Episode 1
Sebelum berangkat kerja, Isma Ramadhani atau yang lebih akrab di panggil Iis, menyempatkan diri untuk membantu teh Fitri kakak iparnya untuk mencuci piring bekas sarapan pagi.
"Is, apa benar Bos mu itu seorang non Muslim?" Tanya Fitri sambil menyusun piring yang telah selesai di cuci oleh Isma.
Mendengar pertanyaan itu Isma gugup, dia bahkan sempat berhenti menggosok piring kotor itu. Tidak lama kemudian Isma mengangguk pelan nyaris tidak terlihat.
"Abah sama Umi tau soal ini?" Selidik Fitri.
Isma menggelengkan kepalanya, kemudian dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya.
"Aku berangkat Teh, nanti pulangnya agak telat. Ada rapat Kantor." Jelasnya sambil berpamitan. Lalu Isma pun berangkat dengan mengendarai mobil miliknya sendiri.
Fitri hanya diam, tersenyum sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian Isma.
"Jika mas Arya dan Abah sampai tahu hal ini, bisa-bisa Isma akan di larang kerja." Gumamnya sendiri sambil terus memandangi mobil Isma yang sudah menghilang dari pandangan.
Sedangkan Isma kini tengah fokus menatap jalanan sambil mendengarkan radio di mobilnya yang terus melaju menyusuri jalan raya kota Jakarta.
Drrriiiittt…
Suara getar HP miliknya. Di layarnya tertera tulisan 'Umi sayang', tapi Isma tidak menyadari itu karena suara radio yang distel dengan volume yang cukup lantang.
HP Isma bergetar berkali-kali dan masih tetap orang yang sama, Umi menelponnya dan sudah tertera 4 panggilan tidak terjawab.
Setelah hampir 25 menit perjalanan, Isma pun tiba di Kantor tempatnya bekerja. King Holding Grup atau yang lebih dikenal dengan nama Perusahaan K.H.G yang merupakan perusahaan terbesar yang memiliki beberapa cabang antaranya Korea, Singapura dan Malaysia.
"Pagi Neng Isma." Sapa Sekuriti penjaga, begitu Isma tiba.
"Pagi juga pak." Sambut Isma ramah sambil memberikan kunci mobil pada pak Sekuriti untuk di bawa ke tempat parkir.
Begitu mobil di bawa oleh Sekuriti, Isma pun melangkah masuk ke gedung kantor. Ruang kerja Isma terletak di lantai delapan tepat di depan ruangan CEO.
Ting…
Pintu Lift terbuka, Isma pun masuk dan kebetulan hanya sendiri di dalam lift itu.
"Huh, selalu saja sendiri…" gumamnya, sambil memeriksa HP yang memang sejak tadi ada di dalam genggamannya.
"Umi? ya ampun aku nggak sadar ternyata umi menelpon sejak tadi." Rutuknya memaki diri sendiri. Dengan segera dia mengirim pesan pada Umi.
Ting…
Pintu lift terbuka, tapi ini masih di lantai empat. Rupanya ada seseorang yang masuk ke lift yang sama dengannya. Isma sibuk dengan HP miliknya tanpa menghiraukan siapa penumpang lift yang baru saja masuk dan berdiri tepat di depannya.
"Kamu telat satu menit empat belas detik, Nona Isma." Ucap lelaki itu, yang sontak membuat Isma kaget dan hampir saja menjatuhkan HP dari genggaman tangannya.
"B…b…Bo..Bos???" Ucapnya gugup bercampur takut.
Tidak, Isma bukan takut dengan Bosnya itu, hanya saja Isma bosan dan lelah jika harus mendengarkan celoteh setiap pagi dari pria berdarah Inggris itu.
"Langsung ke ruangan saya. Bawa semua berkas untuk rapat dan jangan lupa jadwal saya juga." Tegasnya tanpa menoleh pada Isma yang tengah memperagakan gerak mulut si Bos nya itu, lengkap dengan gerak-gerik tangannya.
"Paham?" Menegaskan kembali sambil menoleh pada Isma yang akhirnya tertangkap basah tengah memperagakan omelan Bos.
Alhasil, Isma mematung diam menundukkan wajahnya, sedangkan pria tinggi berbadan kekar, berwajah tampan itu menatap sinis penuh amarah dengan raut wajah yang berapi-api seakan hendak menerkam Isma saat itu juga.
"Do you want to die today?" Ucapnya dengan suara serak berat tertahan namun tegas dan menyiratkan amarahnya.
Bersambung…
Isma terdiam, berdiri tepat di depan meja kerja Bos. Pria pemilik nama lengkap Prince Wijaya Pratama itu duduk nyaman di kursi kebesarannya. Matanya menatap tajam Sekretarisnya yang sudah berani menyinggung dan datang telat beberapa hari terakhir ini.
"Apa yang kamu lakukan dibelakang saya?" Mulai mengintrogasi.
Isma tidak menjawab ataupun menegakkan wajahnya. Dia terus menuduk diam memandang lantai.
"I ask you, Ms. Isma!" Tegasnya sambil sedikit memukul meja.
"I am sorry, Bos." Jawab Isma santai, dan dia pun mulai menegakkan wajahnya.
Ekspresi wajah Isma biasa saja, dia bahkan tidak terlihat takut ataupun merasa bersalah.
Melihat raut wajah Isma baik-baik saja, membuat Prince semakin kesal. 'Is she crazy?' tebaknya dalam hati.
"Are you sick?" Tanya Prince sambil menatap serius wajah Isma yang terlihat baik-baik saja.
Isma menggelengkan kepala. "Saya baik-baik saja. Hanya saja saya kesal, saya capek dan saya bosan selalu di omeli dan di suruh lembur setiap hari." Protesnya tanpa ada rasa takut.
Raut wajah Prince berubah merah padam. Alisnya bahkan hampir bersatu. Dia bingung, merasa geli, aneh semua bercampur aduk saat mendengar celoteh kesal Isma untuk pertama kalinya selama dua tahun tiga bulan menjadi Sekretarisnya.
"Kamu bosan? kesal?" Tanya Prince sambil tersenyum sinis.
"Iya. Kenapa? Saya tidak pernah lalai melaksanakan semua tugas dari Bos, saya selalu menyusun jadwal Bos dengan baik. Saya siapkan semua keperluan meeting, dan juga semua keperluan proyek baru atau lama. Saya selalu on time." Teriaknya kesal. Isma akhirnya mengatakan semua uneg-uneg yang bersarang dalam hatinya selama ini.
"Sebelumnya saya tidak pernah telat. Pertama kali saya telat hanya telat tiga detik saja. Saya telat juga karena Bos meminta saya membelikan hadiah ulang tahun untuk kekasih Bos. Dan karena telat tiga detik itu…"
"Stop!" Tegas Prince memotong celoteh Isma yang tidak lagi terbendung itu.
"No. Saya belum selesai Bos." Bantah Isma tak kalah lantang dan tegas pula. Hal itu membuat Prince terdiam dengan raut wajah bingung dan kesal bersamaan.
"Aaa… sampai mana tadi?" Mencoba mengingat hal apa yang terakhir di ucapkannya.
"Tiga detik." Jawab Prince lesu, lalu menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran kursinya itu.
"Ya, tiga detik saja saya telat untuk pertama kali, dan itu gara-gara kekasih manja sok cantik kesayangan Bos." Menatap tajam mata Prince yang juga menatap tajam padanya dan hendak protes.
Namun, Isma menyilangkan kedua lengan tangannya di depan wajah Prince.
"Not yet." Sambungnya. "Lalu Bos menghukum saya, meminta saya menyelesaikan semua tugas proyek yang seharusnya di selesaikan oleh Menejer of building. Saya lembur sampai pukul 23,59 wib malam." Menghela napas sebentar.
Isma mengatur nada bicaranya yang semakin menggebu dan emosi yang semakin meluap.
"Saya ditinggal sendirian di gedung seluas dan setinggi ini. Bos bahkan tidak memperdulikan saya sama sekali. Bos bahkan tidak bertanya bagaimana saya pulang? bagaimana kalau seandainya saya dicegat oleh sekelompok preman? Bos benar-benar kejam dan tidak berperikemanusiaan." Tegasnya, lalu menghela napas panjang.
"Saya? Berprikemanusiaan? Kamu bilang saya tidak berprikemanusiaan?" Tanya Prince dengan suara tertahan menahan emosi yang juga semakin meluap.
"Iya. Anda Prince Wijaya Pratama tidak berprikemanusiaan." Ulang Isma kembali menegaskan. Tanpa ada rasa takut akan di pecat dari perusahaan.
"Hah, Kamu gila. Kamu Sekretaris pertama yang berani mencaci maki saya." Bentak nya kesal.
Sedangkan Isma hanya diam dan kembali menundukkan kepalanya.
"Mati aku… ya Allah lindungi hambamu ini." Ucapnya sangat pelan, nyaris tak terdengar oleh Prince.
"Kamu sudah bosan bekerja di sini?"
"Iya." Jawab Isma tegas, cepat dan menantang.
Sejenak Prince tersenyum sinis dan menatap geli pada Isma yang tidak kenal takut.
"Tulis surat pengunduran diri, SE-KA-RANG." Tegas Prince menggertak Isma.
Bersambung…
Dengan kesal dan juga perasaan menyesal, Isma kembali ke ruangannya. Segera dia menyalakan komputer. Isma benar-benar menulis surat pengunduran diri. Dia sudah bertekad untuk tidak meminta maaf pada Bos yang membuat dia kesal itu.
"Dia pikir aku lemah? No Mr. Arrogant . Aku akan buktikan, aku akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik, dan akan bekerja pada atasan yang lebih baik dari you, Mr.Arrogant." Rutuknya sambil terus mengetik surat pengunduran diri.
"Pagi Iis cantik, cintaku tersayang…" Rina membuka pintu ruangan Isma tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Begitu pintu terbuka, Rina terdiam melihat raut wajah kesal Isma serta mulutnya yang komat-kamit memaki seseorang.
"Is, kamu kenapa?" Menghampiri Isma, lalu duduk di kursi depan meja Isma.
"Membuat surat pengunduran diri." Tegasnya tanpa beban.
"What??, wait… wait… wait… Kamu mau resign?"
"Iya, Rin. Lebih tepatnya aku di pecat."
"What? Dipecat? Kok bisa, memang kamu melakukan kesalahan apa. Seserius apa permasalahannya, kok jadi pecat-pecatan begini?" Melontarkan pertanyaan sekaligus.
"Aku bosan bekerja di sini. Aku nggak sanggup harus menerima hukuman dan celoteh dari Bos super Arrogant itu." Jelasnya kesal, tanpa melihat pada lawan bicaranya.
"Is, mending kamu tarik napas dulu yang dalam… berpikir dulu setidaknya selama satu jam, baru kamu putuskan. Apa benar kamu mau resign atau mungkin kamu bisa menyelesaikan permasalahan, kan?" Saran Rina yang berhasil membuat Isma menghentikan jarinya menekan keyboard komputer.
"Tapi Rin…" Menghela napas. "Aku mencaci-maki Bos secara langsung. Aku bilang aku bosan bekerja dengannya." Ucapnya pelan dengan nada bicara penuh penyesalan.
Rina tersenyum mendengar pengakuan Sahabatnya itu. Ya, inilah Isma seorang yang selalu memendam rasa kesalnya, dan saat semuanya tak terbendung maka akan meledak seperti bom. Tapi, kemudian dia akan mudah merasa bersalah dan juga mudah memaafkan dan mau meminta maaf meski bukan dia yang bersalah.
Persahabatan mereka terjalin sejak kecil, Rina dan Isma tak terpisahkan hingga bangku SMA. Meski akhirnya saat kuliah mereka terpisah, tapi kini kembali bersama.
"Rin, aku malu… aku sudah sangat keterlaluan." Rengeknya sambil merebahkan kepala di atas meja.
"Awal permasalahannya gimana, hah?" Tanya Rina penasaran.
Isma pun menceritakan awal puncak perang antara dirinya dengan Bos. Panjang lebar dia berceloteh, Rina malah tertawa geli mendengarnya.
"Rii..nn..nnaaaa..., kok kamu ketawa?" Memukul pelan bahu Rina.
"Sorry, sorry, habisnya kamu lucu." Menghentikan tawanya, lalu tanpa sepatah katapun, Rina malah meninggalkan ruangan Isma begitu saja.
"Rin… kok malah pergi?" Bingung melihat Rina yang pergi tanpa berkata apapun. "Haruskah aku minta maaf? Aaghrrr… memalukan, kenapa juga aku bilang mau memundurkan diri." Rutuknya kesal memaki diri sendiri.
Sedangkan Prince, tengah bicara dengan staf tim pengembangan di ruangannya. Mereka membahas proyek baru yang akan segera di kerjakan dalam waktu kurang dari sepekan.
"Ok. Saya suka dengan ide kalian. Kalian harus berterima kasih karena Bimo ketua tim yang bertanggung jawab." Puji Prince yang senang dengan kinerja tim mereka yang selalu kompak.
"Terimakasih, Bos. Semua juga berkat bantuan Isma dan juga teman satu tim. Thank you my tim." Ucapnya sambil menundukkan kepala pertanda terimakasihnya.
Anggota timnya memberikan tepuk tangan. Dan mereka bangga pada ketua tim mereka yang selalu bertindak adil, tegas dan juga bertanggung jawab.
"Kalian mendapat bantuan dari Isma?" Tanya Prince yang membuat suasana riuh menjadi sunyi kembali.
"Iya, Bos. Isma… banyak membantu kita." Ulang Bimo dengan sedikit ragu.
Sebentar Prince terdiam, kemudian dia menekan salah satu tombol angka pada telepon yang tersambung langsung ke ruangan Isma.
Isma terkejut saat telepon berdering.
"Apa Bos menunggu surat pengunduran diriku?" Tebaknya. Dan meski ragu juga sedikit cemas, Isma menekan tombol hijau pada telepon, panggilan pun tersambung dengan Bos.
"I..iya, Bos."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!