Siapa yang tidak nelangsa jika rumah tangganya berujung pada perpisahan? Entah itu karena maut atau karena perceraian. Kehidupan rumah tangga memang penuh ujian dan liku, masalah seolah silih berganti hadir sebagai bumbu kehidupan dalam mengayuh bahtera rumah tangga.
Meski demikian, berat dan ringannya suatu kisah kehidupan, selalu ada hikmah dibaliknya. Untuk itu kita harus senantiasa menguatkan diri agar tegar menghadapi semua masalah yang menerpa.
Meski awalnya berat,cobalah setegar dan sekuat batu karang di lautan. Kehidupanmu tak langsung berakhir seiring dengan perpisahan yang kamu alami. Selalu berprasangka baik pada Sang Maha Pencipta, syukuri kisahmu hari ini dan gapai masa depan yang lebih baik.
Di tengah kota Sidney, toko bunga milik wanita cantik yang selalu menutup penampilannya dengan balutan gamis, hujan panjang, dan cadar untuk menghindari mata jahat yang akan membahayakan dirinya.
Ia adalah Arsy Aprilia, janda muda tanpa anak. Berasal dari salah satu negara Asia dengan kecantikan paripurna yang tidak seorangpun dapat melihatnya.
Di usianya yang terbilang masih muda, ia sudah bercerai 3 tahun lalu. Jangan tanya penyebabnya karena sudah tertulis dalam novel sebelumnya, berjudul 'Siapa yang Kau Pilih Suamiku'. Jika ingin tahu cerita Arsy sebelumnya bisa dibaca disana, ya.
Toko Bunga Arsy
Bangunan itulah tempat Arsy mengais rezeki untuk melanjutkan hidup di negara orang. Awalnya Arsy hanya ingin menepi sejenak agar hatinya tidak terlalu menganga atas perpisahannya dengan Haris, mantan suami. Tapi, semakin lama semakin betah hingga bertekad untuk menetap di Sidney.
Di Toko, Arsy hanya memiliki seorang karyawati bernama Angel. Dia gadis lucu dan ramah. Ia sering sekali terhibur dengan kelucuan Angel.
Siang terik matahari kala itu menjadi awal kehidupan Arsy terusik karena memiliki pelanggan yang sangat ribet menurutnya dan Angel.
"Pesan buket bunga yang mengartikan pura-pura cinta, ada?" tanya seorang pria bernama Evan. Wajahnya terlihat kebingungan.
Bukan hanya Evan. Baik Arsy mau pun Angel juga merasakan hal yang sama.
"Maaf, tuan. Maksud tuan benci gitu?" tanya Arsy sopan.
"Bukan, nona. Pura-pura cinta."
"Ah.. Saya tahu," celetuk Angel tersenyum jahil. Menatap Arsy sambil mengerlingkan sebelah mata.
Arsy sendiri hanya dapat menggeleng. Ia tidak tahu yang akan dilakukan Angel setelah ini.
Angel langsung merangkai bunga mawar hitam begitu rapi sekali kemudian menyerahkannya kepada pria tersebut.
Dahi pria tersebut tampak berkerut memerhatikan mawar hitam tersebut. "Kenapa mawar hitam?"
"Karena kalau mawar merah artinya cinta beneran dan hitam berarti pura-pura."
Sementara Arsy mendelik mendengar penjelasan dari Angel. Bagaimana bisa orang kepercayaannya memberi penjelasan yang berbeda dengan makna sebenarnya?
"Angel," tegur Arsy tetapi Angel masih tidak mendengarkan.
Pria bernama Evan itu membayar buket bunga kemudian pergi begitu saja.
Arsy dan angel saling pandang dengan ekspresi yang berbeda. Angel tertawa sedangkan Arsy menggeleng saja.
"Suruh siapa pura-pura cinta dengan wanita. Itu sakit, nona." ucap Angel. Dan memang benar bukan?
Sering sekali terjadi di sekitaran kita. Meski sikap pria terlihat bucin, romanti, dan selalu bersikap layaknya mencintai. Belum tentu dalam hatinya benar-benar tulus kepada sang wanita.
Arsy tidak menjawab sama sekali karena kenyataannya, kisah masa lalunya juga tidak jauh dengan kepura-puraan hingga membuatnya jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada mantan suaminya.
Sikap mantan suami yang selalu perhatian, bersikap baik, dan lemah lembut justru hanya sebagai topeng untuk menutupi hatinya yang telah memiliki nama wanita lain yang sedari sebelum menikahinya.
Sakit?
Tentu saja.
Tapi, Arsy tidak pernah menyalahkan keadaan. Biarlah semua menjadi kisah masa lalu dan pengalaman untuk lebih hati-hati memilih pasangan selanjutnya.
Wanita bercadar itu tidak memungkiri jika dalam hidupnya masih mengharapkan jodoh yang amat mencintainya sehingga tidak pernah berpikir untuk menduakannya.
Trauma itu memang ada, tapi ia yakin. Waktu tidak akan tega untuk membiarkannya terpuruk saja.
"Lebih baik nona makan siang lebih dulu. Aku akan menjaga toko, setelah selesai makan baru aku yang makan."
Arsy mengangguk setuju. Ia pun segera kembali ke ruangannya. Bukan ruangan seperti di kantor pada umumnya. Ruangan ini digunakan Arsy untuk menyimpan buku penjualan meski sudah disalin dalam file. Tempat bersantai bersama Angel, makan bersama, beristirahat juga di ruangan tersebut.
Bekal yang disimpan dalam microwave pagi tadi segera ia ambil kemudian menikmatinya di sofa. 30 menit kemudian Arsy menjaga toko di depan bergantian dengan Angel yang harus makan siang juga.
Malam hari tiba, Arsy dan Angel sedang beberes karena akan segera tutup. Kegiatan mereka terhenti saat sorot lampu sebuah mobil mengganggu penglihatan mereka.
Arsy menoleh ke sumber cahaya. Mobil tersebut berhenti tepat di depan toko mereka. Kemudian Arsy juga dapat melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung hingga siku dan celana panjang berwarna hitam. Sepatu mengkilap semakin membuat tampilan pria itu tampak bukan seorang sembarangan.
"Siapa pemilik toko bunga ini?"
Suara bariton pria tersebut mampu membuat Arsy terkesiap. Suara yang tak asing baginya. Sayang sekali wajah pria itu tidak jelas karena terkena paparan sorot lampu dari mobil itu.
"Sa-saya, tuan." jawab Arsy tergagap, ia kembali terkesiap kala mata elang pria di hadapannya menatap dengan tajam. Seperti tak asing baginya, ia pernah melihat mata itu. Tapi Arsy tidak ingat.
"Kamu harus tanggung jawab."
"Tanggung jawab? untuk apa?" tanya Arsy terkejut.
"Karena kamu memberikan buket bunga mawar hitam, membuat grandma masuk rumah sakit." Pria itu mengumpat karena baru kali ini banyak bicara kepada orang asing.
"Sial."
"Ikut denganku!"
Arsy terkejut atas kelakuan pria asing itu. Angel juga panik dan membantu menarik satu tangan Arsy yang bebas dari genggaman pria tersebut.
"Diam disitu atau aku hancurkan tempat ini!" sentak pria tersebut membuat Angel berhenti.
"Maaf, tuan. Kita mau kemana?"
"Ketempat yang akan membuatmu sadar."
"Apalagi ulah grandma kali ini?" tanya seorang pria tampan bertubuh gagah itu. Suara bariton yang terdengar dingin menahan amarah karena tidak suka dengan kelakuan grandma yang sebenarnya sangat di sayangnya itu.
Pria yang satunya, asisten sekaligus kaki tangannya merasa takut untuk menyampaikannya. "Maaf, tuan. Nyonya besar membuat acara ulang tahunnya sekaligus akan mengumumkan pertunangan anda, tuan."
Sang tuan, Dominic Jovano Abraham. Pria yang sudah berusia 35 tahun itu tampak memutar badan menatap Evan. Amarahnya semakin menggebu mendengar akan ada pertunangan di acara tersebut.
Memang benar. Selama ini tidak ada seorangpun wanita yang dapat mendekatinya. Meski banyak wanita dengan suka rela menjatuhkan harga diri demi dapat berhubungan dengannya.
"Kenapa grandma lancang sekali?" Sungguh ia tak tidak suka kehidupannya diatur oleh siapapun kecuali Mom Aisyah.
Evan tidak menjawab apapun pertanyaan tersebut. Menjadi orang kepercayaan Dominic baik di dunia bisnis maupun dunia hitam tentu saja sangat tahu sifat sang tuan.
"Mungkin karena tuan sudah 35 tahun dan tidak pernah dekat dengan wanita manapun kecuali nona Erlin, tuan. Apalagi gosip beredar jika tuan punya skandal dengan saya. Maaf, tuan. Saya masih normal," sering sekali Evan mendengar gosip yang beredar tersebut. Bahkan tak jarang ia menerima tatapan aneh dari wanita yang berpapasan dengannya.
"Tutup mulutmu, Evan. Kau tahu alasanku mengapa tidak menikah hingga sekarang. Sialan!" Dominic hendak menendang kaki Evan. Namun sayang, asistennya itu dapat mengelak lebih dahulu.
"Tapi, tuan. Kejadian itu sudah 8 tahun lalu saat anda menjemput nyonya Aisyah. Mungkin saja dia sudah menikah atau pun meninggoi," Evan berbicara sambil menerawang hal yang dapat terjadi setelah 8 tahun lamanya.
Helaan nafas terasa berat. Dominic memilih duduk sambil memijat pelipisnya.
"Kenapa keluarga Dad tidak berubah juga? Kenapa mereka tidak seperti papi?" Ia menghela nafas panjang.
Semenjak kematian papi Jerolin membuat Dominic harus mengurus klan yang selama ini telah membesarkan nama papi Jerolin. Sementara adiknya, Lucas. Tidak punya berkeinginan untuk terjun ke dunia hitam.
Tanggung jawab yang sudah ia emban sejak masih muda membuatnya enggan untuk berhubungan dengan wanita mana pun kecuali seorang gadis dari masa lalunya.
Erlin bukanlah wanita yang ia suka. Terpaksa menjaga wanita itu karena diminta mendiang sahabatnya bernama Rian karena telah mati di bunuh oleh seorang pria dewasa. Entah apa yang terjadi sebenarnya, yang pasti ia sudah memenjarakan pelaku yang membunuh Rian.
Hari mulai sore, dering ponselnya sedari tadi mengganggu pekerjaannya. Tapi tetap saja ia tidak ingin melihat siapa yang menghubunginya. Sudah pasti yang menghubungi Dominic adalah keluarga Dad Malvyn.
Evan masuk ke dalam ruang kerja Dominic tampak tergesa-gesa. Membungkuk memberi hormat sebelum menyampaikan kabar yang diterimanya.
"Tuan. Acara tidak akan dimulai sebelum tuan tiba disana."
Mendengar itu justru membuat Dominic berdecak. "Kita berangkat sekarang. Jangan sampai terjadi yang tidak diinginkan."
"Apa tuan tidak memberi hadiah?" tanya Evan beberapa saat setelah sudah menjalankan mobilnya. Pria itu tahu bila Dominic lebih memilih pergi ke mansion papi Jerolin dimana mom Aisyah tinggal bersama adik perempuan mereka, Aurora.
"Terserah kau saja." jawab Dominic kemudian segera keluar dari mobil tersebut setelah sampai.
Dominic masuk ke dalam mansion dan Evan pergi mencari hadiah untuk dibawanya saat malam tiba.
Ketika baru saja masuk mansion, Dominic disambut hangat oleh mommy Aisyah. Inilah yang selalu membuatnya betah dan kasih sayang dari sang mommy takkan terganti.
"Mom." ucapnya lirih. Sosok tegas, berwibawa, tatapan elang, dan kejam terhadap musuh seketika berubah menjadi layaknya seorang anak di hadapan ibunya.
Dominic menghempaskan bobot tubuhnya di samping mommy Aisyah kemudian merubahnya menjadi merebahkan kepalanya di atas paha mommy Aisyah.
"Grandma membuat ulah lagi, mom. Dia ingin aku segera tunangan dengan Erlin. Kenapa mereka selalu ingin menguasai kehidupanku, mom?"
Wanita paruh baya yang masih terlihat muda. Apalagi dengan yang dikenakannya tampak bukan barang kaleng-kaleng alias mewah meski tetap tidak menghilangkan kesan sederhana itu tampak menghela nafas panjang.
"Bicaralah kepada Daddy kamu, nak. Mungkin mereka berbuat seperti itu karena ingin yang terbaik untuk penerus keluarga Abraham," mommy Aisyah juga tidak tahu harus berbuat apa karena tidak ingin lagi ikut campur dengan keluarga mantan suaminya.
Bagi yang belum membaca kisah orang tua Dominic, yuk baca novel sebelumnya. 'Penjara Cinta Tuan Malvyn '
Dominic bangkit dan mengangguk saja. "Mommy harus ikut," ucapnya tetapi selalu di tolak oleh mommy Aisyah.
"Kalau mommy tidak ikut maka aku pun tidak akan hadir," Dominic sedikit mengancam dan berhasil, mommy nya akan ikut bersamanya malam ini.
Tibalah waktunya mereka berangkat. Dominic telah tampak rapi begitu juga mommy Aisyah. Evan telah menunggu beberapa saat lalu dengan hadiah yang akan diberikan grandma dan Erlin sebagai formalitas saja.
Di sebuah ballroom hotel mewah. Dominic masuk dengan mommy Aisyah yang merangkul tangannya. Banyak pasang mata bahkan wartawan juga ikut mengabadikan momen langkah seperti ini. Sebab, sangat jarang sekali mommy Aisyah terekspos apalagi turut hadir dalam acara keluarga Abraham.
Acara di mulai. Ulang tahun grandma Ivy sangat meriah dengan dihadiri pebisnis-pebisnis kaya, pebisnis muda yang sudah berada di puncak kejayaan.
"Baiklah. Terimakasih telah hadir di acara ulang tahun saya. Tidak perlu saya kenalkan kembali, cucu kami. Penerus keluarga Abraham, Dominic Jovano Abraham. Kemari sayang." Suara grandma Ivy menggelegar di setiap sudut ruangan
Dominic hanya dapat menghela nafas panjang. Menoleh ke samping menatap sang mommy yang mengangguk kecil memberi dukungan untuknya.
Akhirnya ia memilih berdiri, berjalan penuh wibawa menuju panggung kecil tempat grandma Ivy berada. Tidak ada ekspresi apapun dari wajahnya selain wajah datar.
"Inilah penerus bisnis dan keturunan Abraham. Dan malam ini saya akan mengumumkan calon menantu kami." Tatapan grandma mengarah ke depan, tersenyum kemudian mengangguk.
Setelah itu pula Erlin, wanita cantik dengan tinggi semampai berdiri dan berjalan ke arah mereka di panggung.
Bisik-bisik mulai terdengar hingga membuat rahang Dominic mengeras dengan kepalan tangan yang sangat erat. Wajahnya memerah bersamaan urat lehernya timbul menandakan betapa emosinya kali ini.
"Inilah calon istri cucu kami. Erlin Hillary, dia adalah adik mendiang sahabat Dominic."
Tidak ada reaksi apapun dari Dominic, hanya mereka yang terlihat bahagia. Selang tiga jam kemudian, acara tersebut telah usai.
Mommy Aisyah sudah kembali ke mansion dengan Evan yang mengantar. Sementara Dominic harus menyelesaikan masalah yang baru saja di mulai.
"Grandma. Aku tidak terima perjodohan ini," ucap Dominic tegas ketika grandma dan Daddy Malvyn berkumpul di ruang keluarga.
Grandpa Edzard telah berpulang dua tahun lalu karena serangan jantung.
"Mau sampai kapan kamu melajang, Dom?" Bukan menjawab melainkan berkata kembali.
"Aku tidak suka kehidupan pribadiku di atur orang lain."
"Grandma hanya tidak ingin kamu seperti Daddy mu."
"Aku bukan Daddy."
Belum selesai perdebatan diantara keduanya, Erlin datang memeluk grandma menangis tersedu-sedu.
"Ada apa, sayang?" tanya granda Ivy lembut.
"Dom mengirim bunga mawar hitam kepadaku, grandma. Dia ingin aku mati sehingga pernikahan itu tidak pernah ada diantara kami."
Semua orang tampak terkejut. Begitu juga dengan Dominic karena sejak awal tidak mengetahui hadiah yang dicari Evan adalah bunga mawar hitam.
"Baguslah. Aku tidak mau menikah denganmu, Erlin. Memang aku ditanggung jawabkan untuk menjagamu tapi bukan menikahimu." Dominic memutar badan hendak pergi tapi langkahnya berhenti saat ucapan grandma menggelegar di ruang keluarga tersebut.
"Jika kamu tidak menikah dengan Erlin, maka jangan harap kamu dapat melihat grandma besok."
Dominic menatap grandma Ivy dan Daddy Malvyn bergantian. "Aku tidak perduli."
Dominic keluar dari mansion kemudian menghubungi Evan untuk mengirim alamat toko bunga mawar hitam tersebut.
"Siapa pemilik toko bunga ini?" suara baritonnya membuat dua wanita penampilan berbeda itu terkesiap.
Salah satu wanita yang berpenampilan tertutup, hanya sepasang mata yang melebar dan kedipan akibat terkejut dari suaranya justru terlihat lucu di mata Dominic.
"Ikut saya, kamu harus tanggung jawab."
Setelah mengancam barulah wanita berpenampilan tertutup itu mau masuk ke dalam mobilnya.
"Maaf, tuan. Kita akan kemana?"
"Catatan sipil."
"Ngapain?"
"Nikah."
"Ni-nikah?" Arsy mendadak pening mendengarnya.
Tunggu sebentar. Sepertinya Arsy mengenal sosok pria yang membawanya. Matanya memicing memerhatikan, bahkan saking tidak ingin salah orang, ia mendekatkan wajahnya ke hadapan pria tersebut.
Matanya terbelalak dengan kedua tangannya menutup mulutnya yang terbuka. "Tuan Jo? Iya, kan? Kamu Jojo yang tiga tahun lalu sering bertemu denganku, kan?"
Mobil mendadak berhenti setelah Arsy mengatakan hal barusan. Beruntung jalanan yang mereka lewati tampak sepi. Apalagi sehabis hujan.
Dominic menoleh menatap Arsy begitu intens. Mengenali wanita itu hanya dengan tatapan sepasang mata tersebut.
Cantik, gumam Dominic dalam hati.
Untuk pertama kalinya Dominic memuji kecantikan wanita selain wanita dari masa lalunya.
"Kamu wanita cengeng itu? Yang suaminya nikah lagi? Terus kamu hamil waktu itu, bukan?"
Lagi-lagi Dominic tidak menyadari bicaranya kali ini sangat diluar kebiasaan. Apalagi tentang orang lain, astaga. Dominic mengumpat akan hal ini dalam hatinya.
Mendengar cercaan dari Dominic membuat Arsy membuang muka. Tidak ingin menjawab semua pertanyaan yang beruntun dan memojokkan dirinya, apalagi itu masa lalunya. Jika saja dulu Haris tidak menikah lagi, pasti ia tidak memilih berpisah. Tanpa orang lain tahu, Haris adalah pria tulus yang menerima keadaan dirinya yang sebenarnya.
"Dan kamu harus ingat, panggil aku Dominic. Jangan Jo ataupun ataupun Jojo. Astaga, kenapa namaku sebagus itu malah menjadi Jojo?" Dominic melanjutkan kalimatnya dan kembali menggerutu. Ia ingat, wanita di sebelahnya ini memang sering membuatnya kesal. Dahulu, 3 tahun lalu kalau tidak salah ingat.
Arsy diam saja. Mengingat nama 'Dominic' seperti tidak asing. "Kalau memang nama tuan Dominic, kenapa dulu nyamar nama Jo?"
"Jovano, itu nama tengah aku. Bukan Jojo. Jadi, kamu panggil aku Dominic."
Arsy mengangguk saja. Tidak tahu harus menjawab apalagi.
Mobil kembali dilajukan oleh Dominic menuju kantor catatan sipil. Dan itu membuat Arsy panik.
"Maaf, tuan. Kita ngapain disini?" Tentu saja panik. "Tuan bercanda, kan?"
"Tidak. Saya tidak pernah bercanda sama sekali," jawab Dominic tegas kemudian mematikan mesin mobil.
"Tu-tunggu dulu. Tidak bisa begitu," Arsy yang sedang panik seakan sulit untuk mengungkapkan ketidak terimaan atas keputusan sepihak dari Dominic.
Apalagi mereka tidak sedekat itu, tidak ada sekalipun kisah yang penting diantara mereka.
Dominic melepas sabuk pengaman itu lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Arsy yang semakin membuat panik. Mata yang membesar dengan sesekali berkedip lucu. Tapi, gegas Dominic menegakkan tubuhnya kembali saat ia menyadari sesuatu yang sulit diungkapkan.
"Kamu pilih menikah denganku atau aku laporkan kamu telah mencelakai grandma sampai masuk rumah sakit. Kamu tahu, aku bisa membuat kamu di blacklist sampai tidak bisa pulang ke Indonesia selamanya?" Dominic tersenyum miring merasa senang melihat mata indah milik Arsy melebar setiap kali ia mengejutkannya.
"Hei. Mana bisa begitu, kamu siapa? Sok berkuasa," cebik Arsy meski hatinya merasa takut diancam seperti tadi oleh Dominic.
"Aku Dominic Jovano Abraham. Cari saja di google siapa aku sebenarnya," benar-benar bukan seperti Dominic yang banyak bicara. Apalagi menunjukkan dirinya seakan memamerkan kekuasaan yang dimilikinya di negara Australia ini.
"Pamer. Aku tidak baca ponsel," kata Arsy. Entah karena keasyikan mengobrol dan berdebat, Dominic dan Arsy masih betah di dalam mobil tersebut padahal keadaan sudah sangat sepi sekali.
Tanpa mengatakan apapun, Dominic menyerahkan ponselnya kepada Arsy tanpa ragu. Padahal, tidak ada seorangpun yang pernah menyentuh barang pribadi tersebut. Entah apa yang merasuki Dominic saat ini. Semua kebiasaan seakan berubah saat bersama dengan Arsy.
"Password nya, apa?" tanya Arsy saat hendak mengaktifkan ponsel Dominic.
"Kau milikku sayang," jawab Dominic.
Arsy terdiam cukup lama setelah mendengar tiga kata tersebut. Jarinya terlihat gemetar saat hendak menekan huruf yang bertulis tiga kata tersebut.
Tarik nafas perlahan berulang kali secara perlahan agar tenang kembali.
"Kamu kenapa?" tanya Dominic memastikan karena dari tadi Arsy diam saja menunduk tanpa mengatakan apapun bahkan ponselnya hanya menyala tanpa bekerja apapun.
Arsy menggeleng kemudian mencari ikon google dan mencari tahu siapa itu Dominic Jovano Abraham. Matanya terbelalak membaca deretan prestasi yang telah dicapai, bahkan pria disampingnya itu salah satu pengusaha yang disegani.
Kepalanya menoleh ke samping dengan rasa terkejutnya dan ponsel yang di pegangnya masih dipeluk depan dada. "Tuan," cicitnya tak mampu berkata-kata lagi.
"Kau sudah tahu, kan?" Dominic keluar dari mobil kemudian berputar dan membuka pintu bagian Arsy.
"Keluar. Kita harus menikah sekarang."
"Ta-pi, tuan." Arsy tetap berusaha menolak tapi lidahnya seakan kelu karena sikap Dominic sangat mendominasi.
"Tidak ada penolakan nona Arsy," tekan Dominic kemudian membuka sabuk pengaman Arsy. Ia akui meski penampilan Arsy yang sangat tertutup tapi aroma wangi parfum masih terasa, sangat lembut dan menenangkan.
"Eehh.. Tunggu, dulu." Arsy berusaha terlepas dari cengkraman tangan Dominic.
Dor
Dengan sigap Dominic melindungi Arsy, memeluknya. Apalagi suara itu berasal tidak jauh dari mereka.
"Sial!" Dominic membawa Arsy kembali masuk ke dalam mobil begitu juga dirinya.
Dominic melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Terlihat dari kaca spion, satu mobil hitam melaju kencang mengikuti mereka.
Arsy sendiri menggenggam erat sabuk pengaman itu sambil merapatkan doa. "Aahh," pekik ya saat suara tembakan itu kembali terdengar. Menutup kedua telinga dan memejamkan mata, berharap keduanya selamat dan terbebas dari mara bahaya.
Mobil Dominic mengarah ke sudah apartemen mewah dengan penjagaan yang sangat ketat. Tidak seorang pun dapat masuk kecuali atas izin sang pemilik unit tersebut.
Setelah sampai di basement, Dominic membukakan pintu mobil bagi Arsy yang masih seperti tadi. "Tenanglah. Kita aman disini," ia tak menyangka mendapat serangan dadakan saat bersama dengan seorang wanita.
Maka, keputusannya untuk menikahi Arsy bukan hanya iseng saja melainkan sebuah tanggung jawab. Pasti klan musuh sudah mencari tahu wanita mana yang selama ini menjadi pujaan hatinya. Bisa jadi klan musuhnya sudah mendengar pertunangannya.
"A-aku takut, tuan." Arsy membuka mata menatap Dominic. Matanya sudah nampak basah karena menangis dalam diam.
"Ikut, aku." Ucapan Dominic bagai mantra yang dapat membuat Arsy menurut. "Maaf," izin Dominic lagi saat ia akan menyentuh pundak Arsy.
Lantai 20, lantai yang berada paling atas gedung apartemen tersebut. Nomor 201, itulah apartemen milik Dominic. Pria itu mempersilahkan Arsy untuk masuk dan duduk.
Arsy sendiri hanya menurut saja. Ketakutan atas kejadian tadi membuatnya tidak berdaya. "Terimakasih," ucapnya tulus menerima segelas air mineral.
"Aku akan tanggung jawab atas kejadian tadi. Katakan saja cara kita menikah," ucap Dominic setelah duduk berseberangan dengan Arsy.
"Tapi, tuan."
"Tidak ada penolakan."
"Saya masih ada ayah yang menikahkan."
Dominic mengangguk kemudian mendial nomor ponsel Evan untuk keberangkatan malam itu juga ke Indonesia dan menyiapkan keperluan yang ada.
Benarkah aku akan menikah?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!