"Sayang.. bagaimana kalau kita ke karaoke" Jenny tidak terlihat peduli pada ajakan Damian. Ia hanya menoleh dengan senyum terpaksa menanggapi pacarnya dan yang lainnya yang sedang berkumpul seperti biasanya di kafe mewah di Ibu kota.
Riuh suasana kota membenamkan kesadaran Jenny menuju lamunan panjang tentang segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika ia tidak berada pada jalan hidupnya sekarang. Entah menjadi pembantu rumah tangga, penjaga karcis bioskop atau menjadi wanita nakal yang hidup mengejar kepuasan yang tidak akan ada habisnya.
Hidup ini begitu membosankan.
"Kenapa Je?" Fransiska menggenggam pergelangan tangan Jenny, mencoba memahami situasi teman baiknya itu.
"Kamu baik-baik saja kan?"
"Oh.. Maaf aku kurang fokus hari ini, mana yang lain?" ia keheranan, Samuel dan pacarnya Damian tidak ada lagi disana.
"Mereka sedang ke parkiran, ayo kita tunggu mereka di gerbang selatan" ajak Fransiska dan mereka berjalan keluar dari kafe menuju pintu selatan Mall menunggu yang lainnya disana.
Cuaca dingin mulai terasa, hembusan angin yang kian bertiup kencang membuat Jenny terhuyung karena sedari tadi melamun dan pikirannya jauh melayang entah kemana.
Hampir saja ia terjatuh, dan berhasil aku tahan punggungnya agak bisa berdiri stabil.
"Te.. terimakasih.." ucapnya terbata-bata.
"Tidak apa, aku hanya kebetulan lewat.." Sebelum selesai berbicara tanganku diapit oleh sosok lelaki. Sorot matanya melotot mengarah tepat pada pandangan mataku, ia mendengus bak serigala yang akan menerkam buruannya.
"Kau apakan pacarku hah!"
"Jawab Woi!!" timpal Samuel yang berada tepat dibelakang badanku, ia menarik jaket parka yang sedang aku gunakan.
Jenny panik sampai tidak bisa berkata-kata, ia mencoba melerai kami bertiga dibantu oleh seorang Petugas keamanan di lobby.
"Sudah.. sudah jangan bertengkar!!" nyaring suara dari petugas sekuriti mencoba menenangkan pertikaian yang tiba-tiba saja terjadi.
"Ada apa ini? kenapa kalian bertengkar?" petugas mencoba memahami situasi, tatapan matanya fokus kepada kami bertiga.
Jenny yang sudah tenang pun menjelaskan perihal kesalahpahaman yang terjadi. tuduhan Damian menggoda pacarnya ia bantah karena tadi ia hendak jatuh dan aku hanya membantu menahan badannya agar tidak jatuh, pun begitu sepertinya Damian masih tetap emosi bahkan hendak memukul kepalaku dan berhasil ditangkis oleh sekuriti.
Sekuriti meminta kami semua untuk tidak gaduh dan menjaga ketertiban untuk kenyamanan semua pengunjung mall, kami pun diminta untuk keluar dari area mall secepat mungkin. Jika tidak, petugas akan melaporkannya ke polisi.
Mau tak mau Damian pergi berlalu menuju mobilnya, Fransiska dan Sam sudah terlebih dahulu meninggalkan mall.
"Gila kamu ya? dia itu cuma membantu aku, bukannya terima kasih kepadanya malah dia kamu maki-maki"
"Dia memegang bahu kamu, ya aku pikir dia sedang nyari kesempatan buat apa-apain kamu. Ya jelas aku cemburu dan marah dong!" Damian tak kalah heboh menanggapi kekasihnya yang berupaya menjelaskan sesuatu.
"Dia mau apa-apain aku di depan publik, kamu pikir hal itu bisa dia lakukan? otaknya dipake dong!"
"Aku muak sama kamu!". Jenny melangkah keluar dari mobil menuju jalan raya untuk mencari taksi.
Damian menyusul keluar mobil mencoba membujuknya untuk kembali kedalam mobil namun tak dihiraukan, karena kesal ia pun meninggalkan Jenny sendirian.
...----------------...
"Kamu telat 17 menit! dari mana saja kamu hah..??" seperti biasanya Boss tempatku bekerja selalu bersikap kasar dan tak jarang ia melontarkan kalimat-kalimat hinaan yang membuatku sakit hati.
Sebelum mau menjelaskan alasan keterlambatan, ia memintaku untuk membawa beberapa kardus besar untuk dibawa ke gudang. Totalnya ada 24 kardus besar yang berisikan berkas dan barang-barang yang sudah tidak terpakai.
"Bereskan segera!" perintahnya dengan bentakan yang cukup terdengar jelas oleh karyawan yang lain.
"Baik pak".
Sudah muak dengan segala perlakuannya padaku dari awal bekerja disini sejak 2 tahun lalu, aku terus bersabar agar tidak dipecat, karena bagaimanapun hanya ini sumber penghasilanku satu-satunya.
Pekerjaan menjadi office-boy tidaklah mudah, terlebih kantor ini hanya memilki 5 pegawai office-boy yang ditempatkan pada semua pekerjaan membantu kebersihan dan juga merawat semua peralatan yang ada di kantor. Bukan hanya aku 4 pegawai lainnya pun merasa tersiksa harus bekerja dalam tekanan dari atasan yang kadang kala tidak logis, terkena omelan hanya karena persoalan sepele namun begitu, tak ada satupun yang berani melawan.
Seperti tak ada habisnya kotak-kotak kardus ini, bukan hanya besar tapi juga beratnya lebih dari 5 KG per satu kardusnya.
Isinya bermacam-macam, mulai dari peralatan yang rusak maupun berkas-berkas yang sudah tidak terpakai. Aku sendirian yang mengangkut ke gudang di lantai 4 sedangkan kantor utama ada di lantai 12, jadi harus naik turun lift dengan membawa barang bawaan berat dan itu sangat melelahkan.
“Tidak ada habisnya..” keluhku sambil menyeka keringat di dahi.
“Hei! Jangan malas-malasan”
“Lihat itu, kardusnya masih banyak dan menghalangi jalan, cepat bereskan!” ujar karyawati yang terkenal galak, ia melirik ke arahku dengan tatapan jijik, temannya pun hanya cekikikan melihatku dibentak seperti itu.
“Iya” timpal ku lemah, dan lanjut mengangkut barang-barang ini ke lift.
“Dasar lelaki tidak berguna” ujar si perempuan yang satunya.
Perlakuan seperti itu biasa ku dapatkan tak hanya dari boss, beberapa karyawan yang lain pun senang sekali mengolok-olok kami yang bekerja sebagai office-boy, mungkin bagi mereka, pekerjaan kami layak untuk mendapatkan cemoohan dan menjadi hiburan satu-satunya dengan menertawakan garis nasib sebagai manusia miskin yang bergantung pada satu-satunya pekerjaan.
Kerjaan ku selesai pada jam 10 malam dan pulang menuju kota utara 1 jam perjalanan dari kantor meski lumayan jauh namun aku sudah terbiasa, dan aku tidak berangkat pada rush-hours jadi tidak terjebak macet yang sangat lama di perjalanan begitupun pada waktu pulang pada saat ini jalanan lenggang cukup untuk kebut-kebutan dengan motor butut ku yang sudah satu bulan belum sempat mendapatkan perawatan kebersihan.
Sepertinya aku harus membersihkan motorku.
Melihat kendaraan motor matic yang sudah dipenuhi debu jalanan juga pada bagian mesin terlihat mengerak karena kotoran, aku memutuskan ke tempat pencucian motor langganan tak jauh dari sini.
Sesampainya disana aku disambut oleh Riki, orang yang menjadi petugas pencucian, kami akrab karena sering bertemu di kafe sebelah dan dia yang selalu menerima tugas sial mencuci motor butut ku yang keadaanya selalu memperihatinkan.
“Riki, aku di kafe ya, kabari kalau sudah selesai” Ucapku sembari berlalu menuju kafe tepat disamping pencucian motor.
“Ok Bro.. Santai nanti aku juga kesana”. Jawabnya.
Jemari pak tua itu lihai menggunakan peralatan-peralatan kopi dihadapannya, membuat espresso maupun menyajikan latte dengan art bunga tulip yang sangat indah bak lukisan. Namanya Pak Sudirman, ia sudah 30 tahun mengelola kafe ini sejak masih muda bersama istrinya dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Linda, sejak Istrinya meninggal 10 tahun lalu, Pak Sudirman seorang diri mengurus anaknya dan kafe, sungguh lelaki yang luar biasa, berperan sebagai single father.
Kami saling sapa dan berbincang tentang keadaan dan juga pekerjaanku, tiap kalimat yang keluar selalu diiringi oleh senyum khas dari si lelaki tua ini, meski begitu ia tetap fokus melayani para pelanggan dengan sajian kopi yang nikmat untuk siapapun.
“Boss mu masih tetap galak seperti biasanya ya.. Haha” ucapnya menanggapi curhatan ku tentang atasanku yang sering semena-mena.
“Begitulah...” Aku kesal jika membayangkan perlakuannya selama ini.
“Sudahlah... Ikhlaskan semuanya, dan kamu harus punya tekad kuat, anggap ini adalah latihan mental, aku yakin suatu saat nasib baik akan datang padamu” nasehatnya memang tak pernah salah, dan selalu menentramkan.
Dirinya yang kini berumur 61 tahun sudah banyak mengalami hal-hal berat salama perjalanan hidupnya, tak hanya hal buruk, banyak juga hal baik yang terjadi. Makanya ia selalu berpesan agar tidak selalu mengingat hal-hal buruk, karena dalam hidup ini, sedikitnya kita pernah mengalami hal baik dan jarang sekali kita benar-benar menikmatinya.
“Motormu sudah ku bersihkan tuh..” Riki nyelonong masuk dan duduk di meja bar.
“Terima kasih ya..”. Ucapku
Kami bertiga pun lanjut berbincang-bincang, dari obrolan sehari-hari tentang pekerjaan sampai lelucon-lelucon ringan yang bisa membuatku melupakan tentang beberapa kejadian hari ini, sampai tak terasa waktu berlalu sangat cepat sudah hampir jam 12 malam. Aku pun undur diri bersama Riki menuju tempat pencucian motor. Disana terlihat motor butut ku itu sudah mengkilap tidak lagi buluk dipenuhi debu.
Belum sempat menyalakan motor, seorang menepuk pundak dari arah belakang.
“Hei, Kamu yang tadi siang itu kan?...”.
...****************...
“Oh.. Iya..” aku turun dari motor dan menyapa perempuan yang tadi sempat menjadi bahan pertikaian di mall.
“Maafkan atas kelakuan kasar pacarku tadi siang.. Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa, jadi tidak bisa membelamu”
Aku pun mendengarkan ceritanya tentang lelaki tadi yang hendak memukulku karena kesalahpahaman yang terjadi, beruntung langsung ditindak dan diamankan oleh petugas sekuriti yang bertugas, jika tidak mungkin saja aku sudah masuk rumah sakit.
“Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya khawatir.
“Aku baik-baik saja, terima kasih sudah khawatir”.
Sekitar 10 menit kami berbincang, lebih banyaknya ia yang bercerita tentang perlakuan kasar lelakinya itu, namun tak aku hiraukan karena persoalannya sudah selesai dan kami pun tidak saling kenal jadi tidak akan ada masalah yang berkelanjutan di kemudian hari.
Setelah itu, aku pamit dan ia pun menuju mobilnya yang telah selesai dicuci. Satu dari sekian banyaknya perempuan yang pernah aku temui, mungkin Jenny adalah yang tercantik dan juga memiliki pribadi yang baik. Setidaknya aku yakin dia bukanlah perempuan yang hanya akan menilai seseorang dari penampilannya saja.
...----------------...
Setelah memarkirkan mobil di parkiran area khusus pemilik apartemen, Jenny keluar membawa beberapa kantong belanja ia berjalan luruh ke lift menuju lantai 19 ke apartemen miliknya. Ia masuk kedalam lift yang disana ada petugas teknisi berseragam abu-abu dan menyapanya.
“Mbak mau ke lantai berapa?” si petugas melihat Jenny yang kesulitan menggerakkan tangannya untuk mengambil kartu akses menuju apartemen.
“Oh, tolong ke lantai 19 pak” ia menyahut dan berterima kasih sudah dibantu.
Sesampainya di apartemen, ia merebahkan diri ke sofa ruang tamu yang mewah dihiasi berbagai macam foto-foto dirinya dan keluarga. Ia memutuskan sendiri dan mandiri di Ibu kota karena menolak tawaran ayahnya yang pengusaha kelapa sawit untuk meneruskan bisnis keluarganya.
Ia merasa tidak pantas atas tawaran ayahnya karena dirasa ia kurang mampu untuk mengatur sebuah perusahaan besar, salah langkah mengambil keputusan akan berakibat fatal, dan mau tidak mau sang Ayah masih meneruskan memimpin perusahaan berharap suatu saat Jenny berubah pikiran dan mau melanjutkan tapuk kepemimpinan perusahaan.
Hari ini fokusnya terpecah-belah karena Damian yang begitu egois dan pemarah, pertengkaran tadi siang membuatnya sadar jika pacarnya itu bukanlah lelaki idamannya. Seringkali ia dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi Damian. Namun kini ia sadar jika dirinya harus memutuskan hubungan itu dan menyingkirkan benalu dalam hidupnya, ia tak ingin menderita lebih dari ini.
Dasar lelaki, semuanya sama saja.
Ia membatin dan seketika teringat akan sosok lelaki yang ia temui tadi, pembawaannya begitu teduh dan santai.
“Shean.. Seperti bukan nama orang yang biasa-biasa saja” ia berbicara pada dirinya sendiri membayangkan raut wajah lelaki berperawakan kecil dengan kulit kecoklatan terbakar matahari yang mencerminkan lelaki pekerja keras.
Semoga kita bisa bertemu kembali Shean.
Pikirannya menerawang jauh sampai ia tertidur di sofa, menikmati impian indah dalam tidurnya yang lelap sampai nanti terbangun pada pagi hari yang cerah.
...----------------...
Setelah sarapan aku bergegas menyalakan motor dan melaju ke kantor tempatku bekerja. Meski masih jam 9 pagi namun matahari sudah terasa terik dan menyengat. Rasanya ingin segera sampai dan berteduh pada dinginnya AC ruangan agar terhindar dari terik matahari.
Deru kendaraan bermotor kian padat di perempatan menuju arah pusat kota, setelah belokan di depan biasanya jalanan akan lebih lenggang karena tidak banyak kendaraan yang menuju arah mall. Aku sudah hafal betul kondisi jalanan pusat dan dalam 2 tahun ini aku bisa menghindari jalanan-jalanan yang sekiranya aku pikir akan macet, kadang kala melewati gang-gang kecil perumahan kumuh, tak apa asalkan bisa lebih cepat sampai di tujuan.
Sebenarnya kantor buka pada jam 10 namun kali ini aku berangkat lebih awal, mengingat kemarin aku melakukan kesalahan karena telat masuk di jam kerja. Kali ini aku pastikan tidak akan telat.
Di kantor baru hanya ada Benny dan Yudi, kedua temanku yang sama-sama seorang office-boy, mereka mengajak untuk sarapan bersama di pantry.
“Katanya kamu kemarin habis dipukulin?” Anton penasaran dengan kabar yang entah dari siapa iya tau. Memang anton ini berbakat menjadi detektif karena rumor dan gosip seputaran mall biasa ia ketahui sebelum yang lainnya tau.
“Ah kau ini ton.. Cuma salah faham. Tidak sampai kena pukul juga” timpal ku meyakinkannya.
“Ada-ada saja masalah kamu ini” Benny menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir selalu saja ada masalah yang menimpaku.
“Santai.. Semuanya aman terkendali” Ucapku
“Benar juga, lagian kalau kamu dipukuli, harusnya kamu sudah ada di rumah sakit. Hahaha” ucapan Anton membuat Benny tertawa terbahak-bahak.
Selesai sarapan kami mulai melakukan tugas masing-masing, dari mengepel lantai, membersihkan meja-meja karyawan dan membawa sampah-sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan. Semua di kerjakan secara cepat sebelum sang boss besar datang ke kantor.
Tanpa terasa waktu pun berlalu begitu cepat dan sudah jam 9 malam. Aku pun memastikan semua hal sudah selesai dikerjakan dan bisa pulang lebih cepat, karena ada hal yang harus aku lakukan di rumah yang tidak sempat ku kerjakan kemarin.
“Aku pulang duluan ya..” ucapku ke dua temanku itu. Mereka masih sibuk berbenah dan bersiap untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pandanganku fokus tertuju ke depan, tanpa mempedulikan samping kanan-kiri ku, terpenting aku selalu waspada agar tidak melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Kendaraan berhenti di lampu merah simpang kota. Disana terdapat restoran-restoran mahal yang tidak akan mungkin berani aku kunjungi karena harga perporsinya bisa saja menghabiskan setengah dari gaji bulananku.
Rasanya ingin sekali aku bersantap makanan mewah dilayani oleh pramusaji cantik yang menawarkan wine lalu menuangkannya ke gelas yang ku pegang. Indah sekali khayalan ini, namun jauh untuk bisa terwujud. Isi kantong hanya cukup untuk membeli nasi dan lauk-pauk sederhana. Bahkan untuk bermimpi seperti itu saja terasa sulit, karena aku tau itu tidak mungkin bisa ku dapatkan.
Seketika lamunanku tersadar ketika mendengar suara nyaring dari arah sebrang tak jauh dari lampu merah aku melihat seorang lelaki tengah menampar seorang perempuan dan mendorong sosok perempuan itu sampai tersungkur di trotoar sehingga ia terlihat kesakitan dan menangis setelah puas mencaci maki si lelaki berlalu dengan mobil sedan hitam miliknya.
Hal yang biasa terjadi di kota ini, lelaki berlaku kasar pada seorang perempuan kadang tindakan-tindakan seperti itu membuatku sedikit merasa marah, akan tetapi aku hanya bisa melihat tanpa bisa membantu, karena mencampuri masalah orang lain adalah hal tabu di kota ini.
Terlihat dari pengendara lain yang sedang berhenti di lampu merah mencoba tak mempedulikan apa yang sudah mereka lihat, mungkin mereka seperti itu karena tidak ingin tertimpa masalah, hal yang wajar dan itu pun yang aku pikirkan.
Perempuan itu mencoba berdiri, namun rasa sakit membuatnya mengurungkan niat dan lebih memilih duduk di trotoar sambil membuka ponselnya. Lamat laun aku melihat gerak-geriknya sepertinya aku mengenali perempuan itu.
Setelah lampu hijau menyala, aku pun membelokan arah ke sebrang dan mendekati sosok Jenny yang baru kemarin aku kenal.
“Mbak Jenny kan?” tanyaku, ia tak menghiraukan ucapanku dan sibuk dengan ponselnya untuk memesan taksi.
“Mbak tidak apa-apa?”
“Apa peduli mu.. Sana pergi!” ia membentak dan sorot mata tajamnya tertuju padaku. Barulah ia tenang setelah tau jika itu aku.
“Shean maaf, aku tidak bermaksud begitu.".
"Ko kamu biasa ada disini” ia tergagap dan mencoba berdiri namun tak bisa ia lakukan.
Dengan sigap aku membantunya berdiri dan menawarkan bantuan untuk mengantarkannya pulang.
“Kita ke sana dulu” ia menunjuk ke kafe agar ia bisa menenangkan pikirannya.
Setelah memarkirkan motor, aku menuntunnya jalan menuju kursi kafe. Setelah memesan minuman dan makanan, kami berdua tertunduk tak tau mau mulai pembicaraan dari mana, sama-sama dalam kondisi kaku yang tidak bisa dijelaskan.
Makanan dan minuman sudah tersaji di meja, ia mengambil iced lemon tea dan sepertinya ia malu untuk menampakan wajahnya karena habis kena tampar, walaupun tidak terlihat ada bekas tamparan, akan tetapi ia mungkin sungkan untuk melihatku pada kondisinya saat ini.
"Aku melihat semuanya.. Maaf jika aku terlalu pengecut karena tidak bisa membantumu, aku baru sadar jika itu mbak Jenny" lanjut aku menjelaskan diriku yang mencoba tidak peduli dengan apa yang terjadi karena tidak ingin tertimpa masalah lebih jauh lagi. Namun ketika aku mengetahui itu adalah Jenny aku berbelok dan mencoba membantunya
"Kamu benar, ini bukan urusanmu, hanya saja kamu jadi harus melihatku dengan kondisi seperti ini". Tatapannya memilukan. Aku tak kuasa untuk bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi, jika ia mau bercerita maka aku siap untuk mendengarkannya, sementara ini biarlah ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
"Shean. Tolong temani aku malam ini" ucapnya dengan beberapa tetesan air mata membasahi pipinya.
...****************...
Pikiranku dibuatnya kacau, perempuan di hadapanku meminta untuk menemaninya malam ini, dan apa maksudnya?. Sejenak aku memejamkan mata menenangkan pikiran mengatur nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Aku tidak salah dengar, jika Jenny meminta untuk ditemani, bukan berarti untuk melakukan hal negatif, ia hanya sedang mencari pelarian dari kejadian yang menimpa dirinya kemarin dan hari ini yang disebabkan oleh pacarnya yang baru ku ketahui jika mereka baru saja putus.
“Maaf, tapi aku harus pulang ada hal lain yang akan ku kerjakan malam ini”. Ujarku beralasan tanpa berbohong karena memang ada pekerjaan lain yang sedang aku kerjakan dan sudah bertahun-tahun aku mengerjakannya tanpa sepengetahuan orang lain.
“Kalau begitu aku akan ikut ke rumahmu” Jenny berharap aku mengiyakan permintaanya, aku rasa akan percuma saja menolak permintaanya aku sadar jika Jenny pastilah keras kepala.
Ia terlihat senang, wajahnya sumringah ketika aku setuju untuk mengajak pulang ke rumahku, meski begitu aku hanyalah lelaki normal pada umumnya, rumah sepi dan tidak ada siapapun selain diriku dan Miu kucing jalanan peliharaan yang aku rescue.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumahku, ia mengernyitkan pandangannya melihat rumah bobrok yang lebih terlihat seperti rumah hantu menyeramkan dengan dinding kusam dan beberapa sudut pada temboknya sudah rusak karena lama tidak ada perawatan.
Rumah ini adalah warisan dari orang tuaku. setelah mereka wafat pada saat aku baru menginjak kelas 2 SMA, aku harus hidup sendiri di rumah tua ini tanpa sanak saudara yang membantu, mereka semua menghindari agar tidak tertimpa beban mengurus anak yatim piatu dan sejak saat itulah aku tinggal mandiri bermodalkan sisa-sisa peninggalan orang tua.
“Buka saja heels nya, sepertinya kakimu keseleo”. Tanpa membantah ia pun membuka heels yang ia kenakan dan tangannya bertumpu pada bahuku.
“Ayo masuk”. Aku memapah masuk dan membaringkan tubuhnya di kursi sofa ruang tamu.
“Tunggu sebentar disini jangan bangun dulu, lukamu cukup parah”.
“Terimakasih Shean sudah mau menolongku, suatu saat nanti aku akan membalas semua kebaikanmu”. Ucapnya pelan
“Sudahlah, aku tidak mengharapkan imbalan apapun darimu”.
Sisi lain diriku merasakan bahagia karena ada wanita secantik Jenny mau berbicara denganku, namun itu hanya terjadi karena dua kejadian yang secara kebetulan saja harus terlibat pada hidupnya. Jika ini semua tidak terjadi, apakah mungkin dia mau berbicara dan berteman denganku? Belum tentu, dan aku tidak ingin berharap lebih dari semua ini yang berujung harus sakit hati untuk keduakalinya.
Terdengar dari dapur, Jenny sedang berbincang di ponselnya entah dengan siapa, aku tak berani menguping pembicaraannya. Mungkin saja orang tuanya yang khawatir akan keadaan anaknya, atau mungkin saja temannya.
Aku mengambil beberapa buah es batu berukuran kecil yang dimasukan ke kantong plastik untuk mengompres luka lebam di kaki Jenny, semoga saja lukanya cepat membaik dan besok ia bisa pulang sendiri.
“Apa saudara-saudaramu tidak ada yang berkunjung kemari?” tanyanya keheranan karena melihat penampakan rumah yang tidak terurus juga sedikit pengap belum sempat untuk membersihkan seisi ruangan.
Setiap hari pulang larut malam dan juga pagi hari harus berangkat menuju kantor, hampir tak ada waktu senggang, hanya di akhir pekan aku memiliki waktu untuk bersih-bersih mengerjakan pekerjaan rumah.
“Kenapa diam saja”
“Sebentar.. Biar aku obati dulu kakimu” aku mulai memijat dari mata kaki sampai ke telapak dengan sedikit losion, terdengar Jenny meringis kesakitan dan tak aku pedulikan.
“Sakit tau, pelan-pelan dong”. Ia menggerutu karena jariku menyentuh pada titik luka bagian dalam di pergelangan kakinya.
“Tahan sedikit.. Selesai ini aku kompres dengan es batu”.
Setelah cukup tenang. Aku meletakan es batu yang sudah dibalut plastik transparan ke pergelangan kakinya.
Harusnya luka seperti ini diperiksa oleh dokter, karena Jenny menolak akhirnya hanya bisa diobati dengan cara tradisional. Bukan tidak mungkin baginya untuk diperiksa oleh dokter di rumah sakit besar yang mahal, namun apa yang ia pikirkan sampai harus meminta ikut pulang ke rumahku.
Wanita tidak bisa ditebak arah pikirannya.
“Hei.. Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi”.
“Tidak ada yang berkunjung kemari, lagi pula saudaraku jauh dan tidak mungkin menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke tempat bobrok seperti ini” jawabku sedikit kesal karena hal-hal seperti ini bukanlah pembicaraan yang menyenangkan.
Malam semakin larut tanpa terasa, namun ia masih terus bercerita tentang hubungannya dengan Damian yang selama ini tidak baik-baik saja dan cenderung mendominasi atas segala hal dan puncaknya terjadi malam ini ketika Jenny meminta putus dengannya berakhir dengan dirinya yang terluka bukan hanya terluka perasaaan tetapi fisiknya pun terluka dan untuk berdiri pun ia sangat kesulitan. Masih tak habis pikir ada lelaki kasar seperti itu dan aku menaruh simpati besar kepada Jenny harus melalui hari-hari buruk bersama Damian.
Jika harus disimpulkan, Damian adalah anak dari teman dekat Ayahnya dan berencana menikahkan mereka berdua agar suatu saat perusahaan besar Ayah Jenny bisa ada yang melanjutkan.
Aku bertanya-tanya dalam hati akan seperti apa kelanjutan hubunganku dengan Jenny. Rasanya masih sedikit aneh harus menolong perempuan cantik sepertinya. Aku tegaskan dalam hati jika aku hanya sebatas office-boy yang kebetulan menolong perempuan cantik, aku tak mengharapkan apapun dari semua ini, bahkan berpikir untuk berteman apalagi dalam konteks percintaan.
setidaknya aku masih tau diri.
Meski kelihatanya Jenny akan baik-baik saja dengan hubungan ini, namun aku cukup tahu diri dengan keadaan diriku saat ini yang tidak bisa mengimbangi gaya hidupnya yang terbiasa glamor.
Atau mungkin saja setelah ini Jenny tidak akan mempedulikan keberadaan diriku? sepertinya itu lebih baik, jadi kita akan kembali pada kehidupan masing-masing seolah tidak ada yang pernah terjadi diantara kita berdua dan semua berakhir bahagia tanpa ada yang perlu merasa terluka, karena semakin lama sebuah hubungan semakin terasa sakit saat berakhir.
“Shean.. Hei! Malah melamun..” Tanyanya sedikit kesal.
“Ayo kita istirahat, aku capek sekali”. Jawabku sekenanya.
Aku memapahnya menuju kamarku agar ia bisa lebih nyaman beristirahat, rasanya tak mungkin membiarkan ia tidur di kursi lapuk satu-satunya sofa yang ada di rumah ini. Sesaat memasuki ruang kamar, ia terkejut dengan beberapa barang-barang yang ada di kamar.
“Itu peta apa? Seperti peta kuno” tanyanya dengan tak hentinya ia terkagum-kagum dengan penampakan barang-barang koleksi kakek ku, terlebih lagi ia melihat peta yang aku bentangkan pada white board besar di samping meja kerja.
“Sudah.. Sudah, sebaiknya kamu istirahat, besok akan aku ceritakan semuanya”. ucapku, agar ia tidak lanjut bertanya.
“Benar ya.. Aku tunggu besok pagi”. Lucu sekali tingkahnya seperti anak kecil yang sedang penasaran dengan mainan barunya.
“Iya” ucapku pelan.
Setelah mematikan lampu kamar aku berbaring di kursi sofa dan mencoba untuk membenamkan diriku sedalam mungkin menuju ruang mimpi tanpa batas.
“Lelah sekali malam ini ya tuhan” keluhku, meski begitu, besok hari libur dan aku bisa tertidur selama-selamanya setelah selesai dengan semua ini.
Menolong seseorang berarti beban yang ia pikul akan membebani si penolong, dan itu yang terjadi kepadaku, meski ikhlas dengan semua ini, tetap saja ada rasa lelah yang lebih dari biasanya, harus ke klinik dan juga lanjut mengantarkan kerumahnya.
Besok pun akan menjadi hari-hari yang sibuk bagiku, dan malam ini aku hanya ingin tertidur pulas seperti bayi dan menikmati waktu istirahat sebisa mungkin untuk mengisi ulang daya pada tubuhku.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!