NovelToon NovelToon

Khalifa Humaira

Keputusan Abah

Fajar masing baru hendak menyingsing. Sedangkan ayam sejak tadi telah berkokok, menyuarakan seruannya.

Hembusan angin menyeruak ke dalam ruangan berukuran sederhana lewat sela-sela jendela kayu.

Tirainya berwarna biru, sedangkan lampunya remang-remang. Di sana ada gadis cantik jelita tengah melaksanakan ibadah seperti biasa.

Adalah Khalifa Humaira, gadis bercadar nan rupawan. Kesolehannya terhadap Sang pencipta serta kedua orang tua, membuat banyak pria menaruh hati padanya. Akan tetapi, gadis itu menutup diri.

Cintanya telah ia persembahkan hanya untuk Sang pembolak-balik hati, sampai akhirnya Tuhan menakdirkan dirinya untuk seorang Imam yang tepat.

Masih menjalankan ibadah, Khalifa begitu sapaannya lantas melantunkan ayat-ayat suci Al-quran dengan merdunya.

Bagi siapa saja yang mendengar suara gadis bercadar tersebut pasti akan betah berlama-lama di sana.

Sungguh, secantik-cantiknya perhiasan dunia adalah wanita solehah. Seperti Khalifa Humaira contohnya.

Gadis itu bertutur kata lembut pada siapapun yang mengajaknya bicara. Namun, ia akan menundukan pandangan bila berjumpa lawan jenisnya.

Sungguh gadis seperti Khalifa telah langkah. Terlebih lagi di zaman modern seperti sekarag ini.

Maka tak ayal keluarga Ilham Akbar menaruh hati padanya. Pria paruh baya itu berencana akan menjodohkan Putranya, Alvin Ilham bersama Khalifa Humaira.

"Aku tidak mau menikahi gadis yang belum ku kenal, Bah." Sayangnya, Alvin menolak mentah-mentah perjodohan tersebut. Dia tidak siap untuk membina rumah tangga bersama gadis asing.

"Perjodohan ini telah lama Abah dan Umi rencanakan." Namun, Ilham tetap kekeh hendak menjodohkan Putranya tersebut. Anggapannya adalah Khalifa merupakan gadis yang tepat untuk Alvin.

"Mengapa Abah tidak menjodohkan wanita itu bersama Bang Al? Mengapa harus aku?" Alvin pun mempertanyakan alasan dibalik perjodohan tersebut. Pasalnya, Ilham bukan hanya mempunya satu Putra, melainkan ada Algazali Ilham Akbar, Kakak Alvin.

"Bukankah kau tahu sendiri, bahwa Abangmu masih fokus dengan pendidikannya di Maroko? Lagi pula, pesantren yang saat ini kau tempati, kelak akan menjadi milikmu. Sedangkan Algazali menolak itu," papar Ilham.

"Lalu, apakah aku tidak diperbolehkan untuk menolak seperti yang dilakukan Bang Al? Sepertinya aku dilarang untuk menyuarakan pendapat di sini." Alvin sangat kecewa terhadap keputusan Abahnya yang dianggap tak adil.

Pasalnya, Algazali diberi kebebasan untuk menentukan pilihan. Sedangkan tidak untuk dirinya. Alhasil Alvin merasa tertekan. Jiwanya hendak memberontak, tetapi daya tak mampu bertindak.

"Percayalah, Nak. Kelak kau akan mengucap syukur setelah mengenal siapa calon istrimu." Ilham berdiri, lantas memegang pundak Alvin yang membelakangi dirinya.

"Tapi, Abah. Aku tidak ingin menikahi gadis itu. Bahkan namanya aku tak tahu."

"Khalifa Humaira, itulah namanya. Nama yang cantik, bukan?" ucap Ilham dengan sedikit senyuman.

Sedangkan wajah Alvin ditekuk cemberut. Ia menolak perjodohan itu. Pasalnya, ada gadis lain yang ia taksir untuk dijadikan calon istri.

Adalah Glenka Rukaya Pasha, gadis berhijab yang diam-diam berkomitmen dengannya untuk merangkai masa depan bersama.

Rukaya adalah Putri dari mendiang Ustad Arifin, salah satu santri di pondok pesantren Az-zahra.

Sialnya, Alvin tak pernah memberitahu kedua orang tuanya perihal Rukaya selama tiga tahun terakhir. Sedangkan mereka telah menyusun masa depan bersama.

"Tapi, Abah, Aku--" Suara Alvin bergetar, tak kuasa menolak permintaan Sang Ayah.

Matanya turut berkaca-kaca, seolah menandakan hatinya terluka. Pemuda berkulit putih itu merupakan sosok yang patuh nan taat. Pabila Abahnya meminta, maka ia siap menerima. Lantas bagaimana dengan perjodohan yang satu ini? Akankah ia juga rela menerima? Entahlah, yang pasti pemuda itu menginginkan Rukaya yang menjadi pendamping hidupnya. Baik dalam suka maupun duka.

Bukan orang lain yang bahkan namanya pun baru diketahui setelah perjodohan itu terjadi.

"Alvin, Abah yakin. Suatu saat nanti kau akan berterimakasih kepada Abah, karena telah menikahkanmu dengannya. Dia adalah gadis yang baik, Nak. Percayalah, em?" Ketekunan hati Ilham tak juga goyah. Perjodohan yang menurut Putranya tak masuk akal, tetap terlaksana.

Alvin hanya bisa terduduk lemas dan diam, meratapi nasib perjodohannya. Dalam hati pemuda berlesung pipi itu memikirkan Rukaya, gadis yang dicintainya.

"Yang dikatakan Abahmu benar, Nak. Kelak kau akan bersujud syukur atas perjodohan ini. Kau tidak akan menyesali keputusan kami." Umi Huraira yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. Ia membenarkan perkataan suaminya perihal Khalifa.

Alvin pun semakain tersungkur dilema. Antara orang tua dan cinta, sungguh membuatnya tak berdaya.

Sementara itu, jauh di sudut kota. Khalifa tengah menandatangani surat izin beasiswanya untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir.

Sudah sejak lama ia mendambakan negara tersebut untuk tempatnya menimba ilmu. Banyak penduduk dari tanah air yang tergila-gila untuk memperdalam ilmu agama di sana. Pun dengan dirinya yang tak jauh beda dari mereka.

"Assalamu alaikum, apakah Abah boleh masuk?" Datanglah Ibrahim, Abah Khalifa.

Pria paruh baya yang tampak pucat karena sakit itu, memasuki kamar Putri semata wayangnya.

Di dalam rumah sederhana tersebut hanya tinggal mereka berdua. Sedangkan Ibunya telah lama meninggal dunia pasca melahirkan Khalifa.

"Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokaatu. Eh, Abah. Ayo masuk, Bah." Khalifa pun mempersilahkan cinta pertamanya itu untuk masuk ke dalam kamar.

"Sedang apa?" tanya Ibrahim setelah mendaratkan diri di tepi ranjang Sang Putri.

"Ini, Bah. Sedang membaca surat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir," sahut Khalifa dengan begitu girangnya.

Ibrahim pun tak tega untuk memudarkan senyuman tersebut dari Putrinya. Pasalnya, beberapa menit yang lalu, ia telah menandatangani surat persetujuan tersebut.

Hati Ibrahim bergetir, tetapi ia tak ada pilihan lain. Khalifa harus mengubur dalam-dalam impiannya itu.

Mata Ibrahim pun berkaca-kaca. Sungguh ia tak tega melihat Putrinya berduka. Namun, di sisi lain Ibrahim telah menyepakati sebuah perjanjian bersama sahabat lamanya.

Di samping itu juga, kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, membuat ia berada dalam dilema.

Antara mendukung impian Sang Putri kesayangan, atau justru menunaikan perjanjian bersama sahabat. Sedangkan ia tak memiliki banyak waktu. Ibrahim harus segera menikahkan Putrinya itu bersama Putra dari sahabatnya tersebut.

"Oh iya, Bah. Ada apa? tumben kemari. Biasanya juga Abah meminta Bibi untuk menemuiku," imbuh gadis bercadar itu.

"Ada hal yang ingin Abah sampaikan padamu, Nak." Sembari menahan getir, Ibrahim menyampaikan isi hatinya.

"Katakan saja, Bah. Kok kaya ragu-ragu. Emang Abah mau cakap apa sama Khalifa?" Lagi-lagi Ibrahim tak kuasa menahan diri. Sampai  akhirnya ia meneteskan air mata.

"Loh, kok Abah menangis? Ada apa? Apakah Abah sakit lagi? Bagian mana yang sakit? Kita ke dokter ya, Bah? Supaya penyakit Abah disembuhkan. Kita ikhtiar saja." Khalifa mulai panik begitu melihat kondisi Abahnya.

"Tenaglah, Nak. Abah baik-baik saja kok," jawab Ibrahim, menenangkan Khalifa.

"Terus, mengapa Abah menangis? Apakah terjadi sesuatu? Atau jangan-jangan Abah tak rela melepas Khalifa untuk menimba ilmu ke Mesir?" lirih Khalifa.

Lagi-lagi hati Ibrahim terkoyak, rupanya Khalifa sangat mendambakan impiannya terwujud.

"Kau akan segera menikah, Nak."

"Apa?"

Part 2

Sekujur tubuh Khalifa bergetar, hatinya seperti tercubit sembilu. Sedangkan jantung wanita itu ibarat tertusuk belati nan tajam.

Namun, ia masih berusaha menenangkan diri. Sebab, yang baru saja terlontar dari bibir Abahnya hanyalah sebuah guyonan belaka. Dia tak mungkin akan menikah secepat itu. Pikirnya.

Akan tetapi, Khalifa melihat raut wajah Abahnya sungguh menyiratkan keseriusan yang mendalam. Apakah ia benar-benar akan dinikahkan? Tapi sama siapa? Kapan? Dan dimana?

Begitu banyak pertanyaan bermain dalam pikiran Khalifa. Perkataan Abah sungguh membuatnya terganggu. Lantas bagaimana dengan rencana melanjutkan pendidikan ke Mesir? Akankah pupus sebelum dimulai?

Tapi bukankah Abahnya telah menandatangani surat izin itu beberapa saat lalu? Lantas mengapa terjadi perubahan? Ataukah ini hanya mimpi belaka?

Lalu Khalifa mencoba untuk mencubit kulitnya. Ternyata terasa sakit, artinya ia tidak sedang berada dalam dunia mimpi. Ini benar-benar nyata.

"Iya, Nak. Kau akan segera menikah." Suara Ibrahim terdengar lemas. Tak kuasa menahan sesuatu yang bergejolak di dalam sana.

Sungguh, ia tak tega melukai perasaan Putrinya. Apa lagi menghalangi impiannya dengan mengatasnamakan pernikahan. Namun, sekali lagi ia tak berdaya.

Dua puluh dua tahun lalu ia telah  berjanji kepada sahabatnya untuk menikahkan Khalifa bersama Putranya. Dan sekarang masanya telah tiba. Ia harus segera menuntaskan janji itu, agar jiwanya tenang sebelum benar-benar meninggalkan dunia ini.

"Gak lucu ah. Abah jangan bergurau deh." Meski percaya Abahnya tak sedang bercanda, tetapi Khalifa masih berupaya untuk meyakinkan diri, bahwa perkataan Ibrahim hanyalah isapan jempol belaka.

"Bukan saatnya lagi Abah bercanda, Nak. Waktu Abah tidak banyak." Kali ini hati Khalifa benar-benar takut. Perkataan Ibrahim seperti menyiratkan seseorang yang akan segera meninggal dunia.

"Apa yang Abah katakan? Memangnya Abah mau pergi kemana?" Khalifa berlagak seperti Anak kecil yang tak mudah mengartikan perkataan. Sedangkan dalam hatinya semakin ketakutan.

Cara ini Khalifa tempuh agar ia tak menangis ketakutan di depan Ibrahim. Mereka hanya tinggal berdua. Sedangkan Asisten rumah tangganya tidak tinggal bersama mereka.

"Khalifa, apakah kau setuju dengan perjodohan yang baru saja Abah sampaikan?" tanya Ibrahim akhirnya setelah beberapa waktu lalu menyampaikan ihwal perjodohannya.

"Apakah tidak bisa ditunda? Maksud Khalifa, tidak bisakah sepulang dari Mesir pernikahan itu dilaksanakan? Aku janji akan menikahi pemuda itu, Bah," pinta Khalifa, bersimpuh di kaki Abahnya.

"KIta tidak bisa mencegah ajal, Nak. Sedangkan waktu Abah tak banyak. Abah ingin, sebelum meninggalkan dunia ini, Abah melihatmu menikah. Dengan begitu Abah baru akan tenang. Setidaknya ada yang menggantikan Abah untuk menjagamu."

Luruh sudah hati Khalifa tat kala Abahnya berujar mengenai ajal.

"Abah cakap apaan sih? Abah tidak akan pergi secepat itu. Abah akan melihatku menikah." Meski ketakutan, tetapi Khalifa tetap meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja.

"Tapi setelah pendidikanku selesai," imbuhnya.

Khalifa tidak mempersoalkan perjodohannya bersama Alvin Ilham. Jika pria itu merupakan pilihan Abahnya, maka bisa dipastikan, bahwa ia adalah Imam yang tepat untuknya.

Ibrahim tidak mungkin menjodohkan Putrinya dengan pemuda yang salah. Namun, bukan berarti pernikahan itu harus segera terlaksana. Masih banyak cita-cita Khalifa yang belum tercapai. Salah satunya membangun pesatren.

Tak lama Ibrahim terbatuk-batuk. Seraya memegang dadanya, ia pun berkata, "Namanya Alvin Ilham. Besok pagi mereka akan berkunjung ke rumah ini. Kau persiapkanlah dirimu."

Seolah mengabaikan impian Khalifa, Ibrahim beranjak pergi setelah membuat keputusan itu.

Hasilnya, Khalifa harus menelan pil kekecewaan. Ia pun menangis dalam diam.

Bukannya hendak menolak takdir, atau mendurhakai Abahnya. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikan. Apakah permintaan sekecil itu tak bisa dikabulkan? Sekejam itukah takdir dari Tuhan?

Ibrahim berdiri di balik pintu sembari menangis sesegukan. Mulutnya ditutup telapak tangan agar tak terdengar oleh Sang Putri.

Sedangkan isakan Khalifa sangat kentara di indera pendengarannya. Tak ayal hati pria berusia empat puluh lima tahun itu semakin terluka.

Walau bagaimanapun juga ia adalah seorang Ayah yang mencintai Putrinya tanpa syarat. Keadaan lah yang membuatnya tampak jahat.

Penyakit yang Ibrahim idap telah menggerogoti sebagian tubuhnya. Sehingga untuk bercakap pun harus terbata-bata. Ia kerap menahan sakit yang luar biasa di dalam dada bila penyakit itu mulai datang menyapa.

Di usianya yang masih tergolong muda, Ibrahim harus menerima kenyataan, bahwa ia mengidap penyakit kangker stadium empat.

Ibrahim hendak berobat, tetapi ia tak cukup biaya. Penyakit itu telah lama ia derita tanpa sepengetahuan Khalifa.

Gadis malang itu hanya tahu, bahwa Abahnya sering sakit kepala biasa. Itulah sebabnya ia bertekad untuk meninggalkan tanah air ke Mesir demi menimba ilmu di sana tanpa merasa ragu.

Sementara itu, di rumah Alvin. Pria itu masih bertengkar dengan perasaannya yang tak kuasa menolak kehendak kedua orang tua.

Perjodohan itu tetap terlaksana, meski ia telah menolak. Besok pagi adalah waktu yang dipilih Ilham untuk menemui keluarga mempelai wanita.

Tak lama wajah Rukaya mendadak muncul di pelupuk mata, hingga Alvin menyungging senyuman getir.

Hatinya telah dipatahkan oleh kedua orang tuanya sendiri. Andaikan pria itu sedikit lebih cepat mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rukaya, mungkin perjodohan itu tak akan pernah terjadi.

"Tidak ada orang tua yang  berusaha untuk mencelakai Putranya, Nak. Yang kami lakukan ini adalah untuk masa depanmu. Percayalah pada Umi." Sejak tadi Umi Huraira meyakinkan Alvin, bahwa pilihan mereka tak salah.

Hanya karena belum pernah berkenalan, lantas membuat Alvin menuding wanita yang hendak ia nikahi adalah tak baik ahlaknya. Tanpa Alvin ketahui, bahwa Khalifa juga sedang berperang melawan hatinya.

"Tapi Umi, aku tidak mengenal wanita itu. Terlebih lagi aku tidak mencintainya. Apakah kami sanggup menjalani pernikahan ini? Jika tidak, bukankah aku akan berdosa karena telah menyia-nyiakan seorang wanita? Aku tidak akan bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami, Umi," ungkap Alvin dengan wajah memelas.

"Bukankah nanti kalian akan mengenal satu sama lain? Dan berbicara mengenai cinta, bukankah akan tumbuh seiring berjalannya waktu? Kau pasti bisa menunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami sekaligus imam baginya. Jadilah pria sejati, Nak. Mungkin saat ini kau menganggap perjodohan itu adalah sebuah kutukan. Namun, jika kau mengenalnya lebih jauh, kelak kau akan menyebutnya sebagai anugerah."

Bujukan Umi Huraira dianggapnya sebagai angin lalu. Alvin tetap tak setuju untuk menikahi Khalifa.

Sialnya, ia tak berani mengutarakan isi hati ihwal rencananya bersama Rukaya. Sebab, Alvin takut mengecewakan dua orang kesayangannya itu.

Alvin memang tak terima dijodohkan, tetapi ia tak tega menyakiti hati orang tuanya.

"Persiapkan dirimu, besok pagi kita akan menemui orang tua wanita itu." Ilham telah membuat keputusan mutlak tanpa menunggu jawaban Putranya.

Sedangkan Alvin sendiri hanya bisa pasrah menerima keadaan. Tentu ia percaya, bahwa kedua orang tuanya tak akan mungkin menjerumuskan dirinya bersama wanita tak baik. Namun, Alvin juga tak bisa mengelak hati nuraninya, bahwa ia hanya menginginkan Rukaya yang menjadi istrinya.

Wanita itu adalah cinta pertama sekaligus terakhir setelah mereka bertemu di pesantren tiga tahun lalu.

Pertemuan Dua Keluarga

Suara bedug subuh nyaring terdengar, serta dilanjutkan dengan suara adzan berkumandang.

Setengah jam kemudian langit pun berganti warna, dari yang gelap gulita perlahan bercahaya.

Embun pagi mulai menyapa rerumputan depan rumah. Sedangkan angin bertiup cukup kencang.

Terdengar suara siulan burung di atas pohon, seolah menari girang kala menyaksikan calon pengantin pria memasuki area pekarangan rumah. Dia baru saja kembali dari surau untuk menunaikan ibadah.

Alvin Ilham, pemuda tinggi nan gagah perkasa. Perawakannya yang sederhana, meski berasal dari keluarga berada, tak membuatnya besar kepala. Itulah sebabnya banyak satri yang tergila-gila padanya.

Namun, cinta pria berusia dua puluh enam tahun tersebut hanya untuk Rukaya. Gadis berhijab yang selama tiga tahun terakhir menghiasi hari-harinya.

Di dapur, terdengar suara air mengalir dari keran wastafel. Umi Huraira baru saja membersihkan piring kotor.

Hari ini dia yang bertugas menunaikan kewajiban di dalam rumah setelah asisten rumah tangganya pulang kampung karena adiknya mendadak masuk rumah sakit.

"Assalamualaikum," ucap Alvin, berdiri di belakang pundak Umi.

"Waalaikumussalam. Kamu sudah kembali dari masjid? Abah, mana?" sahut Umi Huraira.

"Ada di luar, mungkin lagi ngasih makan burung," jawab Alvin sedikit bermalas-malasan.

Hari ini adalah waktu yang ditentukan Ilham untuk berkunjung ke rumah Ibrahim, sahabat lamanya.

Rencananya mereka hendak memperkenalkan Alvin dan Khalifa sebelum menggelar khitbah atau peminangan. Dengan kata lain, Alvin dan Khalifa tengah menjalani proses ta'aruf.

Sebagai insan yang paham tentang agama, Ilham dan Ibrahim tidak menginginkan Putra-Putri mereka berpacaran. Sebab, islam tidak mengenal demikian.

"Kok cemberut sih calon manten?" goda Umi Huraira.

Umi paham betul perangai Putra bungsunya itu. Meski tak setuju, ia tetap akan menunaikan perkataan kedua orang tuanya. Tentu saja karena bakti yang dijunjung tinggi.

Bagi Alvin, surga terletak pada kedua orang tua. Maka tak ayal ia menuruti semua perkataan mereka, meski dalam hati terluka.

"Cepetan mandi sana, bentar lagi Abah selesai," imbuh wanita berusia empat puluh satu tahun tersebut.

"Umi, apakah proses ta'aruf ini tidak bisa ditunda dulu sampai bulan depan? Entah apa yang ada dalam pikiran Alvin, hingga ia hendak menunda proses ta'aruf tersebut. Sedangkan Ilham telah memutuskan segalanya semalam.

Tampaknya Alvin hendak mempersiapkan diri untuk memperkenalkan Rukaya kepada kedua orang tuanya.

"Kata Rosulullah, perempuan yang terbaik adalah bila engkau melihatnya menyenangkanmu, bila engkau perintah mematuhimu, bila engkau beri janji mengiyakanmu, bila engkau pergi ia menjaga dirinya dan hartamu dengan baik. Maka jangan sia-siakan wanita seperti itu, Nak," papar Umi penuh maksud.

"Apakah menurut Umi, gadis yang akan menjadi calon istriku persis seperti yang dikatakan Rosulullah? Hatiku akan senang bila melihatnya, serta menepati janji, dan menjaga diri serta hartaku bila kelak aku pergi ke suatu tempat untuk berdakwah? Tidakah Umi terlalu percaya diri untuk hal ini?" Tampaknya Alvin meragukan kepribadian Khalifa.

Memang wajar, karena insan itu tinggal berjauhan, meski pernah satu pesantren. Namun, baik Alvin maupun Khalifa, keduanya sama-sama tak saling mengenal.

"Percaya deh sama Umi, kau tidak akan menyesal ta'aruf dengannya."

"Seminggu lagi kita akan melakukan khitbah." Ilham datang dengan sejadah di pundak kanan. Baru saja ia memberi makan burung peliharaannya pasca kembali dari surau untuk menunaikan sholat subuh.

"Mengapa tidak sekalian langsung duduk ke pelaminan saja? Bahkan kami belum bertemu. Kok Abah sudah memutuskan untuk khitbah?" protes Alvin.

"Oh, jadi kamu mau langsung menikah? Boleh, Abah justru lebih setuju bila kita langsung khitbah dan menikah. Dengan begitu dia akan menjadi menantu Umi dan Abah secepatnya," kata Kiayai kondang tersebut.

"Abah." Alvin pun mulai merengek manja selayaknya anak kecil yang meminta permen kepada orang tuanya.

"Ketahuilah, Nak. Apapun yang dilakukan Abah dan Umi adalah untuk kebaikanmu. Tak ada orang tua yang berniat menghancurkan masa depan anak-anaknya." Ilham memegang pundak Alvin seraya menatap penuh kasih.

"Bukannya untuk kebaikan Umi dan Abah?"

"Alvin!" Kali ini Ilham meninggikan suara, membentak Sang Putra yang terkesan membangkang padanya.

Ini adalah kali pertama Alvin bersikap tak wajar terhadap Abah dan Uminya.

"Bukankah semalam kita sudah sepakat, bahwa hari ini kita akan berkunjung ke rumah calon mempelai wanita? Lalu mengapa sekarang kau masih memprotes keputusan Abah?" Detik-detik menjelang kepergian mereka, Ilham dan alvin berselisih paham.

Alvin yang ternyata berubah pikiran, sedangkan Ilham tetap kekeh pada keputusannya.

"Pokoknya Abah tidak mau mendengar alasan apapun lagi darimu. Sekarang persiapkan diri, kita akan berangkat sekarang juga!" Lemas sudah lutut Alvin tatkala Ilham mengultimatum dirinya.

Keputusan pria empat puluh tujuh tahun tersebut sudah bulat. Tekadnya begitu kuat, meski Alvin bersujud memohon padanya.

Kemudian Ilham masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. "Apa Umi bilang, jangan membantah keputusan Abah. Lihat hasilnya, kau jadi sakit hati, kan?" Umi menghampiri Putra bungsunya itu. Dengan suara lemah lembut, ia menasehati Alvin yang hendak meneteskan air mata.

Kini ia tak berdaya, Abah telah memutuskan masa depannya bersama gadis yang belum pernah ia kenal.

Sementara itu, di rumah Khalifa. Tampak Ibrahim dan Bi Atun beserta beberapa kerabat mereka sibuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk menyambut kedatangan keluarga calon mempelai pria.

Ada yang menyiapkan cemilan, minuman, serta merapikan ruang tengah yang nantinya akan dijadikan tempat pertemuan Khalifa dan Alvin.

Sedangkan Khalifa sendiri tengah meratapi nasib di dalam kamar. Di sana ia menangis tersedu-sedu.

Bukan karena tak ingin dijodohkan, melainkan karena impian yang terpaksa harus pupus.

Dia adalah Anak yang berbakti. Tidak masalah bila Abah menjodohkan dirinya dengan pria asing. Sebab, pilihan Abah adalah sudah tentu yang terbaik. Namun, pendidikan tetap diutamakan.

Akan tetapi, sayangnya impian untuk menimba ilmu di negara Mesir harus terkubur dalam-dalam bersama hadirnya Alvin dalam hidup wanita cantik tersebut.

"Umi." Dan Khalifa hanya bisa pasrah sembari menyebut nama mendiang Uminya.

Satu jam kemudian, Keluarga Alvin pun tiba di rumah Khalifa. "Assalamualaikum," ucap Ilham begitu berdiri di depan pintu kayu rumah Ibrahim.

"Waalaikumussalam warohmatullahi wabatokatu," sahut Ibrahim, menyambut kehadiran sahabat lamanya itu.

Keduanya pun berjabat tangan sebelum akhirnya salingberpelukan,  seolah hendak melepas rindu.

Sedangkan bersama Umi Huraira, Ibrahim mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Sementara dengan Alvin ia melempar senyuman sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk berjabatan.

Sebagai insan yang taat dan paham agama, Alvin pun mengalami calon mertuanya itu dengan penuh kesopanan.

"Apa kabarmu, Tua?" tanya Ilham, menyebut nama panggilan kesayanganya kepada Ibrahim.

"Alhamdulillah aku baik, Tik," sahut Ibrahim, membalas menyebut nama panggilan Sang sahabat lama.

"Ayo masuk, jangan hanya berdiri saja di depan pintu." Setelah itu Ibrahim mempersilahkan Ilham beserta keluarganya untuk masuk ke dalam rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!