"Huaaa akhirnyaaa... selesai juga." Teriakku.
Baju, celana, pakaian dalam, sabun, ehmm sudah beres semua sepertinya. Ku absen satu persatu perlengkapan yang akan ku bawa siang itu. Memastikan semuanya masuk ke dalam tas biruku.
"Ahhh.. Handphone dan dompet jangan sampai ketinggalan.." Teriakku lagi.
Ku melirik jam tangan berwarna putih yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Memperhatikan jarum jam yang terus berputar menuju angka demi angka yang terukir di sana.
"Baru jam 12 siang." Batinku bicara.
Sore ini, Rafka mengajak ku untuk berlibur ke villa keluarganya. Rafka adalah pacarku, pacarku yang selalu setia menemani kesibukanku dan aku Ayna, seorang wanita karir yang bekerja disalah satu perusahaan kosmetik ternama di jakarta. Diusia yang terbilang muda ini, aku dipercayai untuk menjabat sebagai direktur pemasaran di sana. Senang bekerja, senang berkompetisi, dan senang berteman.
Sejujurnya aku penakut.. aku takut sekali suara petir. Bisa dibilang itu trauma ku ketika ku kecil. Tak ada yang tahu, kecuali mamahku, bahkan Rafkapun tak tahu.
Sejenak kesibukan ku terhenti, saat Handphoneku berbunyi beraturan mengikuti irama lagu favoritku, tertera nama Rafka di sana. Pria yang saat ini sangat ingin ku temui. Aku merindukannya. Ku meraih handphoneku segera, yang terletak tak jauh dari posisi dudukku, tepat di sebelah kananku dekat dengan boneka kelinci pink pemberian Rafka saat pertama kali ku mengenalnya di bangku kuliah. Aku masih sangat menjaga dan menyimpan pemberiannya. Yahh.. kami memang sudah berpacaran cukup lama. Rafka menembak ku ditahun kelulusan kami. Lantunan lagu membuyarkan lamunanku seketika, secepat kilat ku mengangkat panggilannya.
"Hallo Ayna.." Panggilnya.
"Ya mas.." Sapaku dengan senyum kecil terukir jelas di wajahku saat itu.
"Ay, sorry.. mas enggak bisa jemput kamu ya, nanti kamu langsung ke villa saja. Mas WA alamatnya, kebetulan mas ada meeting tidak jauh dari Villa hingga sore. Nanti kita bertemu di sana, bisakan Ayna?" Pintanya saat itu.
Senyumku memudar seketika mendengar penjelasanya, jujur aku kecewa.. Sudah dua minggu ini aku tidak bertatap langsung denganya, ya aku sibuk, Rafka pun sibuk.. dan akhirnya aku bisa cuti sekarang. Mas Rafka juga jarang menelepon ku dua minggu ini. Katanya khawatir mengganggu pekerjaanku, tapi akukan tetap seorang wanita yang berharap pacarnya dapat meneleponnya setiap hari. Setidaknya menanyakan kabar, atau bertanya sudah makan atau belum? tapi dimata Rafka aku buka wanita seperti itu, melainkan wanita dewasa yang diharapkan dapat memahaminya.
"Ayna.." Panggilnya kembali, panggilan yang seketika memudarkan lamunanku.
"Kamu dengar mas ngomongkan?" Lanjutnya.
"Iya mas, ok kita ketemu di sana nanti" Jawabku akhirnya.
Sesaat ku bilang "ok", Rafka langsung mematikan teleponnya. Tak ada basi basi dan berakhir begitu saja. Padahal ku harap dia membaca kekecewaanku dan berusaha menghiburku.
"Hemm.." Desahku.
"Semangat Ayna..!!!" Ucapku dalam hati.
Aku harus bisa memahaminya, dia itu peduli dengan diriku. Buktinya dia mau mengajakku berlibur. Ku berbisik menyemangati diriku sendiri.
Ku membaringkan tubuhku sejenak, sambil memainkan Handphone yang masih ku genggam saat itu, dan ting.. WA dari Rafka pun masuk bertulisan alamat Villa yang akan kami tuju.
Hanya alamat Villa yang tertulis.. entah kenapa ku berharap dia menulis kata maaf...
Ahhh apa yang kamu fikirkan Ayna, kamu dan Rafka bukan pasangan yang baru saja jatuh cinta.
.
.
.
.
Lanjut episode berikutnya ya dears...😘
Jika diminta memilih antara HP dan dompet, mana yang harus dibawa saat berpergian bareng pacar? 😆
Perjalananku terasa sunyi, sesunyi suasana hatiku saat itu. Hanya dapat menatap daun yang sepertinya menari seirama dengan hembusan angin yang bertiup. Pohon - pohon tampak kokoh berbaris sepanjang jalan menuju villa. Nikmat mana yang engkau dustakan.. sungguh indah pemandangan yang terpampang nyata di hadapanku saat itu.
"Masih jauh tidak ya pak?" Tanyaku memecahkan kesunyian.
"Harusnya sih tidak ya non, kalau dilihat dari alamat yang non berikan sudah dekat ini." Penjelasan Pak Herman, supirku.
Pak Herman adalah supir keluargaku, beliau sudah lama ikut bersama keluarga kami. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Diusianya yang sudah terbilang cukup tua ini, beliau masih sangat setia menemani kami.
"Non Ayna, kita sudah sampai sepertinya, nomor 69 kan ya?" Tanyanya memastikan.
Ku memperhatikan gerbang hitam yang berdiri kokoh di hadapanku, bertuliskan angka 69 di sana. Tampak ukiran kayu yang membuat gerbang tersebut menjadi sangat elegan dilihat.
"Wah.." Bisikku.
"Saya antar ya non ke dalam." Pinta pak Herman.
"Enggak usah pak, bapak pulang saja, setelah ini pak Herman masih harus jemput mamahkan, Ayna bisa sendiri pak." Pintaku.
"Pulangnya gimana Non, mau dijemput atau gimana?" Tanyanya kembali.
"Kan ada mas Rafka pak, Ayna pulang sama mas Rafka nanti." Jawabku.
"Siap dah Non, semoga menyenangkan liburannya. Saya pamit dulu ya non." Pintanya.
"Ya pak, hati-hati dijalan, makasih ya pak."
Aku tersenyum menatap kepergian pak Herman, melambaikan tangan tanda berpisah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, pak Herman yang dulu sangat terlihat gagah, sekarang tampak terlihat lemah, Semoga pak Herman selalu diberikan kesehatan, doaku untuknya.
🍀🍀🍀
Ternyata jarak dari gerbang ke pintu masuk villa cukup jauh, untungnya udara di sini sangat bersahabat, terasa sejuk. Tapi kalau tahu begitu jauh minta tolong pak Herman antar tadi. Kenapa juga mas Rafka tidak bisa dihubungi, kesalku sendiri.
"Tok... tok... tok.."
Ku mengetok pintu perlahan, sekali, dua dan sampai tiga kali, tak ada jawaban yang terdengar. Ku memberanikan diri meraih gagang pintu villa itu dan hendak membukanya dan "klek.." Tidak terkunci ternyata.
"Hallo, Assalamualaikum." Sapaku berkali - kali dan masih tak ada jawaban terdengar.
Ku melangkah masuk perlahan, makin ke dalam dan akhirnya aku pun terdiam. Langkahku pun terhenti seketika, saat ku melihat sosok pria yang tampak asing di hadapanku. Pria yang cukup tinggi, berkulit putih dan bersih. Hidung mancung, seperti pria berdarah campuran, sangat tampan. Mengenakan kaos polos dan celana training berwarna putih yang membuat makin terlihat sempurna penampilanya. Sebuah buku yang cukup tebal menempel di tangan kanannya.
Aku terdiam begitupun pria itu. Entah kenapa terlintas dalam fikirku bahwa pria ini adalah temannya mas Rafka, toh mas Rafka bilang siang tadi kalau dia sedang meeting. Mungkin ini temanya yang ikut meeting dan diajak mas Rafka ke mari, yahh mungkin seperti itu.
"Hai, Rafkanya di mana ya." Tanyaku akhirnya membuyarkan kebingungan kami saat itu. Tapi sepertinya pria itu malah terlihat berfikir.
"Rafka." Ulangnya kembali.
"Iya, kamu temennya mas Rafka kan?" Tanyaku dengan sangat percaya diri.
"Sorry, sepertinya anda salah alamat." Jawab pria itu.
"Hah.." Teriakku akhirnya.
Salah alamat bagaimana, jelas - jelas ini alamat yang diberikan Rafka padaku. Pasti pria ini yang salah alamat, atau pria ini pencuri, tapi kok pencuri ganteng sangat yak.
"Salah alamat gimana mas, jelas - jelas ini alamat yang diberikan pacar saya, ini villa pacar saya mas, masnya kali yang salah alamat." Paksaku akhirnya.
"Ini Villa saya, coba hubungi pacarnya untuk memastikan." Pintanya.
"Waw." Bisikku kembali.
Pria ini tampak terlihat tenang dan dewasa. Aku sudah memaksa dan menuduhnya, bisa kacau kalau ternyata memang salah alamat. Tidak... aku yakin ini villa mas Rafka.
"Masalahnya pacar saya enggak bisa dihubungi." Penjelasanku padanya.
Mungkin mas Rafka masih meeting, Handphonenya dimatikan atau mungkin Handphonenya lowbat fikirku dalam hati.
Pria itu langsung melangkah menuju sofa hitam yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri saat itu. Menghampiri Laptop yang tergeletak di sana, membaca dan mengamati tulisan yang tertera di sana.
"Ya Tuhan.. Aku dicuekin.." Kesalku.
"Heii kamu.." Panggilku akhirnya.
"Saya enggak percaya kalau saya yang salah alamat, saya mau nunggu pacar saya di sini" Paksaku kembali.
"Silakan." Jawabnya dengan tenang.
Ishh ini pria, kenapa bisa kalem begini. Aku pun melangkah menuju sofa hitam yang terletak di hadapannya, duduklah aku di sana. Berkali kali ku menghubungi mas Rafka, tapi masih tidak aktif. Aku kesal.. aku lelah.. tertidurlah aku di sofa itu. Seketika melupakan pria yang masih duduk manis di hadapanku dengan laptop dan buku yang menemaninya.
.
.
.
.
lanjut episode berikutnya ya dears...😘
semoga suka..
Ku membuka mataku perlahan, mengamati sekelilingku dan semua tampak asing.
"Ya Tuhan.. Aku tertidur, sudah berapa lama ini?" Tanyaku sendiri.
Spontan ku mengambil handphoneku yang sepertinya terjatuh di dekat tanganku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Ku mengecek semua panggilan dan pesan pada handphoneku. Namun sampai saat ini tidak terukir nama Rafka di sana. Dia tidak meneleponku dan tidak menghubungiku. Ditengah ke kecewaanku, aku menyadari bahwa aku masih punya hutang penjelasan kepada pria itu, pria yang masih duduk di hadapanku dan sekarang aku harus bilang apa ke dia. Mas Rafka masih belum bisa dihubungi dan tidak menghubungi.
"Hei.." Panggilku memecahkan kesunyian saat itu. Sejujurnya aku bingung mesti menyapa dan memanggil apa pria itu.
"Sudah bangun?" Tanyanya.
"Sudah mau isya, magrib dulu sana, baru menghubungi pacarmu lagi." Pintanya.
"What..", Teriakku dalam hati.
Aku terkejut, dia mengingatkanku untuk sholat, berarti dia orang baikkan. Mencoba meyakini diriku sendiri. Kenapa dia tak ada rasa curiga sedikitpun, aku inikan orang asing untuknya. Dia terlihat sangat tenang, memang tak salah dia menyuruh aku sholat. Tapi kan.. ahh sulit dijelaskan.. kesalku sendiri.
Aku bangkit dari dudukku, melangkah menghampiri pria itu. Memberanikan diri duduk di sampinya.
"Aku Ayna." Ku memperkenalkan diriku, mencoba menghilangkan keasingan yang kurasakan sendiri.
"Adit." Jawabnya.
Pria itu tetap sibuk dengan laptopnya. Tak menoleh sedikitpun ke arahku.
"Ehmmm... kamar mandinya di mana ya?" Tanyaku.
Dia bangkit dari duduknya, berdiri dan kemudian melangkah beberapa langkah, lalu berhenti.
"Hayuu.., tadi nanya kamar mandikan?, kenapa masih duduk disitu?"
"Hah.." Teriaku sendiri.
Mana ku tahu kalau dia bermaksud mengantarku ke kamar mandi. "Dasar pria aneh.." Kesalku padanya dalam hati.
"Nanti kamu bisa sholat di sini." Tunjuknya tiba - tiba saat dia mengantarku ke kamar mandi.
"Waw." Kamar mandinya besar sekali, bagaimana dengan kamar tidurnya yah, fikiriku sendiri.
Rapih dan elegan, didominasi dengan warna coklat dan hijau. Cermin yang besar terpampang luas di hadapanku, dilengkapi dengan ukiran kayu yang mengitari bentuk cermin yang cukup besar itu.
Aku harus minta maaf setelah ini, fix aku salah alamat, kalau tidak salah alamat pasti Rafka sudah ada di sini sejak tadi. Batinku bicara.
🍀🍀🍀
Suara angin berhembus kencang terdengar sampai ke dalam villa, hembusan anginpun merasuki sekujur tubuhku saat itu, Hujan turun begitu lebat, suasana di villa menjadi sangat dingin.
"Ehmm..." Ku mencoba memulai pembicaraan.
"Mas.. Mas Adit.." Panggilku.
Sekali lagi ku duduk di sampingnya. Rasanya tak baik jika mau minta maaf berjauhan. Dia menatap ku, aku reflek memundurkan dudukku saat itu.
"Sorry, saya mau minta maaf". Dia hanya menatapku dan tak bersuara, serasa dosaku besar sekali kepadanya.
"Sepertinya saya salah alamat mas." Lanjutku akhirnya. Dia tersenyum, akunya bingung, apakah permintaan maaf ku sangat lucu.
"Ko malah senyum sih." Tanyaku meminta penjelasan.
Dia senyum kembali dan jedarrr.. Aku kaget, ku sontak meraih tangan pria itu. Menggenggamnya, menutup kedua mataku. Selang beberapa detik, bunyi petir itu terdengar kembali, lebih keras dari sebelumnya. Makin kencangku menggenggam tangannya dan tiba - tiba tangan pria itu meraih pundakku, mendorongnya kearahnya.
Yahh.. aku di pelukannya sekarang. Aku tidak mampu menolaknya. Aku takut dan aku tampak lemah jika suara petir itu terus berbunyi. Seketika dia memukul lembut pundakku perlahan, mencoba menenangkan ketakutanku. Entah kenapa aku merasa tenang dengan pria asing yang baru ku kenal ini. Kuharap dia memang pria baik.
.
.
.
.
lanjut episode berikutnya ya dears...😘
semoga suka dan jadi favorite
likenya yang banyak ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!