"Jihan tidak akan pernah mau menyetujui pernikahan ini ayah!" Ucapnya dengan hati getir penuh derai air mata.
"Ayah mohon Jihan, mengertilah nak. Tolong bantu ayah sekali ini saja..." Sambung Winarta, ayah dari Jihan Winarta.
Gadis itu terus saja mengelak apa yang menjadi permintaan sang ayah. Jihan tahu jika hubungan paksa ini terjadi hanya demi menyelamatkan nama baik keluarganya yang sudah terjerat hutang ratusan juta rupiah pada keluarga Santoso.
"Ayah tahu ini sungguh tidak lah adil bagimu nak, tapi tidak ada cara lain untuk menyelesaikan semua persoalan ini Jihan." imbuhnya dengan suara bergetar namun tetap meninggalkan Jihan seorang diri dikamar yang tengah menangis tersedu-sedu.
Dengan hati yang hancur pula, Winarta meninggalkan putrinya tersebut seorang diri didalam kamar. Entah mimpi buruk apa yang sedang ia rangkai untuk putri kesayangannya tersebut.
"Sudahlah, anak itu akan mengerti sampai tiba waktunya nanti. Pernikahan ini kan baru akan terjadi dua bulan ke depan. Masih ada waktu bagi Jihan menata hatinya kembali dengan baik." Imbuh Leni istri ke dua Winarta.
Leni adalah ibu tiri Jihan, dan kini Jihan juga memiliki satu orang kakak tiri perempuan yang usia mereka hanya terpaut satu tahun saja.
"Iyah ayah, semua akan membaik nantinya. Kita berikan saja waktu untuk Jihan merenung sendiri." Sambung Lana dengan mengusap pundak ayah tirinya tersebut.
Tanpa mereka sadari Jihan tengah menguping pembicaraan mereka dibalik pintu kamarnya , baginya pernyataan Leni bukanlah sebuah saran yang baik untuk sang ayah. Jihan yang sudah terlanjur benci dengan keduanya, mengira jika semua ini hanyalah siasat buruk dari mereka.
Jihan menyangka jika keduanya hanya ingin melihat kepergian Jihan dari rumah ayah kandungnya. Agar mereka bisa menguasai rumah beserta kasih sang ayah tanpa perlu lagi berbagi denganya. Meskipun pada kenyataanya, baik ibu tiri dan kakak tirinya tidak pernah berbuat jahat sedikitpun selama mereka tinggal bersama.
Tapi tetap saja, bagi Jihan ibu tiri adalah tetap ibu tiri. Layaknya sinetron pada umumnya, jika seorang ibu tiri akan memiliki banyak tipu muslihat didalamnya. Meskipun pada kenyataanya selama ini Leni telah berusaha menjadi ibu sambung sebaik mungkin untuk dirinya dan juga Lana. Tak ada pembedaan antara kasih sayang Leni pada keduanya , bagi wanita itu mereka berdua tetaplah anaknya sendiri tanpa memperdulikan statusnya saat ini.
Setelah mendengarkan pernyataan semua orang , Jihan kembali ke kamarnya dengan merebahkan seluruh tubuhnya diatas ranjang. Ia hanya bisa meratapi nasibnya seorang diri dengan sesekali jauh menerawang, jika sebentar lagi dirinya akan menjadi salah satu menantu pengusaha kaya yang bernama Santoso. Mertuanya tersebut memiliki swalayan besar yang tersebar dibeberapa banyak kota besar , bahkan jumlahnya sudah puluhan.
Dan calon mertuanya tersebut hanya memiliki putra tunggal yang bernama Andrew Santoso, yang tidak lain adalah calon suami Jihan nantinya. Ia sendiri bekerja sebagai seorang arsitek, karena sosok Andrew tidak ingin berada dibawah bayang-bayang sang papa.
......................
2 bulan kemudian.
Acara pernikahan yang telah di nanti oleh kedua orang tua Jihan namun tidak denganya tiba saatnya. Selama ini Jihan memang tidak pernah bertemu dengan sosok Andrew, ia hanya tahu sebatas foto yang diberikan oleh sang ayah. Mana mungkin Jihan menyimpannya, untuk mengenalnya lebih jauh lagi rasanya pun malas.
"Nak, cepatlah bersiap pengantin lelaki sudah sampai didepan." teriak Winarta yang sudah bersiap dengan kemeja hitamnya.
Sedangkan Jihan yang sejak tadi sudah siap didalam kamar tengah berlatih menata senyum palsunya untuk menyambut kedatangan keluarga mempelai. Karena ia tak ingin nanti sang ayah akan merasa malu jika sikap kerasnya muncul dihadapan keluarga Santoso.
Pernikahan keduanya terjadi di kediaman rumah Winarta, sesuai kesepakatan jika kedua orang tua mereka tak ingin melaksanakan acara mewah utnuk pernikahan kali ini. Meski hal itu sangatlah mudah bagi seorang Santoso.
"Cepat bawa Jihan keluar ..." bisik Lirih Winarta pada sang istri. Karena tamu mulai berhamburan masuk ke dalam rumahnya. Terlebih lagi Andrew, dia sudah terlihat begitu kesal karena lama menunggu kedatangan Jihan.
"Waah, cantik sekali kamu ..." Ucap Lana dengan wajah penuh kegembiraan, melihat Jihan keluar mengenakan gaun bernuansa gold dengan riasan wajah yang natural tapi terlihat elegan.
Karena begitu bahagia, Lana tidak ingin meninggalkan momen tersebut begitu saja, ia dengan cepat mengeluarkan ponsel pintarnya untuk mengabadikan keduanya dalam satu tangkapan kamera. Difoto tersebut, Lana terlihat begitu riang dengan senyum tulus di Wajahnya tapi tidak dengan Jihan yang terlihat begitu malas dan jutek melayani permintaan saudara tirinya tersebut.
"Sudahlah, jangan memujiku dengan penuh kepalsuanmu!" sahut Jihan dengan wajah malas, tapi saudara tirinya itu tak menanggapi sedikitpun ocehan Jihan disana dan langung menggandeng lengan Jihan dengan sang ibu. Ketiganya keluar dengan senyum mengembang diwajah masing-masing.
Tanpa diduga kejadian yang hampir saja membuat dirinya malu terjadi disana.
'Auww..." pekik Jihan yang tengah berjalan anggun mengenakan gaun pengantin. Dirinya hampir saja terjatuh akibat kedua kakinya yang terbelit secara tiba-tiba karena tak bisa menutupi rasa gugupnya.
Andrew kembali mendengus kesal akibat ulah ceroboh Jihan. "Akankah wanita ceroboh itu menikah denganku hari ini?" umpat Andrew dengan lirikan tajam .
Kini keduanya telah duduk bersama pada sebuah kursi yang sudah dipersiapkan disana. Terdapat sebuah meja kecil dan dua orang penghulu serta saksi untuk pelantunan ijab qabul hari itu.
Entah mengapa hati Jihan begitu gugup kala ia harus duduk berdampingan dengan Andrew disana , padahal hatinya sama sekali tak ada rasa cinta. Semantara Andrew dengan lantangnya tanpa pengulangan mengucapkan ikrar janji suci itu hanya cukup satu kali tarikan nafas.
"Sah ..." seru seorang penghulu dan disambut bahagia oleh kedua belah pihak keluarga mempelai disana.
"Ayo mbak Jihan silahkan di cium tangan mas Andrew dulu sebagai bentuk bakti seorang istri pada suami." tuntun seorang penghulu yang baru saja menikahkan keduanya.
Wajah Jihan mendadak menegang saat aba-aba itu diperintahkan untuk dirinya. Ia hanya tersenyum kecil mendapati arahan tersebut dan menyambut tangan Andrew yang sudah lebih dulu di ukuran pada wajah Jihan dihadapan semua orang. Sebenarnya mereka berdua tak ada bedanya sedikitpun, saling berusaha menutupi rasa kecewa dihati masing-masing demi kelancaran acara tersebut.
Cup
Satu ciu man dari bibir Jihan mendarat sempurna ditangan Andrew saat itu, dan momen tersebut berhasil diabadikan oleh seorang fotografer yang sudah ditunjuk dalam acara tersebut.
Masih dengan wajah yang gugup Jihan melepaskan tangan Andrew dengan cepat dihadapan semua orang dan kembali membenarkan posisi duduknya.
"Biasa kalau pengantin baru masih malu-malu jika terlihat didepan umum . Beda urusannya kalau sudah didalam ..." Olok penghulu yang sejak tadi tiada hentinya mempermainkan degup jantung Jihan.
...****************...
...Bersambung 🎀...
Yuk jangan lupa dukung karya ini dengan tekan titik tiga dipojok kanan atas dan tekan ikuti. Berikan Like dan komen kalian disini ya. Agar othor semangat up nya 😘🙏🙏🙏.
...****************...
Berikut adalah sosok visualisasi dari seorang Jihan Winarta ya guys 😘🙏
Kini beralih pada para tamu undangan yang terlihat begitu antusias untuk memberikan ucapan selamat pada kedua mempelai.
"Aaah Jihan udah duluan aja ni, kita bakal rindu kamu..." Seru gerombolan teman lama Jihan yang menyempatkan hadir di acara penting dalam hidup gadis belia tersebut.
"Aku juga bakalan rindu tau!" sambung Jihan dengan menyeka air matanya, karena begitu haru melihat teman-temanya hadir disana dengan penuh kegembiraan.
"Selamat ya mas dapetin seorang Jihan, paling susah ditaklukkan cowok nih..." Goda salah seorang temanya yang akrab disapa Mimi.
Pemuda itu hanya bergeming dan menarik satu ujung bibirnya naik ke atas hingga membentuk senyum tipis di bibirnya.
Dan kini beralih pada semua kerabat dekat mereka yang sejak tadi juga tak sabar ingin mengabadikan momen tersebut dengan keduanya.
"Lihatlah bu, adikku begitu cantik hari ini bukan?" ucap Lana yang hendak memberikan selamat pada keduanya.
Tapi tetap saja wajah Jihan berubah sinis jika berada ditrngah-tengah keduanya.
"Selamat ya kakak ipar, tolong jaga baik-baik permata hati kami !" Ujar Lana dengan mengulurkan tanganya pada Andrew.
Sekali lagi pemuda itu hanya diam seribu bahasa dengan senyum simpul dan menjabat tangan Lana.
Semua orang telah silih berganti untuk memberikan ucapan selamat pada keduanya, hingga tiba saatnya perpisahan bagi Jihan dan keluarganya saat itu.
"Tolong jaga anak ayah baik-baik yah." tegas Winarta pada sang menantu.
"Ayo lah, anda bisa berkunjung kapanpun sesuka hati anda untuk berjumpa dengan Jihan." Ujar Santoso sambil memeluk hangat besan barunya.
Tak terasa perpisahan itu kini benar-benar terjadi, dan Jihan pergi dengan membawa satu kopernya untuk tinggal bersama dengan sang suami. Perpisahan yang begitu sulit untuk diterima Leni dan Winarta begitu juga Lana, rumah itu tentu akan terasa sunyi setelah kepergian Jihan .
*
*
*
Saat ini Jihan telah tiba disebuah rumah yang begitu megah bak istana , dua pilar yang menjulang tinggi dengan aksen putih membuat rumah tersebut semakin terlihat lebih gagah dan megah.
"Cepat masuklah, apa kau mau mematung disana semalaman! " tegur Andrew yang berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Jihan dengan wajah polosnya menatap rumah tesebut .
"Mari non ..." sapa seorang asisten rumah tangga yang usianya mungkin saja hanya terpaut 2 tahun dengan dirinya.
Ia terlihat mengenakan seragam khusus disana, bukan sepeti asisten rumah tangga pada umumnya.
"Baik..." sambung Jihan masih dengan wajah takjubnya.
Masih belum usai rasa kekagumannya pada rumah tersebut, saat Jihan kembali memijakan kakinya disana telah berdiri beberapa asisten rumah tangga berjejer rapi menyambutnya dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Selamat datang nona ..." sambut mereka dengan bersamaan.
Jihan tertunduk dan tersipu malu saat mereka semua menyambutnya dengan begitu manis.
"Silahkan nona, ini adalah kamar tuan Andrew." jelasnya sambil meletakkan koper milik Jihan didalam.
Entahlah, hampir seluruh sudut rumah itu hampir membuat Jihan gila untuk berhenti mengaguminya. Kini dirinya kembali terperangah dengan ruangan kamar Andrew yang begitu luas dengan ornamen megah disana.
"Sejak tadi kau hanya bersikap seperti itu, apa tidak pernah melihat isi kamar pada umumnya?" Protes Andrew yang tengah mengganti bajunya.
"Hah pada umumnya, apa dia gila..." Batin Jihan mengumpat pemuda yang baru saja menikahi dirinya.
"Tunggu gantilah baju mu didalam kamar mandi. " titah Jihan dengan menutup kedua matanya dengan rapat.
"Hal ini sudah biasa aku lakukan, apalagi yang harus ditutupi kita suami istri bukan?" Elak Andrew dengan sinis.
Entahlah, tak pernah ada kata manis ataupun perlakuan manis dari Andrew sejak keduanya resmi menyandang status suami istri.
Berbeda dengan Jihan yang telah salah tingkah semenjak melihat badan atletis Andrew dibalik kemejanya, hatinya begitu gugup dengan degup tak beraturan. Rasanya ingin berhenti berdetak jika memandangi dada kotak-kotak milik sang suami.
Seperti pengantin pada umumnya, Jihan tentu berharap malam ini akan menjadi malam yang panjang dan berharga bagi keduanya meski awalnya mereka masih terasa kaku satu sama lain.
"Tunggu, aku ingin bicara padamu dan dengarkan baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi nantinya." jelas Andrew yang kini berjarak begitu dekat dengan wajah Jihan .
Awalnya gadis itu mengira bahwa suami barunya tersebut sudah tak sabar ingin menjamah dirinya, hingga sampai saatnya perkataan Andrew meruntuhkan mimpi indah Jihan seketika.
"Aku telah menikahi wanita lain sebelum pernikahan ini terjadi !" Tegas Andrew dengan tatapan mata mengunci dan tangan yang mengepal di atas kepala Jihan , dengan tubuh yang menyandar pada dinding kamar.
Bagaikan tersambar petir di malam hari tanpa hujan, kenyataan pahit itu harus ia terima pada malam pertamanya sebagai seorang istri.
"Ba-gaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Kau ..." sambung Jihan dengan tutur kata terbata-bata karena menahan tangis yang begitu sesak didadanya.
"Yah, aku menikahinya secara agama!" lanjut Andrew tanpa rasa berdosa.
"Jadi kalian nikah si-rih !"
Andrew mengangguk dan kembali menatap Jihan penuh dengan kebencian, karena dirinyalah ia harus melakukan hal itu pada kekasih yang begitu ia cintai sejak dulu.
"Jika bukan pernikahan kita, mungkin ia sudah resmi menjadi menantu rumah ini. Dan tentu kita pasti telah hidup bahagia bersama-sama. " tutur Andrew dengan ucapan yang kembali melemah saat mengingat wajah sang kekasih begitu menyayat hatinya .
Jihan hanya berdiri mematung tanpa ekspresi apapun, ia memutuskan hanya untuk mendengar segala pergulatan batin sang suami dibandingkan menyuarakan isi hatinya yang juga tertindas saat itu.
"Apa kau sudah selesai?" sambung Jihan dengan kepala tertunduk menyembunyikan tangis yang perlahan keluar menerobos dinding kekuatannya.
"Pergilah, aku rasa tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan padamu lagi."
"Dan jangan lupa untuk sembunyikan semua ini dari mama dan juga papa tentunya!" pinta Andrew yang terkesan begitu egois.
"Baik ..." Jihan menyetujuinya tanpa menyanggahnya sedikitpun .
*
*
*
Malam itu, semua orang tengah berkumpul untuk makan malam bersama tapi tidak dengan Jihan yang sejak tadi tak nampak hadir dimeja makan.
"Mana istri mu, panggilah..." Perintah Santoso.
"Dia sudah besar pa , jika lapar pasti ia akan turun sendiri nantinya." tepis Andrew dengan malas.
Ia tak mungkin memanggil gadis itu setelah perdebatan antara mereka berdua terjadi. Tapi tanpa diduga, Jihan kini terlihat menuruni tangga dengan senyum mengembang di pipinya.
"Sayang, mari kita makan malam bersama." Ajak Rita Santoso yang tidak lain adalah mama mertuanya.
Baik papa dan mama Andrew, terlihat begitu menyayangi menantu barunya tersebut dengan baik. Bahkan keduanya tak canggung untuk mengakrabkan diri dengan Jihan.
"Kemarikan piringmu, mama akan ambilkan nasi sayang." Pinta Rita yang sangat berantusias.
"Kenapa kau turun!"
"Wajah sembabmu akan menjadi pusat perhatian mereka!" Bisik Andrew lirih ditengah aktifitas makanya.
"Tenanglah, bukankah ini yang kau minta. Sandiwara didepan mereka !" sambung Jihan dengan lirih.
...****************...
...Bersambung 🎀...
Berikut adalah visualisasi seorang Andrew Santoso Guys ❤
Makan malam yang sempurna, namun tidak dengan hati Jihan. Siapa yang akan menyangka jika takdir gadis belia tersebut begitu menggores luka dihati, bahkan dibalik senyum yang mengembang di pipi ada berjuta sayatan yang tak kan pernah bisa ia utarakan disana.
*
*
*
"Jadi kapan kalian akan berbulan madu?" Tanya Rita yang sudah sejak lama membelikan tiket untuk keduanya gunakan pergi berlibur.
Sontak saja pertanyaan itu membuat keduanya begitu terkejut dan panik.
"Loh, batuk aja bisa barengan gitu." Ejek mamanya sambil melirik ke arah Andrew.
"Jangankan bulan madu, nyentuh dia juga nggak sudi ma!" Batin Andrew mengumpat.
Keduanya hanya saling menatap dengan penuh arti namun tidak sedikitpun menjawab pernyataan Rita.
"Besuk kalian akan berangkat, mama dan papa sudah siapkan tiketnya." sambung Rita bahagia.
Hanya diam namun keduanya begitu kompak memandang wajah Rita dengan ekspresi terkejut.
"Ayo lah ma, Andrew masih banyak pekerjaan!" Tolaknya dengan kesal.
"Kau bisa ambil cuti bukan dimasa pernikahan mu, gunakan momen ini sebaik mungkin." ketus Santoso.
Karena merasa begitu kesal, Andrew terlebih dulu meninggalkan semua orang dimeja makan. Ia tak bisa berdebat lebih panjang disana terlebih lagi dengan sang papa, yang tentunya akan selalu menyudutkan posisinya.
"Jangan khawatir sayang, dia memang seperti itu. Keras didalam namun lembut didalam." jelas Rita pada Jihan menantunya, ia tak ingin jika Jihan merasa berkecil hati dengan sikap putra semata wayangnya.
Jihan mengangguk dengan senyum simpul di Wajahnya.
"Mama akan bereskan semuanya, naiklah pasti suamimu sudah menunggu dirimu. " Titah Rita pada Jihan, dan lagi gadis itu hanya bisa mengiyakan dengan senyum palsunya.
Setibanya dikamar, lampu seluruh ruangan itu sudah terlihat begitu gelap. Hanya menyisakan satu lampu kecil di atas meja, tadinya Jihan berharap bahwa ia bisa melewati malam ini dengan cukup baik sambil mengistirahatkan tubuhnya yang sudah begitu lelah akibat acara pernikahan dirinya.
Namun siapa sangka saat ia hendak naik ke atas ranjang, deretan guling serta bantal bertumpuk disana dengan rapi mengitari bagian tidur milik Jihan. Yah, tentunya Andrew yang telah menata sedemikian rupa disana agar tidak tidur satu ranjang dengan istri barunya tersebut.
Dengan penuh kesadar dirian, Jihan berjalan ke arah sofa kecil di sudut kamar tersebut sambil membawa satu bantal dipelukanya. Di kursi itulah ia mencoba merebahkan tubuhnya meski tak bisa dengan leluasa beristirahat.
"Malang sekali nasibku, sebagai istri sah di mata hukum namun juga menjadi istri kedua di mata agama. Kurang apalagi penderitaan ini." Batin Jihan dengan sedih.
*
*
*
Malam yang begitu panjang ia lewati kini mentari pagi telah menyising tinggi dibalik tirai kamar tersebut.
Sesuai arahan sang mama mertua, pagi itu Jihan nampak mempersiapkan segala keperluan dirinya yang hendak dibawa untuk pergi berbulan madu. Meski ia tahu, jika pernikahan ini hanyalah sandiwara tapi ia tetap memainkan perannya dengan begitu apik.
"Pagi..." sapa Jihan pada Andrew yang baru saja menggeliat di atas ranjang empuknya, tentu tanpa menambahkan panggilan manis apapun untuk suaminya tersebut.
"Mau kemana sudah serapi itu pagi-pagi gini..." ucap Andrew dengan menggosok kedua matanya perlahan.
"Bulan madu?" Ucap Jihan dengan lugu namun juga mempertanyakan balik pada Andrew.
"Astaga!"
Pemuda itu dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas mandi, mengingat keberangkatan pesawat hari ini pukul 9 pagi.
"Cepatlah ..." Teriak Andrew panik saat melihat jam yang melingkar ditanganya sudah begitu mepet dari waktu yang ditentukan, tapi tanganya masih saja susah payah mengancingkan baju miliknya.
Jihan hanya menatap suaminya dengan kebingungan di atas sofa, karena dia tahu jika dirinya sudah lebih dulu bersiap sejak tadi dari pada Andrew.
Keduanya turun dan berpamitan pada ke dua orang tuanya sebelum berangkat menuju bandara.
"Sukses ya sayang." seru Rita sambil menepuk-nepuk perut datar Jihan dengan senyum bahagia.
Satu pemandangan yang tentu saja paling dibenci oleh Andrew, ia tak suka jika Jihan begitu mudahnya mengambil hati dan perhatian mama Rita semudah itu tanpa perjuangan.
Perjalanan keduanya saat itu memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan, termasuk juga jarak tempuh menuju tempat hotel penginapan keduanya.
Langkah kaki Jihan begitu mantap mengiringi Andrew sejak keduanya berangkat dan tiba di kuta bali. Hingga sampai akhirnya hatinya kembali resah saat mendengar suara wanita dari arah lain memanggil nama sang suami dengan lembut nan manja.
"Sayang..." Sapa Teresia Manola.
Bahkan keduanya tak canggung saling berpelukan didepan Jihan. Namun disisi lain Jihan susah payah menelan salivahnya dengan lirih, karena ia tahu jika saingannya saat ini adalah model papan atas yang tengah meroket namanya.
"Apa di-a Jihan?" sambung Teresia tanpa mau memanggil Jihan dengan sebutan seorang istri.
"Perkenalkan, Jihan istri sah mas Andrew!" Tegas Jihan sambil mengulurkan tanganya pada Teresia yang sejak tadi bergelayut manja di pundak Andrew.
Seperti ingin menekankan satu hal pada wanita tersebut jika statusnya lebih tinggi dibandingkan denganya. Namun rupanya Andrew kembali tak suka dengan cara Jihan yang seolah menyudutkan Teresia di awal pertemuanya.
Brsstt
Andrew menarik cepat tangan sang istri untuk menjauh pergi dari hadapan sang kekasih.
"Aku sudah bilang padamu, jangan pernah berani menyudutkan Tere seperti itu. Jangan lupa, ia juga adalah istriku selain dirimu!" Bisik Andrew dengan kata penegasan disetiap kalimatnya.
Meski dengan wajah tanpa dosa ia meninggalkan pergi begitu saja sang istri seorang diri, Jihan masih tetap mau mengalah untuk mengikuti keduanya sampai didalam kamar hotel.
"Permisi aku ingin masuk!" Ucap Jihan yang sudah tak tahan lagi melihat pemandangan mesra keduanya sejak tadi, rasanya ia ingin mengunci dirinya seorang diri didalam kamar tanpa siapapun disana.
"Kamarmu disebelah sana , dan ini adalah kamarku dengan Andrew!" Tolak Tere dengan kepercayaan dirinya .
Jihan memutar kepalanya dengan cepat pada satu kamar yang ternyata sudah terbuka disana untuk ia tempati seorang diri.
Bagaimana ini bisa terjadi padanya, setelah malam pertama yang begitu kelabu kini Jihan harus menelan pil pahit kesekian kali pada acara bulan madunya sendiri.
"Cepat masuklah, dan jangan ganggu kami. Jika kau butuhkan apapun tekan saja nomor itu dan hubungi pelayan hotel ini, aku tidak ingin kau ganggu karena ponselku akan ku matikan!" terang Andrew tanpa ada sedikitpun kata manis disana.
Hati wanita mana yang rela mendapatkan cobaan seperti ini, setelah ia diminta untuk bersandiwara didepan semua orang kini ia harus rela berbagi suami dengan wanita lain didepan kepala matanya sendiri.
Penuh dengan kesadaran, Andrew menutup kamar pintunya sambil menggendong mesra Tere masuk kedalam kamar. Tentu wanita itu pasti telah merasa bangga dengan kemenangannya saat ini.
...****************...
...Bersambung 🎀...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!