NovelToon NovelToon

Jandaku, I Love You

Tangis Ayu Nimashasy

"Mama....sakit!" Teriak Ayu Nimashasy putri semata wayangku, yang masih berusia belum genap empat tahun itu, ia berlari dan ku Songsong dengan pelukanku.

Aku mengusap dadaku yang sesak, air mataku sudah kering hingga tidak mampu lagi untuk sekedar mengeluarkan setetes air mata.

"Mama, Shasy mau makan ayam goreng ma, mau ma..." Tangis putriku semakin menyesakkan hatiku.

Kejadian seperti ini selalu saja menimpa putriku, gajiku yang bekerja di sebuah mini market bahkan tidak cukup hanya membelikan sebungkus es krim.

Nelangsa, begitu berat masa kecil yang harus putriku alami. Sering ku bujuk keinginannya dengan tipuan halus untuk tidak minta jajan, ataupun mainan yang mahal karena sebagian gajiku untuk membayar tagihan listrik, dan kebutuhan bahan pokok keseharian kami.

"Ibu, berikan sedikit saja ayam goreng itu Bu! Saya akan menyeterika baju baju itu dan pekerjaan apapun akan saya lakukan, saya mohon ibu." Ku coba membuka mata hati ibu mertuaku yang selalu kejam terhadap putriku, cucu dari putra darah dagingnya sendiri.

"Mau ayam goreng ya! Makanya jadi wanita itu yang pinter, bukan jadi benalu! Bisanya hanya minta, bekerjapun lembek gaji tak seberapa, apa saja coba yang kamu kerjakan dari pagi hingga sore ini, huh?" Bentak ibu mertuaku dengan serentetan kata-katanya yang sangat menyakitkan telingaku. Hari ini Minggu tentu saja aku libur, dan waktu aku gunakan untuk membersihkan rumah, mencuci dan memasak serta aku sisipkan sedikit waktu untuk Shasy.

"Maaf ibu, dari pagi dan setiap hari saya melakukan seluruh pekerjaan rumah, pukul delapan saya harus berangkat kerja pulang sore, saya tidak menganggur ibu, saya mohon kasihanilah putri saya, dan dia juga cucu ibu kan?" Jawabku pelan sambil tetap memeluk shasy yang mulai ketakutan dengan suara lantang ibu mertuaku.

"Nah kan..! Baru juga segitu sudah merasa wah saja kamu jadi mantu ya? Dasar mantu tidak tau malu, harusnya Iwan segera menceraikan mu dan tidak menunda lebih lama lagi seperti ini." Teriak ibu mertuaku tidak mau kalah dengan ucapanku.

"Sudah-sudah Bu, jangan ribut terus sama wanita tidak berguna ini, nah ambil! semua milik mu! dan ingat, jangan sekalipun membawa barang berharga milik kami, lekas pergi sebelum kesabaran ku habis!" Teriak lantang Yessi sambil melemparkan bungkusan kantong plastik berisi kain selendang yang ku bawa dari rumah saat baru saja aku resmi menjadi istri sah Iwan, suamiku.

"Yessi, apa maksudmu?" Tanyaku tidak mengerti dengan maksud Yessi melempar kantong plastik itu ke tanah.

Belum juga aku dapat jawaban dari setiap pertanyaan dan ulah Yessi serta ibu mertuaku, sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan halaman.

Turunlah Iwan dari balik kemudi dan menuju pintu di seberang dengan jalan memutar.

"Mbak Rahma...!" Desis suaraku dalam sebuah tanya, Rahma zalisa sahabat serta rekan kerja suamiku yang selalu ia ceritakan dengan kebanggaannya dalam membantu beberapa projects dan deal karena dengan adanya tangan dingin mbak Rahma yang membantu tanpa pamrih dalam menyelesaikan projects yang mereka selesaikan setahun belakangan ini.

"Ibu, saya pulang ada apa ini Bu kenapa berantakan begini?" Tanya Iwan datar tanpa sedikitpun ia menoleh kepadaku, bahkan kepada Nimashasy putrinya sendiri.

"Oh...itu istrimu yang tidak berguna berulah lagi, semakin kesini ibu kok semakin malas ya Wan! Kapan kamu bisa membahagiakan ibu dengan kehadiran cucu laki laki, bukan perempuan yang cengeng seperti dia!" Jadi telunjuk ibu mertuaku mengarah kepada Shasy, ku rangkul putriku rasa sakit ini terlalu sesak.

"Mama, nenek kenapa jahat kepada kita? Mama jangan nangis, Shasy janji nggak minta ayam lagi, ma." Astaghfirullah.... Berat nian cobaan ini, semakin erat ku peluk putriku, ku rasakan degup jantungnya kencang karena rasa takut yang ia alami.

"Tenang ibu, ini Rahma dia sedang hamil dan menurut hasil USG janin yang ia kandung adalah laki laki, Bu." Suara suamiku bagaikan petir yang siap menghanguskan tubuh mangsanya sewaktu waktu.

"Mas..! Aku tidak salah dengarkan?" Tanyaku memperjelas ucapan yang baru saja aku dengar dari mulut Suamiku. Jelas ku perjelas kembali, karena aku istri sah mas Iwan.

"Lintang, dengar ya... Minggu depan adalah acara resepsi pernikahan kami, dan mau tidak mau kamu harus aku ceraikan dengan talak tiga hari ini juga!"

Duarr ......

Ya Allah sebegini beratnya kah cobaan yang harus hamba alami, dosa apa yang pernah hamba lakukan, ya Allah.

"Mas! Apa maksudmu mas?" Jeritku lantang, putriku menangis menjerit seakan ia juga ikut merasakan sesak yang aku alami.

"Sudahlah mas, jangan lama lama biarkan saja dia menentukan kemauannya, aku capek sayang, aku mau istirahat dan ibu ini hadiah buat ibu, terimalah." Rahma Azhari dengan luwesnya memberikan kemanisannya dalam bertutur kata kepada ibu mertuaku.

"Ayuk sayang! Hati-hati jalannya kamu mau minum apa? Biar ibu yang mengambilkan." Kata-kata mas Iwan sungguh terlalu terdengar di telingaku, sedangkan putrinya dengan mata yang masih basah dan menahan lapar menyaksikan semua adegan yang merek persembahkan.

"Hei... Sudah pergi saja! Masih menunggu apa lagi, huh?" Ibu mertuaku bahkan dengan lantang mengusir diriku di hadapan calon mantu dan adik mas Iwan yang sejak tadi hanya duduk sambil memainkan ponselnya.

"Sayang... Putri Mama sayang... tunggu disini sebentar mama masuk kedalam mengambil sesuatu untuk kita, setelah itu kita pergi ke rumah nenek sama kakek di kampung ya nak!" Bisik ku pelan agar tidak terdengar oleh mereka, Air mataku sulit untuk ku bendung, mengalir lolos begitu saja.

"Ia ma, mama kalau masuk kedalam hati-hati, jangan sampai Oma memukul mama." Memasuki usia ketiga usia anak ku namun pemikiran lebih menjaga keadaan ku yang rapuh, walaupun sebenarnya dia sendiri masih sesenggukan menahan tangis dan ketakutan.

"Heh.... Mau ambil apa kamu hah, awas jangan sampai kamu mengambil milik kami, pembelian Iwan anakku." Teriak ibu mertuaku jelas aku dengar.

"Maaf ibu, walaupun saya miskin tapi saya tidak pernah di ajarkan mengambil sesuatu yang bukan milik kami." Kakiku tergesa-gesa masuk kedalam ruangan dan menuju kamarku, mengambil tas butut milikku dan beberapa baju Nimashasy. Sisa uang tabunganku hasil menyisihkan sebagian gajiku yang tidak seberapa aku masukkan kedalam saku celana, dan sebuah HP satu-satunya barang berharga yang aku miliki.

"Sakit Oma, jangan huaahhhh...." Lariku buru-buru ketika mendengar Nimashasy menjerit dan menangis kesakitan.

"Ibu! hentikan..jangan siksa putriku, kalian tidak berhak atas dirinya, " teriakku tidak kalah lantangnya.

Ku hampiri putriku dengan lengan yang membiru karena bekas cubitan dari ibu mertuaku.

"Mas! apa kamu hanya diam saja ketika melihat putrimu tersakiti begini, ya Allah anakku," rasa sakit itu menjalar di sekujur tubuhku. Ketika menyaksikan putriku meringkuk ketakutan.

"Sudah...sudah segara pergi saja kenapa sih? Ribet amat hidupmu Lintang!" Ku dengar suara Yessi yang dengan santainya mengusir ku untuk kesekian kalinya.

"Papa.. Shasy mau papa..." Tangis Nimashasy putriku kembali menyayat hati, namun mas Iwan seolah tuli dan enggan menanggapi tangisan putri darah dagingnya sendiri.

"Sayang.. Shasy sama mama yah, kita kerumah nenek nanti makan ayam sama beli es krim kesukaan Shasy," bisikku lembut ke telinganya.

🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️

hii apa kabar pemirsa, hadir kembali rhuji dengan karya retcheh, semoga berkenan dan membaca hingga akhir polemik keluarga ini 😘

Salam Sayang Selalu 🤗

Perjalanan

Ku gendong tubuh kecil anakku, apapun yang terjadi aku harus tetap kuat. Ku langkahkan kakiku menyusuri keramaian jalan di bawah terik matahari yang menyengat, kemana aku harus pergi? Haruskah aku pulang kerumah orang tuaku? Tapi tidak ada tempat untuk ku bernaung selain rumah sederhana itu.

"Mama.... Shasy haus ma! Shasy jalan saja kan sudah gede masa gendong nanti mama capek kan kasihan," senyum ceria putriku seakan menjadikan cambuk bagiku untuk tetap bersemangat.

"Mama kok menangis lagi? Kan nenek sudah nggak ada, tante Yessi tidak tau kita ada di sini ma!" Tangan kecil itu berusaha mengusap air mataku yang terus saja mengalir tanpa mampu aku tahan.

"Mama jangan menangis lagi, nanti kita adukan papa yang jahat ke kakek saja, ya ma," Shasy putriku dengan tangan kurusnya mengusap air mataku yang masih saja lancang bergulir ke pipiku tanpa mampu ku cegah.

Akhirnya kereta yang akan membawa kami ke kota kelahiranku yang hanya berjarak satu kota saja, telah sampai juga peluit panjang dibunyikan. Sesaat lagi aku akan meninggalkan kota yang penuh dengan sejuta kenangan pahit, dan setitik kebahagiaan yang pernah aku rasakan saat menjadi istri dan menantu pria yang paling aku cintai, dan ibu yang sangat aku hormati.

4Thn LALU TENTANG PERNIKAHAN LINTANG, IWAN

🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️

Empat tahun yang lalu dengan semangat kelulusan yang aku capai dengan nilai plus, pada tingkat sekolah menengah. Memberikan diriku atas dorongan kuat untuk mengadu nasib ke ibu kota, berbekal ijasah menengah atas dan keterampilan yang aku tekuni selama menghabiskan waktu luang.

Aku bekerja pada sebuah perindustrian yang berada di bidang textile, dan aku hanya buruh harian sebagai penjahit pada perusahaan yang sangat besar itu.

Pertemuan ku dengan mas Iwan adalah sebuah cerita yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, kami saling mencintai dan tulus atas nama cinta aku terbuai dengan segala rayuan dan bujuknya hingga terjadilah malam yang menjadi surga dan petaka sekaligus bagiku.

Singkat cerita kemudian aku positif hamil, dunia serasa hancur dan gelap seketika. Ayahku mendadak terkena serangan jantung saat mendengar aku hamil diluar nikah, walaupun hidup di kota kecil ayahku mempunyai pekerjaan lumayan terpandang di kampungku sebagai Lurah, tentu kesalahan yang aku perbuat adalah hal yang sangat mencoreng citra nama baik beliau.

Pernikahan ku dengan mas Iwan atas dasar suka sama suka, kami menikah di tempat tinggal ku dan terkesan tergesa-gesa. Tidak ada perayaan, hanya sebuah ijab kabul mau tidak mau kedua orang tuaku harus menyetujui pernikahan ini, karena lambat laun kehamilanku tentu akan menjadi besar dan jelas menjadi bahan pergunjingan orang-orang sekeliling kami.

Sehari setelah perkawinan itu, mas Iwan meminta ijin kepada ayah dan ibuku untuk membawaku pulang ke kota, dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan terlalu lama.

Hoek.... hoek....

"Heh... Sopan sedikit kenapa sih! Dasar orang udik juga, mentang mentang hamil seenaknya saja muntah di sembarang tempat, mata melek yang lebar bisa nggak sih? Aku sedang makan nih, dasar kampungan!" Pedas memang kata-kata adik mas Iwan, Yessi gadis dewasa yang selalu berpenampilan cantik serta sedikit glamor, dan selalu memandangku dengan rasa kebencian walaupun sejujurnya hingga detik ini, aku masih bingung mencari jawaban kesalahan apa yang pernah aku perbuat dari keluarga ini, selain karena aku yang berasal dari keluarga sederhana saja di kampung.

"Sudah...sudah kamu kenapa sih Yessi... Dia sedang hamil kamu harus maklum, kelak kamu juga akan sama seperti dirinya," mas Iwan datang tepat waktu dan memberikan pembelaan terhadap diriku.

"Heleeh.... Ibu dulu juga pernah hamil, Iwan! Tapi nggak manja-manja juga yah..." Ibu mas Iwan yang datang dari belakang dan melontarkan kata-kata yang tidak pernah sama sekali ku duga setelah beberapa hari tinggal di rumah besar ini.

Itulah perlakuan sehari-hari yang selalu aku terima di dalam rumah mertua. Aku murni bukan menantu yang di harapkan didalam keluarga ini, tapi pembantu yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan.

"Maafkan ibu Lintang, coba ikutin aja kemauannya, nanti ibu juga akan ngerti kamu lama-lama ," mas Iwan masih saja mempertahankan pendapatnya.

"Sudah mas, aku baik-baik saja kok!" Jawabku sembari duduk di sampingnya menemani dia sarapan pagi, karena sebentar lagi dia harus berangkat ke kantor.

Rutinitas sehari-hari mencuci, mengepel dan semua aktifitas dalam rumah itu, aku yang harus melakukannya bahkan asisten rumah tangga keluarga suamiku, di berhentikan dengan alasan menghemat biaya pengeluaran.

"Iwan, coba saja kamu nikah sama perempuan anak dari orang yang lebih kaya raya! Tentu dia akan bisa membantu kamu, dan mengangkat kamu didalam finansial atau minimal punya masa depan di hari tua yang lebih bagus, tidak seperti dia! Benalu saja dia disini." Bisik pelan ibu mertuaku ketika aku berjalan menuju dapur.

"Ya.... Mau gimana lagi Bu! Sudah terlanjur, ya nanti kalaupun sudah mentok kan tinggal cerai saja to, gampang!" Hati ini serasa bagaikan teriris sembilu mendengarkan omong kosong ibu dan suamiku, sepertinya ada sesuatu yang telah mereka rencanakan untuk masa depan mereka dan diriku yang telah hamil besar ini.

Perih... sakit... Tapi sudahlah mungkin ini sudah menjadi nasibku dan anak yang aku kandung.

Perlakuan adik ipar ku dan juga ibu mertuaku semakin hari semakin memberikan diriku kesengsaraan, hingga hari perkiraan lahir (HPL) ku telah tiba.

Mas Iwan suamiku, sedang berada di luar kota karena tugas dan memang ku akui beberapa Minggu terakhir ini mas Iwan jarang berada di rumah walupun hanya sekedar menanyakan keadaan anak dalam rahimku.

Andaikan hari ini aku harus melahirkan sendiri tanpa adanya suamiku mendampingi, aku harus tetap tegar dan kuat.

Hanya satu harapanku semoga setelah kelahiran putriku, akan mampu membuka hati mereka untuk memberikan sedikit cinta kepada cucu dan ponakan bagi Yessi adik ipar perempuanku.

Ku coba menelpon mas Iwan melalui panggilan ponselnya, berulang ulang kali dan akhirnya terjawab juga, sedikit lega dalam hati dan mengurangi rasa sakit yang aku rasakan.

"Mas... Sepertinya aku mau melahirkan, aku butuh kamu mas, pulanglah!" Pintaku sedikit memberikan penekanan karena bagaimanapun juga aku berharap kelahiran putriku dengan adanya mas Iwan di sampingku.

"Lintang, kamu kan bisa telepon taxi lalu minta tolong di antar ke rumah sakit! Aku sedang sibuk!"

Tut...Tut...Tut...

Bunyi ponsel itu terputus sepihak, perih mataku, namun kering sudah air mataku untuk sekedar menangis. Susah payah ku tenteng tas dengan beberapa kebutuhan untuk ke rumah sakit.

Aku benar-benar seorang yang sangat tidak berguna di rumah mertuaku, bahkan disaat aku berjalan menuju halaman rumah dengan susah payah karena menahan rasa sakit, adik masih saja asyik memainkan ponselnya sambil rebahan di atas sofa.

Sedangkan ibu mertuaku bicaranya masih saja nyelekit, "Lintang kamu kalau kerumah sakit naik angkot saja yang murah, terus nanti minta obatnya gene rik saja yang murah! Biar tidak buang-buang duit sia-sia hanya untuk persalinan mu saja." Bicara sambil berlalu meninggalkan naik taxi untuk pergi ke acara perkumpulan ibu-ibu tajir yang menjadi sahabatnya.

Aku hanya bisa menahan perih dan semakin perih, ku buka uang tabungan hasil kerjaku dulu, yang isinya masih lumayan untuk biaya persalinan.

Aku berjalan sendiri menuju pangkalan ojek, dengan menenteng tas kebutuhan yang mungkin akan aku perlukan di saat persalinan nanti.

🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️

To be continued 😉

Kelahiran Ayu Nimashasy

Seluruh sendi dalam tubuhku serasa mati rasa, aku harus tetap berjuang membawa anakku lahir kedunia ini! Di sukai ataupun tidak di sukai oleh keluarga suamiku.

Suara tangis anakku memberikan kekuatan tersendiri bagiku," selamat ibu! Anak ibu sehat dengan jenis kela min perempuan, cantik seperti ibu, bayi sudah siap di bacakan adzan ibu!"

"Apakah suami ibu sudah datang?" Kembali pertanyaan yang sangat menyakitkan bagi ku.

"Suami saya tugas keluar kota suster, apakah saya bisa mengadzani putri saya?" Tanya ku mantap, mungkin ini awal aku harus menjadi ibu dan aku harus kuat.

"Selamat Bu Lintang! putri anda lahir dengan sehat dan cantik sekali," Dokter Dian yang mengikuti suster yang mengendong putri kecilku, memberikan salam untukku dengan senyumnya yang khas.

"Suster, Biar saya yang membacakan adzan untuknya, saya rasa Bu Lintang lebih baik istirahat." Dokter Dian meraih putri ku, lalu mendekapnya dan membisikkan laflladllz adzan di telinga sebelah kanan putriku.

Rasa syukur dan lega mengitari perasaanku dan pincang oleh keadaan ini, dokter Dian yang selalu ada di saat-saat tertentu dikala aku membutuhkan, pertolongan maupun dorongan semangat selalu ia berikan padaku.

Dua hari pasca persalinan, dokter dan perawat mengizinkan aku pulang, ku berjalan sendiri melalui lorong rumah sakit dengan menggendong putriku, dan satu sisi tangan menenteng tas tempat kebutuhan yang kemaren aku bawa.

"Loh keluarga ibu tidak ada yang menjemput?" Dokter Dian Satyanagara tertera name tag di dadanya, menyapa ku dengan sedikit menyelidik bawaan ku.

"Sini Bu, saya bantu! Ibu masih harus banyak beristirahat, ini terlalu berat untuk ibu!" Dokter muda dan cakep itu meraih tas yang ku bawa dan membawaku duduk di sofa lobby rumah sakit.

"Ibu tidak ada yang menjemput? Dari kemaren saya perhatikan ibu sendirian di rumah sakit bahkan saat ibu melahirkan juga sendiri," lembut suara itu menyapaku, sedikit canggung juga aku menjawab pertanyaannya.

"Suami saya sedang tugas keluar kota dok, dan mungkin ibu mertua saya juga sedang sibuk, tidak apa saya bisa kok!" Jawabku berusaha menyakinkan.

"Kebetulan saya akan pulang Bu, saya bisa memberikan tumpangan pada Bu Lintang, mari saya bantu!" Dokter Dian sepertinya tidak mau aku bantah, sedangkan sejujurnya saja, aku memang membutuhkan bantuan.

"Tapi dok, biar saya memesan taxi saja!" aku berusaha menolak, agar tidak terulang kembali kejadian seperti sebelumnya, mas Iwan yang selalu menaruh kecurigaan terhadap dokter Dian yang pertama menangani kandungan ku yang dari awal bermasalah, dengan kesehatanku.

"saya akan membawa seorang perawat, yang juga kebetulan satu arah dengan saya, untuk membantu Bu Lintang," dokter Dian tetap kukuh mengantarku pulang.

akhirnya seorang perawat menemani ku dengan ijin dokter Dian selaku penanggung jawab padaku.

Traffic light di jalan protokol itu, membuat mataku terbelalak, ketika kulihat mobil tepat di depan mobil yang aku tumpangi adalah mobil mas Iwan, dengan seorang wanita yang bergelayut manja duduk di sampingnya, ku coba tetap kuat menghadapi semua yang aku lihat. Aku tetap berbesar hati, bahwa mungkin itu hanya ketidaksengajaan saja.

Dengan alamat yang ku berikan kepada dokter Dian, mobil yang membawaku pulang ke rumah mertua itu, berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah besar itu.

"Terima kasih Dok, maaf saya tidak bisa mengajak dokter mampir, sekali lagi terima kasih atas bantuannya." Ucapku sambil tersenyum.

Mata Dokter Dian menyorot tajam menatapku, ku tepis jauh-jauh rasa malu dan canggung ku padanya.

Dokter yang selalu memberikan perhatian pada kandungan ku dari awal hingga terjadi perselisihan dengan mas Iwan. kini, seolah-olah sedikit demi sedikit mulai bisa membaca kehidupan ku.

"Tidak perlu berterima kasih, saya akan langsung pulang! Jangan lupa untuk kontrol dan nomor telpon saya ada pada buku kontrol yang sudah di berikan suster tadi, Bu Lintang," Dokter Dian berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri di depan. Senyum yang selalu manis ku lihat pada setiap akhir ucapannya, setidaknya bisa menyakinkan diriku, bahwa masih ada orang yang menghargai diriku.

Baru saja aku menginjakkan kaki ku di lantai depan rumah, sudah ku dengar lagi kata umpatan pedas dari ibu mertua ku, " wah .. baru kempes itu perut, nifas juga baru di mulai udah ganjen saja sama pria lain, kamu itu memang wanita tidak tau malu!"

"Astaghfirullah, Ibu! Beliau dokter Dian yang selama ini menangani kandungan saya, bahkan mas Iwan juga mengenalinya dengan baik, ibu," ku pikir dengan kehadiran putriku, ibu mertua akan berubah, setidaknya mau menerima cucu dari anaknya mas Iwan, walaupun beliau membenciku setengah mati.

"oh... dokter yang sok baik, itu ya! betul kata Iwan kalian punya affair dibalik pernikahan kalian, atau jangan-jangan bayi itu bukan darah daging Iwan,"

"Ibu...! saya tidak sehina itu Bu!" ingin rasanya ku membantah lebih banyak kata lagi, namun apa daya kondisiku tidak mungkin.

"ah.... sudah-sudah, bawa masuk anak haram itu! dan ingat tidur di kamar belakang ya! sebab aku tidak mau bau anyir sama tangis bayi itu menganggu pendengaran ku!" bentakan Yessi tidak kalah menyakitkan di telinga ku.

🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️🧚🏽‍♀️

Hampir memasuki tahun ketiga pernikahanku benar-benar totally membuahkan kepahitan bagiku, namun aku harus tetap berjuang, itu adalah tekadku demi putriku aku harus kuat.

Untuk menutupi kebutuhanku sendiri aku harus kerja, Shasy terpaksa aku titipkan ke yayasan child day care, karena di rumah dengan mereka itu tidak mungkin.

Aku bekerja di sebuah supermarket untuk menutupi kebutuhanku sendiri dengan putriku, sebab bila aku hanya berdiam diri di rumah hanya mengandalkan uang belanja yang tidak pernah aku dapat dari mas iwan, jelas ini akan menambah ketertindasan diriku didalam rumah tanggaku yang selalu dikendalikan oleh mertuaku.

Cinta mas Iwan yang pernah aku rasakan dari awal bertemu, lalu menikah dan hidup satu atap dengan mertua dan adik ipar, perlahan sirna seiring perkembangan putriku.

Jangankan untuk sekedar bercanda atau bicara serius dengan ku, bahkan untuk menimang putrinya sendiri pun aku bisa menghitung dengan jariku.

Didalam rumah besar ini aku hanya seorang pembantu tanpa gaji dan masih juga terbebani untuk biaya listrik dengan alasan karena aku juga memakai air untuk mandi dan penerangan dimalam hari.

Entah apa yang berada didalam pikiran mereka, sehingga hati ibu mertuaku dan adik ipar ku begitu benci padaku. Apalagi mas Iwan tidak pernah menghiraukan keberadaan diriku didalam rumah itu.

Sering ku dapati bau parfum atau noda lipstik di bajunya, saat aku mencuci bajunya.

"Mas, kenapa di baju mas Iwan ada noda lipstik?" Tanyaku suatu ketika namun yang ku dapat bukannya penjelasan namun cacian yang menyakitkan sebagai seorang istri yang terlalu terabaikan.

"Tidak usah kamu menanyakan tentang itu, Lintang! Kamu di luar sana bertemu dengan laki laki lain pun aku juga tidak mempermasalahkan, kenapa hanya sebuah noda di baju saja kamu sibuk menyatakan? Tugasmu di dalam rumah ini adalah sebagai istri, bila ada yang kotor ya bersihkan!" Ketus dan menyakitkan, Kecurigaan tanpa alasan selalu ia gunakan untuk mencari kesalahan demi kesalahan ku.

"Aku istrimu mas! Aku berhak untuk menanyakan tentang semua ini, mas!"

"Aahh... tau apa kamu tentang semua, aku melihat dirimu lama-lama muak! Sudah sana bereskan semua pekerjaan mu, buang-buang waktuku saja!" Air mataku lolos begitu saja, sakit sangat sakit.

Aku selalu berusaha dan menjadi kuat demi putriku dan masa depannya kelak, tidak pernah terfikir olehku untuk pergi ataupun memberontak tentang keadilan dari mereka atau bahkan berpikir untuk cerai, semua ku tepis jauh-jauh mungkin ini hanya sementara waktu saja dan akan membaik setelah ini.

POV Lintang end.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!