"... Matahari tidak pernah bertemu dengan bumi.. Matahari tidak pernah mendekati bumi.. Namun matahari senantiasa memancarkan sinarnya untuk kehangatan bumi.. Cinta bukan tentang jarak dan waktu saja, tapi Cinta juga adalah kepercayaan dan kenyamanan pada saat jarak membentang diantara kita.. "
Ucu Irna Marhamah
***
•••Shica Mahali•••
Aku merasa seberkas cahaya memasuki kamarku dan menyilaukan mataku yang masih tertutup. Perlahan kubuka kedua mataku. Terlihat pangeran tampan itu berdiri di jendela besar kamarku. Dia menyingkap tirai jendela kamarku sehingga memudahkan cahaya sang mentari menembus kaca jendela dan menyilaukan mataku.
Aku mengerjap beberapa kali.
"Bangun putri tidur, sampai kapan kau akan tertidur? Sekarang waktunya pergi kesekolah. Atau SMP lagi libur, ya?" tanya pangeran tampan itu.
Ah tidak!
Dia bukan pangeran tampan. Aku mengenali suara menyebalkan itu. Itu suara Regar, kakakku.
Aku mendengus kesal kemudian kembali merebahkan tubuhku ke kasur dan menutupi sekujur tubuhku dengan selimut hangatku.
Terasa ada beban disampingku. Mungkin kakaku duduk disana. Terasa tangan kakakku bergerak menarik selimutku dan selanjutnya kurasakan serangan yang menggelikan.
Dia menggelitik area pinggangku. Oh, aku tidak tahan sekali.
Aku menahan kedua tangannya.
"Kakak! Aku sudah bangun!" teriakku. Kakakku menangkup wajahku.
"Kenapa bangun terlambat? Biasanya kau yang membangunkanku!" katanya kemudian menyentil dahiku.
"Kakak," aku menggerutu sambil menyentuh dahiku yang nyeri akibat ulahnya.
"Kakak lupa? Ini hari apa?" tanyaku.
"Ini hari dimana kau harus berangkat ke sekolah," jawab kakakku.
"Ini hari minggu kak." kataku.
Kakakku tampak berpikir.
"Benarkah? Ehehehe.. Maaf, aku mengganggu tidurmu, ya." kata kakakku sambil membelai lembut kepalaku.
Aku cemberut kesal.
Dia pun berbaring di sampingku. "Kalau begitu, aku juga mau tidur lagi," kata Kakak.
Aku tersenyum kemudian merebahkan tubuhku disampingnya.
Terdengar pintu kamarku terbuka.
"Shica! Regar! Ini jam 7! Saatnya ke sekolah!" teriak wanita cantik yang tidak lain adalah Mamaku, Ratna Mahali.
"Apa! Tapi Ma, Shica bilang ini hari minggu." gerutu kakakku.
Aku tertawa terbahak-bahak. Kakak menoleh kearahku dan mengernyit bingung.
Mamaku menggeleng pelan.
"Kamu dibodohi adik kamu," gerutu Mama.
Kakak melirik kesal padaku. Aku terkekeh kecil. Setelah sedikit berdebat dengan kakakku, aku dan kakakku segera mandi kemudian sarapan pagi bersama orang tuaku.
Setelah itu aku pergi kesekolah dengan berjalan kaki. Kenapa aku suka jalan kaki? Itu karena aku mau mengurangi berat badanku.
Nama singkatku Shica Mahali, aku anak kedua dari ayahku Ridan Mahali dan ibuku Ratna Mahali.
Aku sekarang kelas dua SMP. Ya, aku berbeda dua tahun dengan kakak laki-lakiku yang tampan itu. Nama kakakku adalah Regar Mahali sekarang dia kelas satu SMA.
Aku bersekolah di tempat yang sama dengan kakakku dulu waktu dia kelas tiga SMP dan aku kelas satu SMP.
Fisikku tidak terlalu cantik dan bisa dikatakan aku gemuk, berkacamata bulat dan besar, kulitku tidak terlalu putih.
Bayangkan betapa culunnya aku, kan? Meski aku culun, aku orangnya temperamen. Ya, itu warisan dari ibuku yang galak, sama seperti Regar kakakku.
Aku tidak terlalu cerdas, aku menyukai semua mata pelajaran kecuali matematika.
Menurutku, matematika membuat otakku bekerja empat kali lipat dari pelajaran lain.
Itu sangat menjengkelkan.
Itulah sekilas diriku yang culun.
Berbeda dengan Regar kakakku yang sangat tampan dan seorang captain volly. Dia sangat kuat, berani dan menjadi kebanggaan teman-temannya.
Banyak gadis-gadis yang menginginkannya. Padahal aku sendiri tidak menyukainya karena galak dan pemaksa.
Aku dan kakakku cukup akrab, meski terkadang ada pertengkaran kecil diantara kami.
Tapi aku tahu kakakku sangat sayang kepadaku.. Begitupun aku sangat menyayangi dia.
Tiiiiinnn!!!
Suara klakson motor kakakku yang sengaja dia bunyikan didepanku.
Aku yang baru berjalan beberapa langkah dari rumahku sangat kesal.
"Apa-apaan kau kakak!" aku menggerutu.
"Ayolah nona pemarah, ikut denganku. Memangnya siapa yang bisa menolak ketampananku?" rayu kakakku sambil menyeringai tampan.
"Aku mau jalan kaki, Kak." aku menjawabnya sambil melanjutkan langkahku, namun dia kembali melajukan motornya dan menghalangi jalanku.
"Shica, kalau kau berjalan berkilo-kilo meter dari sini ke sekolah, bisa-bisa kakimu patah." ledek Regar kakakku.
"Baiklah," aku menurutinya karena aku tidak mau berdebat dengan kakakku yang galak itu.
Aku menaiki motor sport hitamnya. "Bagus, ayo!" dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Kakak! Kau gila! Mau mengirimku ke akhirat!" teriakku.
Terlihat senyum nakalnya dari spion. Aku meremas jaket hitam yang dia kenakan.
Sesampainya di sekolah, dia mengerem mendadak hingga kepalaku bebenturan dengan helm yang dia kenakan.
"Aww, beraninya kau!" aku menggerutu sambil memukul pundaknya. Dia hanya menyeringai tampan. Aku menuruni motor besarnya. Kedua lututku rasanya masih gemetar karena dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Semua gadis yang melihat seringaian kakakku itu terpaku dengan ekspresi mengerikan. Mungkin mereka terpesona melihat kakakku.
"Belajar yang serius ya, adikku sayang." goda orang gila itu sambil membelai lembut rambutku.
Dia pun melajukan motornya menjauh dari sekolahku.
Akupun memasuki SMP Negeri 1 Nusa Bangsa yaitu sekolahku.
Aku punya beberapa teman. Aku memang kurang suka bergaul dengan teman-teman yang lain.
Aku periang di rumah dan suka jahil juga. Tapi di sekolah aku pendiam dan jarang bicara.
Aku melihat beberapa temanku lewat, mereka menyapaku saat kami berpapasan. Aku merespon mereka dengan senyuman kecil.
Tiba-tiba aku bertabrakan dengan seseorang yang bertubuh lebih tinggi dariku.
Aku mendongkak menatapnya, dia siswa bertubuh tinggi tegap dengan mata sekelam malam. Mata yang sangat tajam namun begitu Indah dan sayu.
Aku merasa tenggelam melihat matanya.
Tunggu!
Aku rasa, aku kenal dia, tapi dimana? Aku juga pernah bicara dengan dia. Tapi kapan?
Dia menatap tak suka terhadapku. "Kau tidak lihat! Padahal kau pakai kacamata sebesar itu!" ledeknya.
Aku yang notabenenya temperamental sangat kesal mendengar itu, tapi kutahan. Mana mungkin aku marah-marah di sekolah, kan.
"Maaf," kataku setengah menggertak. Dia menatapku dengan tajam.
"Kau tidak terdengar tulus mengatakan itu," sindir laki-laki didepanku ini.
Aku berlalu, tapi dia dengan gesit menarik lenganku.
"Berani sekali kau mengabaikanku!" katanya terdengar seperti kesal.
"Apa maumu? Lepaskan tanganmu dariku!" kataku mencoba memberanikan diri. Dia menyeringai menakutkan.
"Minta maaf di kelasku!" katanya penuh penekanan dengan tatapan penuh kebencian juga.
"Apa kau bilang? Aku tidak mau! Itu memalukan!" kataku dengan nada menggerutu.
"Cepat!" tanpa perasaan dia menarikku ke kelasnya yang bertuliskan VII-B.
by
_Ucu Irna Marhamah_
".. Tidak ada yang salah antara kau dan aku.. Kau laki-laki dan aku perempuan.. Kau menggunakan logika, sementara aku menggunakan perasaan.. "
Ucu Irna Marhamah
***
•••Shica Mahali•••
Laki-laki yang tak sengaja bertubrukan denganku itu menyeret paksa diriku memasuki kelasnya. Di dalam kelas itu terdapat banyak sekali murid. Aku sangat malu.
Mereka menatap kami. "Dia pacarmu?" ledek salah satu dari mereka pada pria bermata kelam yang menarikku.
"Yang benar saja, mana mungkin si jelek ini pacarku." kata laki-laki yang menyeretku ke kelas ini tentunya membuatku benar-benar sakit hati. Seisi kelas mentertawakan diriku. Kedua mataku sudah memanas.
"Lalu untuk apa kau membawanya ke kelas kita?" tanya yang lain.
"Katakan!" bisik laki-laki itu padaku penuh ancaman.
Aku sangat kesal, malu dan sakit hati. "Aku minta maaf!" kataku cepat, kemudian berlari keluar dari kelas itu.
Namun, laki-laki sialan itu mencengkram lenganku dengan erat dan kasar. Tubuhku terhuyung membentur dadanya.
Demi Tuhan!
Ini menyakitkan!
"Katakan yang jelas, dan ikuti kata-kataku," kata dia.
Aku mengangguk dengan kepala tertunduk dalam.
Pandanganku mulai tidak jelas karena buliran air mataku yang menghalangi iris hazel-ku.
"Aku.." kata laki-laki itu.
"A.. Aku.." aku terpaksa menirunya.
".. Si jelek.."
Aku menahan suara isak tangisku. ".. Si jelek.."
".. Meminta maaf kepada Raihan Alfarizi.."
Akan kuingat namanya seumur hidupku!
".. Meminta maaf pada Raihan Alfarizi.."
".. Kapten voli terkuat.."
Aku tidak mau mengatakannya. Dia mengeratkan cengkramannya.
"Katakan, bodoh!"
"Aku tidak mau!"
"Kenapa!"
"Karena.. Hanya kakakku yang terkuat! Dia kapten voli terkuat! Dia! Hanya dia!" teriakku sambil mendorong dadanya dengan kuat, kemudian aku segera berlari pergi keluar dari kelas tersebut.
Namun naas, kakiku tersandung dan jatuh didepan pintu kelas itu. Aku meringis kesakitan.
Mereka yang melihat kekonyolanku tertawa terbahak-bahak.
Memalukan!
Aku berlari pergi sambil menangis terisak-isak.
"Hei! Kau!" terdengar laki-laki bermata kelam memanggilku. Aku terus berlari.
Mataku terasa perih dan air mataku menetes membasahi pipiku.
Dia menarik ranselku otomatis aku menghentikan langkahku.
"Cup cup cup cup jangan menangis, kau malah terlihat semakin jelek, Nona." ledek laki-laki yang bernama Raihan itu.
"Cukup! Asal kau tahu! Aku akan membalas semua ini! Sombong sekali dirimu. Hanya karena aku tidak sengaja menabrakmu, kau mempermalukanku! Lihat saja, nanti kau akan memohon padaku! Memohon padaku karena aku adalah.." aku tidak mau melanjutkan kata-kataku.
Aku mendengus kemudian berbalik meninggalkannya.
"Lakukan saja, untuk apa aku memohon padamu, jelek." ledeknya lagi.
"Aku benci padamu! Benci kau! Raihan Alfarizi!" aku berteriak didepan wajahnya. Ekspresinya berubah sendu. Namun aku tidak peduli.
Aku memejamkan mataku kemudian segera berlari memasuki kelasku yang bertuliskan VIII-F diatas pintu.
Sontak teman-teman kelasku menatap heran padaku.
Aku melipat tangan diatas meja dan melelapkan kepalaku kesana. Aku menangis tanpa suara. "Shica, apa yang terjadi?" tanya seseorang.
Perempuan itu berusaha melihat wajahku. Aku mengalihkan pandanganku dan menggeleng pelan. Aku kesal sekali pada laki-laki berkulit gelap dan bermata kelam itu.
Aku bertekad untuk tidak akan pernah memaafkannya sampai kapanpun.
Aku bukanlah orang munafik. Ya, aku pendendam!
Raihan Alfarizi..
Raihan Alfarizi..
Akan kuingat namamu..
Hari sudah menjelang sore, aku pulang dan memasuki kamarku. Kamar dengan cat biru gelap dan putih yang mendominasi ruangan ini.
Tidak ada siapapun dirumahku.
Ayahku ke kantor, ibuku memantau butik dan restorannya.
Sedangkan kak Regar, tentu saja dia masih di sekolah. Dia biasa pulang sore. Kadang meski waktunya pulang, dia tidak akan pulang dulu ke rumah.
Mungkin dia pergi ke klub voli atau berkencan. Entahlah dimana kakakku itu.
Aku merenung di tepi ranjangku yang berukuran queen size. Aku mengambil buku harianku, lalu mulai menulis. Menulis semua yang terjadi hari ini. Lalu aku menggambar. Ya, aku suka menulis dan menggambar. Aku menggambar wajah menyebalkan si Raihan. Tak lupa aku menambahkan dua tanduk setan dikepalanya.
Aku tertawa melihat hasil karyaku. Kata-kata si Raihan itu terus terngiang dikepalaku.
Apa aku benar-benar sejelek itu. Aku memberanikan diri menatap pantulan diriku dicermin.
Aku memang terlihat konyol, tapi juga tidak sejelek itu.
Ingin sekali aku mematahkan leher orang jahat itu.
Kreeek
Terdengar pintu kamarku terbuka. Aku menoleh, memastikan siapa yang masuk. Ternyata Regar, kakakku. "Kenapa kau tidak mengetuk pintu dulu?" aku bertanya sambil menggerutu.
"Shica, kenapa matamu?" dengan segera dan penuh kecemasan dia menghampiriku dan mengabaikan ucapanku sebelumnya.
Kadang kakakku itu memperhatikanku, menghawatirkanku, dan membuatku kesal. Namun kali ini sepertinya dia akan marah.
"Jawab aku!" katanya dengan nada tinggi dan terlihat kemarahan dimatanya.
Sudah kubilang, dia akan marah.
Bukan kemarahan untukku pastinya, tapi untuk seseorang yang membuatku seperti ini.
"Kakak.." kataku berusaha lembut padanya agar tidak marah.
"..apa aku jelek?" sambungku memastikan dia tidak marah.
Greeeppp
Aku terkejut karena kak Regar memelukku. "Kau cantik Shica, hanya saja kau harus lebih feminim," katanya lembut.
Aku membalas pelukan kakakku. "Memangnya siapa yang berani mengatakan itu!" gertaknya sambil melepaskan pelukan dengan kasar. Kak Regar menatapku serius.
Aku terdiam.
Dia makin terlihat marah "katakan! Siapa! Kenapa dia berani mengatakan itu padamu dan menantang maut datang lebih cepat!" geramnya.
Sejujurnya aku takut melihatnya seperti itu. Aku ingin sekali bilang pada kak Regar. Tapi aku takut mengatakannya. Aku mengalihkan pandanganku darinya.
Aku takut.
Melihat ketakutanku, kak Regar membelai kepalaku. "Maaf Shica, aku terbawa emosi." katanya dengan nada menyesal.
Aku menghela napas berat kemudian mengangguk pelan. "Dengar, lebih baik kau berubah saja agar kau terlihat lebih cantik," kata kak Regar sambil menangkup wajahku.
Aku menatapnya.
Kak Regar melepaskan kacamata yang kupakai. Lalu dia menatapku.
"Jika aku bukan kakakmu, aku pasti mencintai dirimu," kata kakak dengan gombalnya. Aku mencubit pipi kakakku. "Kakak genit sama adik sendiri," kataku menggerutu.
"Daripada aku genit sama perempuan lain, nanti kamu sama marah lagi, kamu 'kan cemburuan," kata kakak. "Ih! Apaan sih, Kak." kataku menggerutu.
"Jangan pakai lagi kacamata ini.. Aku akan membelikanmu softlens. Tapi kamu harus janji akan memakainya, ya." kata kak Regar.
"Tapi kak, aku gak mau pake softlens. Aku mau pake kaca mata aja. Softlens 'kan perih" gerutuku kesal.
"Ah baiklah, tapi kamu janji, kalo dia jahatin kamu lagi, lapor ke kakak, ya." kata kak Regar.
Aku mengangguk semangat. Kak Regar tersenyum kemudian merentangkan tangannya.
Aku memeluknya dengan erat.
"Love you brother"
"Love you too, sister"
By
_Ucu Irna Marhamah_
*Selamat Pagi :)
•••Shica Mahali•••
Keesokan harinya, aku memilih untuk berangkat ke sekolah. Aku tidak akan menyerah hanya karena satu orang siswa yang menyebalkan.
Aku memilih berjalan kaki karena kakakku yang seorang putri tidur itu, masih setia berada di tempat tidurnya seperti orang yang mati.
Sungguh dia tidak bisa di bangunkan!
Kemarin aku sulit dibangunkan karena aku malamnya aku membaca novel sampai tengah malam. Aku suka sekali dengan novel. Suatu hari aku ingin menulis cerita dan membuatnya menjadi novel lalu aku ingin menerbitkannya. Setiap ada novel terbaru, maka aku pasti membelinya dan membacanya sampai larut malam. Tak peduli besok ada jadwal ulangan atau tidak. Seperti kemarin.
Ya, jadinya aku sulit dibangunkan.
Sementara kakakku, apa yang dia lakukan semalam sampai hari ini dia sulit dibangunkan?
Aku melewati tikungan jalan dan tiba-tiba, sebuah motor berlawanan arah hampir menabrakku.
Aku berteriak saking kagetnya. Namun untung saja motor menyebalkan itu berhenti tepat waktu. Jika tidak, bagaimana nasibku?
Aku menghela napas lega. Aku mendongkak melihat siapa yang berani membuatku jantungan pagi hari begini.
Pandanganku terhenti dan terkejut melihat manik kelam itu lagi. Aku membuang muka karena kesal.
"Hei! Kau lagi! Kau kan pake teropong, kenapa kau tidak lihat! Aku dikejar waktu! Minggir!" bentak laki-laki yang tak lain adalah Raihan. Siswa menyebalkan yang kemarin membully diriku.
"Malah bengong! Minggir!" bentaknya. Aku segera menepi, hari ini aku sedang malas mendebat siapapun. Dengan cepat dia melajukan motornya.
Dikejar waktu? Mau apa dia buru-buru kearah berlawanan dari sekolah? Dan dia juga memakai pakaian rumahan.
Tidak waras!
Aku melanjutkan perjalananku yang tinggal beberapa blok lagi untuk sampai di gedung SMP Negeri 1 Nusa Bangsa.
Sesampainya di sekolah, aku menyapa satpam sekolah, namanya Pak Anwar. Pak Anwar tersenyum padaku. Lalu aku segera membereskan kelas. Karena hari ini adalah jadwalku untuk piket. Aku dibantu teman yang lain yang juga sama jadwal piketnya denganku
Bel berbunyi tandanya pelajaran akan segera dimulai.
Aku keluar dari kelas untuk menjemput guru mata pelajaran yang tadi pagi sudah menyuruhku untuk mengubunginya.
Aku melihat kesekeliling. Aku melihat ada laki-laki bermata kelam itu diluar gerbang. Dia terlihat berbicara pada Pak Anwar disana.
Rupanya dia kesiangan. Dasar murid tak disiplin. Tadi dia bilang dikejar waktu, tapi nyatanya dia terlambat datang ke sekolah.
Pak Anwar, menyadari keberadaanku. Lalu beliau memanggilku.
"Nak kamu kelas VIII-F ya, Apa kamu disuruh Ibu Monica untuk mengambil tugas?" tanya pak Anwar padaku.
Aku mengangguk.
"Kemarilah, saya membawa tugasnya. Tadi beliau menitipkannya pada saya." kata pak Anwar sambil membongkar isi tasnya.
Aku menghampirinya. Sekilas aku mendelik tajam pada Raihan. Raihan menaikkan sebelah alisnya.
"Aduh, Bapak lupa, sepertinya tugasnya ada diruang guru. Tadi bapak lupa mengambilnya dari Bu Monica," kata Pak Anwar.
"Tidak apa-apa Pak, biar saya saja yang ke ruang guru dan mengambilnya." kataku.
"Ah tidak perlu, Bapak lihat tadi kamu habis membereskan kelas, pasti kamu cape. Biar bapak saja, kamu tunggu sebentar disini dan jaga gerbangnya, ya." kata Pak Anwar.
Aku mengangguk. "Baiklah, Pak." jawabku.
Pak Anwar berlalu meninggalkanku dan Raihan. Raihan yang berada diluar gerbang menggedor gerbang.
"Pak Anwar, please Pak buka gehangnya, Pak." teriak Raihan.
Aku menatap kesal padanya. Dia melirik kesal padaku.
"Apa yang kau lihat, huh." gerutu Raihan. Aku menautkan kedua alisku dengan tajam.
"Aku sedang melihat orang tidak waras, dia sedang menggedor gerbang sekolah," jawabku kesal.
Kulihat tangannya mengepal. "Buka pintunya! Aku harus mengikuti pelajaran matematika hari ini!" bentaknya.
Menyebalkan sekali dia!
Dia membentakku!
Minta tolong sambil membentak, memangnya siapa yang mau menolong orang seperti itu.
"Kendalikan dirimu, Raihan Alfarizi, kalau kau serius mau belajar, kenapa datang terlambat?" aku mendengus kesal.
Tersirat kesedihan diwajahnya. Aku mengerutkan keningku. Kenapa dia memperlihatkan ekspresi seperti itu?
Ah dia pasti mau merayuku untuk membuka gerbangnya dengan dramatis.
Aku tidak akan mudah tertipu! Apalagi oleh laki-laki seperti dia.
"Kau tidak mengerti, Nona.. Kau orang kaya. Dan orang kaya sepertimu tidak akan mengerti, tolong buka pintunya " kata Raihan. Kali ini dengan suara yang parau. Sungguh eskpresinya membuatku kasihan padanya.
Sungguh,
Dia terlihat begitu menyedihkan. Apa aku harus menolongnya?
Aku mengambil kunci gembok di meja satpam. Aku menyentuh gemboknya. Baru saja aku akan membuka gemboknya, aku teringat sikapnya yang kemarin.
Jelek?
Bodoh?
Kata-kata menyakitkan itu terngiang lagi dikepalaku. Aku berbalik, tapi Raihan memegang tanganku. Aku menatap tangannya yang menyentuh tanganku.
"Kumohon, jika aku tidak masuk kelas, aku bisa dikeluarkan." pinta Raihan memelas.
Aku menggeleng lalu menautkan alisku kesal. "Ingat yang kau lakukan kemarin padaku? Jika saja kemarin kau tidak bersikap seperti itu padaku, kemungkinan aku akan membuka gerbang ini. Sekarang, lakukan saja sendiri." kataku sambil menepis tangannya dan berbalik pergi.
"Tunggu! Kumohon buka gegangnya!" kata Raihan.
Bisa saja kan dia berakting.
Langkahku terhenti kemudian kembali berbalik menatapnya.
Aku tersenyum sinis. "Sudah kubilang kemarinkan, kau akan memohon padaku. Dan baru saja kau melakukannya." kataku.
Dia tercengang dan tampaknya dia sedang mengingat kejadian kemarin.
"Pikirkan sendiri, bagaimana caramu masuk, Raihan " kataku kemudian berbalik dan meninggalkannya.
Sebenarnya aku merasa bersalah dan kasihan padanya. Tapi jika mengingat kejadian kemarin, aku jadi puas dengan sikapku barusan padanya.
Untuk apa juga aku menolongnya jika dia sudah berlaku buruk padaku.
Kuakui, dendam itu buruk, tapi aku tidak bisa melupakan kelakuannya yang kemarin.
Itu menyakitiku,
Menyakiti perasaanku,
Mentalku,
Selama ini tidak pernah ada yang berani menyakiti perasaanku dengan mengatakan hal-hal buruk seperti itu.
Aku memasuki kelasku. Teman-temanku menoleh kearahku.
Aku duduk dibangkuku. Merenungi apa yang sudah kulakukan tadi.
Apa yang aku lakukan tidak salah, kan?
Seseorang duduk disampingku. Aku menoleh, ternyata Dera.
"Bagaimana, Shica?" tanya Dera.
"Aku tidak tahu.. Mungkin sekarang dia masih diluar " jawabku pelan sambil terbayang ekspresi sedih Raihan dibenakku.
Aku menoleh kearah Dera. Tampaknya dia bingung dengan jawabanku. Tentu saja jawabanku bukan jawaban untuk pertanyaannya.
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Kenapa aku malah memberikan jawaban konyol. Dia pasti bingung dan tidak mengerti dengan jawabanku. Semoga dia tidak kepo.
"Aku bertanya soal tugasnya," kata Dera.
Aku mengerutkan dahiku. "Tugas?" tanyaku.
"Iya, kau barusan dari bu Monica 'kan mengambil tugas?" tanya Dera dengan tatapan menyelidik.
Skakmat
Aku lupa..
Lalu, aku harus kembali dan menghubungi pak Anwar? Bagaimana jika aku malah bertemu lagi dengan Raihan yang sudah diperbolehkan masuk? Bagaimana jika nanti dia balas dendam padaku?
By
_Ucu Irna Marhamah_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!