NovelToon NovelToon

LOST (Anna)

Bab 1. Kepergian Ayah.

Suasana malam di kawasan perumahan elit ibu kota yang biasanya damai, kini berubah mencekam setelah salah satu rumah mewah yang berada di sana terbakar hebat.

Jeritan para warga yang berusaha membantu memadamkan api seraya menunggu mobil pemadam kebakaran tiba, terdengar memekakkan telinga. Beruntung sang pemilik rumah, Martin, beserta istri dan kedua anak mereka berhasil keluar dari rumah saat api belum membesar.

"Kalian semua baik-baik saja?" tanya Martin dengan raut wajah khawatir. Keempatnya kini terduduk di bawah pohon rindang, sembari ditenangkan beberapa orang tetangga mereka.

"Iya, Yah," jawab Ryan, si anak sulung berusia 17 tahun.

"Ayah bagaimana?" tanya Belinda, sang istri yang turut mengkhawatirkan suaminya.

"Ayah tidak apa-apa," jawab Martin. Pria itu kemudian memilih membantu para warga yang masih berusaha menyiramkan air ke rumahnya menggunakan selang biasa.

Sementara itu, Anna, si putri bungsu yang turut selamat, rupanya sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri seolah sedang mencari sesuatu.

"Tidak ada!" gumamnya panik. Kaki kecilnya berlari menelusuri tempat, sebelum akhirnya kembali menghampiri sang ibu.

"Bu, Lolita tidak ibu bawa ya?" tanya Anna sembari menarik-narik lengan baju sang ibu. Lolita adalah nama boneka kesayangan Anna yang diberikan ayahnya, saat berulang tahun ke tujuh beberapa bulan lalu.

Belinda menoleh. "Sepertinya tidak, nak," jawabnya lembut. "Nanti kita beli lagi yang baru ya?" Wanita itu berusaha membujuk putrinya, ketika melihat genangan air mulai muncul di ujung pelupuk mata Anna.

Alih-alih menjawab, Anna memilih untuk menjauhkan diri dari jangkauan ayah, ibu, dan sang Kakak. Dalam diam, dia memandangi rumahnya dari kejauhan. Matanya sontak memicing saat menyadari bahwa api ternyata belum menjalar sampai ke kamar dirinya dan Ryan.

"Masih sempat!" seru Anna senang, yang langsung menoleh ke arah keluarganya, guna memastikan mereka tidak menyadari kepergian dirinya.

Anna mulai melangkah mengendap-endap lalu berlari kecil mendekati rumahnya yang terbakar.

Disaat yang bersamaan, mobil ambulance pun telah tiba duluan. Dua orang perawat turun dan berlari menghampiri keluarga Martin untuk memeriksa keadaan mereka.

"Mana Anna?" tanya Ryan tiba-tiba. Matanya menoleh ke sana kemari demi mencari sang adik yang tidak terlihat di mana pun.

Belinda dan Martin yang juga menyadari ketidakhadiran Anna, turut mencari.

"Bukankah Anna sedang bersama kalian?" tanya Martin.

"Tidak, Yah, aku lihat Anna bersama ibu tadi," jawab Ryan.

Belinda terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya tersentak kaget. Namun, saat dia hendak berbicara, sebuah suara tiba-tiba menginterupsi mereka.

"Anna, jangan masuk. Berbahaya!"

Martin menoleh ke sumber suara. Rupanya salah seorang tetangga mereka yang tengah membantu menyiramkan air, sedang berlari mengejar Anna yang sudah masuk ke dalam rumah mereka yang terbakar.

Martin terbelalak. Tanpa berkata apa-apa dia langsung ikut berlari mengejar Anna, mendahului si tetangga.

"Ayaah!" teriak Ryan yang reflek berlari menyusul sang Ayah.

"Jangan masuk, Ryan!" Si tetangga dengan sigap menahan Ryan untuk masuk ke dalam rumah. Mereka bisa melihat jelas bagaimana Anna dan Martin masuk ke dalam rumah tersebut.

"Ayah dan adikku ada di dalam!" ujar Ryan memberontak.

"Pintu masuk sudah tertutup api, kita tidak bisa masuk!"

Belinda hanya bisa memeluk Ryan dan berharap kedua orang tercintanya bisa keluar dengan selamat.

Beberapa saat kemudian mobil pemadam kebarakan tiba di sana. Mereka pun sudah diberitahu perihal Anna dan Martin yang mungkin terjebak di dalam rumah,

Dengan sigap para petugas mempersiapkan peralatan, seperti tangga dan kasur angin yang diletakkan di luar rumah. Rencananya mereka akan membawa anak dan ayah itu untuk keluar lewat jendela kamar.

Sementara itu, Martin berhasil mengejar Anna ke kamarnya. Tanpa sempat keluar lagi, api langsung memenuhi pintu keluar kamar Anna.

"Ayah, maafkan aku!" Anna memeluk Martin erat sambil menangis keras. Mereka kini sedang berada di lantai dua kamar Anna.

"Sstt, tidak apa-apa Sayang," ucap Martin menenangkan. Dalam dekapannya, dia berusaha menjaga Anna dari serangan asap yang mulai memasuki sistem pernapasan mereka.

"Bersiap, Pak!" teriak salah seorang pemadam kebakaran.

Martin mengangguk. Namun, baru saja seorang petugas hendak naik ke atas, suara ledakan cukup keras terjadi di ruang sebelah.

Martin dan Anna sempat merundung, sementara sang petugas menghentikan diri sejenak.

"Tak akan sempat!" gumam Martin. Menunggu mereka naik membutuhkan waktu lama, jadi Martin memutuskan melempar Anna terlebih dahulu ke bawah.

Pria itu pun menurunkan Anna sejenak. "Anna anak pemberani, kan?" tanyanya kemudian.

Anna mengangguk. Tangisnya masih terdengar memilukan, meski tidak sekeras tadi.

"Ayah akan membawa Anna ke bawah terlebih dahulu. Setelah itu Ayah akan menyusul, ok?" ujarnya lembut.

"Tapi, Yah?" Suara Anna tercekat.

"Tidak apa-apa, Nak!" Martin menggenggam tangan mungil Anna. "Anna hanya cukup memejamkan mata saja sejenak, ya?" Mata Mario menatap Anna dalam-dalam, demi meyakinkan hatinya.

"Ayah janji harus langsung menyusul ya?" kata Anna.

Martin mengangguk. "Anak pintar." Martin berdiri lalu kembali membawa Anna ke dalam gendongannya. Dia pun berteriak pada para petugas untuk bersiap di bawah.

Petugas memberi isyarat.

"Ayah hitung sampai tiga dan Anna sudah harus memejamkan mata, oke?"

"Iya, Yah!"

"Ayah mencintaimu," kata Martin dengan mata berkaca-kaca.

"Anna juga mencintai Ayah." Anna memeluk Martin seerat mungkin, sebelum akhirnya dihempaskan sang ayah ke bawah.

Suara riuh sempat terdengar, dan Anna berhasil mendarat dengan sempurna di atas kasur angin tersebut.

"Anna!" Belinda yang sudah menunggu di sana segera berlari menghampiri putrinya.

Martin tersenyum lega, anak bungsunya sudah selamat sampai ke bawah. Kini giliran dia yang bersiap melompat.

Akan tetapi, belum sempat Martin melompat, atap balkon kamar Anna runtuh menimpa dirinya, disusul dengan lantai balkon yang juga rubuh ke bawah.

"AYAAAAAAAHHH!" Ryan berteriak sekeras mungkin, tatkala mendapati tubuh ayah tercintanya terjun bebas bersama dengan material bangunan yang menimpa dirinya.

Belinda lunglai. Dalam sekejap tubuhnya membentur tanah dan pingsan. Sementara Anna hanya bisa mematung dengan wajah basah penuh air mata.

Bab 2. Kebencian seorang kakak.

Dua tahun kemudian.

Suasana di dalam salah satu rumah mewah yang terletak di pusat ibu kota, tampak sedikit memanas oleh seruan seorang remaja tanggung berusia 19 tahun. Hampir setiap hari selalu saja ada suara-suara keributan yang terjadi rumah itu.

"Sudah aku bilang, dia bukan adikku!" Ryan kembali menegaskan perkataannya dengan wajah penuh amarah.

"Ryan, jaga bicaramu!" seru Belinda geram. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak bisa lagi membendung emosinya atas perkataan sang putra sulung yang sudah benar-benar kelewatan. Di saat bersamaan, sebuah cengkeraman kuat pada belakang baju Belinda terasa mengerat. Sang putri bungsu, orang yang dimaksud Ryan, terlihat menyembunyikan diri di belakang tubuh wanita itu.

"Tidak ada yang salah dengan ucapanku! Memang dia lah penyebab ayah meninggal!" seru Ryan tanpa sekali pun sudi menyebut nama sang adik.

"Ryan!" Belinda kembali menaikan nada suaranya. "Kamu ... kamu tidak percaya takdir? Semua yang menimpa ayah mau pun keluarga kita dulu adalah takdir yang tak bisa dicegah." Wanita itu mulai merendahkan suaranya. Sorot mata Belinda bahkan turut berubah sendu.

Ryan tersenyum miring pada Belinda, kemudian memicing bengis pada sang adik yang kini tengah menatapnya ketakukan dari balik punggung beliau. "Takdir? Yang aku tahu, kalau bukan karena dia, ayah pasti masih hidup sampai sekarang, Bu!"

Anna, gadis kecil berusia sembilan tahun tersebut hanya bisa meneteskan air mata saat mendengar tiap perkataan yang terlontar kejam dari Ryan. Walau usia Anna masih terbilang belia, tetapi dia sudah memahami betul kebencian yang dimiliki pria muda itu.

"Sekali pembvnvh, selamanya akan tetap jadi pembvnvh!" desis Ryan yang sama sekali tidak peduli pada air mata Anna, adik kecil yang seharusnya dia sayangi dan lindungi.

Mata Belinda terbelalak. Jika sebelum-sebelumnya dia mampu menahan diri, kini, entah disadari atau tidak, Belinda dengan cepat mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi kiri Ryan.

Suasan hening seketika.

"Bu, jangan ...," cicit Anna.

Mendengar suara putrinya, Belinda mendadak tersadar. Perasaan bersalah langsung menyelubungi relung hatinya.

"Ryan! Ti tidak, maaf, Ibu ...." Belum sempat Belinda menyelesaikan kalimatnya, Ryan sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga tersebut.

Suara bantingan pintu kamar dari lantai dua terdengar setelahnya.

Belinda mencoba menetralisir irama jantungnya yang sekarang sedang berdetak kencang. Dia memejamkan matanya sejenak sembari menggenggam tangannya, sebelum kemudian berbalik menghadap Anna.

"Maafkan kakakmu ya, Sayang?" Seulas senyum sendu terbit di wajah Belinda.

Anna menggeleng keras-keras, "Kakak tidak salah, Bu. Anna yang salah. Anna minta maaf ya, Bu?" ujar sang gadis kecil dengan suara sengau.

"Anna tidak salah, Nak," Belinda bersimpuh demi menyamakan tinggi badannya dengan Anna. Tangan wanita itu juga turut mengelus punggung Anna dengan gerakan sangat lembut dan ringan, seolah-olah dia adalah benda paling rapuh yang akan hancur, jika Belinda menekannya sedikit lebih keras.

"Anna sangat menyayangi kakak, tetapi, apa kakak tidak bisa menyayangi Anna sedikit saja, Bu?" tanya Anna dengan tatapan nanar.

Detik Anna menyelesaikan kalimatnya, detik itu pula pertahanan Belinda runtuh. Airmatanya mengalir membasahi kedua pipinya. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu

...********************...

"Bu, mau ya?" Terdengar suara seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang kini sedang merajuk pada ibunya dari ruang kerja beliau.

"Tidak, Sayang, Ibu sedang banyak kerjaan. Kalau kamu memang ingin pergi, Ibu bisa meminta Pakde Tyo untuk menemani, oke?" Belinda menolak halus permintaan putrinya yang hendak pergi ke taman bermain.

"Aku anak ibu, bukan anak Pakde Tyo!" Anna masih meracau, sembari mengerucutkan bibirnya.

Belinda menghela napas gusar seraya memijit pelipisnya pelan. Wajahnya sedikit frustrasi. Maklum saja, pekerjaan yang menumpuk mengharuskan Belinda (yang kini menggantikan posisi sang suami di kantor) terus bekerja hingga begadang tak tahu waktu.

"Biar aku saja yang menemani Anna ke taman bermain." Saat Belinda masih berusaha berpikir keras untuk mencari solusi, tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi mereka.

Ryan berdiri di ambang pintu ruangan kerja ibunya sambil memasang senyum terbaik yang dia miliki.

Belinda sontak terdiam.

"Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu bersama Anna." Pria muda berusia 21 tahun itu pun mengalihkan pandangannya pada Anna. "Kamu mau kan, Anna?"

Anna yang semula menatap Ryan dengan perasaan takut, kini langsung menganggukkan kepalanya antusias setelah melihat senyuman manis sang kakak.

"Kamu yakin, Nak? Kamu ...." Belinda tidak berani melanjutkan perkataannya.

"Yakin bagaimana, Bu? Pokoknya Ibu fokus saja bekerja, biar aku yang mengajaknya pergi. Biar bagaimana pun, Anna adikku, kan, Bu?"

Belinda mematung seketika. Entah mengapa, mendengar perkataan Ryan barusan membuat hatinya mendadak terasa tidak nyaman. Pasalnya, Ryan sama sekali pernah menganggap Anna ada.

Melihat kegelisahan ibunya, Ryan kembali bersuara. Dia terus meyakinkan Belinda untuk melepaskan Anna bersamanya hari itu.

Anna sendiri juga setuju. Gadis itu bahkan terlihat sangat senang memgetahui kakak laki-laki tercintanya tiba-tiba mengajak berlibur bersama.

Belinda mau tidak mau mengalah. Lagi pula, apa yang harus dijhawatirkan wanita itu? Ryan tidak mungkin memperlakukan Anna lebih buruk.

"Baiklah." Suara sorakan dari Anna terdengar nyaring.

Belinda tersenyum pada Anna lalu mengalihkan pandangannya pada Ryan. "Ibu titip adikmu ya, Sayang, dan jangan pulang terlalu malam."

Ryan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun bergegas pamit meninggalkan Belinda yang sama sekali tidak melepaskan tatapannya pada sang putri sedikit pun.

...**********...

Ryan dan Anna tiba di sebuah taman bermain yang terletak cukup jauh dari rumah mereka. Anna semula sempat bingung dengan ajakan sang kakak, sebab dia hanya ingin pergi ke taman bermain terdekat. Namun, gadis itu tidak mempermasalahkannya dan memilih menikmati suasana di sini.

Lagi pula taman bermain yang kini mereka kunjungi cukup besar. Jauh lebih besar dari taman bermain yang biasa dia kunjungi.

Anna dengan hati gembira menghabiskan waktu di taman bermain tersebut sampai melewatkan jam makan malam.

"Terima kasih ya, Kak?" ujar Anna setelah menelan makanannya. Mereka kini berada di salah satu kedai makanan pinggir jalan. Letaknya berada tak jauh dari parkiran mobil mereka.

"Ya." Ryan hanya menjawab singkat sambil terus memainkan ponselnya.

"Kakak sudah tidak marah padaku, kan?" tanya Anna penasaran.

"Tidak! Sudah teruskan saja makanmu!" jawab Ryan tanpa pernah menyentuh makanannya sedikit pun.

Anna tersenyum bahagia. Gadis itu mengangguk patuh dan melanjutkan kembali acara makannya. Tanpa sepengetahuan Anna, Ryan kini sedang memandangnya dingin tanpa ekspresi.

"Kamu tunggu di sini dulu. Biar Kakak yang bawa mobil ke sini," titah Ryan ketika mereka sudah berada di luar kedai.

"Iya, Kak." Anna mengangguk.

Ryan berjalan menjauhi tempat itu menuju mobilnya. Pria itu terdiam cukup lama di dalam mobil, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Sementara Anna tetap setia menunggu di depan kedai. Dia sengaja memeluk dirinya sendiri guna menghalau rasa dingin yang mulai menusuk.

Gadis itu menatap sekeliling tempat ini sudah mulai sepi. Hanya ada segelintir orang yang berlalu lalang untuk pulang, dan beberapa kedai yang masih terlihat buka. Maklum saja, taman bermain memang ditutup pukul enam sore.

Matanya kemudian menatap kerumunan kecil orang-orang yang berada persis di seberang jalan tempatnya berdiri.

Rupanya ada atraksi pesulap jalanan yang dimainkan oleh seorang pria paruh baya dan seorang anak laki-laki berusia lebih besar darinya.

Anna tampak sumringah dan langsung menghampiri kerumunan kecil tersebut. Gadis itu memposisikan dirinya sedemikian rupa agar tetap bisa melihat mobil Ryan saat datang nanti.

Beberapa saat kemudian Ryan tiba di sana. Dia bisa melihat Anna yang tampak begitu gembira menikmati atraksi para pesulap jalanan.

Ryan kembali tampak memikirkan sesuatu. Genggaman tangannya pada kemudi tiba-tiba mengerat.

Entah apa yang merasuki pikirkan Ryan, tiba-tiba saja pria muda itu menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan Anna begitu di sana.

Anna sontak menoleh ke arah jalan dan menemukan mobil mereka bergerak menjauh. Gadis kecil itu membelalakan matanya.

"KAKAAAAAAK!" Seketika, Anna berteriak dan berlari sekuat tenaga mengejar mobil Ryan. Orang-orang yang juga berada di sana sontak mengalihkan perhatiannya pada Anna.

Ryan bisa melihat Anna dari kaca spion mobilnya. Anna sedang berusaha berlari mengejar dirinya. Wajah gadis kecil tampak sangat putus asa.

"KAKAK JANGAN TINGGALKAN AKU!" teriak Anna, tatkala menyadari bahwa mobil Ryan semakin lama semakin menjauh.

Anna menghentikan larinya tepat di tengah-tengah jalan. Wajahnya sangat syok, tidak percaya pada apa yang baru saja dilakukan sang kakak. Ryan begitu tega meninggalkan dirinya sendirian di tempat asing seperti ini.

Tangisnya seketika turun deras. Hatinya terasa sangat sakit. Dalam hati dia membodohi dirinya sendiri karena sudah menaruh rasa percaya pada kebaikan Ryan yang tiba-tiba saja muncul setelah bertahun-tahun membenci dirinya. Anna sama sekali tidak menyadari bahwa semua itu hanyalah sandiwara belaka.

"De, awaaass!"

"Awaaass!"

Anna yang masih tetap terpaku di tempat, tidak sedikit pun mendengar teriakan orang-orang. Hingga pada akhirnya, sependar cahaya lampu yang sangat menyilaukan tiba-tiba muncul di depan matanya.

Suara hantaman terdengar detik itu juga.

Anna tertabrak mobil box pengantar makanan dan terpental hingga beberapa meter.

...**********...

"Anna!" Belinda yang tidak sengaja tertidur di ruang kerjanya tiba-tiba terbangun. Wajahnya tampak gusar. Detak jantung wanita itu berdegup sangat keras.

Bab 3. Nasib Anna.

"Keterlaluan!" teriak Belinda lantang seraya melayangkan sebuah tamparan di pipi kanan Ryan.

Mata hitamnya berkilat marah pada sang putra sulung yang ternyata pulang tanpa membawa adiknya. Tatapan wanita itu tak lagi teduh seperti biasa, emosinya sudah meluap berkali-kali lipat.

Siapa yang dapat menyangka bahwa Ryan ternyata mampu melakukan hal kejam seperti itu.

"Kau benar-benar kelewatan, Ryan!" Belinda kembali melayangkan tamparan di pipi kiri Ryan. Jantung ibu dua anak tersebut berdentum keras. Air mata bahkan sudah mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Belinda sama sekali tidak peduli bahwa dia baru saja melukai putra sulung yang sangat dicintainya tersebut.

Sementara Ryan terlihat tidak menampilkan raut wajah apa pun. Pria muda itu hanya berdiam diri, mematung di hadapan sang ibu yang masih diliputi emosi.

Belinda segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, lalu menghubungi Pak Tyo, supir pribadi keluarga mereka, untuk membantunya mencari keberadaan Anna.

Tak butuh waktu lama bagi Pria paruh baya itu untuk sampai ke rumah majikannya. Tyo datang dengan memasang raut wajah khawatir. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya. ketika melihat keadaan Belinda dan Ryan yang begitu kacau.

Tyo bahkan bisa melihat ada setitik darah di sudut bibir majikan mudanya tersebut.

"Kita cari Anna!" Belinda menarik tangan Ryan kasar, dan Ryan sama sekali tidak melawan. Pria itu berusaha menyamai langkah kaki Ibunya yang terburu-buru. Sementara Tyo bergegas mendahului mereka ke mobil.

...**********...

Seorang pemuda berusia enam belas tahun bersama seorang pria paruh baya, sedang duduk di salah satu kursi tunggu depan ruang UGD klinik. Ekspresi wajah mereka terlihat begitu cemas. Sesekali pemuda tersebut bahkan berdiri dan mondar-mandir dengan perasaan gelisah.

"Gadis itu nggak akan kenapa-kenapa, kan, Yah?" tanyanya pada si pria paruh baya yang merupakan ayahnya.

"Berdo'a saja." Katanya bersuara. Pria itu tak kalah cemas dengan anak sang putra semata wayang. Dia kemudian terlihat merogoh kantong mantelnya dan mengeluarkan sebuah kalung emas dengan untaian nama sebagai bandulnya.

Pria bernama Dirno tersebut lalu membersihkan noda darah yang terdapat di kalung itu.

"Anna," gumamnya ketika membaca ukiran nama di kalung milik sang gadis.

Sang anak menoleh mendengar ucapan ayahnya. Remaja tanggung itu mendudukan diri kembali di sebelah Dirno.

"Mobil yang tadi dikejar gadis ini pasti keluarganya, Yah? Bagaimana kalau kita mencarinya? Pertama-tama kita harus menghubungi polisi dulu," kata sang putra sembari mengambil ponsel model lama dari kantong celananya.

"Tunggu dulu Denis," cegat Dirno.

"Kenapa, Yah?" tanya si remaja bernama Denis tersebut.

"Kamu lihat tidak, gadis ini tampaknya ditinggalkan keluarganya?" tanya Dirno kemudian.

Mata Denis berubah tajam. "Siapa yang tidak lihat, Yah. Semua orang di sana sudah pasti melihatnya!" sahut Denis kesal. Dalam hati, dia benar-benar mengutuk orang yang begitu tega meninggalkan gadis kecil ditengah cuaca dingin seperti ini sendirian? Alhasil, akibat perbuatan orang tersebut, gadis kecil ini hampir saja kehilangan nyawanya.

"Oleh sebab itu, tahan dulu jiwa menggebu-gebumu!"

Denis mengerutkan kening. "Maksud Ayah?"

Belum sempat Dirno menjawab, seorang dokter wanita keluar dari ruangan itu.

"Apa kalian berdua keluarga pasien?" tanyanya.

"Bukan, dok," jawab Denis. "kami berdua hanya pesulap jalanan yang kebetulan menolong gadis itu."

Dokter tersebut tampak terdiam sejenak.

"Sebaiknya kami harus segera merujuk pasien ke rumah sakit lebih besar. Kalian juga harus meminta bantuan pihak berwajib untuk mencari keluarganya."

"Memangnya seberapa parah, dok?" tanya Dirno.

"Saya tidak bisa memastikan, karena pasien membutuhkan perawatan lebih lanjut dan klinik ini tidak memiliki alat yang cukup memadai."

Dirno terdiam. Mereka bukanlah orang yang berkecukupan. Jadi, bagaimana caranya membuat gadis ini bisa mendapatkan perawatan medis di rumah sakit besar. Belum lagi ketakutannya pada pihak kepolisian.

"Begini saja, dok ...," ucap Dirno.

...**********...

Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sebuah mobil mewah berwarna hitam tampak melesat membelah jalanan yang sudah tidak terlalu ramai.

Setelah puas memaki-maki Ryan di sepanjang perjalanan, Belinda kembali menangis keras. Hatinya benar-benar diliputi kekhawatiran akan keadaan sang putri bungsu yang masih sangat kecil.

"Demi Tuhan, dia baru 11 tahun Ryan!"

teriaknya pada sang anak sulung beberapa saat lalu.

Pikiran buruk semakin membuat Belinda merasakan ketakutan berlebih.

Bagaimana jika Anna diculik, atau, bagaimana jika dia sampai di per .....

Wanita itu segera menggeleng-gelengkan kepalanya keras, untuk menghalau pikiran-pikiran buruk tersebut.

Ryan sendiri hanya tertunduk tidak berani menatap ibunya. Remaja itu baru menyadari, bahwa selama ini ibunya tidak pernah semarah dan sekalut sekarang. Sekelumit perasaan bersalah pun mulai mengikis ego pria muda berusia dua puluh satu tahun itu.

Tak berapa lama, akhirnya mereka tiba di kedai makanan tadi. Tyo segera memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana.

Tanpa berlama-lama Belinda langsung keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Mereka bertiga berpencar mencari Anna di sekitar sana.

Belinda tahu, Anna adalah anak yang pintar. Gadis kecilnya itu pasti masih mengingat nasihat yang berkali-kali dia sematkan padanya, untuk selalu tetap berdiam diri di tempat tersebut jika tersesat. Maklum saja, dulu Anna juga pernah nyaris hilang saat mereka pergi berlibur di luar negeri.

"Anna, di mana kamu, Nak?" ujar Belinda lirih, sembari memandang putus asa sekeliling tempat itu.

Ryan sendiri memilih kembali ke jalan tempat di mana Anna terakhir kali terlihat.

Matanya sontak menyipit, tatkala mendapati ada banyak serpihan kaca dengan bercak darah di jalanan tersebut.

Jantungnya seketika berdebar keras. Mata elangnya menatap tajam pada deretan kedai-kedai makanan dan toko-toko yang kebanyakan sudah tutup, dan mendapati salah seorang satpam yang sedang berkeliling.

Melihat Ryan berlari menuju menuju satpam dengan wajah gelisah, Tyo dan Belinda refleks berlari mengikutinya.

"Pak, apa benar jalanan di dekat pintu masuk itu baru saka terjadi kecelakaan? Saya melihat ada banyak serpihan kaca dan ceceran daarrah." Ryan memasang wajah cemas, berharap tidak mendengar jawaban yang buruk dari satpam berusia tua tersebut.

"Ya, itu benar! Tadi ada seorang gadis kecil yang tertabrak mobil box pengantar makanan." Satpam tersebut tampak diam sejenak, seolah-olah sedang mengingat sesuatu.

"Sebelumnya gadis itu terlihat sedang mengejar sebuah mobil. Sepertinya dia ditinggalkan seseorang di sana. Mungkin gadis itu diculik, karena tidak mungkin keluarganya yang berbuat demikian."

Mata Ryan membola, jantungnya semakin berdegup kencang.

"Lalu, ke mana gadis itu sekarang, Pak?" tanya Tyo yang ikut membuka suaranya.

"Saya kurang tahu, tapi sepertinya ada seseorang yang membawanya pergi ke rumah sakit."

Sedetik kemudian, suara hantaman terdengar.

"Bu!" Tyo berteriak keras, tatkala mendapati Belinda tak sadarkan diri di atas aspal. Ryan segera membopong ibunya untuk kembali ke mobil dengan perasaan kacau.

"Maafkan aku, Bu," ucap Ryan lirih.

...**********...

Denis tampak gusar dan marah. Pasalnya, sang ayah dengan tega membawa Anna pulang ke rumah kecil mereka dari pada ke rumah sakit.

Dia tahu, mereka memang tidak memiliki banyak uang. Oleh sebab itu, Denis mengusulkan pada Dirno untuk melaporkan hal ini ke rumah sakit. Namun, Dirno dengan tegas menolak.

Dia tidak ingin nantinya disalahkan atas tragedi kecelakaan yang menimpa Anna. Maka dari itu, Dirno memilih untuk merawat Anna seadanya hingga pulih, lalu mengembalikannya langsung ke rumah gadis itu tanpa campur tangan pihak kepolisian.

Toh, Anna bisa melakukan pemeriksaan nanti saat di rumah, pikirnya.

Maklum saja, sebagai seorang mantan napi yang gemar keluar masuk penjara, dia tidak akan begitu saja mendapatkan kepercayaan dari orang lain, terlebih pihak kepolisian. Walau kini dia telah bertobat dan memilih menjalani hidupnya dengan normal dan halal, tetap saja Dirno memiliki ketakutan tersendiri..

Denis menghela napas pasrah. Matanya menatap Anna yang belum juga tersadar. Gadis itu sekarang terbaring di kamarnya yang sempit.

"Cepatlah bangun, lalu aku akan mengantarmu pulang," ucap Denis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!