NovelToon NovelToon

Tentang Fany

Part 1 : Sekolah

Suara petir menggelegar terdengar mengerikan di tengah guyuran hujan tengah malam. Bangunan kost dua lantai yang penghuninya adalah gadis-gadis muda tampak begitu gelap, pertanda semua orang sudah terlelap di kamar masing-masing. Hampir semua. Ada satu jendela kamar yang masih tampak terang, sepertinya gadis pemilik kamar tersebut tidak bisa tertidur.

Seorang gadis dengan piyama berwarna abu-abu sedang bergelung dibalik selimut sambil menutup telinga dengan tubuh bergetar.

"Ibu..."

Selalu seperti itu. Di saat rasa takut menyergapnya, gadis manis itu selalu memanggil ibunya berharap ibunya itu akan datang dan memeluknya. Bertahun-tahun hidup sendiri tidak membuatnya terbiasa dengan perasaan kesepian saat gelapnya malam mulai mencekam.

Saat hujan mulai reda dan suara petir sudah tidak lagi terdengar, ia buru-buru meraih ponselnya dan mencoba menelepon teman dekatnya. Meskipun beberapa waktu lalu ia tampak menyedihkan, tapi ia bukanlah gadis malang yang tidak punya teman. Ia hanya menunggu petir menghilang karena dari kecil ibunya melarang untuk bermain ponsel saat hujan deras, takut tersambar petir katanya.

"Halo Fany," terdengar suara temannya. Beruntung di percobaan pertama, temannya itu sudah menjawab teleponnya.

"Berly! Untung aja lo belum tidur," ucap Fany dengan sangat lega, ia sudah tidak merasa kesepian lagi.

"Lo gak bisa tidur gara-gara suara petir lagi?" tepat sekali.

"Temenin gue ya," Fany merengek membuat Berly tidak bisa menolak keinginannya, "jangan matiin teleponnya sampai gue tidur nanti."

Berly pun menyetujui permintaan Fany. Toh, mereka juga sering melakukannya ketika salah satu di antara mereka tidak bisa tidur ataupun merasa bosan. Mereka adalah sahabat dekat sejak awal SMP, dan sekarang mereka sudah SMA kelas 12. Bersahabat selama 6 tahun membuat mereka paham betul tentang kehidupan masing-masing.

...----------------...

Kriiing... Kriiing...

Bel istirahat terdengar, semua murid berhamburan keluar kelas untuk pergi ke kantin. Semua berdesak-desakan untuk memesan makanan, termasuk Berly dan teman-temannya. Biasanya Fany akan menghampirinya untuk makan bersama, namun sepertinya kelas Fany terlambat istirahat. Ngomong-ngomong mereka berada di kelas yang berbeda.

"Minggir kalian semua!"

Rangga Juliandro

Suara seorang siswa laki-laki membuat seisi kantin hening. Semua orang di kantin menyingkir untuk memberi jalan kepada siswa itu beserta tiga teman di belakangnya. Tidak ada yang tidak mengenal siswa bernama Rangga Juliandro. Pembuat onar yang sering masuk BK karena berbagai ulah nakalnya, mulai dari mencuri uang saku siswa hingga menggoda guru.

"Pesen bakso 4" ucap Rangga sambil melempar uang ke meja di hadapan ibu kantin.

"ih, gak sopan," Berly langsung menutup mulut setelah menyadari ia bicara dengan cukup keras, "aduh, dasar mulut latah"

Berly

Rangga berjalan pelan menuju Berly, "ngomong apa lo barusan?" ia berhenti tepat di depan Berly, sedangkan Berly hanya bisa menggigit bibirnya takut.

"Gue tanya lo ngomong apa?!" Rangga berteriak sambil mendorong dahi Berly menggunakan jari telunjuknya.

"HEH BANGSAT!!!"

Semua orang menoleh ke sumber suara, terlihat Fany yang tampak menahan amarah. Ia sudah ada di kantin sejak Rangga datang. Niatnya ingin menghampiri Berly, namun ia malah melihat adegan yang membuatnya marah. Asal kalian tahu, Fany adalah tipe orang yang mudah marah, apalagi jika itu menyangkut orang yang ia sayang. Ia bahkan ikut club tinju di luar sekolah untuk menyalurkan emosinya.

Fany Zahira Afdanela

"maksud lo apaan main tangan sama cewek?! Banci lo?!"

Rangga yang tidak terima dengan ucapan Fany langsung mendorong bahunya. "Berani banget lo ngomong sama gue, huh!"

"Emang kenapa? Emang lo siapa sampe gue harus takut sama lo?! Terkenal gara-gara nakal aja bangga," sungut Fany.

"Anjir berani banget nih cewek," ucap salah satu teman Rangga.

"Cewek caper nih pasti," balas temannya yang lain.

Fany tersenyum sinis, "Caper? Sama orang kayak kalian? Sorry, gue terlalu mahal buat kalian yang murahan."

"Dasar cewek belagu!" Rangga kembali mendorong bahu Fany dengan keras hingga ia terjatuh.

"Gila lo ya!" Fany langsung bangkit dan menonjok pipi Rangga.

Semua orang berteriak karena kejadian itu. Rangga yang terkejut karena mendapat bogeman dari Fany langsung menarik rambut Fany dan menampar pipinya hingga sudut mulutnya berdarah karena sedikit robek. Fany pun langsung memukul perut Rangga agar cengkeraman di rambutnya terlepas. Mereka saling memukul, bahkan teman-teman Rangga yang ingin memisahkan mereka kena pukul oleh Fany. Tidak ada yang berani melerai mereka.

...----------------...

Jam 12 siang

Fany dan Rangga duduk di hadapan guru BK bernama Bu Erna. Guru perempuan berusia hampir 50 tahun itu cukup miris melihat wajah dua muridnya babak belur. Fany mendapat luka di sudut bibir dan lebam di pelipis kirinya. Sedangkan Rangga mendapat lebam yang cukup banyak di wajah kirinya, ditambah tisu yang menyumpal hidungnya karena mimisan.

"Saya sudah bosan melihat kamu Rangga bolak balik disini," ucap Bu Erna mengawali pembicaraan.

"Kalau begitu jangan panggil saya terus dong bu."

"Rangga!!" baru mulai, tapi Rangga sudah membuat emosi dengan mulut kurang ajarnya.

"Lalu kamu Fany? Setahu saya kamu siswi yang cerdas dan baik. Kenapa berakhir seperti ini?"

"Dia duluan yang cari gara-gara bu, saya kan kesel liat dia dorong temen saya," Fany membela dirinya sambil melirik sinis Rangga.

"Tapi dia hajar saya parah banget bu, liat lukanya aja gak seberapa," sela Rangga.

"Ya itu Lo nya aja yang lemah!"

"Udah udah cukup!" Bu Erna semakin pusing mendengar perdebatan mereka, "sekarang juga kalian bersihin aula olahraga."

"yah, kok gitu bu hukumannya, parah banget."

"badan saya masih sakit bu."

"Cepat pergi sekarang, atau saya tambah hukumannya."

Fany dan Rangga langsung bergegas menuju aula olahraga.

Sesampainya di sana, mereka mulai membersihkan ruangan tanpa mengucap sepatah kata pun. Fany menyapu lantai aula, sedangkan Rangga merapikan bola-bola yang berserakan.

"Lo ternyata cewek sinting ya," celetuk Rangga sambil memasukkan bola ke dalam keranjang.

Fany diam saja seolah tidak ada yang bicara. Rangga melirik sekali lagi, "pantes gak punya pacar, gak ada yang mau sama lo, sifatnya aja kayak gini."

"Tau apa lo soal gue?" balas Fany dengan nada datar.

"Banyak," Rangga tampak berpikir, "cewek berprestasi yang fotonya ditempel di depan sekolah gara-gara menang olimpiade nasional, cewek berisik dari kelas sebelah, cewek yang sering nolak cowok dengan alasan 'mau fokus belajar'."

Fani berdecih, "cih, ngefans lo sama gue?"

"Itu belum seberapa, masih ada yang gue tau soal lo," Rangga berkata dengan nada meremehkan membuat Fany menghentikan aktivitasnya, "lo yatim piatu, kan."

Part 2 : Flashback

2005

'Aku mau kita cerai'

'Aku udah punya pacar disini'

'kamu urus sendiri surat cerainya'

Seorang wanita menatap layar telepon genggamnya dengan erat. Air mata mulai meluncur di pipi putihnya. Ia pun menangis sambil menyentuh perutnya yang membuncit. Mimpi buruknya telah datang, hal yang tidak pernah ia duga terjadi, diceraikan saat hamil 5 bulan, lewat SMS pula.

"Divya, kamu kenapa nak?" seorang wanita tua tergopoh-gopoh menghampiri anaknya yang menangis.

"Hiks... Ibu... Mas David..." Divya menunjukkan teleponnya kepada sang ibu.

"Kurang ajar David," ibunya langsung memeluk Divya erat, "sudah nak, jangan menangis, kasihan bayimu."

Divya malah semakin menangis, ia merasa hidupnya beserta bayinya sudah hancur. Suami yang pergi merantau ke ibukota untuk bekerja ternyata selingkuh dan berniat menceraikannya.

...----------------...

Sudah 3 bulan sejak Divya bercerai dengan mantan suaminya. Setiap hari yang ia lakukan adalah bercengkrama dengan bayi dalam perutnya. Ia berusaha untuk tetap bahagia walaupun ia juga sangat bersedih atas kejadian buruk yang menimpanya. Ia hanya tidak ingin anaknya mendapat dampak buruk jika ia stres berlebihan.

Secara ekonomi, kehidupan Divya sangat jauh dari kata mampu. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Jika dulu ada suaminya yang bekerja sebagai buruh pabrik, sekarang ia dan ibunya harus mampu mencari penghasilan sendiri. Ibunya bekerja sebagai karyawan di toko sembako milik tetangganya, sedangkan Divya menjadi penjahit. Berbekal kemampuan menjahit yang ia peroleh di SMK dulu, ia menerima jasa permak. Uang yang diperoleh tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk membeli susu ibu hamil.

Seperti sekarang, Divya sedang berkutat dengan sebuah baju dan beberapa jarum. Ia harus segera menyelesaikan pesanan tetangganya.

"Akh!"

Tiba-tiba jarinya tertusuk jarum. Tapi tunggu dulu, jarinya yang mengeluarkan darah, kenapa perutnya yang ikut sakit. Divya memegangi perutnya yang semakin lama semakin terasa sakit. Firasatnya berkata bayinya sudah mendesak mau keluar.

"Aduh... Sakit banget..."

Benar saja, Divya melihat cairan bening mengalir cukup deras dari sela kakinya.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Divya berusaha untuk berdiri dan berjalan keluar rumah mencari bantuan. Sambil menahan rasa sakit, ia membuka pintu rumah dan mengedarkan pandangannya mencari siapapun yang terlihat. Beruntung rumahnya berada di seberang rumah RT, dan kebetulan Bu RT sedang menyapu halaman rumah.

"Bu RT... Tolong..." dengan suara lirih, Divya mencoba memanggil Bu RT.

Bu RT yang mendengar ada suara lemah yang memanggilnya langsung menoleh ke arah Divya.

"Astaga, Divya!" Bu RT melempar sapu yang sedari tadi dipegang, "Pak! Bapak! Tolongin Divya Pak! Divya mau melahirkan!"

Bu RT cukup panik berteriak di depan rumah memanggil suaminya agar turut membantu menolong Divya, lalu beliau segera berlari menghampiri Divya. Beberapa tetangga yang mendengar teriakan Bu RT bergegas menghampiri rumah Divya.

"Astaga sudah mau melahirkan," ucap salah satu warga.

"Divya, kamu tenang dulu ya, nafas pelan-pelan," perintah Bu RT yang ada di samping Divya.

"Pak RT, cepetan, ini Divya keburu melahirkan disini," teriak salah seorang warga yang melihat Pak RT sedang menyiapkan mobil untuk membawa Divya ke rumah sakit.

"Divya!" Ibu Divya tampak panik berlarian dari toko setelah dikabari seorang warga bahwa anaknya akan melahirkan.

"Ibu... Sakit bu..." Divya langsung menangis saat berada di pelukan ibunya.

"Nak, tahan sebentar ya, sebentar lagi kamu akan bertemu dengan bayimu," ucap ibu Divya sembari mengusap dahi anaknya yang penuh keringat.

"Ayo cepat masuk mobil! Bapak-bapak, tolong bantu angkat Divya," perintah Pak RT.

Setelah itu, Divya bersama dengan ibunya, Pak RT, dan Bu RT bergegas menuju rumah sakit.

...----------------...

Di dalam ruang bersalin, Divya ditemani oleh sang ibu. Ia masih harus menunggu selama beberapa jam untuk sampai pada tahap pembukaan sempurna. Selama itu juga, sang ibu bersama beberapa perawat memberikan instruksi agar Divya tetap tenang dan bernafas dengan baik.

"Ibu, aku takut," lirih Divya.

"Jangan takut, Nak. Kamu perempuan yang kuat. Pasti bisa melahirkan dengan lancar," ucap ibu Divya sambil menggenggam erat tangannya.

Divya mencoba berpikiran positif. Ia tidak boleh takut, ia harus bertahan, demi anaknya. Namun, entah mengapa di saat-saat seperti ini, ia justru teringat dengan mantan suaminya. Hatinya sangat sakit mengingat bahwa seharusnya ada sosok suami yang berada di sisinya saat ia berjuang demi buah hati mereka.

"Nak," suara ibunya membuyarkan pemikiran menyedihkan Divya, "jangan pikirkan apapun untuk saat ini. Percaya sama ibu, setelah mendengar tangisan bayimu nanti, kamu akan sangat bahagia, sampai kamu akan melupakan semua penderitaan yang ada di hatimu."

...----------------...

Ibu Divya menunggu di luar ruang bersalin ditemani oleh Bu RT. Walaupun pernah merasakan bagaimana rasanya melahirkan, beliau sangat takut melihat anak satu-satunya berjuang melahirkan cucunya. Berbagai pikiran buruk menghantuinya, ia tidak akan sanggup jika terjadi hal buruk pada Divya.

Oekk... Oekkk...

Suara tangisan bayi terdengar membuat semua orang di luar ruangan tersenyum bahagia. Tidak lama kemudian, seorang perawat keluar.

"Selamat bu, Ibu Divya melahirkan bayi perempuan yang cantik, sekarang bayinya sedang dibersihkan," ucap perawat tersebut.

"Lalu, bagaimana kondisi anak saya?" tanya ibu Divya khawatir.

"Ibu Divya sedang dalam proses penjahitan karena tadi pendarahannya cukup parah, tapi kondisinya baik-baik saja, tidak perlu khwatir."

Setelah seluruh proses persalinan selesai dan Divya sudah sadar. Ibu Divya beserta bayi mungil yang ada di dalam box bayi itu dibawa masuk untuk menemui Divya.

"Divya," panggil ibu Divya membuat ia menoleh.

"Ibu? Anakku sangat lucu, kan" Divya melihat bayinya yang ada di dalam box, tubuhnya masih sangat lemas hanya untuk bergerak.

"Iya, Nak. Dia mirip sekali denganmu," ibu Divya tersenyum hangat melihat cucunya, "apa kau sudah memikirkan nama untuknya?"

"Tentu saja," ucap Divya bersemangat, "Fany Zahira Afdanela."

...----------------...

2006

Satu tahun semenjak kelahiran putri kecilnya, kini Divya mulai berkutat dengan mesin jahitnya lagi. Sang ibu melarangnya untuk bekerja di luar rumah agar ia bisa fokus membesarkan Fany. Mereka tidak lagi tinggal di rumah, tapi di sebuah kontrakan kecil milik tetangganya yang tidak jauh dari rumahnya dulu. Rumah milik Ibu Fany sudah dijual untuk melunasi biaya persalinan yang sangat mahal.

"Fany... Anak cantiknya ibu..." Divya menimang Fany yang ada dalam gendongannya.

"Lucu sekali sih anak ibu," Divya menciumi pipi Fany, yang mana hal itu membuat Fany tersenyum menampilkan gusi yang belum ditumbuhi gigi, "ahaha, senang sekali ya bermain bersama ibu, Nak."

Tiba-tiba, ada seorang tetangga yang berlari menuju kontrakannya.

"Divya! Divya!"

Divya terkejut dan langsung berlari keluar rumah, "ada apa, Bu Ratna?"

"Ibu kamu..."

Divya langsung paham bahwa sesuatu yang buruk terjadi, "ibu saya kenapa, Bu?!"

"Ibu kamu tadi pingsan di toko, sekarang mau dibawa ke rumah sakit."

Divya menitipkan Fany kepada ibu itu, lalu bergegas pergi ke toko tempat ibunya bekerja. Disana ia melihat ibunya pingsan dikelilingi oleh beberapa warga. Setelah Divya datang, pemilik toko langsung membawa ibu Divya pergi ke rumah sakit bersama dengan Divya.

Sesampai di rumah sakit, ibu Divya langsung dimasukkan ke ruang IGD karena kondisinya sudah kritis, beliau mengidap hipertensi, dan sekarang penyakitnya memburuk. Segala doa sudah dipanjatkan oleh Divya agar ibunya berhasil melewati masa kritis, tetapi Tuhan berkehendak lain.

"Maaf Bu Divya, ibunda dari Bu Divya sudah tidak bisa diselamatkan."

Di hari itu juga, tepat pukul 9 malam, ibu Divya dinyatakan meninggal akibat pecahnya pembuluh darah di otak.

Semenjak kematian ibunya, hidup Divya semakin sulit. Ia mulai bekerja di toko kelontong tempat ibunya bekerja dulu, beruntung pemilik toko mengizinkannya untuk membawa Fany ke tempat kerja. Lalu, di malam hari, Divya akan begadang untuk menyelesaikan pesanan jahitannya.

Part 3 : Flashback (2)

2010

Di sebuah TK, anak-anak bermain dengan riang gembira. Fany adalah satu di antara anak-anak yang berbahagia itu. Ia tumbuh menjadi anak yang manis dan ceria. Hidup hanya dengan seorang ibu dan serba kekurangan membuat Fany bersikap lebih dewasa. Ketika anak-anak yang lain ditemani oleh orang tua selama di sekolah, ia selalu sendirian. Sejak hari pertama masuk, ia menolak ditemani ibunya, dan mengatakan bahwa ia adalah anak pemberani. Hal itu membuat Divya bersyukur karena anaknya bisa mandiri, dan ia bisa bekerja dengan tenang.

Brukk!!!

"Aduh," seorang anak tidak sengaja menabrak Fany hingga mereka berdua terjatuh.

Fany berdiri dan membersihkan roknya yang sedikit kotor, tapi ia terkejut ketika anak yang menabraknya tadi mulai menangis.

"Huaaaa... Mama!!" terlihat wanita yang dipanggil mama berlari menolongnya.

"Sayang, kok bisa jatuh sih," kata wanita tadi sambil membantu anaknya berdiri.

"Fany mendorongku," Fany terkejut saat anak itu menunjuknya.

"Hah? Ndak tante!"

"Kamu jangan nakal gitu ya!" wanita tadi berbicara cukup keras membuat orang-orang disana menoleh, "cepat minta maaf."

Dahi Fany mengernyit, "tapi kan Fany ndak salah, Dea yang lari-lari terus nabrak Fany, kita berdua sama-sama jatuh kok."

Anak yang bernama Dea tadi menggeleng, "Fany yang salah, Ma."

"Kamu gak tau cara minta maaf, ya? Disekolahin biar pintar malah jadi anak nakal, ini sih efek gak diperhatikan sama orang tua," ucapan mama Dea sangat melukai hati Fany.

"Tante jahat! Dea yang salah, kenapa orang tuaku yang disalahin?!" teriakan Fany membuat guru-guru TK berhamburan keluar.

"Berani membentak orang tua kamu, hah?! Dasar gak punya ayah!" teriak mama Dea tidak kalah lantang.

"Sudah, bu. Tenang dulu, Fany masih anak-anak," ucap salah satu guru TK sembari menyembunyikan Fany di balik tubuhnya.

"Tolong kasih tau ibunya Fany kalau anaknya kurang ajar, bu. Biar wanita itu bisa mendidik anaknya lebih baik," ujar mama Dea.

Fany hanya bisa menangis di balik tubuh gurunya. Ia hanya seorang anak kecil, tapi sudah mendapat caci maki dari orang dewasa. Beruntung gurunya tidak melaporkan hal ini kepada Divya karena mereka tahu kondisi Divya dan Fany seperti apa, mereka juga tahu kalau Fany tidak mendorong Dea. Fany tetap menjadi anak yang ceria dan bergaul dengan teman-temannya, meskipun seringkali ia mendapat ejekan dari teman-temannya karena hidup miskin dan tidak punya ayah.

Di usia yang masih belia, ia sudah harus belajar bertahan di tengah kejamnya dunia, segala ucapan menyakitkan yang ditujukan padanya telah menumbuhkan amarah dalam hatinya, tetapi hal itu juga membuat mentalnya semakin kuat.

...----------------...

2019

Fany sekarang berada di kelas 2 di salah satu SMP terbaik di kotanya. Setiap hari menempuh perjalanan sepanjang 8 km untuk sampai di sekolah menggunakan sepeda. Ia menjalani kesehariannya dengan ikhlas, walaupun di dalam hatinya ada setitik rasa iri pada teman-temannya yang pergi ke sekolah diantar oleh orang tuanya, ataupun naik motor walaupun mereka masih di bawah umur.

"Mereka punya kehidupan yang baik, gak perlu ngerasain capeknya ngayuh sepeda," pikiran itu sering muncul dalam benaknya, tetapi segera ia tepis, "biarin aja, mereka pasti gak sekuat gue."

Sesampainya di sekolah, seperti biasa, ia langsung menuju ke kantin untuk menitipkan gorengan yang ibunya buat pagi tadi.

"Selamat pagi, Bu Denok," sapa Fany kepada Bu Denok, ibu penjaga kantin.

"Selamat pagi, Fany. Seperti biasa, ya," sapa Bu Denok ramah.

"Iya, Bu," Fany langsung menata gorengan yang ia bawa di meja kantin.

"Udah bu, saya langsung ke kelas ya, udah mau masuk," Fany langsung berlari ke kelas tanpa menunggu balasan dari Bu Denok. Penjaga kantin itu hanya tersenyum melihat Fany, ia senang melihat Fany yang selalu ceria saat bertemu dengan siapapun.

Sesampainya di kelas, ia melihat semua temannya sibuk menulis sesuatu.

"Ada PR ya?" tanya Fany kepada salah seorang temannya.

"Lah, lo juga belum ngerjain, Fan?"

"Anjir! PR apaan?!" Fany panik, lalu ia bergabung dengan teman-temannya yang menyalin PR matematika milik Berly, sahabatnya yang sangat rajin itu.

"Ekhmm..."

Dehaman seseorang membuat semua yang ada di dalam kelas tersebut menoleh ke arah pintu.

"Eh Bu Rara," kata Dion, sang ketua kelas kepada Bu Rara, guru matematika yang memberikan PR, "bel masuknya kan belum bunyi, bu."

"Lalu?" Bu Rara bersikap acuh dan melenggang masuk menuju bangku guru.

Semua murid hanya terdiam sambil melihat pergerakan bu Rara, mereka semua tidak ada yang berani bergerak.

"Kumpulkan PR kalian sekarang juga!" ucap Bu Rara tajam.

Semua siswa berbondong-bondong menyerahkan buku tugas mereka di meja guru, tidak peduli sudah selesai mengerjakan PR atau belum, termasuk Fany. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan diberikan pada dirinya.

Benar saja, Fany dan tiga temannya yang sama sekali belum mengerjakan PR dihukum untuk hormat kepada tiang bendera di tengah lapangan selama jam pelajaran matematika, yang sialnya hari ini ada 2 jam.

"Fan, lo kok bisa gak ngerjain PR sih," kata salah seorang temannya.

"Iya nih, padahal lo kan siswa yang rajin, peringkat 2 di kelas lagi," celetuk temannya yang lain.

"Terus kenapa kalau gue peringkat 2? Gini gini gue juga manusia, bisa lupa," ucap Fany malas.

"Eh ssst ssst, diem semua, Bu Rara sama wali kelas kita nyamperin," bisik salah satu temannya yang melihat guru matematika mereka bersama dengan wali kelas berjalan menuju mereka.

Fany yang melihatnya mengernyit bingung. Ini hanya hukuman, kenapa wali kelas mereka ikut datang. Padahal hukuman seperti ini sudah biasa terjadi. Entah kenapa firasatnya buruk saat dua orang dewasa itu mulai mendekat, ditambah wajah garang Bu Rara berubah menjadi sendu menatap ke arahnya.

"Fany," panggil wali kelasnya.

Saat itu, ia sangat benci mendengar namanya dipanggil, apalagi mendengar ucapan wali kelas setelahnya, "ibu kamu sudah tidak ada."

Di usianya yang ke-14, ia kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Divya menjadi korban tabrak lari saat hendak pergi membeli kain ke pasar, dan meninggal di tempat. Lengkap sudah penderitaan Fany, hidup sebatang kara, tanpa ada kerabat yang bisa merawatnya.

Beberapa kali ia ditawari tetangganya untuk pergi ke panti asuhan, tetapi ia menolak. Ada juga yang menawarinya pekerjaan, tentu saja ia menolak, karena orang-orang yang menawarinya pekerjaan pasti menuntutnya untuk berhenti sekolah. Ia tahu orang-orang iba dengannya, tetapi ia sangat tersinggung dengan tawaran orang-orang itu. Dia hanyalah seorang remaja yang memiliki emosi labil, ia semakin merasa hidupnya tidak adil. Ia marah kepada semuanya, ia marah pada dunia, ia marah kepada Tuhan, ia marah pada ayahnya yang dari dulu meninggalkan ia dan ibunya.

Dengan tabungan ibunya, uang hasil gorengan yang ia buat sendiri untuk dititipkan kepada ibu kantin, serta dana bantuan dari desa, ia bertahan hidup sendiri di kontrakan kecil itu. Hingga saat ia lulus SMP, ia langsung pindah untuk sekolah di SMA di kota, dan ia tinggal di kost dekat sekolahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!