NovelToon NovelToon

Wirasti The Clairvoyance

Rumah Villa di bawah Harga

Sebut saja rumah villa, memang terlihat seperti villa tetapi bangunan lawas dan kelewat bersahaja. Terbengkalai? yep, sekilas memberi kesan begitu.

Wirasti memberi satu tafsiran bahwa rumah kosong seakan tidak bertuan itu mungkin telah lama sekali dibiarkan terbengkalai.

"Huft? lihat saja di sana sini nampak mulai rapuh, bagian bangunan sisi kanan nyaris ambruk. Bagian jendela dan pintu malah terlihat keropos, astajiiim ..." Wirasti terpekik kecil, sambil berlompatan mencari pijakan yang tepat agar tidak terperosok pada semak-semak tebal persis di muka serambi depan rumah villa.

****! pekik Wirasti lagi, rupanya telah salah berpijak.

"Ya, kan?" dengusnya agak kesal. Rerumputan menebal di pinggiran teras nampak menyamarkan keadaan sekitar, karuan ketika salah pijak tubuhnya langsung oleng!

"Nggak menutup kemungkinan bisa-bisa ada reptil tahu-tahu ngringkel di situ!" ujarnya sambil bergidik, ngeri.

Siang itu? Wirasti memang secara khusus mencuri waktu plus menyempatkan bertandang ke rumah villanya.

Eits, rumah villa?

"Sudah kubilang juga apa, huft!"

"Aku menyebutnya rumah villa,"

"Dari bentuknya tuh!"

Begitu orangtuanya mengatakan dan menyatakan telah, deal! bahwa pelunasan rumah terbengkalai itu telah beres. Wirasti pun memutuskan diam-diam ingin mencuri start, melipir sendiri ke rumah villanya.

Rumah berpagar setinggi dada orang dewasa itu nampak gerbangnya tergembok, tetapi Wirasti malah mencari jalan memutar.

Rupanya ada celah di sisi bangunan, untuk kesekian kalinya pekik kecil Wirasti terdengar lagi? "Astajiiim ... " begitu pandangannya terantuk pada celah pagar setengah bata namun tinggal menunggu ambruknya!

"Ah, betul-betul bapakku nanti harus keluar duit banyak untuk merenovasi semua bagian yang sudah aus!" Wirasti seperti sedang ngedumel.

Wirasti menyingsingkan blouse gombrongnya tetapi model setengah kemeja maskulin. Sambil sesaat menghentakkan sebelah kakinya yang terasa pegel, karena sedari tadi menyelusuri pinggiran teras dari ujung ke ujung sementara salah satu kaki bertumpu kuat supaya tidak jatuh!

Astaga, Wirasti cukup pemberani juga? walau vibesnya siang bolong tetapi kalau situasinya harus ditempuh sendirian?

"Nggak merinding, hei?"

Wirasti nyengir!

Bayangkan rumah villanya berada masuk kampung keluar kampung, lokasi sekitar sepi. Sumpah!

Hanya rumah villa saja yang terlihat bertengger di sana!

Sekitarnya hanya berupa kebun, iya kebun atau pekarangan milik penduduk.

Bahkan beberapa sudut nampak terdapat rimbun rumpun bambu, hiii? sepintas terekam di kepalanya aroma mistis?

Tahayul, eh!

"Sarang ... " celetuk ringan bibir Wirasti terdengar asal? bayangan mitos seram seputar rimbun hutan bambu berseliweran meresahkan pikirannya seketika?

"Eh, maksudku sarangheyo!" kekeh Wirasti kali ini benar-benar asal ceplos!

Tetapi, jika dicermati lagi dan lebih detil? tidak perlu melibatkan insting spesialnya. Sepintas perfomance bakal rumah hunian keluarganya sekian pekan ke depan?

Sempat membuatnya berpikir, lain? ups apakah itu?

"Hih, apes banget! kalau dipikir-pikir ngapain ortu pilih rumah terisolir begini?" cetus Wirasti, heran?

Tetapi? Wirasti seperti diingatkan kembali. Hei, bukankah ortu juga pernah bilang, "Rizki nomplok," kata beliau.

Pasalnya rumah villa bisa dibeli dengan harga? ya, di bawah harga, eh!

Nah, lho?

"Apa gue bilang, emphh?"

Ya, sudah! let's go!

Wirasti pun terus melakukan penelusuran sendirian siang itu. Bermaksud curi start ketika orangtua dan adik laki-lakinya belum samasekali berkunjung ke rumah villa.

Lewat samping rumah itulah meski gerbang digembok, yaelaa? gemboknya saja sudah karatan.

"Pantesan ya emang susah dibuka," kesaksian Wirasti kemudian ambil jalan muter!

Wirasti sosok perempuan beranjak dewasa tidak kaleng-kaleng, pemberaninya tersebut sejak bocil. Selain hobi klutusan anggap seperti kelakuan ngebolang dan psstt ... ada sisi keistimewaannya tuh!

Hei, nona?

Wirasti menajamkan penglihatannya?

Woeyy! terpukau sekian detik tatkala sepatu casualnya menyentuh pelataran tengah, Wirasti tengah berada di posisi bagian rumah tepat di tengah-tengah.

"Assalamualaina," sapa Wirasti, bahkan tadi juga sudah berkali-kali mengucap salam ketika yang dituju adalah suatu lokasi tidak berpenghuni.

Pandangan Wirasti pun berkeliling, menyapu hampir semua penjuru. Perasaannya langsung, tratap!

Merasa langsung ada yang berdesir, Wirasti hanya mencoba berinteraksi dengan hawa tidak enak yang pertama kali menyambutnya.

Perlahan Wirasti mulai merasakan, ada suatu tekanan yang mencoba mengintimidasi dirinya. "Sial," rutuknya.

Wirasti langsung merasakan sekitar areal menyimpan aura tidak enak, "Terlalu banyak hal yang bersarang di sini ... " gumam Wirasti agak was was?

Bukan apa yang ia lihat, melainkan apa yang ia rasakan. Merasakan dan melihat yang kemudian ia lakukan sudah tentu dengan cara berbeda.

Wirasti mundur selangkah, sambil menghembuskan napas.

Sungguh, visual yang kemudian bermunculan membuat dirinya shock walau sekitarnya masih suasana siang bolong!

"Apa yang bakal kuhadapi nanti? Secara ya ... sekadar survey kecil-kecilan begini saja sudah rupa-rupa yang bermunculan ... "

Wirasti berdiri, cemas.

Yep, bukan cemas karena mencemaskan dirinya sendiri karena dilanda sesuatu yang tiba-tiba menciutkan nyalinya?

Oh, tidak! tidak! Wirasti tidak mau dibilang nyalinya ciut!

"Aku nggak secemen itu!" hardiknya, muka imut manis itu langsung cemungut!

Meski sekilas? Wirasti yang menolak anggapan bahwa dirinya langsung ciut, sontak merasa tertantang!

"Justru aku mulai memikirkan banyak hal!" desisnya, Wirasti pun mengalihkan pandangannya ke lain arah?

Astaga, refleks bibir Wirasti dremimil melantunkan kalimat doa. Ber-istighfar sambil menyipitkan mata agar penglihatannya lebih jelas, keheranan Wirasti semakin memuncak.

"Di sini?"

"Spot!"

"Spot wingit,"

Ya, insting Wirasti cepat bergerak. Tidak perlu menunggu terlalu lama beberapa visual seakan tengah berebut? ngintip-ngintip dari kejauhan!

Bahkan yang berani mendekati dirinya pun tanpa segan memperlihatkan eksistensi?

Wirasti tanpa keder masih berdiri di sudut halaman tengah tanpa bergeming sementara sekian detik itu seakan dirinya telah dikepung oleh mereka yang tidak kasatmata.

Bukan Wirasti kalau tidak seberani itu, cukup bernyali ketika harus menghadapi hal-hal di luar nalar!

Itulah rupanya cara Wirasti menjajagi suatu keadaan yang belum dikenal sebelumnya.

Dengan dirinya lancang curi start sebelum orangtua dan adik laki-lakinya berkunjung ke rumah villanya, ternyata Wirasti sudah terlebih dulu melipir bahkan mengenali detil-detil yang seharusnya dihindari setiap orang.

Itu dia, Wirasti!

Bukan untuk menantang bahaya, tetapi aksi nyerempet-nyerempet seperti itu? Apa bukan membahayakan dirinya?

Sekali lagi Wirasti tidak menunjukkan sikap keder samasekali, masih dengan sikap penuh ketenangan menghadapi bermacam visual yang berada di sekitarnya.

"Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, izinkan aku berada pada teritori kalian. Aku datang tidak untuk bermusuhan," sengaja Wirasti mengatakan seperti itu, sebagai sapaan pertama dirinya pada mereka.

Apakah dengan sikap dan keterbukaan yang ditunjukkan Wirasti pada mereka yang seolah mengepungnya itu mendapat respons?

Wirasti pun hanya bisa mengangkat bahu, "Ya, entahlah!" sambil berkata seperti itu? Wirasti berniat membalik langkah dan segera ngeleos pergi.

Huft, sungguh? sekalipun sanggup berada pada teritori mereka tidak urung Wirasti merasa ngap bin gerah selama berada di tengah- tengah mereka.

"Bagaimanapun mereka tetep saja kaum astral!" ujar Wirasti.

"Keberadaan mereka cenderung di tempat-tempat wingit? "

"Aku sudah curiga sejak awal tadi,"

"Atau bahkan, jauh sebelum tiba di sini. Ketika orangtuaku mengatakan kita mempunyai rumah villa ... "

Wirasti pun nyaris terbahak, ketika timbul isengnya menambahkan, " Rumah villa sudah murah, di bawah harga, malah dapat bonus hantu!"

Seketika Wirasti ke-distract, berarti? "Mulai sekarang akan timbul kejutan-kejutan, lebih-lebih jika nanti menetap dan mulai tinggal di rumah villanya ..."

"Aiishh? akan diribetkan oleh mereka," racau Wirasti kebayang di jidatnya jika rumah villa tersebut akan ditempati.

"Yeah, urusannya akan sedikit ribet emang!" ujar Wirasti dengan mimik serius.

Tebak tepat itu cepat atau lambat akan terbukti. Kecuali kalau tidak bermaksud menempati rumah villa tersebut dan terus membiarkan terbengkalai selamanya?

Hem, apa boleh buat? sang ortu sudah kadung tertambat dan menyukai rumah villa karena di bawah harga itukah?

"Di bawah harga? jatuhnya malah ketiban sial? berjibaku menghadapi teror mereka?" dengus Wirasti kendati dirinya tidak akan terlalu meladeni atau menggubris mereka nantinya.

Dalam pandangan kritis Wirasti kedua ortunya mungkin hanya berpikir dari segi, murah? samasekali tidak terbesit di balik rumah villa yang dibiarkan belasan tahun kosong terbengkalai? insting Wirasti sudah tidak enak terus.

"Astaga tanpa berpikir, bahwa harga yang murah tersebut ternyata ketrebelan bonus luar biasa?" cebik Wirasti, senyumnya pun langsung kecut?

Ck? tidak kecut bagaimana, coba? mereka yang tidak tahu menahu, yang tidak memiliki kemampuan ekstra, mereka yang serba awam? yah, tahunya hanya sekadar rumah kosong belasan tahun? sudah titik.

Tetapi, bagi Wirasti? beda lagi, bukan? ketajaman batinnya memberinya suatu clue! dirinya harus lebih mawas. "Sebetulnya ada apa?" pikir Wirasti sebelum mengendus keadaan sekitar.

Teka-teki tersebut belum terjawab, kalau bukan Wirasti harus mengacak-acak, menelusur, mengerahkan kemampuan ekstranya yang sebetulnya belum seberapa.

Rumah villa yang terbeli dengan harga di bawah PJOK setempat tersebut, kenapa banting harga? yah, gampang saja kan jawabannya? karena, menyimpan sesuatu.

Orang lain tahunya hanya sebuah rumah sekian lama dibiarkan kosong terbengkalai, pasti diliputi aura negatif dan spot angkerlah!

Well, asumsi semacam itu ya tidak salah. Lantas? Wirasti satu-satunya di internal keluarga tersebut yang akan menghadang suatu challenge? ishh!

Penghuni Lain Rumah Villaku

Astaga tanpa berpikir, bahwa harga yang murah tersebut ternyata ketrebelan bonus luar biasa?" cebik Wirasti, senyumnya pun langsung kecut?

Diam-diam dengan senyum kecutnya itu Wirasti mulai mendeteksi rumah terbengkalai yang kini berada dalam jangkauan radar gaibnya, sekalipun tidak secakap orang lain dengan segenap kemampuan yang mumpuni.

At least? ya, setidaknya Wirasti bisa sedikit-sedikit merasakan hawa tidak enak di sekelilingnya yang sudah terkontaminasi aura-aura yang memicu energi pasif menjadi mulai aktif.

Wirasti terperangah? yep, tentu saja tiap kali dirinya bagai ketimpuk sesuatu.

"Gila," pikirnya sambil mencoba menduga-duga? sudah berapa lama rumah villa tua ini ditinggal penghuninya, heh?

"Nggak sayang apa?" Wirasti menggerutu sendirian.

"Punya rumah seperti ini?"

"Dibiarkan begitu saja, hem?"

"Huft, terbengkalai? tidak terurus? sekaya apa pemiliknya? lalu, ke mana para ahli warisnya misalnya sang empunya sudah tidak ada?"

"Sungguh mubazir dah!"

"Dibiarkan terus tidak terawat? bukan hanya jadi sarang laba-laba tuh? keadaan rumah tambah lapuk? jelas akan disukai dan jadi sarang tawon, eh? sarang burung sriti? huh, mending sarang walet?" Wirasti terus nyerocos sendiri tidak tentu arah, bisa-bisanya merepet seperti nenek-nenek, chuaks!

"Tapi yang jelas? di sini akan jadi spot, tempat ngumpulnya? emphh ... " Wirasti tidak meneruskan kalimatnya, karena dikagetkan suara pek! pek! pek! sesuatu? oh-ho, itu kelelawar!

Bukan main? keheranan Wirasti bukan tipis-tipis lagi, melainkan kian menebal!

"Rumah? eh, di sini sudah mirip bonbin! satwa berkeliaran semaunya, itu pasti!" dumal Wirasti sambil tangannya sibuk membetulkan tali maskernya yang nyaris melorot.

Di luar sepengetahuan Wirasti, sebetulnya situasi kondisi sekitar masih asri dan sedikit liar memang. Coba saja diantara gerumbul tanaman yang tidak pernah terpangkas?

Wirasti saja yang belum cermat meneliti, ular hijau atau ular daun sebesar jari kelingking nampak bertengger nyaman menggantung pada tumbuhan hijau, luput dari pandangannya!

Di sudut sana? selain ramai cericit burung kecil-kecil, nampak ventilasi atau lubang angin-angin rumah sebagian dipenuhi sarang burung gereja dan emprit.

Jika malam hari? burung hantu pun ikut andil selain sekawanan kelelawar, tetapi jangan dikira tidak ada binatang lain? kadang secara berkelompok tidak jarang seekor dua ekor, binatang luwak!

"Tinggal tanami saja dengan kopi robusta atau arabic, luwaknya akan datang sendiri!"

Wirasti pun mengibaskan tangannya seakan menangkup angin lewat!

Namun di balik keasrian dan keindahan lingkungan sekitar rumah villanya masih ada hal yang patut diwaspadai?

Wirasti tidak asal main tunjuk, merasa belum waktunya mengatakan sesuatu sesuai penglihatan mata batinnya.

"Kupikir sambil lihat ke depannya bakal seperti apa?"

Survey, di mana diam-diam dirinya menyelinap. Tanpa diketahui siapapun, jangankan orang lain internal keluarganya sendiri saja Wirasti tidak akan diketahui.

Berdasarkan realitas yang ia ketahui dan ia cermati, ada beberapa yang tiba-tiba menjadi satu ganjalan besar!

Wirasti tidak menyangka samasekali, jika rumah villanya menjadi satu hal meski diakui sendiri sangatlah langka dan unik, tetapi tiba-tiba terbayang olehnya?

"Bagaimana jika menimbulkan suatu, teror?" seketika Wirasti sempat grogi!

Grogi bukan dari internal dirinya sendiri, melainkan dikhawatirkan lama-lama akan merembet hingga pada tingkatan serius.

"Bisa, runyaaam ..."

'Bii ... bi-sa, iyaa kacau parah nih?"

Sungguh kekacauan yang beralasan, Wirasti sempat sedikit memperoleh gambaran walau belum sepenuhnya dirinya yakin. Tetapi, astaga?

"Mereka, iya mereka itu ngumpulnya di rumah villa ini!"

"Iihh, berupa apaan, nona?"

Kening Wirasti berkerut!

Wirasti tidak mau berspekulatif, apalagi main tebak sekenanya. Walau imbas dirinya menelusur memang tertangkap olehnya hingga kapanpun sebetulnya bisa saja mengatakan apa adanya.

Ups, apa adanya?

"Yakin?"

"Huft, bisa gonjang ganjing tuh!"

"Ngomong secara apa adanya nggak sembarang situasi atau kondisi bisa menerima, laah kalau internal keluargaku? gimana kalau ada yang shock?"

"Astaga, itu paling ibunda tercintamu. Iya, kan? beliau terlalu jirih ... "

"Ho'oh, emang!"

Nah lho?

Untuk sementara sepanjang rumah villanya siap direnovasi, Wirasti pun akan menutup apapun yang mengganggu ketenangan pikirannya, termasuk sesuatu yang mulai menghentak-hentak dan itu sudah jelas sekali akan ngantri mengusik dirinya.

Sepulang dirinya dari melipir diam-diam, alias telah lancang mencuri start sementara semua keluarga internalnya belum tahu menahu karena belum samasekali berkunjung ke rumah villanya.

"Hei, nona? apakah ada yang mengganggumu?"

"Minimalnya membuat hati dan pikiranmu terusik?"

"Maksudnya yang berasal dari rumah villamu itu?"

Wirasti langsung menggeleng, seingatnya sejak sehari lalu dari sana, "Enggak tuh," sahutnya.

"Tumben?"

Wirasti karuan terperangah, "Heh, tumben?"

"Iya, biasanya mode begitu langsung ada yang caper-caper, kalau mujur malah nempel-nempel!"

Wirasti langsung ngakak! "Emang gitu?"

"Ya, suka gitu!"

"Tapi, sumpah aku kok enggak tuh!"

"Bagus sih, nggak ketempelan, nggak juga kebawa pulang!"

Wirasti yang nyaris bermenit-menit di sana kemarin toh juga bisa pulang dalam kondisi fit, "Nggak kurang suatu apapun," sentilnya tanpa nada humor, apa yang dikhawatirnya secara mistis bisa mempengaruhi atau menganggu tanpa disadari, ternyata semuanya tidak terbukti.

Secara tak kasatmata Wirasti pun mengakui, bahwa rumah villanya memang dalam kondisi tidak bersih. Artinya? tidak bersih karena sekian lama dibiarkan kosong tidak berpenghuni.

"Persisnya tidak jauh beda dengan apa yang kulihat dengan mata kepala sendiri,"

Dari omongan seperti itu bisa diukur, bukan?

Kini? sebetulnya tidak ada salahnya membentengi dirinya sendiri, mengingat apa yang ia lihat?

Wirasti pun mengusar kepalanya jika mau berangkat bobok tanpa ciput, bandana, atau yang lainnya apalagi hijab!

Dengan begitu rambut panjang sebahu nampak dengan model bersurai itu, dibiarkan kini sedikit awut-awutan.

Wo-ho, lantas timbul isengnya?

Malam itu? lampu kamarnya dialihkan pada lampu yang sedikit redup. Wirasti pun siap berdiri di muka cermin, sedetik? dua detik? hingga ... aww!

****? insting Wirasti perihal suatu hal terkait rumah villanya, "Ada betulnya tuh?"

Kendati dirinya tidak terganggu dalam mode mereka mau caper, narsis, pansos dan sebagainya?

Wirasti dengan tenangnya berusaha tidak bergeming, memberi space bukan berarti dibiarkan mengacak semua keadaan lantas mereka bisa keluar masuk!

"Oh, tidak! tidak begitu dong konsepnya!" tangkis Wirasti.

Wirasti segera membeberkan sesuatu. Di ujung tengah malam ketika dirinya mulai bersentuhan dengan sesutu?

Hei, "Jangan beringsut! diamlah nona," entah seperti ada yang mengajaknya melakukan itu!

Bukan guempuer, atau mentalnya down seketika dibuat ngap-ngap karena kaget setengah mati?

"Siapa kamu?" langsung Wirasti melontar tanya, itu pun secara to point!

Entitas yang datang tak diundang itu? sepintas menyenyumi dirinya, gawat! pikir Wirasti tidak ingin dirinya ditandai!

Wirasti seolah mewakili orang-orang di sekitarnya, terutama internal keluarganya yang tidak tahu menahu perihal di balik keberadaan rumah villanya.

Ortu dan adiknya mungkin seperti umumnya yang tidak tahu persis suatu hal dari sisi atau kacamata sebagaimana Wirasti dengan kemampuan supranaturalnya, akan lurus-lurus saja tanpa pernah berpikir lain.

Wirasti seperti punya feel bahwa yang sedang dihadapi tidak lain salah satu penghuni rumah villanya, "Atas kepentingan apa menemuiku?" tegur Wirasti, bukan lagi sapaan atau basa basi.

Entitas itu hanya menatapnya, tanpa mengucap sepatah katapun.

Tiap menghadapi astral semacam dia setidaknya harus punya nyali menggencet terlebih dulu, jangan sampai justru di pihak yang tergencet!

"Kalau tidak ada kepentingan silakan pergi," usir Wirasti, nada suara datarnya menyiratkan suatu ketidakramahan.

Wirasti bahkan siap dengan segala kemungkinan, cukup pede dengan meminta entitas itu tidak menganggunya.

Hei, kalau sesama mahluk kasatmata mungkin sudah belingsatan. Apalagi cara Wirasti selain jutek nampak dingin sekaligus mematikan langkah lawan, skakmat?

"Peduli setan," dengus Wirasti, dengan juteknya.

Rumah villanya? yang kemarin dikunjunginya memang secara pandangan dengan penglihatan mata batin tidak seperti yang dilihat orang awam, menyimpan banyak energi dan residu-residu yang tertinggal di sana.

Jika itu suatu energi? sesuai siapa saja mereka yang menghuni, sedangkan residu? menunjukkan bahwa area rumah villa ternyata memberi sebaran sisa-sisa guratan masa lalu.

Memang, ada endapan yang tertinggal di sana jauh sebelum di area tersebut dibangun rumah villa. Hem, sebesar apakah tantangan yang akan dihadapi Wirasti dan keluarganya nanti?

Intuisi Wirasti

Untuk kedua kalinya? Wirasti berada di muka gerbang pintu berkarat yang masih tergembok rapat, setelah memarkir motor maticnya persis depan pintu berpagar setinggi dada orang dewasa.

Lalu, Wirasti membuka paksa pintu besi berkarat hingga menimbulkan suara kretak kretek.

"Widiih? seperti rumah mak lampir tuh!"

"Mana gemboknya sudah berkarat,"

Seingat Wirasti kemarin ketika semua rumah dibersihkan secara total, bagian luar dibabat habis semua rumput dan semak.

Kemudian semua bagian dalam rumah disapu dan dipel habis-habisan hingga tidak menyisakan kotoran sedikit pun, sengaja kemarin mendatangkan tukang kebun secara khusus diminta membersihkan rumah villanya.

Alhasil? kondisi rumah terbengkalai seketika sedikit kinclong.

Apalagi ketika dari pihak PLN diminta membenahi instalasi rumahnya, serta pembenahan air PDAM sekaligus bersamaan didatangkan ke rumah.

"Huft, bener-bener hari yang sibuk!" ujar Wirasti keselimur sudah tidak sempat memikirkan hal-hal lain?

Apalagi, tentang hal yang sedikit banyak menghantui dirinya. Ingatannya kadang masih melayang perihal temuannya? rumah villanya dengan berbagai dugaan yang beralasan.

"What?" akan timbul lontar satu kata demikian, jika tidak benar-benar yakin? minimalnya harus seperti dirinya ke-distract terlebih dulu?

"Jika dugaan itu nyerempet suatu yang ... " Wirasti diam sejenak, tidak melanjutkan kata-katanya.

"Hei, nona?" teguran kecil seakan mengingatkan Wirasti agar tidak meracau semakin tidak karuan, itu hanya akan menularkan suatu kecemasan.

Monolog pun terhenti? ya, banyak sekali hal yang tiba-tiba berseliweran di rongga kepalanya.

Sensibility-nya kelewat kebablas, atau? yep, Wirasti kadang merasa lepas kontrol. Sejak dirinya secara lancang melipir sendiri sidak diam-diam, ada temuan tidak terduga bahkan sempat ada yang menguntitnya!

Derum kendaraan lain memasuki area perkampungan rumahnya, nampak ibunya dibonceng Wisnu adiknya tidak berapa lama sang bapak mengikuti di belakangnya dengan mobil pick upnya.

Wisnu dengan sigap setelah turun dari motornya bergegas membuka seluruhnya gerbang agar pick up bapaknya bisa langsung masuk halaman.

Kesibukan pun nampak terlihat di halaman, sepagi ini hingga seterusnya rupanya ortu telah mendatangkan beberapa pekerja untuk menangani dan merenovasi rumah yang telah lapuk dimakan usia.

Wirasti langsung mengikuti ibunya menuju ruang bagian belakang. Seharian ini? bakal sibuk membantu ibunya seakan memulai pekerjaan dapur umum, beberapa bahan makanan siap dimasak

"Hanya untuk hari ini saja, besok dan seterusnya kita belikan makanan matang saja kecuali hari libur sekolah baru bisa menangani konsumsi untuk mereka ... " ibu mengatakan demikian sambil meminta Wirasti menurunkan semua belanjaan di meja dapur.

Dua hari lalu? rumah villanya sudah dibersihkan, bahkan beberapa barang sudah mulai diangkut kemari.

Dengan begitu? rumah villanya mulai berpenghuni untuk sementara para pekerja yang akan merenovasi rumah di tempatkan dan menginap hingga renovasi nanti selesai.

Ada kelegaan di hati Wirasti, setidaknya rumah terbengkalai tersebut mulai ditempati.

Bahkan bapak sempat menginap di sana semalam, dengan tujuan menyediakan waktu khusus untuk niat merukyah rumah yang konon bertahun-tahun dibiarkan oleh si empunya!

"Aku berharap semuanya dalam lindungan Allah SWT," ucap Wirasti, berharap sekali anasir jahat atau energi negatif di rumah villa tersebut step by step menyingkir.

Semula memang sempat pesimis melihat kondisi rumah yang sekejap nampak suram tidak ber-aura kecuali aura negatif!

"Nggak negatif gimana," desisnya sambil celingukan, tetapi sejak renovasi rumah berjalan perasaan was was yang timbul tenggelam dalam dirinya mulai netral.

Tetapi tidak menutup kemungkinan? "Bisa saja akan terjadi sesuatu yang tidak terduga," pikiran seperti itu tiba-tiba terbersit!

"Ah, semoga tidak!" harap Wirasti.

Masa renovasi pun berjalan dari hari ke hari, minggu ke minggu hingga tidak terasa sudah hampir satu bulan lebih. Rumah villa pun seakan disulap menjadi lebih terlihat rapi dan serba nampak baru!

Memang tidak mengubah secara keseluruhan, hanya pembenahan di sana sini termasuk mengubah struktur ruangan sesuai keinginan ortu.

Wirasti dan Wisnu memperoleh ruang kamar yang langsung berhadapan di area tengah, ruang tidur utama berada tidak jauh dari ruang tengah.

Penambahan ruangan hanya terletak di area belakang untuk dapur dan space rileks, tetapi masih nyambung dengan ruang tengah. Memang rumah villa dan sisa tanah tidak terlalu luas, namun juga tidak terlalu sempit.

Tembok benteng mengelilingi dan depan rumah sudah rapat serta lengkap dengan gerbang yang kokoh, "Sudah tidak menyerupai gerbang rumah tua, huft!" cebik Wirasti ingatannya langsung ketika pertama melihat gerbang pintu dengan gembok yang sudah karatan.

"Imej rumah terbengkalai pun, sirna!" bisik Wirasti, sambil terus berharap perubahan secara fisik hingga rumah keluarganya kini terlihat sebagaimana rumah hunian yang layak.

"Bye, bye!" desis Wirasti, sudah sepantasnya kata-kata seperti itu ia ucapkan.

Dihembuskan sesaat napasnya, akan menjadi suatu hal yang melelahkan jika hanya dirinya seorang menghadapi satu dan lain hal tidak terduga?

Namun, apapun risikonya? niat bulat ortunya membeli rumah yang semula kosong dan terbengkalai tersebut bukan tanpa kesiapan mental, bukan?

Mustahil ortunya tidak tahu menahu, minimalnya sedikit sejarah rumah villa sebelum menentukan atau deal menjatuhkan pilihan lalu membelinya?

"Setidaknya?"

"Ya, itu! yang kumaksud. Jika di kemudian hari setelah menempati rumah ini terjadi hal-hal yang timbul dari suatu keanehan? Iya, keanehan yang sudah terendus olehku!" Wirasti nyerocos tentang point rumahnya yang telah mengganggu pikirannya.

"Bukan menolak berpikir rasional,"

"Emang sepintas terpola, agak mistis!"

"Tetapi aku sendiri nggak bisa abai dengan hal-hal demikian, harus gimana dong?"

"Masak diacuhin?"

"Ini kan baru wacana dan kemungkinan terburuk?"

Wirasti paling antusias jika topik bahasan sudah mengarah ke sana, masalahnya kemampuan berpenglihatan mata batin seperti dirinya meski tidak sepenuhnya orang lain yakin, kecuali yang satu frekuensi dengannya.

"Aku mengalami, aku merasakan, mereka ada semua di sini. Lalu, aku harus mengatakan apa?" Wirasti kerap merasa putus asa jika isyarat yang memberinya clue semacam itu dianggap angin lalu!

Namun, sialnya Wirasti sendiri tidak pernah menunjukkan dirinya berkemampuan, minimalnya berterus terang.

"No! oh, tidak! tidak!"

Ya? Alhasil dirinya sendiri merasa kesulitan dan harus menghadapi semuanya seorang diri, "Yaah, mau gimana lagi?"

Wirasti pun akhirnya terlalu pandai berpura-pura, berpura-pura tidak tahu menahu padahal dirinya jelas tahu segalanya? terutama yaitu tadi perihal yang serba tak kasatmata.

Bahkan orang lain, jangankan orang lain internal keluarganya sendiri sejauh ini tidak tahu samasekali tentang sisi dirinya di mata awam seakan pengidap kelainan?

****, kelainan? puiih, Wirasti paling sebal dengan bakat sepersekian indigonya terus disebut pengidap kelainan.

"Emang mereka pikir aku pengidap shizophrenia? setengah orgil? atau sekalian menuju gila, begitu?"

"Sialnya nggak semua orang percaya mistis, kerap malah dianggap meracau!"

"Aku tuh paling sebal!"

Sampai di sini Wirasti refleks menghembuskan napasnya kasar, kemampuan dirinya berpenglihatan batin yang mulai ia rasakan sejak kecil bukan untuk diekspos.

"Aku tidak suka, aku benci!"

"Kupikir kalau bisa orang lain tidak perlu tahu, yaa ... emang buat apa mereka tahu?"

Wirasti pun terbungkam. Bahwa fitrah yang tersemat dalam dirinya sejak merasakan beda dengan orang lain? akhirnya berproses menjadikan seorang Wirasti mulai tahu diri!

Ya, tahu diri dengan caranya tersendiri. Kemudian? semakin berlanjut membawa Wirasti menarik diri dan menjadi seorang dengan tipikal introvert!

Yeah, introvert!

Wirasti pun bertumbuh kembang sesuai nalurinya, fitrah sepersekian indigo tidak menjadikan dirinya pongah. Justru Wirasti lebih merasa agar berlaku lebih hati-hati bahkan terus memupuk dirinya mempunyai karakteristik ingin selalu rendah hati.

Well, terkait situasi yang mendadak tengah dihadapi? ketika ortunya tahu-tahu memutuskan memiliki untuk kemudian membeli property di bawah harga, sebetulnya bagi Wirasti tidak lebih suatu ketidak hati-hatian.

Kenapa begitu? iya, ada kesan agak grusah grusuh. Kedua orangtuanya terlalu antusias, "Ada property berupa rumah villa dilego dengan harga tidak biasanya," dengus Wirasti tak suka.

Tetapi, apa boleh buat? Wirasti maupun Wisnu adiknya tidak bisa berbuat banyak. Itu mutlak sudah menjadi keputusan orangtuanya.

"Nasi sudah menjadi bubur?"

Wirasti pun merasa hanya seorang anak, dan hanya bisa pasrah? bukan hanya harga di bawah harganya, atau rumah villanya. Bukan itu problemnya?

Lalu, apa? Wirasti untuk kesekian kalinya menghembuskan napas kasar. Di rongga kepalanya membelit-belit benang ruwet? intuisinya perihal rumah villanya? ada sesuatu yang akan dihadapi internal keluarganyakah?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!