Darwin baru saja selesai meeting dengan rekan kerjanya. Darwin keluar dari ruangan itu bersama Pratiwi asistennya, Tiwi mengikuti di belakang dengan sedikit berlari mengimbangi langkah bos-nya yang cepat.
“Jadwal meeting setelah jam makan siang kamu tunda semua. Hari ini saya ada acara keluarga,” ucap Darwin makin mempercepat langkahnya.
“Baik Pak,” jawab Tiwi berhenti mengikuti Darwin dengan nafas terengah-engah.
Darwin masuk ke ruang kerjanya kembali meneruskan pekerjaannya, matanya tidak berkedip dari laptop di depannya.
Rttthhhh ... rthhhhh.
Suara getar ponsel Darwin.
“Halo Pa ...” sapa Darwin.
“Halo, Nak. Kamu tidak lupa acara makan malam keluarga, kan?” tanya Marco
“Iya, Pa,” jawab Darwin singkat.
“Sudah kamu tunda semua pekerjaannya?” tanya Marco lagi.
“Sudah,” jawab Darwin.
“Kamu pulang lebih awal ya, yasudah lanjutkan pekerjaanmu.” Marco pun mengakhiri panggilan.
Jika bukan permintaan papanya sungguh malas ikut acara seperti itu, Darwin jarang sekali makan dengan keluarganya, apalagi pulang ke rumah, Darwin tinggal sendirian di apartemennya.
Ting! Bunyi pesan masuk.
“Ntar malam gue tungguin di club biasa.” Isi pesan Kelvin.
“Gue absent, ada acara keluarga ntar malam,” balas Darwin.
* * *
Malam harinya di rumah keluarga Marco Antonio. Dimeja makan telah tersedia berbagai macam jenis makanan, para pelayan sibuk mempersiapkan dan mengaturnya dengan rapih.
Darwin yang baru tiba melihat kondisi tersebut menyipitkan matanya. “Perasaan gue gak enak,” lirih Darwin.
Martha Christina ibunda tercinta Darwin yang setiap permintaannya tidak mungkin ditolak oleh Darwin itu, melihat anaknya tiba ia menyambut dengan hangat.
“Mama rindu kamu sayang, kenapa jarang sekali pulang, Nak?”
“Sibuk urusan kantor, Ma.”
“Kamu terlihat kurus sayang, jangan terlalu sering bergadang.”
“Gak kok Ma. Kenapa banyak makanan Ma, siapa yang datang?”
“Nanti kamu lihat sendiri,” ucap Martha menyudahi obrolannya.
Kemudian Darwin duduk disebelah Papanya, mereka membicarakan tentang bagaimana dengan situasi Kantor saat ini. Yang terdengar hanya pembahasan tentang pekerjaan tidak ada pembahasan lain, karena semenjak Darwin ambil alih papanya tidak lagi masuk kantor, hanya sesekali menanyakan pada Darwin atau melihat informasi dari televisi.
“Maaf mengganggu Tuan, tamu sudah datang,” ucap Marni, pembantu rumah Darwin memberi tahu.
Marco bangkit dari tempat duduknya, menghampiri tamunya yang tak lain adalah rekan bisnisnya dulu. Terlihat seorang pria sebaya dengan Marco bersama seorang wanita cantik itulah Anaknya.
“Mari masuk,” ajak Marco sembari mereka berpelukan hangat .
“Lama sekali kita tidak berjumpa, kamu semakin sehat saja," ujar Simoncelli menepuk pundak Marco.
“Bisa saja kamu, ini Anak kamu Simon?” tanya Marco melepaskan pelukannya. Marco menatap Anaknya Simon.
Ritha menghampiri Marco mencium punggung tangannya. “Om ... " panggil Ritha tersenyum.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Marco mengelus rambut pirang Ritha.
“Ritha. Ritha Amelia Om ...” jawab Ritha memperkenalkan diri.
Martha menghampiri tamunya, sedari tadi ia sibuk membantu pelayan. Martha tidak tahu tamunya sudah tiba.
“Tamu bukan diajak masuk, malah asik mengobrol, gimana sih Pa,” ujar Martha, ia menyenggol lengan suaminya.
Martha merangkul bahu Ritha jalan beriringan, bibirnya tersenyum lebar sepertinya ia suka pada Ritha.
“Silahkan duduk.” Marco mempersilahkan pada Simon dan Ritha.
“Anakmu mana Marco?” tanya Simon.
“Ma, mana Darwin, panggil kemari. Seperti gadis dapat pinangan saja dia,” ujar Marco membuat Ritha dan Simon tertawa.
“Papa ini bisa saja ngomong gitu di depan tamu terhormat kita,” jawab Martha, "Darwin lagi ke kamar mandi sebentar.”
Sesaat kemudian datang Darwin menghampiri mereka semua, Simon berdiri menyambut kedatangan Darwin. Darwin menundukkan kepalanya mencium tangan Simon.
“Gagah dan tampan sekali Anakmu Marco,” puji Simon.
“Sayang, kenalin ini Ritha calon istrimu,” ucap Martha.
Darwin membulatkan matanya. “Calon istri?” tanya Darwin. Ritha menjulurkan tangannya bersalaman dengan Darwin dengan wajah datar karena pertanyaan barusan.
“Iya sayang, Mama sengaja gak beritahu dulu, biar sureprise gitu buat kamu,” jawab Martha melihat wajah Ritha kurang senang.
“Yasudah nanti kita bicarakan lagi, mari kita makan dulu,” pinta Marco menyudahi obrolan itu.
* *
Selesai makan mereka pindah keruang tengah, dan mengobrol hangat hanya obrolan ringan sih sebenarnya.
Raut wajah Darwin kurang suka. “Sangat membosankan,” gumam Darwin dalam hati.
“Darwin hebat, sama seperti mu dulu Marco, Masih muda mampu mengembangkan perusahaan sampai maju pesat seperti sekarang,” puji Simon tersenyum pada Darwin.
“Saya hanya melanjutkan saja, Om," jawab Darwin merendah.
“Anakmu juga hebat, Mas,” timpal Martha pada Simon.
Ritha baru dua Bulan yang lalu pulang, selama ini Ritha diluar negeri menempuh pendidikannya, Ritha anak pertama Simon yang akan melanjutkan perusahaan Simon, sedangkan adiknya masih SMA.
“Sekolah sudah selesai, rencana kamu selanjutnya apa, Nak?” tanya Marco.
“Melanjutkan usaha Papi tentunya Om, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik juga pastinya,” ucap Ritha Seraya mengarahkan pandangannya ke arah Darwin. Sementara Darwin memutar bola matanya tajam kearah Ritha.
“Calon menantu idaman." Martha mengelus bahu Ritha dan tersenyum bahagia ke arah Darwin.
Ritha tampaknya menyetujui perjodohan itu, bagaimana tidak Darwin sangat tampan, tinggi, kulit putih dan hidung mancung, badannya sangat proporsional.
Darwin berpikir bagaimana caranya kabur dari situasi yang membosankan itu, kemudian ia merogoh sakunya lalu ia mengeluarkan handphonenya.
“Halo, iya, gimana, akan segera saya bereskan secepatnya.” Darwin berpura-pura menerima telepon.
“Ada apa, Nak?” tanya Marco.
“Soal kerjaan Pa, maaf, ya?” ucap Darwin.
“Tidak apa-apa, kami juga mau pamitan sudah larut. Sebaiknya lain kali saja kita bertemu lagi,” ujar Simon berpamitan pada tuan rumah.
“Kenapa buru-buru?” tanya Martha.
“Gak apa-apa Tante, kan besok-besok Ritha bisa datang kesini lagi,” jawab Ritha agresif.
“Iya sayang, Tante gak punya Anak perempuan, sering-sering mampir ke rumah Tante, ya?” pinta Martha. Ritha mengangguk sambil tersenyum.
Lalu merekapun berpamitan, Marco dan Martha mengantarkan mereka ke depan. Saat Simon dan Ritha menghilangkan dari pandangan mereka, baru mereka berdua masuk.
Darwin bangkit dari duduknya mengambil kunci mobil mewahnya, ingin segera pergi. Namun, langkahnya terhenti karena Martha memanggilnya.
“Bisa kita bicara dulu, duduk sebentar,” pinta Martha.
“Tentukan waktu yang tepat untuk kita lakukan pertunangan ini,” kata Marco.
Darwin membulatkan matanya. “Apaan sih Pa. Kenal juga enggak, main tunangan aja,” jawab Darwin kesal.
“Mama mau segera punya cucu sayang, Mama kesepian di rumah,” ucap Martha.
“Tapi dia kenal kamu, sayang,” Marco ikut berkomentar.
“Tapi aku gak Pa, lagian dia kenal palingan juga dengar berita di Televisi doang,” balas Darwin memutar bola matanya tajam.
“Lagian umurmu sudah 35 tahun-an masih betah lama-lama sendiri,” sergah Martha mulai kesal.
“Darwin punya pilihan sendiri Ma,” sanggah Darwin.
Boro-boro punya pacar, gebetan saja ia tak punya. Jawaban Darwin membuat kedua orangtuanya terdiam.
“Kalau kamu punya pilihan sendiri, kenalkan biar kami tau,” jawab Marco.
“Kalau memang benar kamu punya pilihan sendiri, Mama tunggu waktu sebulan kamu siap kenalin ke Mama,” ucap Martha.
Darwin merasa pusing mendengar permintaan Mamanya. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan rumah orang tuanya, ia menuju ke club, tempat dimana biasanya ia menghilangkan rasa jenuh bersama teman-temannya.
Jangan lupa like ya.
Baca novel A BIG MISTAKE juga ya?
Darwin tiba di sebuah club malam. Setelah memarkirkan mobilnya ia segera masuk, suara dentuman musik sangat keras, sejenak mampu menghilangkan rasa pusing Darwin karena permintaan Mamanya.
Darwin mencari di mana Kelvin, pandangannya terus menelusuri setiap inci tempat tersebut, tapi nihil Kelvin tidak ada.
“Sial!” teriak Darwin. Tapi tidak akan terdengar, suara dentuman musik lebih keras dibandingkan dengan teriakannya.
“Padahal gua mau cari solusi,” umpatnya dalam hati.
Darwin memesan minuman ringan, mabuk-mabukan bukan solusi pikirnya, termasuk jarang sebenarnya ia minum-minuman keras, hampir tidak pernah mungkin.
Tapi rasanya kali ini, otaknya benar-benar membutuhkan sesuatu yang bikin rileks.
Darwin menyandarkan tubuhnya di sofa, kepalanya menengadah ke langit-langit club tersebut, dan sesekali ia meneguk minumannya.
Bruukkk!!
Seorang wanita terjatuh di hadapan Darwin lututnya mengenai meja, lebih tepatnya ada orang yang mendorongnya. Darwin mengangkat kepalanya yang sedari tadi ia sandarkan pada sofa.
Wanita tersebut meringis kesakitan, seseorang mengikutinya dari belakang dengan penuh amarah.
“Mau lari ke mana kau wanita murahan,” ujar pria tersebut sinis, tangannya menjambak rambut wanita itu keras, sontak membuat Darwin berdiri.
“Hei! beraninya kau sama perempuan!” teriak Darwin dengan mata melotot. Lalu ia menarik tangan wanita tersebut agar berada di sampingnya.
“Kau siapa, jangan ikut campur, aku sudah membayarnya untuk malam ini!” teriak pria itu.
“Akan kukembalikan uangnya!” teriak Darwin lagi.
“Aku gak butuh uangnya, aku mau tubuh wanita ini, dia sangat menggairahkan,” ucap pria itu dengan pandangan mesumnya.
Mendengar ucapan pria itu, wanita di sebelah Darwin mengencangkan pegangannya pada lengan Darwin, melihat itu Darwin merasa iba.
“Akan kubayar tiga kali lipat,” ucap Darwin.
wanita di sebelahnya, menengadah pandangannya ke wajah Darwin, wanita mungil itu, tingginya hanya sedada Darwin.
Darwin merogoh dompetnya ia mengambil kartu namanya.
“Ini ambillah, besok akan kubayar tiga kali lipat.” Darwin melemparkan kartu nama kepada pria itu.
Pria itu memungutnya dari lantai, ia tersenyum puas dan pergi dari hadapan Darwin. Tangan wanita tersebut masih gemetar dan memegang erat-erat lengan Darwin.
“Duduk ...” ajak Darwin.
“Mau pulang ...” lirih wanita tersebut tapi Masih terdengar oleh Darwin.
Darwin tidak menjawab hanya memapahnya keluar, tapi tiba-tiba ...
Bruukkk!
Wanita itu terjatuh lagi. Ternyata, lututnya berdarah. Dengan sigap Darwin mengangkat dan menggendongnya keluar dari club tersebut.
Darwin membuka pintu mobilnya, dan mendudukkan tubuh wanita itu.
tangannya meraih kotak obat dan membersihkan darah dan luka di lutut wanita di hadapannya.
“Terima kasih, Mas," ucap wanita cantik itu pelan.
“Mmm. Nama lu siapa?” tanya Darwin kemudian.
“Asmira. Asmira Lestari.” Asmira menjulurkan tangannya kepada Darwin.
Darwin berdiri karena telah selesai membersihkan lutut lestari. “Gue Marcell,” jawab Darwin. Entah mengapa ia mengenalkan Nama depannya kepada Asmira .
“Lu kenapa ketakutan gitu, bukannya sudah terbiasa dengan situasi kek tadi?” tanya Darwin. Tangannya menutup pintu mobil.
“Aku baru pertama kali ke tempat tadi, Mas,” jawab Asmira. Matanya berkaca-kaca.
“Terus ngapain lu ke situ, itu sama saja lu ke kandang singa tau enggak?" tanya Darwin.
Air mata Asmira tak terbendung lagi, perlahan meleleh di pipinya, melihat itu Darwin tidak tega, ia meraih Asmira ke pelukannya dan menenangkannya.
“Gimana ceritanya lu bisa ke situ, memangnya lu gak baca tulisan di depan gedung tadi?” tanya Darwin.
Asmira tidak menjawab, dia masih membenamkan wajahnya di bahu Darwin.
“Umur lu berapa, sudah tengah malam begini enggak dicari in orang tua lu?” tanya Darwin lagi.
Mendengar kata orang tua membuat tangisan Asmira semakin menjadi, Darwin bingung bagaimana cara menenangkannya, Darwin tidak pernah berhadapan dengan wanita kecuali dengan Pratiwi asistennya.
“Tenang dong, gua bingung kalau lu begini terus,” pinta Darwin.
Asmira melepaskan pelukan dan menghapus air mata di pipinya.
“Aku cuma butuh uang Mas, aku cari kerjaan, enggak taunya malah begini jadinya,” ucap Asmira dengan suara parau.
“Semua wanita malam juga akan jawab kek begitu kalo ditanya,” ujar Darwin.
“Terserah Mas percaya atau gak aku sudah cerita yang sebenarnya,” jawab Asmira.
* * *
Flashback.
Kruuuukkk!
Suara perut Asmira yang kelaparan.
“Gue lapar banget.” Asmira mengelus-elus perutnya.
Asmira keluar kamar menuju dapur, ia menyalakan kompor kemudian memasak Indomie rebus dan telur ceplok hampir setiap hari makanan Asmira seperti ini.
Tok ... tok. Suara ketukan pintu.
“Bentar!” sahut Asmira sedikit berteriak dari dalam.
Dengan sedikit berlari Asmira membukakan pintu. Ternyata mbaknya Jessica, dengan wajah amburadul, pipinya lebam, matanya bengkak dan rambut acak-acakan. Tanpa permisi Jessica langsung masuk, Asmira mengikutinya dari belakang.
“Mbak di pukuli lagi sama bandot tua itu?” tanya Asmira.
Jessica mengambil sendok, lalu ia melahap Indomie di meja makan itu. Indomie satu-satunya yang tersisa di dapur. Melihat kondisi Jessica lapar Asmira hilang.
Jessica melahapnya dengan tergesa-gesa seperti orang berhari-hari tidak makan. selesai makan Jessica langsung bergegas menuju kamar, dia seperti menghindar dari pertanyaan Asmira.
“Mbak!” panggil Asmira setengah berteriak, tapi Jessica tidak peduli.
“Mbak gak usah pura-pura tegar gitu,” ucap Asmira yang membuat langkah Jessica terhenti.
“Terus mbak harus gimana, teriak-teriak kek orang gila?” tanya Jessica. Tangisan yang sedari tadi ia tahan pecah seketika.
"Mbak bertahan untuk kamu, kuliah kamu, jajan kamu, dan bayar semua hutang ayah yang sudah mati itu!" teriak Jessica.
Asmira memeluk Jessica, beban yang di pikul kakaknya begitu besar, semenjak Lima Tahun yang lalu sudah menderita sampai detik ini masih begini.
Ayahnya pemain judi, mabuk-mabukan, hutang sana sini. Setiap hari mereka dalam kepedihan, saat itu Asmira yang masih menduduki bangku SMP dan Jessica harus rela banting tulang untuk membiayai sekolah adiknya.
Setelah ayahnya meninggal karena overdosis obat-obatan, setiap hari ada saja orang yang datang menagih hutang. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke kota.
Tapi ada seseorang yang berhasil menemukan mereka yaitu suami Jessica sekarang, bandot tua itu menyuruh anak buahnya menangkap Jessica dan Asmira.
Saat melihat Jessica bandot tua itu menyukainya, meminta Jessica jadi istrinya yang keempat. Kemudian ia membuat perjanjian, sekali meniduri Jessica akan mengurangi bunga hutang ayahnya.
Semenjak saat itu hingga sekarang kakaknya selalu jadi bulan-bulanan bandot tua itu, jika seksnya tidak terpuaskan, Jessica akan dipaksa, dipukuli, dikurung, dan tidak diberi makan. Jika Jessica berani kabur dan melaporkan kepada seseorang, maka nyawa Asmira jadi taruhannya.
Mereka menangis sejadi-jadinya.
“Andai ibu masih ada,” batin Asmira.
Ibunya meninggal saat melahirkan Asmira, karena pendarahan hebat, nyawanya tidak tertolong. Semenjak itu ayahnya berubah seperti mayat hidup. Luntang-lantung ke sana-kemari. Usaha yang susah payah mereka rintis dari nol, semua ayahnya hancurkan, seolah-olah ingin menguburnya dalam-dalam bersama jasad ibu di alam sana.
Jangan lupa Like ya...
baca novel A BIG MISTAKE ya?
Pagi hari Asmira bangun dan Jessica masih tertidur pulas, matanya bengkak semalam suntuk dia menangis. Asmira mengelus rambut dan pipi Jessica, tanpa terasa air matanya jatuh.
“Maafkan aku kak, mulai sekarang aku akan cari kerjaan dan berhenti kuliah, aku akan mencari bantuan. Melepaskan kita dari bandot sialan itu,” gumam Asmira dalam hati, ia terus menatap wajah Jessica.
Asmira bangun dari tempat tidurnya, perutnya yang keroncongan meronta-ronta ingin sesuatu memasukinya.
Asmira merogoh sakunya ia mengambil uang terakhir yang dia punya, lalu keluar membeli makanan untuk mereka berdua.
Asmira membeli dua bungkus makanan langsung ke dapur, menaruhnya di piring, dan memanggil Jessica di kamar.
“Mbak. Ayo kita makan dulu.” Asmira membuka pintu kamarnya.
Jessica sudah tidak ada di kamarnya, Asmira mencari ke kamar mandi juga tidak ada.
Asmira menemukan secarik kertas di meja kamarnya.
“Mbak, kenapa masih pulang juga ke rumah bandot itu?” batin Asmira. Matanya kembali berkaca-kaca.
Selesai makan dan mandi, Asmira meraih ponsel di mejanya dan membuka browsing internet, ia mencari informasi tentang lowongan kerja terbaru, juga tidak lupa mengirimkan pesan ke teman-temannya. Barangkali ada yang karyawan baru, tangannya terus saja menarik layar sentuh ponselnya.
Ting! Bunyi pesan masuk.
[Lo benaran cari kerjaan.]
Pesan dari Carol kakak kelas Asmira di SMA dulu. Dengan cekatan tangan Asmira mengetik layar sentuhnya.
[Benar Mbak, kerjaan apa saja boleh.]
Kemudian Carol mengirimkan alamat.
[Nanti malam lu ke tempat ini, gue enggak di sana, entar ada orang yang tunggu lu.]
[Kenapa harus malam?]
[Biar enak mengobrolnya, pakai gaun dinner ya, nanti juga makan-makan di sana.]
Asmira begitu bahagia dia akan mempunyai pekerjaan tanpa harus menambah beban kakaknya lagi.
Malam harinya.
“Ini benar kok alamatnya, tapi kok sepi ya di luarnya, cuma mobil saja yang banyak terparkir di sini.” Asmira mondar-mandir di depan gedung bangunan itu, sembari terus melihat layar ponselnya.
Lalu Asmira memutuskan untuk masuk, suara dentuman musik memekakkan telinga, perempuan berbaju seksi bergoyang lenggak-lenggok dan bau minuman keras sangat menyengat.
Asmira yang bengong, ia memutar bola matanya ke seluruh ruangan itu, dengan lampu remang-remang pandangannya terbatas. Tiba-tiba seorang pria menepuk pundaknya.
“Kau Asmira, ya?” tanya pria itu. Sembari tangannya menggenggam ponsel sesekali melihat potret yang ada di ponselnya lalu membandingkan dengan wanita di sebelahnya.
“Iya. Aku Asmira,” jawab Asmira polos.
“Ayo ikut aku?” ajak pria itu menarik tangan Asmira naik ke lantai atas, dan membawanya ke sebuah kamar.
“Kenapa harus di kamar Pak, kan bisa di luar saja.” Asmira begitu polos masih belum mengetahui apa yang sebenarnya dia alami.
“Liar juga. Jadi, kau berani melakukan di area publik?” tanya pria itu menarik Asmira ke pelukannya.
Asmira yang menerima perlakuan tak senonoh itu pun, berontak melepaskan pelukan pria mesum itu.
“Maksud Bapak apa ya kurang ajar begini? Kalau enggak terima saya kerja, saya enggak paksa kok!” ujar Asmira dengan nada tinggi.
“Aku terima kamu dengan senang hati, mari kita mulai, kerjaan kita di atas ranjang sayang ...” ujar pria itu berbisik di telinga Asmira dan memeluknya dari belakang.
“Bapak jangan kurang ajar ya, akan saya beritahu Carol!” ancam Asmira mencoba melepaskan pelukan pria itu tapi gagal tenaganya begitu kuat.
“Saya sudah membayar mahal pada Carol. Ayolah sayang, tunjukan kemampuanmu di atas ranjang,” bisik pria mesum itu lagi.
Asmira terkejut setengah mati mendengar ucapan pria brengsek itu, dengan sekuat tenaga Asmira mencoba melepaskan pelukan, lalu ia menginjak kaki pria itu dengan heelsnya. Kemudian membuka pintu berlari keluar dengan cepat.
Bruukkk!
Asmira terjatuh dilantai tepat didepan pria ganteng yang tak lain adalah Darwin.
Flashback end.
* * *
Mengingat kejadian itu air mata Asmira kembali meleleh di pipinya.
Kruuuukkk!
Suara perut Asmira terdengar oleh Darwin. Darwin tersenyum, ia pun menghidupkan mesin mobilnya lalu meninggalkan tempat itu, dan berhenti di sebuah restoran.
Darwin memesan makanan untuk mereka berdua dan sesaat kemudian pesanan mereka diantar oleh pelayan. Asmira langsung melahap semua makanan di depannya itu, lagi-lagi Darwin menahan senyumnya melihat Asmira.
“Tari, pelan-pelan,” ucap Darwin.
Asmira menghentikan makannya.
“Panggil aku Asmira Mas ...” pinta Asmira melanjutkan kembali makannya.
“Kapan terakhir lu makan?” tanya Darwin.
“Tadi pagi,” jawab Asmira mulutnya penuh dengan makanan.
Semua orang yang berada di dalam restoran itu, pandangannya semua mengarah kepada Darwin. Darwin tidak ambil pusing. Toh juga, tidak akan ada yang berani membuat gosip tentangnya.
Selesai makan Asmira dan Darwin keluar dari restoran, tapi mata Asmira terus menatap makanan yang tersisa di atas meja. Darwin menggaruk pelipisnya
“Lu belum kenyang?” tanya Darwin.
“Mas boleh enggak makanan itu di bungkus saja, kasihan mubazir,” pinta Asmira.
“Mbak!” Darwin memanggil pelayan, “Tolong bungkus makanan seperti yang kita pesan tadi, kalo sudah antar kan ke depan, saya menunggu di mobil,” pinta Darwin.
Darwin dan Asmira menunggu di mobil, selang berapa menit kemudian, seorang pelayan mengetuk kaca mobil Darwin dan menyerahkan bungkusan makanan serta kartu kredit Darwin.
“Mas kok pesan lain, sama saja makanan tadi kan jadi ke buang juga dong?” tanya Asmira.
“Malu gue suruh bungkus makanan sisa,” jawab Darwin sembari menyalakan mobilnya.
“Kenapa harus malu coba Mas,” ujar Asmira polos.
“Lo enggak tahu siapa gue?” tanya Darwin.
“Enggak, kan kita baru ketemu,” sahut Asmira sembari menggeleng kepala.
“Di rumah lu enggak ada Televisi?” tanya Darwin lagi.
“Aku enggak suka non ton Mas, memangnya Mas Marcell artis?” tanya Asmira polos membuat Darwin tersenyum sendiri dan dia menyukai panggilan gadis itu.
“Mirip sih Mas, apalagi kalo Mas senyum gitu ganteng Banget,” puji Asmira polos.
“Jadi kalau enggak senyum gue jelek?” tanya Darwin menggoda Asmira.
“Enggak begitu, Mas gimanapun saja tetap ganteng kok,” jawab Asmira tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya.
Deg.
Jantung Darwin berdengung kencang.
“Lo mau rayu gue?” tanya Darwin.
“Memangnya Mas tergoda?” tanya Asmira balik.
“Gila ini bocah berani tantang gue,” gumam Darwin dalam hati.
“Usia Mas Marcell berapa?” tanya Asmira membuyarkan lamunan Darwin.
Dengan santai Darwin menjawab, “Tiga puluh lima.”
“Ya ampun, harusnya aku panggil Om dong bukan Mas,” jawab Asmira.
“Eh, tarik balik ucapan lu, memang setua itu harus panggil Om,” ujar Darwin.
Asmira tertawa. “Saya baru dua empat Mas.” Asmira memberitahu umurnya yang beda jauh dengan Darwin.
“Eh bentar. Kok Mas tahu arah rumah aku, kan aku belum kasih tahu?” tanya Asmira kaget, Darwin menyetir mobil ke arah yang tepat.
“Memangnya rumah lu deretan mana?” tanya Darwin menoleh pada Asmira.
“Bukan ini Mas, mana mungkin aku tinggal di apartemen mewah begini, Mas belok kiri sebelum apartemen itu.” Asmira menunjukkan jalan menuju rumahnya.
Darwin membelokkan mobilnya ke arah yang di maksud Asmira, daerah kumuh tempat kost di mana Asmira tinggal.
“Berhenti Mas, di sini,” pinta Asmira.
“Lu tinggal di sini, bayaran lu kan mahal?” tanya Darwin.
“Terserah Mas mau bilang apa,” jawab Asmira.
Siapa Juga yang akan percaya padanya, melihat baju yang dikenakan begitu pas, lekuk tubuhnya terlihat jelas, dan barusan ia baru keluar dari club malam, siapa yang akan percaya.
“Terima kasih Mas Marcell sudah membantu saya tadi, dan membelikan saya makanan.” Asmira hendak bergegas keluar dari mobil Darwin.
“Tunggu dulu,” panggil Darwin.
Darwin memberikan ponselnya pada Asmira. “Simpan nomor lu di sini,” pinta Darwin.
Asmira memegang handphone mewah itu, jiwa miskinnya meronta-ronta ponsel termahal keluaran terbaru yang dia pegang sekarang.
“Tapi rasanya kok sama saja kek gue pegang hp butut gue,” gumam Asmira dalam hati. Dasar Asmira polos, semua ponsel ya jelas sama.
“Sudah Mas ...” Asmira menyodorkan kembali handphone mewah Darwin.
“Tunggu gue tes dulu, siapa tahu lu tipu gue,” ujar Darwin.
Asmira merogoh tas mengambil ponselnya. Sekilas Darwin melihat ponsel butut Asmira, sudah usang, layarnya pecah-pecah karena beberapa kali terjatuh.
“Enggak percaya amat, sih.” Lalu Asmira turun dan Darwin pun pamit.
Jangan lupa Like ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!