...“Ini hanyalah cerita yang kubagikan pada kalian dan telah kurangkai dengan tipuan majas dan deretan kata-kata mutiara, kuharap tidak mengecewakan kalian.”...
...-.o°0°o.-...
Diantara cahaya-cahaya yang berpendar, sulur-sulur tanaman bunga Aster yang bermekaran yang sangat memabukkan saat dicium, wewangian alami yang menjadi candu akan lahirnya titisan bangsa Dewa dan Iblis.
Percampuran antara darah kaum Dewa dan Iblis yang menjadikan ia begitu special, mantra-mantra kehidupan dari peramal dan sebuah doa dari keagungan Dewi Aphrodite yang menyentuh keningnya ketika ia lahir.
“Aku memberinya nama Arselia, nama yang indah seperti dirinya.”
“Terimakasih Dewi Aphrodite, telah memberikan doa yang baik untuknya.”
“Sama-sama Dewi Astraea, ia adalah Dewi Bintang selanjutnya walaupun terdapat darah Demigod.”
Arselia, nama indah itu terus berulang di telinga yang bagaikan rekaman radio yang rusak dari alam bawah sadar sambil bergaung memekikkan telinga.
Ia akan abadi dari satu kehidupan ke kehidupan selanjutnya dan bahkan ketika beberapa kematian mendatanginya, namun sejarah masih tetap sama dan akan sama seperti itu selamanya hingga ia mendapatkan jati dirinya dan mate.
Hingga ....
Buk!
Suara bantal mendarat pelan di kening Arselia yang membuat sang gadis meringis kesakitan sambil mengusap dahinya yang mulus agar sakitnya cepat memudar perlahan, beberapa kali ia usap dahinya tersebut akibat ulah sahabatnya yang jahil itu.
Entah kenapa tanpa ada rasa bersalah, ia menatap tajam dan memberikan tatapan paling menakutkan yang bisa ia buat sedemikian rupa seperti rembulan berdarah merah.
“Kenapa kamu ketiduran? Pintu mu sudah kuketuk dengan keras berkali-kali loh, tapi kamu-nya yang tidak membukakan pintu untukku. Karena tidak ada jawaban sejak tadi, jadi aku takut kamu ada apa-apa di dalam, kamu bikin aku khawatir aja!”
Arselia hanya mendengarkan omelan Serina yang sangat membosankan itu, posisi tubuhnya masih tetap seperti sebelumnya, membaringkan diri di atas kasur sambil membaca sebuah buku cerita atau novel.
Melihat itu, membuat Serina sedikit bersalah, sehingga membuat sahabatnya menjadi kesal padanya. Ini juga salahnya, menurutnya ini terlalu berlebihan hanya sekedar tidak membukakan pintu. Apa dirinya harus meminta maaf? Tapi ini terlalu kekanak-kanakan.
“Ya aku tahu mungkin ini sedikit berlebihan, kupikir di dalam ada masalah dan cepat-cepat kudobrak pintu kos-mu ini dan akhirnya terbuka. Ma-maaf, aku hanya mengkhawatirkanmu dan aku takut kamu kenapa-kenapa, ini juga demi kebaikanmu ....”
Ucap Serina dengan tulus sambil menundukkan kepalanya untuk meminta maaf kepada Arselia. Namun perbuatan tulusnya tidak dijawab, membuatnya sedikit kesal dengan perilaku sahabatnya yang semakin hari semakin kesal, padahal ia berbuat banyak terhadap sahabatnya itu.
Serina menatap lekat sang sahabat yang masih fokus 'tuk membaringkan diri di kasur yang empuk sambil melanjutkan membaca buku bacaan yang sempat ia tinggalkan karena ketiduran.
Hal ini tentu membuatnya semakin kesal terhadap sahabatnya itu. Ia sempat berpikir untuk meninggalkan Arselia sendirian di kos-nya, tapi hatinya menyuruhnya untuk tetap tinggal dan menemaninya sebentar.
Karena sudah jauh-jauh ke sini, tidak mungkin meninggalkannya seorang diri disini. Apalagi ia ingin menghabiskan waktunya selama mungkin bersama sahabatnya walaupun sahabatnya menolak.
Sampai terdengar suara kekehan kecil dari Arselia yang membuat pikiran Serina berhenti berpikir terlalu jauh. Lalu Serina menatap Arselia dan memberikan tatapan pada Arselia, tidak lupa sambil meletakkan tangannya di depan dada, tampaknya ia begitu kesal terhadap sahabatnya hari ini.
“Hehe, iya iya, maaf kalau begitu. Makanya jangan mau membuatku terkejut, aku bisa saja mati karena serangan jantung. Oh ya kenapa datang ke kos-ku malam-malam begini? Tidak pergi tidur di rumah? Nanti ketahuan Tante Kathie gimana? Aku gak mau tanggung jawab loh,” tanya Arselia yang masih sedikit acuh kepada sahabatnya itu.
Serina hanya menatap Arselia tanpa bergeming, bahkan mulutnya tidak menunjukkan ingin bergerak untuk berbicara. Apakah ia membuat sahabatnya begitu kesal hingga ia cemberut dan tidak ingin berbicara padanya? Oh ayolah, Serina bukan anak-anak lagi dan harus membiasakan diri dengan hal sepele ini.
Karena pertanyaan Arselia tidak dijawab, Arselia hanya pasrah dengan sahabatnya yang sedang cemberut. Mungkin ia perlu waktu untuk mengembalikan dirinya yang dulu menjadi ceria dan mudah tersenyum.
“Huft ... Sudahlah, aku tidak ingin terlalu mempermasalahkannya. Jika mau ketemuan itu, waktu siang hari dong baru aku tidak akan ketiduran lagi, gara-gara menunggu kamu sambil baca novel yang kamu berikan ini, aku jadi ketiduran, jangan-jangan kamu kangen aku ya, ayo ngaku ...,” sindir Arselia sambil menatap sahabatnya yang kini sangat cemberut.
Lalu Arselia memalingkan wajahnya, memfokuskan diri untuk menutup buku novel yang sempat ia baca setengah jalan.
“Iya iya! Tapi bukan kangen kamu, melainkan karena aku ada urusan mendesak ke sini, lagian ini juga baru hampir jam dua belas malam,” ketus Serina, ia lelah berbicara dengan Arselia karena ia selalu membuat dirinya kesal dengan sikapnya yang nakal.
‘Jam dua belas malam?’ batin Arselia saat melirik jam yang menempel di dinding yang ada di kamar kos-nya, terlihat kini sudah hampir jam dua belas malam dan sebentar lagi malam akan berganti pagi hari.
Ya memang benar kata Serina, sekarang memang akan menunjukkan pukul dua belas malam, tapi ada hal yang aneh, kenapa Serina mengatakan 'baru hampir jam dua belas malam', kenapa ia mengatakan itu?
Ia tidak menyangka ia sudah ketiduran sampai selarut ini dengan waktu yang cukup lama sekitar beberapa jam akibat menunggu Serina yang tak kunjung datang sejak tadi, padahal janjinya jam delapan malam. Kenapa selarut ini barusan datang, untung saja ia masih bisa bangun. Jika tidak mungkin entah apa yang akan terjadi ke depannya.
Sekarang sudah sangat larut dan ia masih berkeliaran di luar rumahnya, betapa beraninya dia. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padanya? Siapa yang akan menolongnya, tapi lebih baik Arselia menghilangkan pikiran buruknya terhadap sahabatnya itu.
Arselia menatap Serina dengan perasaan curiga, seperti ada sesuatu yang menjanggal dan aneh, dan ia perlu menggalinya sedikit. Apakah Serina menyembunyikan sesuatu di belakangnya?
Entahlah, sebaiknya ia berhati-hati pada Serina dan sekitarnya, manatau ada jump scare padanya dan bisa saja ia serangan jantung gara-gara hal kecil itu. Sudahlah, tidak usah mempermasalahkan hal kecil yang tidak pasti itu.
“Kok kamu ke sini malam-malam sih? Ada urusan apa sampai mendadak ke sini? Jangan-jangan kamu kabur lagi dari rumahmu itu?” ucap Arselia sambil memperlihatkan wajah malasnya untuk berbicara, lalu melanjutkan membaca novel tersebut.
Biasanya Serina ke kosnya pasti ada sesuatu hal yang terjadi. Kalau bukan itu palingan dia hanya numpang untuk makan, tidur, curhat, dan bermalas-malasan di kos-nya.
Namun yang paling parahnya dia pernah kabur dari rumah orang tuanya dan pergi ke kos-nya hanya untuk menginap semalam. Sungguh hal yang aneh pada keluarganya karena orang tuanya sama sekali tidak mencarinya, bahkan membiarkannya begitu saja.
Orang tua Serina memang berbeda dengan sahabatnya, mereka yang sedikit dingin memang bertolak belakang dengan anaknya yang pendiam namun ceria dengan teman dekat, namun Arselia tampak tidak terlalu menghiraukannya karena itu hal yang biasa terhadap beberapa orang tua.
Kadang-kadang Arselia sampai terheran-heran, Serina itu anak kandung Paman Jason dan Tante Kathie atau bukan sih, karena mereka tidak terlihat begitu akrab seperti orang tua lainnya yang begitu lembut dan menyayangi anak-anak mereka.
Memikirkan itu membuat Arselia menjadi sedih dan gusar, terkadang ia iri dengan anak-anak lain yang mempunyai ayah dan ibu yang sangat menyayangi mereka.
Sedangkan dirinya, sejak kecil ... Oh bukan! Lebih tepatnya setelah ia lahir, ia tidak pernah melihat orang tuanya, bahkan ibunya juga tidak pernah ia lihat.
Sungguh malang nasibnya yang menjadi anak yatim piatu dan harus membiayai uang sekolahnya sendiri sejak dulu, sampai sekarang ia juga tetap membiayai uang kuliahnya sendiri.
“Oh iya, bagaimana dengan buku novel yang kukasih padamu pagi tadi? Seru kan? Bikin baper gak? Aku suka banget loh dan sampai nangis karena terharu, pasangan itu romantis banget.”
Seru Serina sambil menepuk-nepuk pipinya beberapa kali sangking terharunya, Arselia hanya bisa mengiyakan ucapan sahabatnya itu, daripada harus berdebat dengannya karena hal kecil, namun ... Tunggu.
“Pasangan romantis? Tapi saat kubaca sangat berbeda loh,” jelas Arselia meyakinkan.
Keningnya berkerut menandakan ia sedang memikirkan sesuatu, sebenarnya ia terheran, buku yang ia baca sekarang adalah pemberian Serina tadi pagi. Tidak mungkin jika ia salah baca ataupun salah menilai? Lalu ia menatap tajam kepada Serina, meminta penjelasan apa maksudnya itu.
Arselia bingung, sebenarnya novel yang sedang ia baca itu memang seru dan bagus, tapi pasalnya novel itu bergenre fantasi dan tidak ada unsur romantis sama sekali!
Novel itu juga sangatlah mengerikan, ceritanya mengisahkan tentang seorang Iblis yang memburu seseorang yang memiliki kekuatan ajaib untuk menguasai dunia.
Tidak ada adegan romantis sama sekali, yang ada hanyalah membuat Arselia merinding ketakutan dan kepikiran di otaknya karena sifatnya yang begitu kejam saat membunuh manusia.
Sungguh sial nasibnya yang harus membaca novel tersebut sendirian di kos apalagi saat malam hari, hingga ia ketiduran karena ketakutan untuk menenangkan diri dari gejolak takut.
“Kamu gak asik, ah!” melihat Arselia yang bereaksi berbeda dari harapan. Serina mengomel kesal, Arselia menghela napas dengan kasar karena ulah temannya ini.
“Tapi novelnya seru sih, tapi terlalu menakutkan dan kejam,” tambah Arselia.
Serina menatap malas pada perdebatan kecil ini lalu ia mengibaskan rambutnya, lalu ia melirik jam pada dinding kos lalu tersenyum smrik. Mungkin sekarang rencananya sudah boleh dimulai sekarang.
“Tuh kan, kamu halu lagi!” ucap Serina sambil mengambil bantal dan bersiap-siap melempar tepat di wajah sahabatnya tanpa merasa bersalah.
“Siapa yang halu si-”
Belum sempat ucapan Arselia dikeluarkan, dia sudah dilempar bantal lagi dan tepat mengenai wajahnya.
Buk!
“Serina! Kenapa kamu melempar bantal ke wajahku lagi!”
Lalu ia terdiam sejenak, menatap hal yang mungkin bisa ia alami hanya di mimpi saja, ia tak percaya Paman Jason dan Tante Kathie serta Serina tahu ulang tahunnya.
“Happy birthday to you~
Happy birthday to you~
Happy birthday~
Happy birthday~
Happy birthday Arselia~”
Nyanyian Paman Jason dan Tante Kathie begitu merdu, membuat Arselia begitu terhipnotis dengan nyanyian merdu itu, ia semakin percaya bahwa ini hanyalah mimpi belaka dan tidak akan pernah terjadi.
Arselia membekap mulutnya terharu, matanya memanas saat melihat Serina bernyanyi riang beserta Paman Jason dan istrinya Mrs. Kathie yang datang dengan di tangannya membawa kue dengan di atasnya terdapat topping bertuliskan angka dua puluh tahun.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini sebab Arselia tidak punya siapa-siapa sejak lahir dan dirinya tidak pernah merasakan kasih sayang seperti Serina, ia sungguh iri dengan nasib Serina.
Namun apa boleh buat, inilah takdir yang harus ia jalani begitu juga terhadap semua orang, tidak ada yang bisa dirubah, hanya kita yang bisa merubah jalan takdir kita.
Matanya begitu panas hingga mengeluarkan sebutir cairan bening dari ujung matanya, lalu diiringi lagi beberapa tetes air mata dari Arselia, sekarang ia tidak perduli ini hanya mimpi atau kenyataan. Namun yang ia harap sekarang adalah sebuah kasih sayang.
Arselia benar-benar terharu kali ini, ia ingin mengeluarkan semua air matanya yang selama ini ia simpan, namun tidak bisa sekarang karena hari ini adalah hari bahagianya, matanya berkaca-kaca karena sangking terharunya.
“Buatlah sebuah permohonan, Arselia.”
Perintah Tante Kathie dengan lembut sambil menyodorkan kue ulang tahun yang di atasnya sedang ada api kecil menunggu Arselia untuk ditiup.
Arselia lalu mengangguk kecil, Arselia hanya berharap kebahagiaan yang sederhana akan datang padanya selamanya.
‘Aku berharap kebahagiaan akan datang padaku, walaupun itu lama ataupun cepat, aku akan menunggunya.’
Batin Arselia lalu menutup matanya dan meniup pelan hingga api tersebut padam, lalu mengeluarkan asap berwarna abu-abu yang begitu menusuk hidung.
Terkadang manusia hanya bisa berencana tanpa berbuat apa-apa namun kehidupan bukanlah hanya ingin bahagia, tapi pasti ada kesedihan dan kebahagiaan, begitu juga pengorbanan.
Harapan adalah sesuatu yang mustahil bagi sebagian manusia dan untuk itulah beberapa dari mereka tidak berharap terlalu banyak, yang mereka tahu dengan usaha mereka sendiri, pastinya akan membuahkan hasil yang memuaskan, jika hanya dengan berharap, tidak tentu juga akan terkabulkan.
“Sudah selesai,” ucap Arselia.
Ia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagianya, ia terlalu bahagia sampai-sampai ini semua terasa semu dan siap hilang kapan saja saat dibawa angin.
“Kami juga ada hadiah untukmu.”
Ucap Paman Jason girang lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, terlihat sebuah kalung berwarna biru keunguan yang berkilau tertimpa cahaya.
Kalung tersebut berupa bintang dengan ukiran yang rumit berwarna biru bening, kalung itu berpendar seolah-olah meminta Arselia segera menggenggam dan memakainya di leher mulus Arselia.
“Ini sangat cantik,” ucap Arselia yang memuji kalung biru itu.
“Tentu saja, kami secara khusus memilih ini yang terbaik hanya khusus untukmu.”
Lanjut Tante Kathie berapi-api sambil memandang Arselia penuh dengan kelembutan seperti anaknya sendiri, sifat keibuannya muncul tiba-tiba disaat melihat anak yang manis seperti Arselia.
“Terima kasih banyak Paman, Tante dan Serina. Aku tidak tahu aku harus berterima kasih bagaimana kepada kalian, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak.”
Arselia menggenggam kalungnya erat, seketika ada sebuah cahaya berwarna biru yang bersinar di antara jemarinya. Cahayanya merambat ke dinding dan berlomba dengan angin yang berhembus kencang menerpa gorden kos-nya.
Angin membelah langit yang tadinya tertutup kabut tebal, sinyal bahwa takdir yang seharusnya telah berjalan dan kini sejarah akan terulang kembali, akhirnya tergantung pada pilihan si pemilik takdir.
Hari ini langit malam lebih bersinar terang daripada biasanya, seakan-akan mereka bahagia bahwa pemilik mereka akan kembali sebentar lagi.
“Sudah, sudah mengkhayalnya ya, haha,” seru Serina dengan keras sambil menyenggol lengan Arselia dengan pelan.
Kali ini Serina tidak mau ketinggalan keseruan, sebuah gelang berwarna hitam kilat sedang dibawa Serina dengan hati-hati di depan Arselia.
Gelang yang begitu sederhana dan polos ditunjukkan kepada Arselia, tidak ada yang menarik dari gelang itu, hanya gelang berwarna hitam kilat.
Namun dibalik gelang polos itu menyimpan banyak arti dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Seperti pemberian special dari sahabatnya yang tulus.
“Ini gelang antik loh, jadi jaga dengan baik-baik ya, walaupun polos tapi ada hal ajaib dan misterius loh, hihi.”
Ujar Serina sambil menutup mulutnya menahan kekehan, kini terlukis senyuman tipis di bibirnya. Tidak seperti tadi lagi yang begitu cemberut karena kesal padanya, kini ia lebih tenang.
Lalu Serina menjauhkan kotak persegi berwarna hitam di tangannya yang sebelumnya digunakan untuk meletakkan gelang hitam untuk Arselia dan menyuruh Arselia mengambil isinya saja.
“Gelang ini bisa buat cari pasangan loh,” promosi Serina sambil menahan tawa, Arselia menepuk kepala Serina dengan pelan sambil cekikikan puas terhadap lelucon Serina.
“Mau bilang aku jomblo ya?” tanya Arselia dengan tawa lebarnya.
“Kan emang bener kamu jomblo,” seru Serina seolah mengejek.
“Itu gelang ikatan takdir, kata penjualnya gelang ini bisa mencari mate kita dari dunia alien ataupun dunia fantasi lainnya.”
Arselia menggelengkan kepalanya, mendengar lelucon sahabatnya hanya bisa membuat kepalanya pusing.
“Terserah kamu aja deh!”
“Sudah, sudah, ayo potong kuenya Arselia.”
Tante Kathie yang paling bijaksana, ia menengahi mereka berdua karena bisa-bisa mereka akan berdebat sampai malam menjelang pagi.
Arselia mengangguk lalu memotong kue yang berada di depannya ini dengan potongan besar yang dibagi menjadi empat potong dengan sama rata, memberikan masing-masing kue untuk ketiganya dengan cinta kasih yang sama besar.
“Selamat ulang tahun Arselia.”
Ucapan selamat ulang tahun itu terngiang di telinga Arselia yang menghantarkannya ke mimpi-mimpi yang selalu kosong tanpa ada yang namanya kehidupan, ke sebuah tempat dengan seluruh cahaya yang menjadikan tempat itu pusat penerangan.
Diantara birunya langit dan hijaunya rerumputan, tidak ada senyum yang menghiasi wajah Arselia, hanya terlukis jelas wajah bimbang dalam dirinya.
Semuanya terlalu sempurna baginya hingga semua orang tidak berani menyentuh tempat itu dan segala isinya yang menjadikan tempat itu sepi, kesepian lah yang selalu menemaninya hingga menjadi teman sehari-harinya.
Kini tidak ada Serina yang ribut dan membuat dunia ini hidup dengan keramaian, tidak ada senyuman menenangkan dari Tante Kathie dan tidak ada nasihat yang bisa diandalkan dari Paman Jason.
Mimpi itu terasa nyata dan Arselia berusaha merebut kesadarannya di ambang remang-remang cahaya kamar, ia hanya ingin semua mimpinya menjadi kenyataan.
“I-ini mimpi? A-aku ... Mimpi lagi? Ta-tapi ... Kali ini mimpiku begitu nyata dari sebelumnya,”
Ujar Arselia terbata-bata kepada dirinya sendiri antara nyata dan tidak percaya, ia membelalakkan matanya menatap isi kamarnya yang tertata rapi.
Tidak ada bekas perayaan ulang tahun dan kue yang telah dipotong dan lilin yang habis termakan api, dan juga sisa-sisa kenangan indah dan juga kebersamaan.
Semuanya terasa mimpi hingga Arselia merasakan sesuatu di lehernya, kalung berbentuk bintang berwarna biru bercampur ungu terang. Pantulan rembulan membuat kalung itu menjadi satu-satunya pencahayaan di kamarnya.
Bersamaan dengan pendarnya dari rambut Arselia yang berubah warna menjadi coklat keemasan terang dan kilat, rambutnya bersinar terang bagaikan pancaran sinar matahari.
Mata obsidian-nya menghunus ke segala arah sambil memanggil jiwa-jiwa yang sedang menanti takdir mereka bahwa adanya campur tangan yang membuat fase kehidupan ini menjadi berbeda.
Diantara remang-remang cahaya lampu di bagian kiri kamar Arselia, berdiri seseorang dengan jubah serba hitam. Entah mengapa dia bisa berdiri di sana, namun dalam kebingungannya bibirnya berucap dengan sendirinya, “kita akan bertemu lagi, my mate.”
...-.o°0°o.-...
“Ilusi adalah mimpi, dan mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan.”
...-.o°0°o.-...
Info tentang novel.
Dewi Aphrodite adalah dewi kecantikan dan cinta.
Dewi Astraea adalah Dewi Keadilan, Kepolosan, Kemurnian. Ia juga merupakan Dewi Astronomi. Dalam Mitologi Yunani Kuno, ia bisa disebut juga dengan Dewi Malam Bintang.
Mate adalah pasangan abadi. Contoh:
Seorang werewolf laki-laki ketika menemukan mate-nya, maka ia akan merasa mabuk berat dan merasa candu dengan mencium bau atau aroma dari pasangannya, walau dalam jarak beberapa meter jauhnya.
꧁ Art Cover Novel [ 1 ] ꧂
“Walaupun itu ilusi, semuanya tidak akan berubah. Jika ini kenyataan, barulah semuanya berubah.”
...-.o°0°o.-...
Pukul 14.00 siang, inilah saatnya para mahasiswa untuk pulang dari kampus ataupun pergi mengerjakan tugas pribadinya seperti bekerja di kantor.
Arselia kini menuju perpustakaan untuk mencari sahabatnya yang entah dimana saat ini, menurut tebakannya pastinya ia sedang berada di perpustakaan.
Pertama kali yang dipikirkan Arselia ketika keluar dari kelas adalah mencari keberadaan Serina, sahabatnya yang satu ini pasti sedang berada di perpustakaan membaca buku.
Tadinya Arselia sudah mencari ke kelas namun tidak ada teriakan keras dari Serina saat membicarakan anak baru di kampusnya, kelasnya sudah tidak ada penghuni sama sekali ketika Arselia menyusul.
“Lihat Serina gak?” tanya Arselia pada penjaga perpustakaan.
Namanya kak Jane, begitulah mahasiswa lain memanggilnya. Perempuan berkacamata bulat yang selalu mengenakan pakaian penjaga, ia sangat berwibawa dan kini sedang mengerutkan kening, menatap tajam Arselia yang sedang bertanya.
“Serina?” tanya kak Jane heran.
Kini Arselia yang berganti mengerutkan dahi, kak Jane tersenyum tipis apalagi mulutnya yang ingin menahan tawa yang tidak pernah ditemukan di mata Arselia.
“Iya kak, masa kakak lupa sih? Aku kan selalu bareng Serina ke sini,” jelas Arselia menuntut jawabannya, lalu kak Jane menyentuh kening Arselia.
“Nggak panas, tapi kok kamu halu Sel?” sontak Arselia menggelembungkan pipinya yang tandanya kesal.
“Ngawur gimana? Udah deh, tadi Serina ada ke sini apa enggak sih?” tanya Arselia mengulang, kali ini dengan tangan berada di pinggang.
“Kalian kan musuhan,” penjelasan yang diberikannya membuat Arselia terdiam namun menunjukkan bahwa dirinya kesal.
“Ini bukan April Mop kak, ini udah Desember! Kak Jane, jangan ngomong sembarangan dong. Aku buru-buru nih hari ini, jangan banyak basa-basi dong,” ucap Arselia dengan tatapan melotot, meskipun penjelasan kak Jane terlihat begitu meyakinkan.
Kak Jane tertawa keras hingga perutnya sakit akibat ulahnya sendiri. Inilah satu sifat yang tidak pernah diperlihatkan ke Arselia padahal Arselia dan Serina itu pelanggan tetap di perpustakaan.
Setiap kali mereka datang pasti disuguhi wajah dingin dan datarnya, ia tertawa dan dibalas senyum oleh kak Jane saja sudah termasuk hal yang langka bagi Arselia.
“Akhirnya kak Jane ketawa juga,” ujar Arselia yang mengatakan pada Jane, agar ia sadar.
Tentu saja terkejut melihat fakta di depannya, sebenarnya bagus sih. Jadi, kalau ke perpustakaan tidak takut dengan wajah galaknya kak Jane lagi.
“Kamu aneh, Sel.”
Ujar kak Jane sambil berdecak kesal melihat tingkah Arselia yang tiba-tiba mencari Serina, musuhnya.
Arselia mengangguk setuju, dia juga merasa ada yang aneh. Suasana di sekitarnya terasa berubah. Entah karena kalung yang melingkar di lehernya atau gelang yang terasa pas di pergelangan tangan.
Ataukah ucapan selamat ulang tahun dari alam bawah sadar yang seperti panggilan kematian, yang pasti semuanya terasa semu, abu-abu dan gelap.
“Ya udahlah, nggak ketemu Nico kemarin buat kamu jadi linglung kali ya?” kak Jane tertawa lagi dan lebih renyah dari yang sebelumnya.
Belum sempat Arselia mencerna kata-kata kak Jane, perempuan itu memekik heboh.
“Nah, itu dia!”
Arselia mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk kak Jane dan mata Arselia membulat ketika Serina tertawa senang dengan kedua temannya, Arselia hanya mengingat dua orang itu satu kelas dengan Serina. Namun untuk kedekatan mereka, hal itulah yang perlu dipertanyakan sekarang.
“Serina!” panggil Arselia keras.
Serina yang tadinya sedang mengerjai Fifi, si kutu buku paling sering dibully itu menjadi terdiam. Raut wajah heran tergambar di wajah Serina yang membuat langkah kaki Arselia melambat. Tidak ditemukannya Serina yang heboh dengan kehadiran Arselia ataupun serbuan Serina sebelum Arselia menyapanya sekali pun.
“Serina, kita bisa bicara berdua?” tanya Arselia dengan nada lirih.
Apalagi ketika kedua teman Serina menatap Arselia dengan tatapan tajam seolah-olah Arselia menyembunyikan sesuatu yang berharga yang membuat Arselia jadi salah tingkah.
“Kamu siapa?” tanya Serina heran.
Arselia terkejut, tidak ada tanda-tanda Serina yang sedang mengerjainya dan badan Arselia mulai bergetar seperti dihujani ribuan mata yang siap menerkamnya.
“Ini gak lucu Serina! Di saat begini kamu malahan bercanda, aku lagi serius!” sungut Arselia keki dan suasana di sekitarnya berubah mencekam.
Mendung bergelayut yang membuat sinar matahari yang tadinya menerobos masuk, kini mulai menghilang.
“Siapa yang bercanda? Aku beneran gak kenal kamu, jadi aku harus gimana berbohong padamu?” jawab Serina dengan santai.
Kedua tangannya berlipat di depan dada setelah menyentil dahi Fifi hingga membuatnya lari secepat kilat. Serina berdiri sambil mengamati Arselia dari atas ke bawah.
“Kamu kan yang mau kerja di tokonya ayah?” ujar Serina setelah menyadari sesuatu, lalu menghentikan aktivitasnya meneliti Arselia.
“Ayah? Maksudmu apa sih?” tanya Arselia memastikan.
“Serius, kamu gak kenal Paman Jason Ferchy Harvey? Beneran? Pft, haha.”
Ejek Emely Alister, perempuan dengan rambut sebahu warna merah bata.
Arselia mengingatnya, dia selalu membuat onar di hadapan dosen atau mahasiswa lain dan dia juga termasuk spesies yang dihindari Arselia dan Serina.
Tunggu, bukannya Arselia memang sudah bekerja dengan Mr. Jason sejak lama ya? Maksudnya yang mau kerja itu pasti bukan dia, kayaknya otak Serina terbentur sesuatu.
“Serina, kita perlu bicara sesuatu.” Pinta Arselia cepat karena firasatnya mengatakan hal buruk yang sedang terjadi.
“Maaf, Serina ngak punya banyak waktu untuk ngeladenin kamu.” Jawab Mitta Wildson.
Matanya yang sebesar jengkol pernah membuat Serina jengkel setengah mati, Arselia masih mengingat itu. Waktu itu Serina dipelototi Mitta karena mengadukan kecurigaannya waktu ujian.
“Tapi ini penting!” ucap Arselia sedikit menaikkan nada bicaranya.
“Maaf, em ... Siapa namamu?” ucap Serina sambil mengingat-ingat.
Hati Arselia sakit, bahkan nama sahabat sendiri saja tidak tahu. Sifatnya hari ini dengan kemarin beda jauh, semalam dia begitu baik, tapi kenapa hari ini begitu mengesalkan.
“Oh ya, Arselia kan? Aku ngak tahu siapa kamu, jadi minggir sekarang!” ucap Serina tak kalah kerasnya dengan Arselia.
Serina berjalan melaluinya dan sempat menyenggol Arselia hingga terhuyung pelan, Mitta dan Emely hanya mengekornya dari belakang.
Arselia pernah mengalami kejadian seperti ini dengan peristiwa yang sama persis dan dilakukan oleh Mitta dan Emely menggunakan ucapan yang sama juga. Namun bedanya Serina tidak ada diantara mereka.
“Sel, kamu ngak apa-apa?”
Arselia menoleh ketika berbalik dan ditemukannya wajah khawatir yang seharusnya membuat Arselia merasa tenang dan lega, namun alih-alih bertambah khawatir.
“Liana?”
Liana tertawa ramah pada Arselia, padahal seharusnya ia menampilkan ekspresi judes dan sombong seperti sifat Serina tadi.
“Iya, ini aku Liana, sekaligus sahabatmu.”
Sahabat katanya? Sahabatnya itu Serina!
“Ngak! Kamu bukan sahabatku, sahabatku itu Serina!” tolak Arselia dan berjalan mundur dengan teratur.
“Kamu ngawur lagi ya, Sel. Padahal kita udah jadi sahabat dari kecil loh,” koreksi Liana dan berusaha mendekat.
Arselia menggelengkan kepalanya, sebenarnya Liana adalah perempuan yang selalu meremehkannya sejak dulu. Hobinya menjahili kutu buku yaitu Fifi untuk mendapatkan kesenangan dan ia lebih memilih nongkrong di kantin daripada ke perpustakaan atau mengikuti mata kuliah. Liana bahkan pernah mendorongnya hingga tersungkur ketika Arselia mengotot tidak mau memberikan antriannya waktu di Kafetaria.
“Ini mimpi ya?” ucap Arselia sambil meringis.
“Masih belum ingat kalau ulang tahun kamu itu semalem? Gimana gelangnya? Bagus kan?” tanya Liana antusias.
Matanya yang seperti boneka hidup membulat dengan sempurna seolah-olah jawaban Arselia sangat ditunggu-tunggu.
“Kamu yang kasih gelang?” lalu Liana menjawab perkataan Arselia dengan mengangguk.
“Maaf ya soalnya kemarin aku tinggalin kamu sendiri, kan udah malem.”
Tadi malam Arselia tidak bermimpi tapi hanya saja subjek yang melakukannya berbeda, entah kejadian tadi malam atau sekarang namun semuanya terasa diluar logika.
Hingga akhirnya Arselia mencium bau tanah sehabis hujan, ia mencari ke segala sudut perpustakaan namun tidak menemukan apa pun. Ia menghela nafas, sekarang kepalanya terasa pusing.
“Kalung ini ....”
Liana mendekat lalu memekik keras dan beringsut menjauh.
“Buang itu Arselia!” perintah Liana cepat.
Meskipun tidak menunjuk benda yang dimaksud namun Arselia cukup mengerti kalau kalung berbandul bintang inilah yang ditakuti Liana.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawab Liana tegas sambil menggelengkan kepalanya, walaupun gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia sedang berbohong.
Jawabannya memang menunjukkan kalau ia sedang berusaha untuk bersikap normal. Apalagi wajahnya yang tidak lagi menampakkan rasa takut seperti tadi, namun menambah kecurigaan Arselia.
“Aku bilang kenapa?! Aku tidak suka mengulanginya lagi!” perintah Arselia mengulang, kali ini ia mendekati Liana yang berjalan mundur dengan perlahan-lahan.
“Tidak ada, tapi ... Hanya saja itu terlalu cantik menurutku, hehe.” Jawab Liana asal dengan senyumannya yang lebar, tidak ada kebohongan dalam ucapannya dan sungguh menyakinkan.
‘Ada apa apa dengan kalung ini?’ batin Arselia bertanya pada pikirannya sendiri dan berharap mendapat jawaban seperti yang diucapkan sahabatnya tadi malam.
Bau tanah setelah hujan tercium kembali namun kali ini lebih menusuk dari yang sebelumnya, dada Arselia sesak seketika saat jawaban itu terdengar dan ia pun menggigil.
Kegelapan merayapi dinding-dinding yang membuat ruangan kerut, atap-atap merendah, rak-rak buku menghimpit Arselia dalam sesaknya ketakutan. Sesuatu mendorong bahu kirinya pelan dan telinganya terasa mendidih.
“Untuk pertemuan kita, my mate.”
...-.o°0°o.-...
“Salahku apa hingga takdir membuat hidupku menjadi begitu sulit?”
“Lebih baik kita tidak saling mengenal satu sama lain, daripada penderitaan ini akan semakin memburuku.”
***
Koridor menuju gedung Ekonomi dan Bisnis terasa panjang di mata Arselia. Selain gerombolan mahasiswa yang menatapnya dengan bisik-bisik, terdapat juga tatapan tajam yang menusuk punggungnya. Ketika Arselia berbalik, matanya menangkap bayangan orang berjubah hitam sedang berlari. Pakaian yang cukup aneh untuk dikenakan di kampus.
Pasalnya pakaian itu seperti baju penyihir, tahu kan penyihir? Baju yang biasa dipakai penyihir, seperti itulah sosok baju yang sedang mereka pakai.
“Sel, kamu melamun lagi ya?” tanya Nico dengan tangan melambai-lambai di wajah Arselia.
“Kak Nico?”
Nico hanya mengangguk, tidak tahu karena apa, tapi Arselia mengerti akan maksudnya.
“Maaf ya, kemarin aku gak bisa dateng.”
Arselia terkejut, ia sadar bahwa keanehan juga terjadi pada Nico.
“Tapi aku gak kenal kakak,” jelas Arselia lagi.
“Iya, benar.”
Di luar dugaan, jawaban Nico membuat kerutan di dahi Arselia bertambah dalam. Arselia pikir Nico akan mengelak seperti kak Jane, Serina ataupun Liana, ternyata tidak dan Arselia merasa lega.
“Ya udah, aku pergi dulu ya.”
“Kamu ngak ingin tahu sesuatu ya, Sel?” tanya Nico menawari, tidak ada lagi sorot jahil di matanya selain kesungguhan.
Arselia bergidik dan tanpa sadar membuat jarak di antara mereka melebar, beruntung suasana lorong semakin sepi. Jadi, Arselia tidak perlu merasa malu sekali.
“Soal?” tanya Arselia menuntut jawaban yang mungkin saja berkaitan dengan keanehan pagi ini.
“Tentang kita,” jawab Nico.
Arselia tersenyum kecil.
“Kita ngak pernah saling kenal, kak. Ngak mungkin ada apa-apa di antara kita.” Jelas Arselia, lalu terlihat Nico mendesah kecewa.
“Kamu melupakannya ya?”
“Maksud kakak?”
“Gelang ini buktinya, Sel.” Ucap Nico lalu memperlihatkan gelang yang sama persis seperti yang dipakai Arselia.
Entah Arselia harus percaya atau tidak, sekarang ia merasa bimbang dan hatinya kosong. Ia masih menganggap semuanya di luar nalar manusia.
“Ini ngak lucu tau.”
Arselia menarik tangannya dari genggaman Nico, dia tidak mempercayai gelang couple itu sama sekali.
“Sebenarnya kita pernah bertemu di kehidupan yang lalu, Arselia.”
“Ini dari Serina, bukan dari kakak!” seru Arselia membentak Nico sambil menggelengkan kepalanya.
Nico berusaha mendekat, namun menghentikan langkahnya ketika Arselia memberi isyarat untuk mundur.
“Ini bukan dunia lain. Sumpah! Aku ngak ngerti sama kalian semua!” ujar Arselia, ia merasa frustasi dan kepalanya berdenyut-denyut sekarang.
“Ini bukan dunia lain. Dunia kita memang dari dunia lain, tapi dunia kita-”
“Stop! Aku ada kelas!” potong Arselia seenaknya sendiri.
Ia menurunkan tangannya ketika Nico menatapnya dengan tatapan tajam dan mungkin kelewat tajam, rambut merahnya seperti menyala di mata Adelia.
Serupa warna matanya yang tidak lagi biru, melainkan merah darah. Arselia merasakan Nico lebih pucat dari biasanya seolah-olah laki-laki itu adalah mayat hidup kembali.
“Kamu melupakanku, My Queen,” ujar Nico dengan bisikan aneh.
Bulu kuduk Arselia meremang, Nico terlihat siap menerkamnya kapan saja. Mungkin Arselia dengan halusinasi melihat taring mencuat di sela-sela gigi Nico. Ini pasti mimpi, lalu Nico mendekat dengan hidung mengendus-endus.
“Ini pasti mimpi,” ujar Arselia resah pada dirinya sendiri sambil meredam ketakutan sendiri jika ini adalah kenyataan.
Ia hanya ingin kehidupan yang baik, kenapa begitu sulit. Mempunyai pacar idaman, lalu menikah dan mempunyai anak hingga menghasilkan cucu, dan setiap hari menyaksikan mereka bermain.
Hanya itu yang ia mau, kenapa ada orang aneh yang tidak jelas datang dan mengatakan hal yang aneh, bahkan Arselia tidak mengerti apa maksud dan tujuannya.
Saat dirasakannya panas menjaliri pipi akibat tamparannya sendiri tadi, lalu Arselia merasakan pipinya disentuh Nico. Tangannya sangat dingin seperti pipinya seolah-olah disentuh oleh es batu.
“Aku mencarimu ke mana-mana, Arselia,” ujar Nico lagi, sepertinya Arselia mulai kesal dengan kehadirannya yang mengganggu.
Sebenarnya Arselia ingin sekali menjerit, namun suaranya tiba-tiba saja berubah kelu dan bibirnya kaku. Ia tidak bisa bersuara sedikit pun dan tidak ada suara yang keluar.
“Jangan pernah mendekat!”
Setelah bisikan yang dibawa angin itu, pergelangan tangan Nico memanas layaknya dipanggang kobaran api. Dilihatnya Nico terpental jauh di pinggir lapangan olahraga, tangan kanan Nico terkelupas hingga siku.
Arselia tidak tahu siapa yang melakukannya hingga seperti ini.
‘Arselia.’ Batin Nico dari jauh, Arselia bisa mengeja kata maaf dari bibir Nico. Dia kembali normal dan tidak berbahaya lagi.
Arselia menggeleng, ketakutan menghimpitnya hingga berlari-lari melewati lorong-lorong yang panjang. Tidak peduli lagi kelas yang akan datang maupun tatapan aneh dari orang-orang, sekarang ia hanya butuh tempat nyaman untuk meyakinkannya bahwa ini hanyalah mimpi.
...-.o°0°o.-...
“Jika kalian bertanya padaku, apakah aku pernah melupakan sesuatu? Jawabannya aku tidak akan pernah melupakannya, apalagi itu adalah masa laluku yang indah, itulah satu-satunya kenangan yang masih aku punya dan simpan, jadi aku tidak akan pernah melupakan hal itu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!