"Kania, Papa ingin kamu menikah dengan Om Galih!” bentak lelaki paruh baya yang tidak lain adalah papa Kania Anastasia.
"Oh Galih? Si tua Bangka itu?” Dengan mata membelalak Kania berusaha menantang mata papanya yang membuat lelaki paruh baya itu semakin emosi.
Kania baru saja pulang sekolah, baju putih abu-abu yang ia kenakan bahkan belum sempat ia ganti, bahkan sekaran ia masih sangat lelah, tapi sang Papa malah mengatakan hal tidak-tidak, bahkan itu diluar nalar Kania.
"Mulai hari ini kamu nurut, jangan membantah Papa!"
"Pa, apa Papa menjual Nia?" tantang Kania dengan kedua bola mata membelalak.
P R A K !
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kania.
S A K I T !
Itulah yang saat ini dirasakan Kania. Wajah mulus putih bersih itu kini berubah menjadi merah, hingga tangan mulus Kania memegang sebelah pipi yang ditampar oleh lelaki yang sangat disayangnya itu. Darah Kania serasa mendidih, hatinya merintih dan matanya mengeluarkan butiran-butiran mutiara. Sungguh, kesakitan ini bukan hanya tamparan papanya, tapi keegoisan papanya untuk memaksakan pernikahan yang tidak layak kepadanya. Ia masih SMA, bahkan baru saja naik ke kelas tiga, begitu panjang hidup dan cita-cita yang ingin ia raih di masa depan.
Air mata mulai mengalir membasahi pipi Kania Anastasia, gadis cantik berusia 17 tahun itu. Hatinya terasa teramat sangat sakit dan terluka, Karena papanya begitu tega menjualnya kepada lelaki yang seusia dengan papanya hanya gara-gara harta.
"Jaga mulutmu! Dia adalah calon suamimu!” Tunjuk kiri papa Haris tepat di depan wajah Kania. Mata lelaki paruh baya itu memerah dengan pancaran emosi yang meluap di wajahnya.
Kania mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah papanya yang selama ini menjadi idolanya itu.
"Pa, ini adalah tamparan pertama Papa,” ucap Kania dengan nada suara terisak-isak.
"Tiga hari lagi pernikahanmu akan dilangsungkan, tapi kamu malah membantah Papa. Itu sama saja dengan kamu menghancurkan perusahaan kita! Om Galih adalah investor terbesar perusahaan kita,” bentak keras papa Haris.
"Tiga hari lagi?"
Mata Kania membelalak, mana mungkin ada pernikahan mendadak tanpa pemberitahuan dan persiapan seperti itu. Jangankan untuk menikah, membayangkan akan menikah muda saja Kania tidak sanggup.
Kania berlari menuju kamarnya dengan air mata yang terus bercucuran membasahi pipinya.
Kania emosi, hatinya merasa sangat sakit dan hancur, hingga ia meluapkan semua amarah di hatinya dengan membanting pintu kamarnya. Sungguh, Kania saat ini merasa ingin mati saja!
H A N C U R !
Kania merasa seperti sebuah barang yang dijual untuk memuaskan hasrat papanya yang terlalu mencintai harta benda.
K E C E W A !
Kania tidak menyangka, lelaki yang selama ini menjadi panutannya itu sekarang berubah menjadi seseorang yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan sejak mamanya meninggalkan dunia ini.
'Mama, Nia rindu!' ucap Kania di dalam hati.
Kania benar-benar merindukan pelukan hangat dari mamanya yang sudah tidak lagi bisa ia temukan di dunia ini.
Kania menghempaskan tubuhnya di ranjang empuk namun terasa tidak nyaman baginya, ia meraih telepon genggamnya dan menghubungi kekasih hati yang teramat sangat dicintainya.
[Sayang …] sapa Kania lembut.
[Sayang, kamu menangis?] terdengar suara Verrel Alexander dari seberang sana.
[Tidak, aku tidak menangis!] Kania berusaha berbohong.
[Kita ketemuan yuk!] ajak Alex.
[Bukankah sepuluh menit yang lalu kita sudah ketemu di sekolah?]
Kania heran kenapa kekasihnya itu tiba-tiba mengajaknya bertemu, bahkan seragam sekolah yang ia kenakan belum dibuka sama sekali.
[Aku masih rindu!] ungkap Alex dengan suara yang terdengar manja.
Dengan bergegas Kania bangkit dari tempat tidurnya, ia ingin segera bertemu dengan kekasih hati yang teramat sangat disayanginya itu. Lelaki yang merupakan kekasihnya di sekolah itu telah menjalin hubungan dengan Kania sejak dua tahun terakhir.
Kania menatap wajahnya di cermin, gadis cantik dengan tinggi 160cm itu kini tengah menyisir rambutnya dan membiarkan rambut itu terurai panjang, kemudian memakai pelembab bibir di bibir mungilnya yang memang sudah berwarna merah muda alami. Namun, bagi seorang wanita berhias adalah kebutuhan wajib agar penampilannya terlihat cantik di depan sang kekasih.
Seragam putih abu-abu dengan rok diatas lutut yang ia kenakan membuat Kania terlihat semakin mempesona di usianya.
Kania keluar dari kamar dengan perasaan berbunga-bunga.
"Kania, kamu mau kemana?” teriak keras papa Haris ketika melihat sang putri bergegas keluar dari kamarnya.
"Bukan urusan Papa!” jawab Kania singkat dengan nada suara tinggi dan membantah.
"Kamu tidak boleh kemana-mana, Nia!"
Kania tidak mempedulikan papanya, ia segera berlari menuju garasi, ia tidak ingin papanya menghambat keinginannya untuk bertemu dengan kekasih hatinya.
"Kania, tunggu!” teriakan keras yang keluar dari mulut papanya kini sudah tidak lagi ia hiraukan.
Kania mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal. Ia sudah tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Kania terus melaju di jalan tol dengan sangat cepat hingga sampailah ia di sebuah caffe favorit di mana ia dengan sang kekasih hati sering menghabiskan waktu disana hanya untuk melepaskan penat dari rutinitas pekerjaan yang teramat sangat padat.
"Sayang …,” sapa lelaki tampan yang saat ini tengah berada di depan Kania.
Alex, lelaki dengan tinggi 165, kulit putih dan hidung mancung itu lebih terlihat seperti artis Korea, hingga semua mata yang memandang akan langsung jatuh cinta kepadanya. Namun, mereka tidak akan berkutik jika Kania sedang berada di samping lelaki tampan itu, karena Kania tidak akan segan-segan menghukum dan membully orang yang mengganggu kekasihnya.
"Yuk, masuk!" ucap Alex.
Lelaki itu tersenyum dan mengulurkan satu tangannya untuk menggandeng tangan Kania.
"Sayang ….” Kania segera berlari kepelukan Alex dengan perasaan hati yang berkecamuk.
Kania melingkarkan kedua tangannya semakin erat memeluk Alex dengan air mata yang terus bercucuran.
"Sayang, berantem lagi ya sama Papa?”
Alex mengangkat wajah Kania dengan lembut, ia kemudian menghapus air mata yang terus mengalir di pipi kekasih yang teramat sangat dicintainya itu.
"Kamu nggak kerja sambilan, Sayang?”
Kania berusaha mengalihkan pembicaraan di antara mereka, ia tidak ingin lelaki yang sangat dicintainya itu ikut merasakan luka yang ia rasakan.
"Kania, aku tahu tiga hari lagi kamu akan menikah dengan Pak Galih 'kan?”
Ucapan yang keluar dari mulut Alex membuat hati Kania bergetar sangat hebat. Kania selalu menyembunyikan tentang hal yang memalukan itu dari Alex dan teman-temannya, namun lelaki itu tetap mengetahuinya dari gosip-gosip yang telah menyebar di tempat kerjanya, karena Alex memang bekerja di salah satu toko milik pak Galih.
"Kania, aku ingin memperjuangkan cinta kita! Apakah kamu mau meninggalkan semuanya dan ikut denganku?”
Alex menatap Kania dengan tatapan penuh harap, ia sungguh ingin memperjuangkan cintanya kepada kekasih yang sangat ia cintai dan sayangi dengan segenap hati dan jiwa itu.
"Tapi, tiga hari lagi aku akan menikah!” ucap Kania dengan nada suara terisak dan mengiba.
"Kita bisa pergi hari ini.”
Entah keberanian dari mana, Alex berusaha meyakinkan Kania, bahwa ia akan menjaga dan mencintai Kania dengan segenap hati dan perasaannya. Namun, bagaimana mungkin anak SMA seperti mereka akan menikah dan hidup bahagia, kehidupan sehari-hari mereka saja hanya mengandalkan orang tua atau kerja sambilan. Tapi, tidak ada cara lain untuk mempertahankan hubungan mereka selain kabur, pikiran singkat anak SMA yang belum memilah dan menimbang buruk baiknya.
"Baiklah tapi kita akan kemana? Apakah kita bisa hidup tanpa adanya harta benda?”
Kania berusaha menjelaskan kepada Alex kalau semua yang ia punya adalah milik orang tuanya, kalau seandainya ia kabur tentu saja dengan resiko kehilangan segalanya.
"Sayang, aku punya sedikit uang dan tabungan, kita bisa memulai hidup baru dan membuka usaha di perkampungan. Hidup sederhana dan bahagia.” Lagi dan lagi Alex berusaha meyakinkan Kania.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi sekarang saja?”
Kania menarik tangan Alex untuk masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak ingin berlama-lama dan ia juga tidak ingin kedua anak buah papanya menemukan mereka hingga rencana mereka gagal.
"Sayang, biar aku saja yang menyetir!” pinta Alex, namun tidak Kania hiraukan. Dalam otak Kania ia harus menyetir secepat yang ia bisa agar semua tidak terlambat.
"Sayang, biar aku saja!” ucap Kania dengan terus mempercepat laju mobilnya. Bahkan Kania terlihat seperti seorang pembalap padahal ia baru saja mendapatkan SIM.
"Sayang, awas!” teriak Alex ketakutan.
B R U K !
Mobil mereka terbalik, berputar beberapa kali putaran, torombang ambing hingga kacanya pecah menjadi pecahan-pecahan kecil.
Tubuh Kania dan Alex terhempas beberapa kali, hingga keduanya berteriak meminta tolong dengan suara mencekik. Ya, mereka berdua akhirnya tergeletak dengan keadaan tubuh tertungkup, seluruh tubuh penuh dengan luka dan gelumuran darah segar.
Kania dan Alex berusaha untuk menyelamatkan dirinya keluar dari mobil itu, namun tenaga mereka telah habis, mereka terlihat sangat lemah.
"Sa-yang, ka-mu tidak apa-apa?” ucap Alex lembut dan lemah sembari manatap Kania dengan tatapan sayu.
Wajah Kania berlumuran darah yang keluar dari keningnya.
"Aku tidak apa-apa, Sa-yang!” jawab Kania lemah namun masih berusaha untuk tersenyum tipis.
Kania terlihat berusaha menyembunyikan sakitnya dengan senyuman, ia tidak ingin Alex yang bergelumuran darah di kapalanya ikut merasakan khawatir melihat kondisinya sekarang.
“Sayang, bertahanlah!” ucap Alex lembut dengan senyuman yang memberikan kekuatan untuk Kania.
Dengan sisa-sisa tenaganya Kania berusaha mengangkat tangannya untuk menggenggam tangan Kania, dan Alex juga melakukan hal yang sama.
Pelan dan perlahan, jari jemari itu berjalan seperti semut. Meski seluruh tubuh terasa sakit, tidak menghalangi keduanya untuk saling menguatkan.
Kedua tangan insan itu berusaha saling menggenggam, namun sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, Alex tidak kuat lagi bertahan, matanya satu karena menahan sakit hingga akhirnya tidak sadarkan diri.
“Sayang …, bangun!” teriak Kania histeris, ia terus meraung-raung dengan air mata yang terus membasahi pipinya yang dipenuhi dengan darah.
“Aku harus segera keluar dari sini!” ucap Kania dengan terus berusaha menyelamatkan dirinya.
Tubuh yang bergelumuran darah itu berusaha untuk mencari pintu mobil yang sudah bolong. Walaupun banyak pecahan kaca di sekitarnya, Kania tetap berusaha agar ia harus keluar dari dalam mobil untuk mencari bala bantuan.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, akhirnya Kania berhasil ke luar dari mobil itu.
Kania mencoba berdiri namun ia tidak kuat menopang tubuhnya hingga ia tersungkur lagi ke bumi. Namun Kania tidak menyerah, lagi dan lagi ia kembali bangkit demi kekasih yang ia sayangi.
“TOLONG …, TOLONG …!” teriak Kania dengan sisa-sisa energinya yang sudah mulai melemah.
Kania terus berjalan mencari bala bantuan, tapi ia merasa aneh dengan tempat yang saat ini didatanginya.
'Ini bukan Jakarta!' batin Kania.
Kania terus memperhatikan sekelilingnya, rumah-rumah yang ditemuinya adalah bangunan rumah adat dengan gonjong (atap runcing) yang menjulang ke langit seperti tanduk kerbau.
“Aku dimana?” ucap Kania heran sembari memperhatikan sekelilingnya.
Ia sungguh tidak pernah datang ke tempat ini sebelumnya, tempat asing yang terlihat asri dengan sawah dan ladang yang terhampar luas di sekitarnya. Pemandangan alam dan udara segar yang tidak akan pernah ditemui di kota besar seperti Jakarta.
"Siti!” panggil seseorang dengan penampilan yang menurut Kania unik. Beliau menggunakan penutup kepala yang aneh meurut Kania. Terlihat seperti dalam film-film lawas yang pernah dilihatnya.
"Siti, dari mana saja, Nak!” ucap wanita separuh baya itu kepada Kania.
Wanita itu mendekati Kania dengan senyum merekah indah di wajah beliau yang sudah keriput.
"Siti pulang dari sawah Bundo, mengantarkan nasi Abak (Ayah).”
Kania kaget, kenapa bisa ia mengucapkan kata-kata yang tidak pernah diungkapkannya sebelumnya dan bagaimana mungkin ia memanggil dirinya dengan nama Siti, nama yang menurutnya sangat kampungan.
'Apa-apaan ini? Siti? Siapakah Siti?' ucap Kania di dalam hati.
Ingin sekali Kania bertanya kepada wanita yang ada di depannya itu, namun ia merasa sangat aneh kepada dirinya sendiri, ia bahkan tidak bisa berbicara sesuai keinginannya.
"Siti, pulang kita lagi, Nak! Sebentar lagi zuhur!”
Wanita paruh baya itu menggandeng tangan Kania dengan hangat dan penuh kelembutan.
Kania merasakan kasih sayang dan cinta yang sangat tulus dari belaian tangan wanita separuh baya itu. Sungguh, rasanya seperti belaian tangan mamanya yang sudah tidak lagi berada di dunia ini.
Sejujurnya Kania merasa sangat senang, karena kerinduannya kepada orang yang sudah tidak bisa lagi ia temui sedikit terobati.
"Siti, lelah, Nak?” tanya wanita separuh baya itu.
Wanita separuh baya itu menatap Kania dengan perasaan yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.
"Siti sayang sekali sama Bundo,” ucap Kania sembari memeluk wanita separuh baya itu.
Entah apa yang terjadi kepada Kania, ia refleks mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakannya, bahkan ia memeluk seseorang yang tidak ia kenal sebelumnya. Namun, ia merasakan kehangatan dari pelukan itu, rasa yang sama seperti saat ia memeluk mamanya, padahal wanita yang ia peluk penampilannya lebih kampungan dari pada asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.
'Kania, apa yang kamu lakukan disini? Alex membutuhkanmu!' ucap Kania di dalam hati sebagai bentuk protes dirinya sendiri dengan keadaan yang terjadi diluar kendalinya.
Kania terhanyut dalam pelukan wanita paruh baya itu. Kehangatan dan kelembutan cinta itu membuat Kania melupakan Alex untuk sesaat.
'Lex, Alex!'
Kania panik, ia melepaskan pelukannya dari wanita paruh baya itu, ia mengingat kembali kejadian di mana ia kecelakaan dan saat ini kekasihnya tengah membutuhkan bantuannya.
"Siti, kenapa wajahnya terlihat khawatir seperti itu, Nak?" tanya bundo.
Kania mengacak-acak rambut dan kepalanya, kemudian memeriksa tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
A N E H !
Kania merasakan kejanggalan pada dirinya, ia tidak lagi melihat ada luka dan darah apapun di tubuhnya. Ia terlihat sangat sehat, seolah tidak terjadi kecelakaan apapun.
"Nak, apa yang dipikirkan?" Bundo menggandeng tangan Kania berjalan menyusuri setiap sawah dan ladang yang terlihat asri itu menuju rumah.
'Kemana lagi ini?' batin Kania.
Kania berhenti, kemudian melepaskan genggaman tangan bundo, ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang baru saja terjadi, ia mengalami kecelakaan mobil dan saat ini kekasihnya tengah membutuhkan bantuan karena keadaannya sangat kritis.
"Bundo, kata Abak, Siti harus manikah dengan Datuak Maringgih karena keluarga kita berhutang sama Datuak, apakah itu benar, Bundo?"
Lagi-lagi Kania dikejutkan dengan kata-kata yang ke luar dari mulutnya. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan apa yang ingin disampaikannya.
'Nia, apa yang lo katakan? Saat ini Alex membutuhkan bantuan lo, kenapa lo malah membahas pernikahan dengan Datuak Maringgih? Siapa Datuak Maringgih? Apakah dia Om Galih? Nia sadar! Siti siapa lagi itu? Namamu Kania bukan Siti.'
Batin Kania bergejolak, begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Bahkan, ia berbahasa dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dipelajarinya.
A J A I B !
Tapi nyata, Kania saat ini tengah pusing dengan dirinya sendiri.
Begitu banyak hal yang mengganjal yang terjadi, mulai dari perkampungan yang terlihat asri, penampilan orang-orang yang terlibat seperti masa lampau, hingga bangunan-bangunan rumah adat bagonjong yang pernah Kania lihat di Taman Mini Indonesia Indah.
'Nia, apa sebenarnya yang terjadi? Kamu dimana?" Berbagai pergejolakan batin terjadi di hati dan fikiran Kania, hingga ia merasa kepalanya seolah ingin pecah.
"Siti, apa yang terjadi, Nak?"
Wanita paruh baya yang dipanggil bundo oleh Siti itu terlihat panik dan khawatir melihat Kania memukul-mukul kepalanya.
"Sayang, jangan sakiti diri sendiri, Nak!"
Bundo memegang tangan Kania dan memeluk gadis cantik kesayangannya itu dengan lembut, penuh cinta dan kasih sayang yamg hangat.
"Bundo, berapa banyak hutang keluarga kita sama Datuak Maringgih itu?"
Dalam pelukan hangat sang bundo, Kania bertanya kepada ibunya itu tentang hutang keluarganya. Kania penasaran berapa hutang itu hingga manusia yang menjadi tumbalnya. Tidak hanya di masa depan ia dijual, tapi ternyata semua sudah dimulai sejak di masa lalu.
Hati Kania seperti terkoyak-koyak karena merasa seperti barang yang diperjualbelikan.
Bundo diam, beliau tidak tahu pasti berapa jumlah hutang keluarga mereka saat ini, yang beliau tahu kalau datuak Maringgih itu adalah rentenir dan lintah darat di kampung mereka, ia adalah lelaki yang sangat rakus akan harta, meminjamkan uang kepada orang yang lemah dengan melipatgandakan bunganya dalam hitungan hari. Apabila keluarga yang berhutang tidak sanggup membayar hutangnya dalam tempo waktu yang telah ditetapkan maka Datuak Maringgih akan menyita semua harta benda milik yang berhutang termasuk rumah, tanah, sawah dan ladang, ternak atau apapun yang dimiliki keluarga yang berhutang, termasuk anak gadis mereka yang harus rela menjadi istri kesekian dari lelaki tua bangka yang sudah bau tanah itu. Ya, tidak hanya satu, tapi si Datuak Maringgih memiliki puluhan istri yang sangat cantik-cantik sebagai sitaan karena orang tuanya tidak sanggup membayar hutan.
"Sayang, pulanglah kita dulu!"
Bundo kembali menggenggam tangan putri kesayangan satu-satunya itu untuk pulang ke rumah mereka.
Kali ini Kania tidak lagi protes, ia tidak lagi memikirkan Alex, ia penasaran dengan gadis yang bernama Siti itu, bagaimana mungkin gadis itu memiliki kisah hidup yang hampir sama dengannya, menikah dengan lelaki tua bangka hanya untuk membayar hutang.
"Oh iya, Siti, dima tangkuluak (penutup kepala) kamu, Nak?"
Bundo baru menyadari putrinya saat ini menggenakan baju SMA dengan rok pendek diatas lutut dan baju lengan pendek berwarna putih yang juga pas di badannya.
Kania terdiam, ia memperhatikan pakaian yang ia kenakan memang sangat berbeda dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, masyarakat yang terlihat kuno itu mengenakan baju panjang (baju kurung) yang longgar dengan rok dan penutup kepala untuk menutupi rambutnya. Tapi, Kania juga tidak menyangka ia kembali ke masa lalu dengan pakaian seperti ini.
"Siti, jawab Bundo!" suara bundo terdengar keras hingga membuat Kania terkejut dan merasa takut.
Kania mengangkat wajahnya dan menatap bundo dengan tatapan penuh dengan rasa bersalah.
Baru kali ini Kania merasa kalau ucapan dan tindakannya sangat tidak pantas dan tidak sopan kepada orang yang usianya jauh lebih tua dari pada dirinya.
"Siti, sudah sering Bundo katakan kalau manutup aurat itu hukumnya wajib, apalagi kita orang Minangkabau. Adat mengajarkan kita kalau kita itu harus bapedoman pada Al-qur'an dan hadist. Adat basabdi syarak, syarak basandi kitabullah, Nak," jelas bundo.
Pernyataan bundo membuat Kania tertegun, bagaimana mungkin ada adat yang mengatur kehidupan masyarakatnya sampai sedetail itu, mulai dari hal kecil sampai hal besar semuanya diatur dalam adat, dimana adat berlandaskan Al-qur'an dan hadist. Selama ini kedua orang tua Kania tidak pernah mengajarkan perihal agama maupun adat kepadanya, yang ia tahu kalau yang terpenting dalam hidup itu adalah kesuksesan dan uang. Bahkan di sekolah Kania hanya ingin bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan kepopuleran yang ia miliki dan uang yang diberikan orang tuanya, ia sudah merasa sangat bahagia.
Kania mulai merasa malu dengan pakaian yang dikenakannya, ia merasa risih dengan pakaian yang sangat jauh berbeda dengan orang-orang di sini.
"Siti, Siti, kenapa kamu malah diam saja, Nak?" Bundo terlihat tidak suka jika anaknya tidak mendengarkan nasehat darinya.
Dalam adat Minangkabau, ketika orang tua sedang berbicara, maka sang anak wajib memperhatikan dan mendengarkannya.
"Maaf, Bundo, maaf!"
Kania mengaitkan kedua tangannya untuk meminta maaf kepada Bundo.
Ini adalah kali pertamanya juga Kania mengucapkan maaf dengan tulus dan ikhlas kepada seseorang yang baru saja dikenalnya.
"Di mana dapat baju yang kakurangan bahan seperti itu, Nak?" tanya Bundo penasaran.
"Bundo, Bundo mau ikut nggak sama Siti? Siti ingin menunjukkan sesuatu," ujar Kania sembari memegang tangan bundo.
Kania berusaha menghentikan langkah Bundo untuk membawanya pulang ke rumah, ia memutar balik badan dan membawa bundo ke lokasi di mana kecelakaan yang baru saja menimpanya. Ia ingin Bundo membantu Alex dan menyelamatkan lelaki yang menjadi pujaan hatinya itu.
"Kemana kita, Nak? Bundo cuma bertanya di mana Siti mendapatkan baju kekurangan bahan itu, bukan pergi-pergi, Siti!" ucap bundo dengan nada suara yang terdengar kesal.
"Itu, Bundo," tunjuk Kania dengan senyuman.
Bundo heran bercampur geram ketika Kania malah mengajaknya menuju rumah yang dianggap orang sebagai sarang harimau.
"Kita kemana, Nak?" ulang bundo sekali lagi.
"Kesitu, Bundo."
Kania menunjuk ke lokasi dimana ia mengalami kecelakaan.
"Siti, berhenti!" bentak Bundo dengan raut wajah memerah dan mata membelalak.
Teriakan bundo terdengar sangat keras, mata beliau membelalak dan beliau terlihat sangat marah sekali. Namun, Kania tidak mempedulikan wanita paruh baya itu, ia terus berjalan menuju lokasi tempat kecelakaannya terjadi. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengan Alex dan membantu lelaki itu.
"Lex, Alex, kamu dimana?" Kania berputar-putar di sekitar lokasi kecelakaan sembari meneriakkan nama Alex kekasihnya.
Kania heran, tidak ada lagi mobil atau Alex di sana.
Kania berpikir keras, ia sangat panik, berbagai hal buruk muncul dalam pikirannya.
Kania kembali berputar dan berlari-lari kecil kesana kemari untuk mencari jejak kecelakaannya, namun ia tidak menemukan apapun. Tidak ada bekas kebakaran dan tidak ada lumuran darah apapun, aspal benar-benar bersih tanpa meninggalkan bekas apa-apa.
Kania panik! Seluruh tubuhnya terasa menggigil, ia takut bercampur heran, karena semua yang terjadi serasa seperti mimpi untuknya.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Siti? Dimana ini? Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku ada di tempat yang sangat aneh ini?'
Berjuta bertanyaan beruntun muncul di benak Kania, namun ia tidak menemukan jawaban apapun.
HA HA HA ....
Kania tertawa seperti orang stres dan gila, ia hilang arah, kehilangan tujuan dan tidak tahu akan berbuat apa-apa.
"Hai, Siti, kamu ngapain ke sini? Mau membayar hutang atau ingin manikah dengan Den (saya)?"
Lelaki tua bangka dengan perawakan tinggi, menggenakan tongkat dan penutup kepala seperti seorang Datuk, datang menghapiri Kania dengan senyuman yang terlihat picik.
"Angku (Kakek) sia?"
Penampilan lelaki tua yang lebih cocok dipanggil kakek itu sungguh membuat Kania jijik kepadanya.
Kania membelalakkan wajahnya menatap lelaki tua bangga yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini.
"Siti, panggil Den dengan panggilan Uda (Mas), sebentar lagi Den akan jadi suami kamu!"
Lelaki tua bangka itu tertawa lepas sembari memandang rendah kepada Kania. Terlihat jelas kalau beliau sangat tidak menghargai orang lain.
Sutt ...
J I J I K !
Kania meludah tepat di depan Datuak Maringgih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!