"Bapak, Baron kangen." Suara serak bocah laki-laki berusia enam tahun itu, kembali terdengar. Sesekali, ia terbatuk dengan isakan yang terus keluar dari bibir mungilnya.
Di atas gundukan tanah yang basah, tangan mungil itu terus mengusap sebuah batu nisan yang bertuliskan nama sang ayah. Kelopak bunga mawar, menempel dipelipisnya saat bocah itu menjatuhkan kepala begitu saja.
"Bapak nggak sayang Baron, ya?" Pertanyaan itu kembali terucap dengan bibir yang bergetar hebat. Tubuh mungilnya yang terbalut baju koko putih, menempel sempurna di atas tanah kemerahan itu.
Tangan kecil nan rapuh, melintang sempurna di atas gundukan tanah, seolah memberi pelukan untuk sesuatu di bawah sana. Ia tak mempedulikan lagi, pakaian yang semula putih bersih kini mulai ternoda oleh tanah.
Bayu Ekawira. Sebuah nama yang tertulis jelas dipermukaan batu nisan. Sesuatu yang membuat linangan air mata semakin deras, dipipi seorang bocah mungil bernama Baron.
"Kenapa bapak nggak pulang-pulang? Padahal Baron nunggu bapak di depan rumah," ucap anak laki-laki tersebut dengan kedua tangannya yang memegang erat batu nisan ayahnya.
"Baron jangan begitu, Nak. Kasihan bapak disana,"
Tutur seorang wanita, dengan hijab yang menutupi rambutnya. Saat ia hendak menyentuh punggung mungil tersebut, tangan kecil Baron langsung menepisnya kasar. Untuk sejenak, ia terdiam mendapati perilaku berbeda dari sang putra.
"Baron kangen bapak, Bu! Nggak seperti Ibu!" sentak si bocah dengan nada yang terdengar marah. Berulang kali tangannya menepis sentuhan dari sang ibu, disertai air mata yang semakin deras.
Mendapati perlakuan Baron yang tak terkendali, membuat wanita tersebut menekan kuat dadanya. Tangisan yang sudah lama ia tahan, kini tak terbendung lagi. Hatinya terasa hancur, saat mendengar tutur kata sang buah hati yang diiringi tangisan pilu.
"Baron sudah lama nggak ketemu bapak," tuturnya dengan bibir yang bergetar hebat.
Menggunakan telapak tangan, ia membekap erat bibirnya. Wanita itu berharap, supaya tangisannya tak terdengar oleh sang putra. Begitu air matanya menetes, secepat mungkin ia menghapus jejaknya.
Sekuat tenaga wanita tersebut menahannya, ia tetap menyerah. Pada akhirnya, cairan bening itu tumpah saat sang putra semakin tak karuan. "Bapak, ayo kita pulang!" teriak si bocah dengan kedua tangan yang mengusik gundukan tanah, seolah hendak mengeluarkan sang ayah.
"Bapak pasti kedinginan, tidur dibawah sana sendirian!" teriak si bocah dengan tangisan yang semakin menjadi. Sudah lama, ia tak melihat putra tunggalnya menangis pilu seperti ini.
Hati ibu mana yang tak sakit, melihat buah hatinya sehancur itu? Anak yang semula ceria, kini nampak sangat rapuh dihadapan makam ayah kandungnya.
"Baron," panggilnya dengan nada yang bergetar. Meski putranya memberontak, namun wanita itu membawa tubuh mungil si bocah ke dalam pelukannya. Ia tak peduli pukulan dari tangan kecil itu, yang terus-terusan mengenai dadanya.
"Baron tau! Ibu nggak pernah kangen sama Bapak! Makanya Ibu selalu larang Baron nangis, kan?!" teriak bocah enam tahun itu sembari terus berontak.
"Nggak gitu, Nak ... Ibu juga kangen sama bapak." Hatinya benar-benar sakit, saat bibirnya mengucapkan hal tersebut. Air matanya kembali menetes, dengan dada yang mulai terasa sesak oleh rasa rindu pada suaminya.
Ia hanya bisa menangis tanpa suara. Tatapan yang diselimuti kabut rindu, terus mengarah pada tempat peristirahatan terakhir sang suami. Ingin rasanya, kembali bertemu dengan sosok pria yang sangat ia cintai.
Suara tangis sang putra, kembali membuat hatinya berdesir. Melihat tangan sang putra yang memukul dada mungil itu, membuat hatinya semakin berkecamuk. Sekuat tenaga, ia menghentikan aksi sang putra yang terlihat sangat menyedihkan.
Namun, apa boleh buat. Seakan semua keluh kesah bocah laki-laki itu, ditumpahkan saat ini juga. Mendengar setiap ucapan pilu yang terlontar dari bibir putranya, mampu membuat dunianya runtuh seketika.
"Baron mau tidur bareng bapak aja,"
"Baron mau tidur bareng bapak aja," isak si bocah yang terlihat sangat putus asa. Sudah lama anak itu tak lagi berjumpa dengan sosok ayahnya.
"Baron ... coba dengarkan Ibu, Nak." ucapnya lembut sembari menangkup wajah sang putra. Disela-sela tangisannya, bocah berwajah tampan itu terus saja memanggil sang ayah. Keadaan putranya itu, semakin membuat si wanita terisak hebat.
Ia hanya bisa memeluk erat tubuh mungil sang buah hati, sembari terus membisikkan kalimat penenang. Menggunakan punggung tangannya, wanita tersebut berulang kali menghapus cairan bening yang menetes dari matanya.
"Baron anak yang baik, kan?" masih dengan suara yang bergetar, ia bertanya pada putranya. Sembari menangkup wajah tampan itu, ia mencoba untuk menenangkan emosi putranya.
"Tadi Baron sudah janji sama Ibu. Baron ingat?" tanya wanita berwajah ayu tersebut dengan suara yang serak. Ia jauh lebih lega, karena Baron sudah tak menangis hingga tersedu-sedu lagi.
Beberapa menit berlalu, ia tak kunjung mendapati jawaban dari sang putra. Bocah laki-laki itu hanya menyandarkan kepalanya didada sang ibu dengan nyaman. Tatapannya nampak kosong, sembari terus menatap ke arah batu nisan di sebelahnya.
"Baron janji sama Ibu, nggak bakal nangis kalau ziarah ke makam bapak. Kenapa Baron nggak tepatin janjinya ke Ibu?" tanya si wanita dengan mengangkat sedikit tubuh putranya, sehingga ia bisa menatap netra bulat tersebut.
Bulu mata si bocah, masih terlihat basah dengan air mata. Hal tersebut, membuat sang ibu menghembuskan napasnya berat. Menggunakan ibu jarinya, ia menghapus jejak air mata yang masih membasahi kedua mata sang putra.
"Baron selalu bilang ke Ibu ... Baron sayang sama bapak, kan?" Lagi dan lagi, ia tak kuat menahan air matanya. Anak yang selalu terlihat kuat itu, ternyata sangat rapuh.
Pemikirannya selama ini, terbukti salah. Ia kira bahwa anaknya bisa tumbuh dengan baik tanpa sosok figur seorang ayah. Nyatanya, anaknya itu hanya berpura-pura terlihat baik saat didepannya. Putra tunggalnya itu, tumbuh tanpa perhatian dari seorang ayah.
"Baron sayang banget sama bapak. Tapi, kenapa bapak nggak sayang sama Baron?" tanya sang buah hati, dengan nada yang terdengar sangat memilukan.
Tanpa menunggu lama, wanita itu kembali membawa tubuh mungil sang putra dalam dekapan. Ia mengelus punggung kecil yang bergetar itu, karena si bocah kembali menangis.
"Bapak sayang sama Baron, begitu juga dengan Ibu. Tapi ternyata, Tuhan jauh lebih sayang sama bapak." Hatinya benar-benar hancur, saat memorinya terpaksa mengenang lagi kejadian pilu dimasa lalu. "Baron harus ikhlas, ya, Nak? Biar bapak tenang di atas sana ..."
Putranya itu masih menangis, bahkan hingga tersedu-sedu. Kedua tangan mungilnya, terus memeluk erat tubuh sang ibu.
"Ba-baron sudah ikhlas bapak pergi. Baron mau, bapak tenang di atas sana." Bukannya mereda, justru tangisan seorang ibu dari satu orang anak tersebut semakin menjadi. Pelukannya semakin mengerat, dengan tubuh yang membungkuk.
Ia benar-benar tak menyangka, jika putranya harus didewasakan oleh waktu secepat ini. Ia menginginkan putranya, selayaknya anak-anak seumuran. Dimana mereka masih manja, dan banyak perkembangan didampingi kedua orang tuanya.
Namun, apalah daya? Semua telah terjadi, sesuai jalannya.
"Ibu jangan nangis lagi, ya? Sekarang udah ada Baron di sini," tuturnya dengan wajah yang terlihat sangat polos. Saat kedua telapak tangan mungil itu menangkup wajah sang ibu, angin sepoi-sepoi menerpa keadaan sekitarnya.
Masih dengan tubuh yang menunduk, wanita itu meneteskan air matanya. Kedua tangannya memegangi dada, dan menekannya kuat.
"Ibu jangan nangis, nanti bapak sedih liatnya ..." Bibir mungil itu kembali menasihati sang ibu. Tanpa disangka, Baron membawa kepala sang ibu dalam dekapannya. Kedua tangan si bocah menutup kembali surai ibunya yang tak tertutup oleh hijab yang merosot.
Saat wajahnya menempel di dada kecil sang putra, ia bisa mendengar detak jantung sang buah hati. Disanalah, air mata si wanita benar-benar tumpah. Usapan lembut dari tangan mungilnya, membuat si wanita memejamkan mata menikmati rasa nyeri yang menjalar di hatinya.
"Baron minta maaf ya, Bu? Baron nggak bisa nepatin janji," ucapnya dengan nada penyesalan. Kedua mata bulatnya, terus menatap lekat netra sang ibu.
Mendengar hal tersebut, membuat si wanita langsung menggelengkan kepalanya. Setelah menghapus linangan air mata yang membasahi wajahnya, wanita tersebut kembali memangku tubuh sang putra.
"Baron sayang sama Ibu. Jangan tinggalin Baron juga, ya?"
"Baron sayang sama Ibu. Jangan tinggalin Baron juga, ya?" pintanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelum putranya kembali menangis, dengan cepat ia meyakinkan dan menguatkan bocah laki-laki tersebut.
"Ibu nggak akan ninggalin Baron sendirian. Ibu yang bakal nemenin Baron sampai besar nanti," tutur ibu satu orang anak itu dengan yakin. Wanita itu menatap lekat manik mata sang putra, dengan usapan lembut yang ia berikan di lengan mungil si kecil.
Mendengar penuturan sang ibu, membuat Baron menganggukkan kepalanya. Usapan lembut kembali mendarat dipuncak kepala si bocah, diikuti kecupan lembut yang diberikan oleh sang ibu.
"Sekarang, Baron berdoa dulu. Minta ke Tuhan, supaya bapak diberikan ketenangan di atas sana. Doakan yang terbaik untuk bapak, Nak." Mendengar perintah sang ibu, bocah laki-laki itu langsung menganggukkan kepalanya.
Sama-sama dalam keadaan bersimpuh, keduanya menghadap ke arah makam Bayu. Suasana sore ini, cukup membuat hati terasa sangat nyaman.
"Bapak ... maafin Baron, ya? Tadi Baron nangis di deket bapak, terus bentak-bentak Ibu."
Untuk sekejap, Arita membeku ditempatnya. Meski suara putranya terdengar lirih, namun ia bisa mendengar dengan jelas ucapan bocah itu. Dalam diamnya, ia ingin berbincang dengan almarhum sang suami. Namun apalah daya, semua angannya tak dapat terwujud.
"Bapak jangan sedih ya, di atas sana? Baron janji, bakal jagain Ibu ..."
Setelah mengucapkan hal tersebut, Baron memejamkan mata dengan kedua tangan yang berada di depan dada. Seperti yang diajarkan oleh sang ibu, bocah itu mendoakan ayahnya dalam diam.
"Ibu, Baron ada di sini. Selalu di sebelah Ibu. Jangan pernah ngerasa sendirian lagi, ya?" ucap si bocah setelah menyelesaikan doanya. Tanpa disangka, ia mencium kening sang ibu dan kembali memeluk tubuh ramping tersebut.
Arita. Wanita tersebut hanya mengulas senyum, saat mendapati perilaku hangat putranya. Yang ia rasakan, sebuah rasa damai yang mulai memenuhi rongga dadanya. Pelukan yang jarang ia dapatkan, berlangsung sangat lama. Hingga tiba-tiba ia merasakan, napas Baron yang terdengar mulai teratur.
"Sst ... sst ... sst ..." bisik wanita tersebut sembari mengelus perlahan punggung sang putra. Masih dengan keadaan bersimpuh, wanita itu tetap memangku Baron seperti biasanya.
Tatapannya beralih pada gundukan makam di depannya. Tempat yang sangat sering ia kunjungi sendirian, tanpa sang putra. Terhitung saat putranya mulai memasuki kelas dasar, membuatnya jarang mengajak bocah laki-laki itu.
"Assalamualikum, Mas. Hari ini, aku ajak anak kita datang ke sini. Karena dia kangen bapaknya ..." Ucapan Arita langsung terhenti, saat hatinya kembali terasa nyeri.
Bayangan wajah pria yang masih ia cintai, kembali tergambar jelas dalam benaknya. Saat menunduk, netranya bisa melihat jika sang putra mulai tertidur dengan wajah yang nampak lelah.
"Baron tumbuh sama persis sepertimu. Wajah dan kebiasaan kalian, sangat mirip. Bahkan, sifatnya sangat lembut sepertimu." Arita bercerita seolah-olah ada sang suami disisinya. "Aku sangat beruntung, memiliki kalian berdua."
Sebuah kecupan hangat kembali ia sematkan dikening dan puncak kepala sang putra. Begitu juga dengan jemarinya yang menyentuh gundukan tanah di hadapannya.
"Jika Tuhan sudah memisahkan kita berdua, maka aku akan berusaha supaya Tuhan tidak memisahkanku dengan putra kita. Aku janji akan menjaganya sebaik mungkin," ucap Arita dengan menyentuh ukiran nama sang suami.
Tiga tahun sudah, pria tersebut meninggalkannya dengan buah hati mereka. Hari-hari yang dilalui keduanya, terasa sangat sunyi tanpa kehadiran Bayu disisinya.
Tak ada lagi sebuah sandaran, setelah kepergian sang suami. Ia harus menjadi wanita yang kuat, untuk putra satu-satunya. Sebisa mungkin, ia harus berusaha menjadi seorang ibu sekaligus bapak untuk Baron.
"Aku pamit dulu, ya? Hari udah sore, dan anak kita malah ketiduran." Arita mulai menepuk sebagian dress tiga perempat yang dikenakannya.
Wanita itu menyempatkan untuk mencium batu nisan yang berukirkan nama sang suami. Tak lupa, ia mengusapnya sekali lagi dengan lembut. Napas wanita itu kembali terasa sesak, begitu ia hendak bangkit dari posisinya.
"Kami pamit, Mas ..."
Sembari menggendong tubuh putranya, Arita mulai melangkah pergi. Meski hatinya terasa sangat berat, ia harus meninggalkan tempat ini. karena hari semakin beranjak sore, membuat wanita itu harus menyudahi perbincangannya dengan sang suami.
Flat shoes yang membalut kakinya, nampak sangat kotor oleh tanah pemakaman setelah diguyur hujan. Begitu juga dengan dress serta baju yang dikenakan oleh Baron, nampak lusuh karena menangis.
Seutas senyum terbit dibibirnya, saat merasakan tangan mungil sang putra semakin mengeratkan pelukannya. Kepala bocah itu bersandar nyaman diceruk lehernya, sehingga membuat Arita mengelus lembut surai lembut tersebut.
Keadaan sangat sunyi, hingga langkah kaki wanita itu tiba di ambang gapura. Dengan tenang, Arita terus membopong tubuh mungil sang putra sembari berbisik kecil. Telapak tangan lembut itu, menepuk ringan punggung si kecil.
"Kok tumben sampai sore banget, Neng? Semua baik-baik aja, kan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!