraya berkacak pinggang.

"Wah, lihat wanita itu... dia sama sekali tidak tahu malu. Apa hatinya terbuat dari batu? Sungguh, aku belum pernah bertemu wanita sedingin dia," racau Zaydan menggelengkan kepala beberapa kali.

Di dalam kamar, Cahaya memandangi indahnya langit malam. Gedung-gedung pencakar langit nampak cantik dengan lampu-lampu memberikan cahaya signifikan.

Cahaya berdiri di jendela besar memandangi pantulan dirinya yang samar-samar terlihat di sana. Kedua tangan mengepal kuat seolah tengah menelan emosi dalam diri.

"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja, aku hanya perlu mengikuti alurnya saja. Kehidupan mengerikan ini... aku harus menyelesaikannya!"

Suara dalam terdengar memilukan tercetus dari celah bibir ranum Cahaya. Sorot mata dalam nan tajam bak elang tengah memangsa buruannya pun terlihat jelas.

Cahaya dilingkupi berbagai macam emosi dan hanya dirinya saja yang tahu. Dua tahun adalah waktu terberat yang sudah ia lalui.

"Aku hanya harus bertahan dalam permainan konyol ini," gumamnya lagi.

...***...

Pagi menyambut, seberkas cahaya masuk ke dalam celah jendela sang tuan muda. Raja siang mulai menampakan diri memberikan kehangatan pada semua orang di dunia.

Tidur Zaydan harus terusik kala aroma penggugah selera terendus indera penciuman. Dengan mata tertutup ia bangun dan menyibakkan selimut.

Entah sadar atau tidak ia keluar kamar dan mengucek mata mengantuk nya. Ia berdiri tidak jauh dari dapur dan samar-samar melihat seseorang tengah berkutat di sana.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya.

Suara serak khas bangun tidur mengejutkan Cahaya. Ia berbalik dan mendapati suami barunya di sana tanpa mengenakan pakaian bagian atas.

Perut berotot dengan enam lapis roti sobek serta dada kokoh yang menonjol begitu menyempurnakan ciptaan Tuhan satu ini.

Namun, pemandangan menawan tepat di depan mata tidak sedikit pun membuat Cahaya terlena. Ia masih memperlihatkan wajah datar kala bertatapan dengan Zaydan.

"Saya sedang menyiapkan sarapan. Saya harus melakukan tugas sebagai... istri? Iya, saya rasa seperti itu," ucapnya menyadarkan Zaydan.

Spontan ia membuka mata lebar mendengar suara halus nan dalam istri dari perjodohannya.

"Lebih baik sekarang Tuan cuci muka dan-" Cahaya menunjuk tepat ke dadanya. "Cepat kenakan pakaian, saya dengar sebentar lagi musim hujan datang," lanjutnya mengingatkan.

Kembali Zaydan terkejut bukan main lalu menundukkan kepala dan melihat tidak ada sehelai baju pun yang menutupi bagian dada sampai perut.

Buru-buru ia masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu kasar.

Napasnya bergemuruh seraya diam di belakang pintu beberapa saat. Setelahnya Zaydan melangkahkan kaki tepat di depan cermin.

"Apa wanita itu kehilangan segalanya setelah tinggal berhari-hari dengan mayat? Bagaimana bisa dia tidak tergoda melihat tubuhku yang bagus ini?" Zaydan berkacak pinggang seraya menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri berkali-kali.

"Wah, sangat tampan. Wanita mana pun pasti tergila-gila padaku, tetapi... bagaimana bisa wanita itu?" Ia melipat tangan di depan dada sambil berpikir keras.

Dua puluh menit kemudian, Zaydan sudah lengkap mengenakan pakaian kerjanya keluar kamar. Di sana ia melihat Cahaya berdiri menghadap meja makan yang sudah tersaji berbagai macam hidangan.

Ia lalu menarik kursi dan hendak menyantap sarapan yang sudah disediakan. Namun, pergerakannya terhenti saat tidak mendengar gerakan apa pun dari istrinya.

Ia mendongak menatap Cahaya yang hanya diam membatu.

"Sampai kapan kamu mau berdiri terus seperti itu? Duduk! Apa kamu tidak mau sarapan?" tanyanya dengan nada dingin.

"Haruskah?"

"Hah? Apa yang kamu tanyakan?" Zaydan bingung menghadapi wanita itu.

"Haruskah saya makan dengan Tuan?" tanya Cahaya bertatapan langsung dengan suaminya.

Sepersekian detik Zaydan terkesima saat bertatapan langsung dengan bola mata cokelat terang milik Cahaya.

"Tentu saja, bukankah kamu menyiapkan semua ini untuk kita?" tanyanya balik, Cahaya hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kalau begitu, makanlah!" titahnya lagi.

Untuk kedua kalinya Cahaya menganggukkan kepala lalu duduk tepat berseberangan dengan Zaydan.

Sarapan mereka kali ini terasa begitu berbeda. Baik Zaydan maupun Cahaya sama-sama merasakan keberadaan satu sama lain.

Selama ini keduanya hanya makan dan melakukan berbagai macam hal di rumah sendirian. Tidak ada orang lain maupun keluarga menemani, semuanya dilakukan sendiri.

Diam-diam Zaydan memperhatikan Cahaya. Cara wanita itu makan sangat elegan jauh dari kesan seseorang yang pernah hidup dalam lingkungan serba kekurangan.

Caranya menggunakan pisau dan garpu begitu rapih serta terstruktur dengan baik.

"Siapa wanita ini sebenarnya? Apa benar dia anak dari Pelangi dan Arkana? Arkana... pria tua itu adalah orang kepercayaan ayah. Bagaimana bisa ayah selingkuh dengan istri dari kaki tangannya sendiri? Ada apa sebenarnya?" benak Zaydan bermonolog.

Cahaya diam-diam juga memperhatikan Zaydan. Bola matanya terus melirik apa yang tengah dikenakan sang pria.

"Jam tangan berharga ratusan juta, pakaian dari desainer terkenal, rambut disisir rapih mengenakan gel setara dengan tas branded, sepatu pantofel dari perancang ternama, wah... sungguh kehidupan tuan muda yang istimewa," batinnya meracau.

Pasangan suami istri itu pun sama-sama memperhatikan masing-masing dalam diam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!