Via menatap hampa gundukan tanah berumput hijau dan berbatu nisan di depannya itu dengan pandangan kosong. Rasa sesak di dadanya itu kian menyiksa karena ia mencoba menahan air mata yang hampir meledak dan rasanya tak tertahankan.
Jika saja ia tidak akan pergi ke sekolah dan takut matanya sembab jika ia menangis, mungkin ia sudah membiarkan tangis itu meledak agar bisa sedikit melegakan hatinya. Via hanya terus menghela nafas panjang agar rasa sesak dan sakit itu perlahan sirna.
Kepergian Ibunya ke pangkuan Sang Pencipta, menjadi ujian terberat dalam hidupnya, terkadang jika batinnya sedang lemah dan tersiksa, pikiran untuk mengakhiri hidup selalu saja melintas dalam benaknya.
Tak ada kehangatan lagi dalam rumah yang ia tempati saat ini sejak kepergian Ibunya, tak ada lagi orang yang mengkhawatirkan keadaan dirinya selain orang yang telah melahirkannya ke dunia ini sejak beliau tiada. Hampa, semuanya terasa hampa seakan raganya sudah separuh hilang tak bernyawa.
Ia bisa tertawa, tapi tawa itu seolah hanya sebuah kepura-puraan agar ia terlihat baik-baik saja di mata dunia, ia masih tetap tersenyum pada semua orang dan memperlihatkan betapa hidupnya tetap senang dan bahagia, namun tak ada yang tahu jika ada banyak luka yang bersemayam di dalam sana.
Bunga warna warni yang sempat ia beli kemarin sepulang sekolah itu Via taburkan di atas pusara ibunya, hatinya terus menggumamkan doa-doa yang tak terucap karena bibirnya tetap tertutup rapat.
Tahun demi tahun telah berlalu tapi tetap tak merubah rasa ini, rasa sakit karena telah kehilangannya. Jiwanya tetap rapuh seakan sulit untuk terbentuk.
Andai Allah memberi dia satu permintaan dan pasti akan Allah kabulkan, pasti Via akan meminta agar Allah panjangkan usia Ibunya, biarkan beliau lebih lama bersamanya agar hidupnya tidak terasa hancur dan sekacau seperti sekarang ini.
Andai seorang anak bisa memilih, mungkin ia akan memilih hidup dan dilahirkan dari sebuah keluarga yang hidupnya penuh dengan limpahan kasih sayang ... saling mendukung dan saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya, tidak sepertinya yang rasanya tidak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sebuah keluarga. Hanya Ibunya ... namun ternyata takdir Tuhan terlalu cepat mengambil beliau dari sisinya menambah kehampaan dalam hatinya yang semakin hari semakin terasa.
Via kembali mengeluh dan bergumam dalam hatinya seolah mengajak Ibunya berbicara, mengikis sedikit demi sedikit rasa kecewa yang melingkupi hati dan juga jiwanya.
'Aku hanya seorang anak, yang dalam hidupnya tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah ... yang selalu merindukan betapa hangatnya pelukan dan ciuman hangat seorang ayah, yang selama hidupnya tidak pernah mendapatkan doa dan nasehat terbaik untuk dirinya. Yang tak pernah merasakan didikannya agar dirinya tumbuh menjadi anak yang baik dan juga berguna ... Bukan karena ayahnya telah tiada, tapi sosok pria yang menjadi ayahnya itu adalah pria yang kasar, acuh, dingin serta keras kepala. Seperti tidak ada setitik kasih sayangpun untuk dia anak-anaknya.
'Aku selalu iri, melihat betapa akrabnya seorang ayah terhadap anaknya, betapa sosok ayah adalah pelindung dan rela melakukan apa saja demi buah hatinya, betapa seorang ayah menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya tapi dirinya ... bahkan sepertinya dirinya mau hidup atau matipun ayahnya tidak akan pernah peduli kepadanya.
Sepeninggal Ibunya, Via kira sikap ayahnya akan berubah, tapi nyatanya semakin menyiksa batin Via dalam dilema.
Saudara-saudaranya pun seperti tak ada yang peduli kepadanya. Setidak berharga itukah dia di mata semua orang ...
Rasanya Via terkadang ingin mati saja, agar orang-orang yang selalu menganggap dirinya tak berharga itu ternyata ada gunanya jika ia telah tiada. Siapakah yang merawat ayahnya sepeninggal Ibunya jika bukan dia? Tapi tetap apa yang ia lakukan seolah tidak ada apa-apanya.
Jika Via bisa, ia bisa pergi dan tak kembali, meninggalkan semua luka dan kepedihan yang selalu menyiksanya ... tapi dia masih punya hati dan perasaan makanya Via memilih tetap bertahan meski sedikit demi sedikit kewarasannya hampir hilang.
Luka batin yang tidak terlihat ... luka batin yang harus berusaha dipendam selamanya.
Ingin rasanya Via menjerit menumpahkan segala kekacauan yang ada dalam hatinya yang membuat pikirannya rasanya setengah gila.
Ingin rasanya Via menjerit menumpahkan segala kekacauan yang ada dalam hatinya yang membuat pikirannya rasanya setengah gila.
"Bu ... aku hanya ingin jadi perempuan yang kuat dan sabar seperti Ibu, semoga Allah selalu memberi kesabaran yang tanpa batas dalam mengiringi perjalanan langkah hidupku. Via sekolah dulu Bu, semoga cita-cita dan harapan Via bisa tercapai, semoga Via bisa sukses agar tidak ada orang yang selalu saja merendahkanku ...."
"Semoga Ibu tenang dan bahagia disana ... semoga rasa lelah yang kurasakan ini tidak sampai membuatku ingin menyerah dan segera menyusulmu ... aku sayang Ibu ...."
Via beranjak, setetes butiran air bening meleleh begitu saja di kedua sudut kelopak matanya, Via buru-buru menyekanya. Wajahnya menengadah ke atas menatap langit yang mulai terlihat cerah, ia tak ingin air matanya kembali tumpah.
"Tuhan, kuatkan aku! Aku tidak ingin lemah seperti ini, Tuhan ... maafkan aku yang terkadang merasa lelah melewati semua ini. Aku ingin rasanya pergi jauh dan berlari agar semua beban yang kurasakan ini hilang dan tak lagi kurasakan. Tapi aku harus pergi kemana?" rintihnya pilu dalam hatinya. Via kembali menyeka air matanya.
Via hanyalah seorang anak perempuan yang haus akan rasa kasih sayang dan perhatian sedari kecil. Karena Via hidup dalam keluarga yang berantakan. Luka yang menggunung sedari kecil yang terus berusaha dipendamnya seakan menjadi beban yang menyiksa seumur hidup.
Kepingan luka dari hati yang patah itu tercipta sedari kecil karena aku tumbuh dikeluarga yang sama sekali tidak harmonis dan tidak pernah ada kehangatan keluarga di dalamnya.
Seandainya Via boleh memilih, mungkin Via akan memilih lahir di keluarga yang saling mencintai dan menyayangi antara satu sama lainnya. Harmonis, bahagia saling menguatkan meski hidup dalam kesederhanaan. Tapi Tuhan mentakdirkan lain jika ia harus lahir di keluarga yang menurutnya berbeda dengan keluarga teman-temannya yang lain.
Angan Via pun seakan terbang kembali ke masa lalu masa dimana Ibunya masih hidup di dunia ini, masa-masa pahit yang sebenarnya tak ingin dikenang Via kembali karena hanya menguak kesedihan dan luka lama yang mungkin telah menumpuk, yang terus berusaha Via sembuhkan agar mereda dan menghilang dengan sebuah obat yang tak bisa dibeli dimanapun, yakni sebuah keikhlasan, ikhlas menerima takdir hidupnya yang cukup malang.
Keseharian yang dirasakan oleh Via, gadis kecil yang tumbuh di keluarga yang memang utuh tanpa perceraian kedua orang tua, namun sang ayah gagal menjalankan peran kewajibannya sebagai kepala rumah tangga hingga Via tak pernah merasakan kasih sayang Ayah yang sangat ingin dirasakan olehnya seperti halnya teman temannya lainnya yang terlihat mendapatkan limpahan kasih sayang dari ayah kandungnya.
Hidup dalam keluarga yang kesehariannya selalu dihiasi pertengkaran kedua orang tua, yang membuat Via tidak merasa bahagia dan selalu tertekan. Yang membuat jiwanya semakin rapuh dan mudah sekali putus asa. Kepedihan yang dilewati tak membuat Via tumbuh menjadi gadis yang kuat dan tegar, tapi justru sebaliknya. Via selalu merasakan ketakutan yang luar biasa terutama pada sosok ayahnya dalam menjalani kesehariannya.
Makian, cacian ayahnya yang sering ia dengar terhadap anggota keluarganya, baik itu kepada Ibu ataupun kakak-kakaknya hingga membuat Via merasa tak betah dan nyaman berada di rumahnya. Ketika rumah yang Via inginkan menjadi tempat untuk berlindung , dimana rumahku adalah surgaku namun berbeda bagi seorang Via, di mana rumah akan seperti bak neraka jika ayahnya ada di rumah.
Sore itu Via berjalan bersama beberapa teman yang masih juga tetangga Via di bawah panasnya terik matahari yang memang masih terasa meski sore sudah tiba. Mereka baru saja pulang mengaji.
Via masih duduk dikelas empat Sekolah Dasar, sementara temannya ada yang sudah kelas lima, ada juga yang masih kelas tiga dan usianya setahun lebih muda dari dirinya.
Jarak tempuh antara tempat mengaji dan rumah terbilang lumayan jauh karena berada di alun-alun kelurahan dan semuanya terbiasa jalan kaki ketika pulang dan pergi, bahkan Via dan teman temannya pun terbiasa berangkat dan pulang berjalan kaki jika sekolah yang jaraknya lebih jauh dari tempat mengajinya, melewati jalan setapak yang naik turun karena rumah Via yang berada di sebuah kampung di kawasan perbukitan.
Panasnya matahari membuat tenggorokan Via terasa haus sekali. Bekal minum yang dibawanya sudah habis di dalam tas miliknya yang ia baw. Via pun bergegas mempercepat gerak langkahnya, agar bisa segera sampai ke rumah, untuk bisa segera minum menghilangkan haus dahaga yang terasa.
Tapi langkah Via kembali melambat, saat teringat Ayahnya kini pasti sudah berada di rumah. Ayahnya semalam baru saja pulang dari Sumatera. Ayahnya sesekali berangkat ke Sumatera untuk berjualan bubur disana, Ayah dua bulan sekali pergi ke Sumatera dan bulan lainnya bergantian dengan teman Ayahnya yang juga sama-sama menjaga warung bubur ayam tersebut dan sama-sama ikut menanam modal.
Jika bagian tunggu temannya, maka Ayah Via pun akan pulang, karena Warung itu memang didirikan atas modal usaha berdua dengan teman Ayah Via.
Langkah Via semakin diperlambat karena merasa begitu enggan sekali untuk tiba dirumah. Ada sebuah ketakutan yangdirasa. Ketakutan sorot mata Ayahnya yang dingin dan sangar. Ketakutan akan bentakan dan cacian Ayah yang selalu Via dengar di setiap ia membuka matanya. Saat mendengar suara Ayah, maka jantung Via akan berdetak berkali kali lipat dari biasanya.
"Via, nanti aku boleh main ke rumah kamu ya?" ucapan Yumna membuyarkan lamunan Via.
"Iya Via, nanti aku juga nyusul, tapi aku makan dulu ya," ucap Ena temanku yang satunya.
"Jangan main ke rumahku, kita main dirumah Yumna dulu saja ya ...," jawab Via melarang dengan ekspresi wajah yang sedikit murung sambil menghentikan gerak langkahnya.
"Kenapa memangnya Via?" tanya Ena heran. Yumna dan Ena pun menatapku.
"Ayahku sudah datang dari Jakarta, sekarang ada dirumah. Kalau main dirumahku dan nanti ayahku pasti memarahi kita semua," jawab Via lagi merasa tak enak hati.
Via merasa tidak perlu menjelaskan lagi, teman temannya sudah tau watak Ayah Via yang galak dan sangar, jangankan mereka yang hanya sesekali bertemu ayahnya, Via sendiri saja takut pada Ayahnya sendiri. Bahkan berbicarapun rasanya tak ada sedikitpun keberanian.
"Maaf ya teman-teman. Gak apa-apa kan jika mainnya di rumah kalian saja?" tanya Via merasa tak enak hati.
"Iya gak apa-apa Via, yuk kita mainnya di rumah Yumna saja!" ajak Ena. Aku pun mengangguk senang. Lebih baik main di tempat Yumna daripada harus tetap berada di rumah dan hanya menjadi sumber kemarahan ayahnya.
"Bagaimana kalau kita jajan bakso!" ajak Ena.
"Ayo!" Yumna menyahut gembira, sementara Via tertunduk lesu.
"Tapi aku gak punya uang untuk beli bakso, uang bekalku tadi sedikit dan sudah habis dipakai jajan," ujar Via terlihat sedih.
"Bukannya ayah kamu baru datang dari kota, masa sih kamu gak diberi uang lebih dari biasanya?" tanya Yumna heran. Via menggeleng lemah karena meski ayahnya baru datang dari perantauan, uang jajannya pun tak pernah lebih, meski lebih itupun ibunya yang memberinya bukan dari tangan ayahnya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!