"Duh, kok gak bisa jalan ya?" gumam Elina panik.
Gadis berkuncir kuda itu menghentikan laju sepeda motornya, lantas melirikkan pandangan ke kiri dan kanan. Sialnya, tak ada satu pun orang yang berniat membantunya. Bahkan beberapa penghuni warung di depannya berdiri, hanya sekadar menatapnya kasihan.
"Ada masalah?"
Sebuah suara membelai telinga Elina. Gadis itu lantas memusatkan pandangan kepada si pemilik suara.
"Iya nih, motor aku gak bisa jalan," keluh Elina.
"Boleh kubantu?" tawar remaja laki-laki itu.
"Tentu saja." Mata Elina berbinar.
Pemuda itu lantas memeriksa sepeda motor Elina. Gadis itu terdiam. Mengamati sosok di sampingnya yang saat ini tengah memeriksa sepeda motor Elina.
"Oh jadi gini, rantainya lepas. Mending kita bawa ke bengkel, habis itu kamu bonceng aku saja. Lagian kita satu sekolahan 'kan?" ujar pemuda itu.
Seketika Elina menatap seragam pemuda itu. Sedetik kemudian, ditepuknya dahi tak berdosa itu. Elina kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ada masalah?" tanya pemuda itu.
"Astaga, aku baru nyadar kalau kita satu sekolahan."
Pemuda itu ikut tertawa.
"Jadi cewek kok gak peka," cibir pemuda itu.
"Dih, apaan sih!"
"Sekarang kamu naikin motornya, nanti aku dorong."
Elina menganggukkan kepalanya dan menuruti permintaan pemuda itu.
"Satu…dua…tiga…gas!"
Sedetik kemudian, hati Elina seperti tergelitik. Tangan kiri pemuda itu menyentuh punggungnya sementara tangan kanannya digunakan untuk mengemudikan motor miliknya. Mati-matian Elina menahan tawanya.
***
Untung saja tidak terlambat! Cowok itu benar-benar menebenginya. Ah baik sekali dia. Elina turun dari motor sport berwarna merah itu. Walaupun sebenarnya, ia merasa risih karena saat ini ia dan cowok itu menjadi pusat perhatian para penghuni parkiran.
Elina melepas helm-nya. Ia lantas membenarkan kuciran kudanya. Cowok itu men-setandarkan motornya. Pandangannya beralih pada jam di lengan kanannya.
"Bentar lagi bel nih, duluan aja, aku nyusul entar."
Elina menampilkan deretan giginya. Bibirnya kelu untuk berucap. Namun, hatinya mendesak agar ia mau bicara.
"Ah..em..pulangnya…gimana?" tanya Elina gugup. Cowok itu terkekeh.
"Santai aja kali. Entar kupulangin ke bengkel deh, aku tanggung jawab kok."
Sekarang Elina merasa menyesal telah membiarkan pertanyaan bodohnya itu melesat keluar dari mulutnya. Tingkat malunya kini meningkat menjadi level dewa. Aduh! Malu!
"Terima kasih ya, titip helm hehehe…."
Elina menaruh helm di tangannya itu ke jok belakang motor. Cowok itu tersenyum lebar. Giginya yang putih terlihat menghiasi wajahnya.
"Tuh cewek kek robot ih, kaku amat hahaha!" gumam cowok itu lantas melepas helm-nya.
Cowok itu menyangking tasnya dan menuju kelasnya dengan langkah santai. Di koridor, ia bahkan sering disapa oleh beberapa cewek. Untuk menanggapinya, cowok itu hanya melemparkan sebuah senyuman yang langsung membuat cewek manapun bisa mimisan.
Di sisi lain, Elina melangkahkan kaki memasuki kelas. Di sana, sudah berjejer para manusia-manusia yang bernotabene sebagai teman sekelasnya. Elina segera mendudukkan diri di samping Raya, teman sebangkunya yang memiliki suara cempreng kayak kaleng rombeng. Raya yang tadinya asyik menatapi layar ponsel itu kini mengalihkannya ke arah Elina.
"Itu muka atau pakaian kotor, lusuh banget!" celetuk Elina.
"El, kamu harus tahu ya, masa chatting aku gak dibales-bales sih!" keluh Raya.
"Palingan doi kamu lagi mesra-mesraan sama pacarnya."
"Yeee, kompor banget sih, El!" seru Raya.
Elina mengeluarkan buku tulisnya. Ia lantas menyunggingkan senyumnya. Diliriknya sejenak buku raya yang tergeletak di atas meja.
"Ya bisa aja kan? Eh...guru ninggalin tugas?" tanya Elina seraya membolak-balikkan halaman buku.
"Gak boleh! Pokoknya doi gak boleh punya pacar, kecuali kalau yang jadi pacarnya itu aku!" sahut Raya.
"Dih! Guru ninggalin tugas kah? Kok tumben gurunya gak masuk-masuk?" tanya Elina.
"Enggak tuh! Bu Suri tadi masuk cuma mau bilang kalau hari ini ada ulangan dadakan."
"Eh kapan masuknya? Kok aku gak tahu?" tanya Elina kaget.
"Salah sendiri berangkatnya kesiangan!" cetus Raya kesal. Elina terkikik.
"Ya udah deh! Cepetan gih belajar, nanti kan ulangan fisika!" ujar Elina.
"Belajar aja sendiri, nanti aku tinggal nyontek kamu, beres!" ucap Raya.
"Dasar bocah!" ketus Elina.
***
Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Bu Suri masuk ke dalam kelas dengan menenteng tumpukan kertas. Seluruh wajah murid kelas X-1 memucat seketika.
"Untuk ulangan kali ini, ibu akan melakukan rolling tempat duduk. Absen genap silakan tetap tinggal di ruangan ini, sementara absen ganjil silakan tunggu di luar untuk menunggu giliran!"
Sumpah serapah keluar dari mulut Raya beserta dayang-dayangnya. Elina tersenyum penuh kemenangan. Dengan begini kan, ulangannya tidak akan bisa dicontek orang lain.
"El, aku keluar dulu ya hiks hiks," ucap Raya sendu.
"Semangat Raya, sukses ya ujiannya. Aku mau ngerjain duluan hahaha!" cetus Elina bangga.
"Dasar aliran cacing pita! Bahagia banget lihat teman menderita. Duh, kloteran kedua rata-rata pada gobl*k tingkat dewa lagi. Gak bisa nyontek hiks hiks," ucap Raya mendramatisir. Elina tertawa terpingkal-pingkal.
"Diam semuanya, yang sudah dapat soal silakan langsung dikerjakan," ucap Bu Suri seraya berkeliling membagikan soal beserta lembar jawabnya.
***
Dua jam telah berlalu. Sekarang saatnya absen ganjil memasuki ruangan untuk ujian fisika. Elina menghela napas lega. Berhubung semalam ia sempat mempelajari materi itu lebih awal, jadi ia tidak merasa sangat keteteran saat mengerjakan ulangan dadakan tadi.
Kelas mulai hening. Sepertinya ulangan kloter kedua telah dimulai. Kalau sudah begini, teman-temannya akan sibuk dengan ponselnya. Elina mendengus kesal. Saat-saat seperti ini hanya sering mengundang rasa bosan.
"Guys, aku ke perpus aja ya, ada yang mau ikut?" tanya Elina kepada teman-temannya yang berada di luar kelas.
"Gue ikut, El, lumayan kan bisa nge-game! Perpus kan sultannya wifi hehe," cetus Surya. Elina memutar bola matanya.
"Duh, game mulu deh! Ada yang mau ikut lagi gak?" tanya Elina.
KRIK…KRIK…KRIK…KRIKK….
Elina menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa sedikit kesal karena terkacangi. Namun bagaimana lagi, ini sudah menjadi kebudayaan di lingkungan teman-teman Elina. Kalau udah ketemu gadget, gak bisa diganggu gugat.
Akhirnya Elina memutuskan pergi bersama Surya ke perpustakaan. Setelah dengan susah payah mendaki tangga, mereka berdua sampai di depan perpustakaan. Elina segera melepas alas kakinya dan bergegas membuka pintu perpus mendahului Surya. Namun saat akan membuka pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Menampilkan sosok pangeran tampan dari kerajaan negeri dongeng. Eh tetapi sepertinya wajahnya gak asing deh.
"Eh!"
Elina terperanjat. Itu kan cowok tadi!
***
"Neraka bocor kali ya?" keluh Raya.
"Jangan ngomong gitu ah. Kalau beneran bocor, yang ada kamu udah gosong sekarang!" protes Elina.
Jam pulang sekolah telah hampir melintas. Hanya tersisa detik-detik untuk memberi tugas bagi yang terjatah piket hari ini. Sedetik kemudian, benak Elina menjadi tidak tenang.
"Ray, boleh numpang anterin pulang gak? Sekali ini aja deh, please!" pinta Elina.
"Duh, gak bisa, El! Aku kan dijemput Mommy, ya kali boncengin kamu, yang ada diapelin polisi," tolak Raya.
"Dih, diapelin," cibir Elina. Raya meringis.
"Ketua kelas, silakan pimpin doa!" seru Bu Guru.
"Sikap sempurna, berdoa…mulai."
Siswa-siswi mulai berhamburan keluar dari kelas. Seperti segerombolan ayam yang dengan suka cita keluar kandang saat pintunya dibuka. Elina menghela napasnya. Dengan ragu, ia pun ikut menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar kelas.
"Kok lama?" sapa seseorang. Seketika Elina menoleh.
"Kamu!" pekik Elina seraya menunjuk sosok yang duduk di kursi panjang depan kelasnya.
"Kok ada di sini? Belum pulang?" tanya Elina.
"Aku kan udah bilang pas di perpus tadi," ucap cowok itu.
Elina menepuk dahinya! Ternyata cowok ini benar-benar akan bertanggung jawab mengantar Elina sampai ke bengkel! Elina kira, cowok itu malah udah pulang duluan.
Flashback:
Elina yang sudah melepas alas kakinya itu bergegas mendahului Surya. Namun saat akan membuka pintu, tiba-tiba saja pintu telah terbuka. Menampilkan sesosok pangeran tampan dari negeri dongeng. Eh tunggu! Elina seperti mengenalnya. Seketika Elina teringat, ah iya cowok itu!
"Kamu…."
Elina menggantung ucapannya. Entah mengapa ia merasa gugup. Cowok itu tersenyum.
"Nanti kutunggu," ucap cowok itu seraya berlalu membawa setumpuk buku paket dari perpus. Elina mengulas senyumnya.
"Woy El! Ngapain lo senyum-senyum hah? Sinting?" seru Surya. Elina melirik tajam ke arah surya.
"Berisik!" pekik Elina lantas masuk ke dalam perpus meninggalkan Surya di luar.
Flashback end.
Cowok itu lantas menggandeng tangan Elina hingga sampai ke parkiran. Elina segera mengambil helm-nya, yang terkait di jok motor cowok itu. Rasa risih menghampiri Elina. Tatapan orang-orang kini seakan terpusat hanya kepadanya. Seperti tidak ada objek yang lebih menarik dibandingkan dengan Elina. Cowok itu menaiki motornya.
"Naik!" ucap cowok itu.
"Hah?" Uh okey, sepertinya Elina kurang fokus akibat rasa risih yang dialaminya.
"Mau pulang gak sih?" keluh cowok itu.
"Mau," sahut Elina.
"Yaudah naik!" cetus cowok itu.
Cowok itu segera mengendarai sepeda motornya setelah Elina. Meninggalkan parkiran sekolah. Melakukan perjalanan menuju bengkel, tempat sepeda motor Elina dirawat. Namun rupanya, perjalanan seperti begitu jauh. Oh tidak. Mungkin Elina hanya merasa risih, karena setiap orang yang berada di sekitar jalur yang dilewati Elina, pasti terpaku. Apa Elina salah? Elina merasa begitu tidak nyaman.
"Emm…kayaknya aku turun sini saja deh," ucap Elina pelan.
Cowok itu tiba-tiba menepi dan mematikan mesin motornya. Jantung Elina berdebar nih jadinya.
"Kenapa?" tanya cowok itu dengan tatapan menyelidik. Elina menghirup napas dalam-dalam.
"Aku risih, kayaknya dari tadi kita dilihatin terus deh," cetus Elina.
"Ya biarinlah, mata juga mata mereka, kenapa harus kita yang sewot."
Sumpah! Rasa-rasanya Elina ingin menyeburkan cowok anjir itu ke danau yang banyak buayanya. Tahan, El, sabar!
"Nyebelin ih!" pekik Elina.
Cowok itu hanya tertawa lantas menghidupkan mesin motornya kembali. Motor melaju membelah jalan. Tak harus menunggu lama, mereka akhirnya sampai di bengkel. Cowok itu mematikan mesin motornya dan menyuruh Elina untuk turun dari motor. Elina lantas menghampiri tukang bengkel yang tengah asyik memperbaiki motor lain.
"Pak, motor saya yang tadi pagi rantainya putus udah dibenerin belum ya?" tanya Elina.
"Udah, Neng. Itu di sana," ucap tukang bengkel itu seraya menunjuk motor Elina yang terparkir di dalam bengkel.
"Ah makasih, Pak! Totalnya berapa ya?" tanya Elina.
"Karena Eneng pelanggan pertama, saya kasih diskon deh. Delapan puluh lima ribu aja, Neng. Itu udah sama biaya ganti rantainya," ucap tukang bengkel itu.
Elina mengambil dompet di dalam tasnya. Ia lantas membuka dompetnya.
"Aduh, kurang lagi duitnya!" gumam Elina. Wajahnya berubah pucat.
Karena melihat gelagat Elina yang aneh. Cowok itu lantas menghampiri Elina. Tanpa sengaja, ia berhasil melirik isi dompet milik Elina. Cowok itu menarik senyum miringnya. Tangan cowok itu bergerak mengambil uang di sakunya lantas memberikan selembar uang kepada tukang bengkel itu.
"Ini saja, Pak, kembaliannya ambil saja," ucap cowok itu.
"Ah, terima kasih banyak, Mas!" seru si tukang bengkel.
"Dengan senang hati, Pak!" sahut cowok itu.
Tukang bengkel itu pun bergegas mengeluarkan motor Elina dari dalam bengkelnya. Sementara Elina kini memilih berhadapan dengan cowok itu. Saat Elina ingin berbicara, cowok itu malah lebih dahulu menyahutnya.
"Gak usah bilang makasih, tadi gak sengaja isi dompetmu kelirik."
Deg!
Aduh! Perut Elina terasa mulas. Elina memberanikan diri menatap mata cowok itu.
"Lain kali aku ganti ya," ucap Elina. Cowok itu terkekeh.
"Santuy," jawab cowok itu. Elina tersenyum malu.
"Ketimbang senyam-senyum gak guna gitu, mending ambil gih tuh motor terus pulang deh," ucap cowok itu.
Elina segera menghampiri motornya yang sekarang telah berada di tepi jalan raya itu. Saat sukses menaiki motornya, Elina terperanjat karena tiba-tiba cowok itu mengklaksonnya.
"Duluan ya!" pekik cowok itu.
"Makasih ya…."
Tidak ada jawaban dari cowok itu. Mungkin cowok itu sudah telanjur jauh. Elina bergegas menghidupkan motornya. Ia lantas melajukan motornya hingga membelah jalan yang lumayan ramai.
***
Elina menghela napas setelah sampai di rumah. Elina segera menekan bel rumahnya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki seseorang. Selanjutnya, pintu itu terbuka.
"Eh Kak El, kukira siapa," ucap seorang cewek berseragam putih biru.
Cewek itu berambut sebahu dengan bandana menghiasi kepalanya.
"Sudah pulang? Tumben!" cetus Elina.
"Udah, tadi Okta pulangnya dianter Vigo, jadi aku gak minta jemput Kak El," ungkap Okta, adik Elina.
Elina melangkah masuk ke dalam rumah. Okta menutup pintu lantas berjalan mengekori Elina. Elina mendudukkan diri di sofa.
"Vigo itu pacar kamu ya? Kok Kak El sering denger kayaknya kamu deket banget sih sama dia…."
"Stttt, Kak El! Jangan keras-keras. Nanti kalau Mama tiba-tiba pulang gimana, terus denger, terus marahin aku. Kan aku belum boleh pacaran, Kak!" pekik Okta sewot.
"Lah! Kamu udah tahu dilarang pacaran masih aja nekat pacaran. Kubilangin Mama ah…."
"Jangan! Kak El diam aja ya! Sebagai penutup mulut, aku comblangin deh Kak El sama kakaknya Vigo. Gimana?" usul Okta.
Elina tertawa seraya membasuh wajah Okta dengan telapak tangannya. Membuat si pemilik muka merengutkan wajahnya.
"Dikiranya Kak El sejones itu apa!" pekik Elina.
"Tau ah, mau ganti baju dulu, takut ketularan bau asemnya Okta," ucap Elina seraya bergegas pergi meninggalkan Okta. Okta mendengus.
"Iya, lihat saja nanti!" gumam Okta, "pasti Kak El suka."
Jam pelajaran mata pelajaran matematika telah usai. Bu Sari, guru matematika itu berdehem. Menghentikan semarak kegaduhan para penghuni kelas.
"Elina, kamu mau gak ikut olimpiade matematika? Nanti kalau mau saya ikutkan kamu seleksi ya," ucap Bu Sari memecah keheningan kelas.
Elina terperangah, "Kok saya, Bu?"
"Ya masa Raya, mana bisa dia. Saya percaya sama kamu, El!" ungkap Bu Sari antusias.
"Bu Sari nyebelin ih! Raya bisa kok matematika!" pekik Raya tidak terima.
"Hilih, kamu enam tambah lima aja mikir jawabannya lama banget," cibir Bu Sari. Raya seketika mengerucutkan bibirnya.
"Saya akan kabari kamu selanjutnya," pinta Bu Sari.
"I…iya baik, Bu!" ucap Elina gugup.
Elina menghela napasnya. Ia mengecek jam di tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat. Cacing di perutnya sudah mulai memberontak. Elina melirikkan pandangannya ke Raya. Raya sedang asyik menyetubuhkan kepalanya ke meja.
"Kantin yuk, Ray!" ajak Elina.
"Males ah," jawab Raya tak bertenaga.
"Kenapa sih? Lesu amat?" tanya Elina. Raya menghela napasnya.
"Itu, Kak Dev cuek amat sama aku. Kayaknya dia emang gak tertarik deh sama aku."
"Kak Dev? Siapa sih?" tanya Elina.
"Gebetan aku. Dia kakak kelasku waktu SMP, El. Dulu aku sama dia sama-sama osis. Dia ketua dan aku sekretarisnya. Tetapi sekarang…aku ngerasa dia jadi agak cuek sekarang. Kira-kira kenapa ya?" tanya Raya.
"Punya pacar kali hahaha!" tebak Elina jail.
"Ih Elina nyebelin!" pekik Raya mendramatisir. Sementara Elina hanya menanggapinya dengan tertawa.
"Ayuklah kantin," ucap Elina seraya menarik tangan Raya. Raya pun akhirnya pasrah ditarik paksa sampai ke kantin.
Sesampainya di kantin, Elina memesan makanan yang sama dengan Raya: mie ayam bakso. Makanan di kantin memang enak-enak dan yang paling penting sehat, higienis juga. Saat tengah duduk, sekilas ia melihat cowok yang waktu itu memboncengnya.
"El, kira-kira aku harus gimana?" tanya Raya. Elina balik menatap Raya.
"Ya kalau emang beneran sayang ya diperjuangin. Kalau berhenti di tengah jalan, memangnya kamu mau perjuanganmu sia-sia?" cetus Elina. Raya berpikir sejenak.
"Tapi kalau aku ditolak gimana?" tanya Raya.
"Eh ya kamu berjuang terus saja sampai diterima hihihi," cetus Elina asal.
Raya pun mengangguk mengerti. Elina mungkin tak pernah tahu, apakah sarannya itu akan berdampak baik atau malah buruk untuk kedepannya.
***
Di sisi lain, Bu Sari meminta seseorang untuk menemuinya di kantor guru. Hingga datanglah seorang cowok untuk menghadap Bu Sari. Bu Sari dan cowok itu saling bertatapan.
"Saya izin minta waktumu sebentar boleh?" tanya Bu Sari.
"Untuk apa, Bu?" tanya cowok itu.
"Tolong ajari dia, dia akan mewakili sekolah untuk olimpiade matematika. Berhubung kamu mengundurkan diri, terpaksa saya mencari pengganti kamu. Saya yakin bahwa anak itu akan sama cerdasnya seperti kamu."
Bu Sari menatap harap kepada cowok itu. Cowok itu tampak berpikir sejenak lantas menganggukkan kepalanya beberapa menit kemudian.
"Baik, Bu, kapan?" tanya cowok itu.
"Nanti sepulang sekolah. Silakan temui dia di perpustakaan," cetus Bu Sari. Cowok itu mengangguk.
"Baik, Bu, nanti saya akan ke sana," ucap cowok itu, "kalau begitu, apakah saya boleh permisi?"
"Ya, silakan. Terima kasih ya, Nak!" ujar Bu Sari.
"Sama-sama, Bu," jawab cowok itu.
"Ini nomor whatssapp-nya Elina, silakan kamu diskusikan dengan dia ya untuk belajarnya," ujar Bu Sari sembari mencatat sebuah nomor dari ponselnya ke kertas dan memberikannya kepada cowok itu.
"Baik, Bu, saya permisi." Cowok itu membungkuk lantas berlalu pergi. Bu Sari mengulas senyumnya.
"Pasti berhasil!" gumam Bu Sari kemudian.
Sesampainya di kelas, cowok itu lantas mengambil ponselnya dari dalam tas. Dimasukkannya nomor telepon yang diberikan Bu Sari ke dalam kontaknya.
Ruang chat whatsapp:
Devan: [Kamu Elina kan?]
Elina: [Iya, siapa ya?]
Devan: [Bu Sari bilang kita harus belajar bareng]
Elina: [Serius? Kapan?]
Devan: [Sepulang sekolah]
Elina: [Dimana?]
Devan: [Perpus]
Elina: [Oke]
Devan: [Save ya]
Elina: [Oke]
Elina: [Siapa namanya?]
Elina: [Biar kusave]
Devan: [Devan]
Elina: [Kelas?]
Devan: [XI-2]
Elina: [Oke]
Cowok itu menarik senyumnya ketika melihat foto profil Elina. Sampai tiba-tiba sesosok cowok menghampiri cowok itu dan mengagetkannya.
"Woy, senyam-senyum aja lo, Dev!"
Cowok itu merengut. Ia memandang cowok yang mengagetkannya tadi dengan tatapan membunuh.
"Lo kalau gak ngagetin bisa gak? Kalau gue mati mendadak karena jantungan gimana?" keluh cowok yang dipanggil "Dev" itu.
"Alah gak dikagetin juga nanti mati sendiri."
Keduanya saling menatap tajam seakan bilang, "diem lo,ngoceh lagi bakal gue bunuh!" dan "gue gak takut!"
TENG! TENG! TENG!
Suara bel tanda pulang sekolah mengakhiri semua materi pembelajaran untuk hari ini. Kedua cowok itu pun menghela napas lega. Kegabutan akibat jam kosong tadi akhirnya usai juga. Kini di benak seluruh murid hanyalah pulang dan pulang.
"Gue cabut duluan ke perpus! Lo pergi aja gak usah ngintilin gue!"
"Yeee gue juga pengen balik, geer banget lo, Dev. Males banget jadi buntut b4bi!"
"Yee bangs*t lo malah ngatain gue b4bi! Udah ah gue mau ke perpus biar pinter gak kayak lo, Del, lo pergi aja sana jangan ngintilin gue mulu hush hush!" usir cowok itu kepada temannya yang ternyata bernama Delana.
"Ya udahlah, yang manusia ngalah aja!" ujar Delana lantas berlari meninggalkan kelas sebelum semua bangku dilayangkan ke arahnya.
Delana, anak kelas XI-2 yang pecicilannya tingkat dewa. Memiliki hobby bikin rusuh dan memancing keributan. Tipe bad boy yang memiliki wajah yang untungnya ganteng. Bikin cewek klepek-klepek, kecuali cewek yang memiliki tingkat keimanan tinggi. Gagah dan seksi abis pastinya.
****
Elina mendudukkan diri di perpus. Masih sepi dan kosong. Hanya ada dua penjaga perpus berbeda gender yang setia menemani Elina. Ceileh setia.
KRIET! TAP! TAP! TAP!
Suara pintu berdecit. Kemudian, terdengarlah suara langkah kaki. Elina yang duduk membelakangi pintu pun menoleh. Seorang cowok tampan datang menghampirinya. Cowok itu menampilkan senyum manisnya khusus untuk Elina.
"Elina ya?" tanya cowok itu.
"Ah i-iya! Ka-kamu?" tanya Elina gugup. Cowok itu tersenyum kembali.
"Aku Devan, kita jadi sering kebetulan ketemu gini ya." Cowok itu terkekeh.
"I-iya. By the way, ini uang yang aku pinjam pas di bengkel, aku balikin," ucap Elina sembari merogoh selembar uang seratus ribuan di tasnya.
"No…No…gak usah. Santai aja kali!" Cowok itu menepis pelan lengan Elina.
"Ih gak enak sama kamunya," seru Elina.
"Gak papa, sesama teman kan harus saling membantu," ujar cowok bernama Devan itu.
"Te-teman?" tanya Elina ragu. Cowok itu tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya.
"Mulai belajar yuk," ajak Devan. Elina mengangguk lantas mengeluarkan beberapa soal matematika yang tadi diberikan Bu Sari.
"Ini, Kak!" Elina memberikan kertas itu kepada Devan.
"Panggil Devan aja biar kelihatan lebih akrab," ucap Devan.
"Tapi gak enaklah," protes Elina.
"Apanya yang gak enak coba? Kan gak dimakan, kok bisa gak enak?" Devan tertawa garing.
"I-iya, Dev! Mulai yuk!" ajak Elina canggung.
Devan dan Elina pun memulai membahas materi untuk olimpiade. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengintai mereka berdua dari balik rak buku. Diam-diam sepasang mata itu meneteskan air matanya. Tercetak jelas raut kecewa di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!