Di sebuah rumah di kaki gunung, terdengar bunyi tembakan. Khadijah gadis berumur 15 tahun itu mendapati ayahnya telah terkapar, banyak orang-orang orang di sekitarnya yang berpakaian serba hitam, Khadijah ingin memberontak ketika mendapati ayahnya penuh dengan darah akibat tembakan yang terkena di dadanya, Khadijah pun pingsan setelah menerima sebuah hantaman dari belakang.
"Hentikan!" titah pemuda menyuruh anak buahnya yang ingin menembak ayah Khadijah. "dia bukan Husen, tapi kembarannya", titah pemuda itu, anak buahnya segera memasukkan kembali pistol ke saku celananya. "Kamu pergi dulu, aku akan mengurus semua!", pinta pemuda itu, seketika anak buahnya berhambur pergi dan menyisakan dia dan seorang asistennya. "Tuan, sepertinya dia masih hidup?", lirih sang asisten yang melihat ayah Khadijah menggerakkan tangannya, pemuda itu langsung menghampiri ayah Khadijah, benar saja ayah Khadijah masih hidup tapi tatapannya sudah sayu. Pemuda itu menarik nafas dalam lalu beranjak pergi
"Tuan!", lirih ayah Khadijah, langkah kaki pemuda itu terhenti mendengar suara yang memanggilnya.
"Tuan, tolong bawah anakku", lirihnya mengharap. Pemuda itu berbalik mendekati ayah Khadijah. "Apa keuntunganku jika membawa anakmu", di lihatnya Khadijah yang masih terkapar di lantai. "Jadikan dia budak mu atau tawanan mu". Ungkapan yang tidak masuk akal menurut pemuda itu, "CK!, jangan membual aku bukanlah lelaki hidung belang", cedak pemuda itu. "Jadikan dia istrimu", sang asisten makin geram dengan bualan ayah Khadijah dia pun akan melayangkan tembakan padanya, tapi segera di cegah oleh pemuda itu. "Hentikan!".
"Tapi dia sudah lancang tuan muda Aslan", sanggah asisten.
"Anakmu bahkan Masih sangat kecil, kau mau menikahkan aku dengannya", ucap Aslan.
"Dia sangat cantik", ucap ayah Khadijah terdengar lirih.
Aslan berhambur menghampiri Khadijah benar gadis polos yang sangat cantik, ada desiran yang ingin membawanya. "Tuan, lindungi dia", mohon ayah Khadijah. Aslan berpikir dia akan membawa gadis ini karna gadis ini akan terancam bahaya di karenakan gadis ini masih keluarga Husen yang menjadi incaran semua mafia.
"Nikahkan aku dengan dia!". pinta Aslan. Asistennya terpengangah tidak percaya dengan ungkapan bosnya.
Setelah setengah jam asisten Aslan sudah siap dengan membawa seorang penghulu dan saat itu juga Aslan menikah dengan Khadijah.
"Saya nikahkan saudara Aslan Amer bin Amer Dirga dengan Khadijah Al Hasani binti Hasan dengan mas kawin 10 juta di bayar tunai".
"Saya terimah nikah dan kawinnya Khadijah Al Hasani binti Hasan dengan mas kawin tersebut di bayar tunai", sekali tarikan Aslan mengucapkan ikrar suci tersebut.
"gimana saksi, sah?".
"Sah". ucap asisten Aslan bersamaan dengan itu ayah Khadijah menitipkan surat untuk di berikan kepada Khadijah saat dia berusia 18 tahun nanti. acara pernikahan dadakan itu hanya di hadiri 3 orang yaitu pak penghulu, asisten Aslan dan ayah Khadijah. sementara Khadijah Masih belum sadarkan diri.
"Uhuk.. uhuk..", ayah Khadijah batuk dan keluar darah segar dari mulutnya seketika itu dia langsung meninggal.
"tuan, dia meninggal", seru sang asisten.
"innalilahi wainnailaihi Raji'un", lirih pak penghulu. Aslan menarik nafas dalam. kemudian menyuruh sang asisten untuk mengurus pemakaman di bantu pak penghulu, sedangkan dia pergi membawa Khadijah bersamanya meninggalkan rumah Khadijah dia akan membawa Khadijah ke rumahnya bukan ke mension milik papah.
***
Di sebuah rumah yang di kelilingi pagar tembok yang tinggi Aslan menekan pintu pagar menggunakan remot dan seketika pintu itu terbuka sendiri, dia pun masuk ke pekarangan rumah yang besar dan mewah meski tidak sebesar mension milik papahnya, Aslan memarkirkan mobilnya di garasi, seorang satpam menghampirinya. "tuan, ada yang bisa saya bantu?", Aslan menggeleng satpam itu kembali ke posnya. Aslan melihat ke jok belakang mobil, di lihatnya Khadijah masih belum sadarkan diri, dia bergegas turun dan menggendong khadijah masuk ke dalam rumah, Para ART memberi hormat kepada Aslan, meskipun mereka agak tercengang karna Aslan membawa pulang seorang gadis belia.
Aslan membaringkan Khadijah di kamarnya, di tatapnya wajah Khadijah dengan intens, ada perasaan kagum melihat kecantikan Khadijah, Aslan melihat luka di pergelangan tangan khadijah akibat di cekal oleh anak buah dari papanya. Aslan beranjak mengambil P3K dan mengobati luka tersebut. Seusai mengobati dia pun bergegas membersihkan diri.
Klek!!!..
Aslan keluar dari kamar mandi, dia melihat seorang wanita paruh baya duduk di sebelah Khadijah. Aslan bergeming.
"Tante.."
"Siapa gadis ini? kenapa kau membawanya?", tanya Tante Yasmin memandang Khadijah.
"Dia istriku". jawab Aslan seraya masuk ke walk in closet. Tante Yasmin menghela nafas panjang. Aslan selesai memakai baju dia pun menghampiri Tante dan Khadijah.
"Apa alasanmu, bahkan dia masih gadis belia".
"ayahnya menyuruhku membawanya sebagai budak atau tawanan", jawab Aslan datar. Tante Yasmin akhirnya tahu alasan Aslan menikahi gadis ini karna Aslan tidak suka menyakiti perempuan apalagi menjadikannya seorang budak.
"Apa papamu sudah tahu?"
Aslan menggeleng. "Dia hidup sebatang kara anak buah papa telah membunuh ayahnya". "Jangan menjadi Boomerang Aslan, dia akan menjadi tawanan papamu karna ayahnya". Aslan beranjak dari duduknya dia menatap keluar jendela, "anak buah papa salah sasaran, ayah gadis ini adalah kembaran dari Husen, dia tidak tahu menahu dengan dunia mafia", jelas Aslan.
"Apa rencana mu selanjutnya?". tanya Tante Yasmin.
"Abah...", lirih Khadijah masih terpejam. Aslan dan Tante yasmin menatap khadijah. Tubuh Khadijah mengejang dan terus mengigau Aslan terlihat panik, Tante Yasmin mengecek suhu badan Khadijah.
"Badannya panas sekali, akan aku panggil dokter biar dia di periksa". Tante Yasmin beranjak memanggil dokter yang berjaga di rumah Aslan. sementara Aslan di buat bingung dengan raungan Khadijah yang terus memanggil abah. "Abah... abah... hiks.. hiks...", tangan Khadijah terulur pada Aslan dia membuka matanya dan tersenyum pada Aslan. "Abah...". Aslan menangkap uluran tangan Khadijah, Khadijah tersenyum lalu menutup mata tidak sadarkan diri lagi.
"Hei.. bangun Dijah, bangun!!", titah Aslan menepuk pipih Khadijah. Rasa khawatirnya semakin besar. Tante Yasmin datang dengan dokter Reni dokter wanita di keluarga Amer.
"Biar saya periksa tuan", dokter Reni mulai memeriksa keadaan khadijah, dokter Reni memasang infus, keadaan Khadijah sudah stabil, tapi dia belum juga sadarkan diri. Dokter menyuruh Aslan untuk menjaga Khadijah, karna bisa saja dia masih mengigau.
"Tuan, lebih baik tuan disisinya, untuk menenangkan saat mengigau, mungkin ini akibat rasa takut yang menyelimutinya, jangan biarkan dia sendiri karna bisa saja dia akan depresi karna pemikiran gadis seperti nona ini Masih rentan, takutnya dia akan melakukan hal-hal yang tidak wajar", jelas dokter Reni, baik Aslan dan Tante yasmin hanya mengangguk mengerti dengan penjelasan dokter Reni.
Sepanjang malam Aslan terjaga bahkan dia tidak memejamkan mata sedikitpun. Karna Khadijah kerap kali masih meraung memanggil abah.
MASA KECIL KU
Hamparan perkebunan sawit telah menghiasi pekarangan rumahku. Di daerah sini memang jauh dari perkampungan, Ayah memilih tinggal di kaki gunung karna jauh dari hiruk pikuk warga, ayah lebih senang hidup dengan damai dan aman. Meski sejatinya manusia itu di ciptakan untuk hidup bersosial. Bukannya aku dan ayah tidak suka hidup bersosial tapi aku dan ayah lebih suka hidup damai dengan keheningan dan keheningan itu kita ukir bersama kebahagiaan yang teduh dan hakiki.
"KHADIJAH...", panggilan ayah membuyarkan lamunanku. Aku pun beranjak menemui ayah di dapur, ayah selalu memasak jika pulang berkebun. "Ada apa abah?", semburat senyum terukir di wajah tampan ayah, ayahku memang blasteran, dia berasal dari Turki, ibuku berasal dari Jawa ayah dan ibuku kenal sewaktu mereka studi di Turki, ya, ibuku dapat beasiswa luar negri dia studi di Cankaya University. Ayah memilih tinggal di Indonesia karna dia tidak punya keluarga ada satu kembaran ayah yaitu adiknya namanya Husen Ahmed. Tapi sejak SMA adik ayah meninggalkan ayah entah dia pergi kemana ayah pun tidak tahu. Sedangkan ibuku adalah seorang yatim piatu dia tinggal di panti asuhan. Ibuku berasal dari Jawa timur, tapi sekarang kita tinggal di Kalimantan ayah dan ibu ikut program pemerintah seusai menikah ayah dan ibu memili transmigrasi ke Kalimantan. Ibuku meninggal sewaktu usiaku 1 bulan.
"Cepat di makan nak, setelah ini kita ziarah ke makam umi", titah ayah. Aku mengangguk, hari ini usiaku 10 tahun. Setiap kali ulang tahun ayah selalu mengajakku ziarah ke makam ibuku. "Abah siapin motor dulu, kamu makan yang kenyang ya!".
"Iya, abah.", ayah keluar untuk memanasi motor nya, selesai makan aku menghampiri ayah. "Kamu sudah selesai makan?", aku mengangguk. Ayah merapikan hijabku dan memakaikan mantel untukku dia pun sudah siap dengan mantelnya aku dan ayah menaiki sepeda motor tak lupa helm juga kita pakai, selama 1 jam perjalanan kita sampai di makam ibu. Di lihatnya nama ibu yang terukir di nisan dan kita berdoa. "Umi, Khadijah sudah besar sekarang dia berumur 10 tahun dia sudah bisa menghafal 20 juz Al Qur'an umi, kamu disana pasti bahagia, jujur aku ingin sekali menemui mu umi, tungguh aku,aku sadar Khadijah saat ini masi membutuhkanku", guman ayah dalam hati.
***
Di tempat lain di Ankara terlihat beberapa gerombolan laki-laki memakai baju serba hitam melakukan sebuah transaksi, transaksi ilegal senjata api. "okey, kamu cek barangnya!", titah Amer pada anak buahnya. Anak buahnya berhambur mengecek barang tersebut. selesai mengecek barang anak buah Amer kembali ke posisi semula di belakang Amer. "Satu barang yang belum selesai di buat, jika sudah selesai aku akan menghubungi mu", titah Husen. Amer menatap Husen dengan sinis. "Jangan perna main-main. INGAT ITU!!", tekan Amer berlalu meninggalkan Husen sendiri.
Husen tersenyum licik, "Jika kamu tahu aku telah menjual sniper yang kau inginkan pada klan musuh mu", geram Husen.
Husen adalah adik dari Hasan Ahmed. dia memilih pergi dari Hasan dan bergabung dengan bisnis persenjataan ilegal.
Satu tahun lamanya Amer menungguh sniper yang di pesan tapi tak kunjung di kirim, dia geram karna klan nya telah di lumpuhkan oleh klan milik Brid. Sniper yang di pesan oleh Amer telah di jual ke Brid, Amer geram dengan Husen yang telah menipunya. Dia menyuruh semua anak buahnya menangkap Husen. Tapi Husen telah meninggalkan Ankara.
5 Tahun kemudian..
Hari ini usiaku sudah 15 tahun, sekarang aku sudah SMA, 2 tahun lalu aku di Lantik lulus Tahfidzul Qur'an di kota. Ingin ku melanjutkan untuk ke pondok pesantren tapi jika aku ke pondok ayah akan sendirian di rumah, ku kubur dulu keinginanku. Ku lihat ayahku sedang melamun, entah apa yang dia pikirkan aku pun tak tahu, aku mendekati ayah dan duduk di sampingnya. "Abah...", lirihku, ayah menatapku. "Ada apa nak?". "Kenapa aba sedih?", tanyaku. ayah memelukku, "Abah tidak sedih nak, aba bersyukur karna kamu sekarang sudah remaja nak, kamu harus pandai-pandai menjaga diri, jangan pernah kau lepas hijab mu, dan jika nanti kamu punya suami kamu harus berbakti padanya, dan jika suamimu salah maka kamu wajib mengingatkannya nak, dan jika dia di jalan yang tidak Allah ridhoi kamu wajib menuntunnya ke jalan lurus yang Allah ridhoi nak!", pesan ayahku, aku akan selalu mengingatnya. "Iya abah, abah kenapa abah bicara begitu? abah, aku tidak akan meninggalkan abah, walaupun sudah menikah kelak aku akan selalu bersama abah", ayahku tersenyum mengusap kepalaku yang terbalut hijab. "Kita tidak tahu nak takdir Allah kelak". aku memeluk ayah dengan erat tidak ingin ku lepas. Kenapa ayah bicara seolah kita akan berpisah.
"Ayo kita ziarah ke makam umi!", ayah mengajakku ke makam umi seperti biasa kita menaiki motor melewati jalan yang berliku akhirnya kita sampai di makam ibu aku dan ayah membacakan surat Yasin dan juga tahlil.
"umi, Khadijah sekarang sudah besar umi, umi doakan Khadijah bisa menjadi anak kebanggaan umi dan abah".
"Umi, tadi Husen datang dia bilang dia sedang di incar oleh mafia, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan umi", lirih ayah dalam hati, ku lihat ayah menangis dia menyeka air matanya dengan cepat. "Abah, jangan menangis, kalau abah menangis kasihan umi", ayahku beranjak dari makam umi, mungkin ayah takut jika dia menangis di makam maka umi akan tersiksa. Kami kembali pulang, aku ingin bertanya kenapa ayah menangis, tapi aku tidak punya keberanian.
Saat makan malam ayah bicara padaku dia ingin aku meneruskan SMA di pesantren di kota. Tapi aku tetap tidak mau biar aku melanjutkan sekolah di kampung.
Ayah sudah 3 hari badannya demam, semenjak waktu malam itu kami tidak banyak berkomunikasi. Di daerah ku tinggal tidak ada klinik, puskesmas pun berada di kecamatan dan bisa menempuh perjalanan sekitar 2/3 jam. Sedangkan aku tidak bisa bersepeda, jalan satu-satunya aku harus membuat obat herbal dari dedaunan.
"Tungguh sebentar abah, di hutan mungkin ada dedaunan yang bisa aku ambil untuk membuat obat abah, aku pergi dulu". Aku meninggalkan ayah ketika beliau istirahat.
Di kaki gunung aku menyusuri hutan mencari dedaunan herbal untuk ramuan obat untuk ayah, ketika ku rasa sudah cukup aku beranjak kembali pulang karna takut keburu sore, saat perjalanan pulang terdengar bunyi tembakan mungkin itu cuma orang yang berburu di hutan. Tapi beberapa bunyi tembakan terdengar dari arah rumahku. Ku percepat langkah kakiku agar cepat sampai di rumah dan benar saja saat sampai di depan rumah banyak orang berbaju serba hitam mengelilingi rumahku bahkan mereka semua membawa tembak. Aku berlari masuk ke dalam rumahku tapi orang-orang itu mencegahku, bahkan tanganku di cekal oleh 2 orang laki-laki tapi terus aku memberontak dan kulihat ayahku telah terkapar di lantai, ku langkahkan kakiku ingin memeluk ayah tapi sebuah hantaman dari belakang mengenai kepalaku hingga terjatuh, sayup ku melihat seorang laki-laki menghampiri ayahku, mataku terlelap aku pun tak sadarkan diri.
"****!!!,, Kenapa kalian begitu bodoh!!", umpat Amer pada anak buahnya. "Maaf tuan, tapi wajah orang itu mirip Husen!!", lirih Will asisten Amer. "CK!!", kesal Amer, "Terus sekarang kau sudah tahu keberadaan Husen?". Will menggeleng. "Kita kira dia Husen maka dari itu kita hendak menghabisinya, tapi tuan mudah datang, kita di suruh pergi", cicit Will. Amer menghela nafas panjang. Begitu bodohnya dia telah membunuh orang yang tidak bersalah. semenjak menjadi mafia Amer hanya membunuh orang yang bersalah itu pun jika orang itu sudah fatal perbuatannya. "Siapa yang menyuruhmu membunuh? bukankah kau tahu aku tidak perna menyuruh membunuh?". Titah amer. "Maaf tuan, tuan Tom yang menyuruh kita membunuh Husen". Will semakin takut. Amer memang seorang mafia besar di Itali. dia terkenal dengan strategi melumpuhkan lawan dengan trik yang handal, bukan di bunuh tapi mereka di tangkap di jadikan tawanan dan untuk mengorek informasi tentang klan-klan musuhnya.
Amer geram pada Husen karna dia telah di tipu dan memanipulasi keadaan sehingga klan yang di pimpinnya mendapat serangan dadakan dari klan Brid. Amer menyuruh anak buahnya mencari Husen dan menangkapnya bukan untuk di bunuh melainkan akan dia jadikan tawanan. Tapi saat Amer ada urusan pekerjaan di Singapura, Tom sudah lebih dulu mengetahui keberadaan Husen dan dia menyuruh anak buah Amer membunuh Husen. tapi mereka telah salah bahkan yang di bunuh bukanlah Husen tapi kembarannya.
Tok.. Tok.. Tok..
"ADA APA??". Geram Amer pada ART.
"Maaf tuan ada tuan mudah di depan?". Jawab ART menunduk. Amer menghela nafas panjang. Amer meninggalkan Will dan temannya di ruang kerjanya dia menemui Aslan yang sedang menunggunya.
Aslan duduk menatap lukisan serigala yang terpajang di dinding mension papanya. Jujur memang Aslan jengah dengan dunia yang di geluti papanya. Hingga dia lebih memilih tinggal bersama tantenya yang seperti ibu baginya.
"Boy...". panggil Amer, Aslan menatap tajam papanya. Papanya bergeming dia sadar anaknya marah besar.
"Boy, papa tidak tahu tentang penyerangan ini". "Apa sekarang papa puas dengan semua ini?". Amer menunduk. "Bahkan seorang gadis yang tidak bersalah menerima akibat perbuatan anak buah mu", lanjut Aslan. Amer semakin menunduk. "Jangan pernah sedikitpun menyentuhnya, INGAT ITU!!". Aslan berhambur meninggalkan Amer.
***
Perlahan mataku terbuka, kepalaku terasa masih sangat pusing. Aku tidak tahu berada di mana, inginku bangun tapi tidak bisa karna badan ini serasa remuk. Ku pejamkan mata sejenak, dan ku dengar seseorang membuka pintu, aku masih memejamkan mataku, orang itu menghampiriku lalu menggenggam tanganku erat, orang itu pergi berlalu meninggalkan aku, aku tidak tahu siapa dia tapi genggaman tangannya begitu teduh, seperti ketika ayah memegang ku. Ku buka mataku menelisik ke penjuru arah, aku sepertinya berada di kamar yang begitu besar dan mewah.
Klek!!!
Suara pintu terbuka dan seorang wanita yang anggun dan cantik berjalan menghampiriku.
"Kamu sudah bangun?", tanya wanita itu lembut dia duduk di sebelahku, aku menatapnya ragu. wanita itu menyentuh keningku, dan seketika itu aku sadar apa aku masih memakai hijab atau tidak, aku pun memegang kepalaku dengan 1 tanganku untuk memeriksa, dan alhamdulillah aku masih memakai inner walaupun hijabku entah di lepas kemana, tapi aku bersyukur kepalaku masih tertutup dengan inner. Wanita itu tersenyum melihatku.
"Maaf, kemarin kami membuka kerudung mu Karna badanmu sangat panas, tapi tenang saja kami tidak membuka inner yang kamu pakai". Jelas wanita itu, aku hanya diam. Aku sebenarnya takut, aku berada dimana, dan bagaimana dengan ayahku, mengapa orang-orang itu datang ke rumahku dan menembak ayahku, apa salah ayahku, bahkan kita saja jarang berinteraksi dengan orang lain. Berbagai pertanyaan datang di pikiranku, air mataku mengalir mengingat keadaan ayah di mana ayahku, aku tak tahu harus berkata apa, air mataku terus mengalir, sehingga wanita itu menyeka dengan lembut air mataku seolah dia mengerti apa yang ku rasakan saat ini.
"Kamu harus tenang ya,". Wanita itu mengusap lembut kepalaku. Tidak lama setelah itu ada seseorang wanita paruh baya masuk membawa nampan berisi makanan. Wanita itu mengambil nampan itu dan menyuruh wanita paruh baya itu keluar.
"Kamu makan dulu", wanita itu mengulurkan sendok di tangannya pada ku. Aku hanya menatap sejenak dan berpaling. Wanita itu tersenyum lembut padaku. "Kalau kamu tidak makan gimana bisa sembuh?", aku masih tetap diam. "Kalau aku jadi kamu, aku akan bangkit". Ucap wanita itu. "Untuk apa aku bangkit, aku sudah tak punya seorangpun di dunia ini", lirihku, wanita itu menatapku lembut tapi menusuk. "Kau harus bangkit karna kau masih punya sesuatu yang harus kau perjuangkan!". Ungkap wanita itu. Aku hanya diam. Wanita itu masih setia menemaniku, selama satu jam dia masih duduk di dekatku, wanita itu sesekali mengecek infus ku, dia keluar aku pun merasa lega, tapi dia kembali lagi membawa makanan baru untukku. "Namamu siapa?", tanyanya lembut, "Khadijah". Lirihku. "Nama yang bagus". Aku hanya diam, tapi perutku terasa nyeri, aku pun hendak beranjak ke kamar kecil, tapi badanku tidak kuasa.
"Kamu mau ke kamar mandi?, sebentar akan aku panggil seseorang untuk membawamu", aku mencegah wanita itu yang akan memanggil seseorang. "Tidak perlu nyonya, aku bisa", "kamu yakin?". Aku mengangguk, diapun akhirnya memapah ku ke kamar mandi.
Ceklek...
Setelah selesai berhadas aku keluar dari kamar mandi, dan ku dapati wanita itu bersama dokter wanita, juga pria tampan di sampingnya berdiri menatapku. "Khadijah, ini dokter Reni, dia yang akan memeriksa mu", ungkap wanita itu, aku memegangi perutku yang terasa keram. Aku pun luruh ke lantai beruntung dengan sigap pria itu meraihku dan menggendongku dan membawa ke tempat tidur. Dokter Reni memeriksaku. "Nona, anda harus makan, karna asam lambung anda kambuh, jika anda tidak makan anda akan lemah", tutur dokter Reni memberikan obat. Pria itu menatapku, aku ingat sepertinya pernah melihatnya saat di rumah, dan benar saja dugaan ku. Dia adalah salah satu orang yang membunuh ayahku. Ketika dokter Reni selesai memeriksaku wanita itu mengantar dokter Raeni keluar dari kamar. Tinggal aku bersama pria itu. Ku coba untuk bertanya padanya.
"Dimana abah?", lirihku, pria itu menatapku, "Ayahmu sudah meninggal". Jawabnya singkat. jantungku seakan tidak berdetak mendengar penuturan pria itu. "Apa salah abah?, kenapa kalian membunuh abah?", aku terisak. Pria itu tak bergeming. Isakan ku makin dalam, ku cekal infus yang terhubung dengan tanganku, ku tarik selang itu hingga terputus dan darahku mengalir, pria itu kaget dengan ulahku.
"Apa yang kau lakukan?", geram pria itu, pandanganku seketika bunar dan tak sadarkan diri.
Mataku terbuka, ku lihat aku masih di ruang yang sama, dan selang infus ku sudah kembali sedia kala. Aku menghembuskan nafas kasar, ku lihat wanita yang tadi duduk bersandar di sofa. "Kau sudah bangun?", lirihnya. Aku hanya menatap ke atas tanpa menjawab pertanyaannya. Dia beranjak dari sofa dan duduk di sampingku, di genggamnya tanganku. "Nak, ku mohon, jangan lakukan seperti tadi lagi!". Guman wanita itu.
"Kamu tahu, aku juga perna merasakan yang kamu rasa saat ini, mungkin aku lebih para karna aku di jadikan tawanan bahkan mereka telah merenggut kesucian ku, kamu masih beruntung karena tuan muda masih menjagamu", lanjutnya.
"Kenapa aku tidak di bunuh saja, itu lebih baik untukku". Lirihku kemudian. Hening, baik aku dan wanita itu tidak ada yang berbicara, hingga 1 jam kemudian dia pamit untuk melakukan kewajibannya, Ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 1 siang, aku lupa jika dari kemarin aku tidak mengerjakan sholat.
"Aku keluar dulu, nanti jika kamu berkehendak tolong makanlah", ketika wanita itu hendak menutup pintu aku memanggilnya.
"Tungguh!!".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!