NovelToon NovelToon

Kemana aku harus pulang?

MENANTANG BAHAYA

Ting!

Sebuah notifikasi pesan singkat terdengar dari ponsel bercasing biru yang terkapar di atas ranjang. Terlihat sang pemilik datang dengan handuk yang masih melilit rambut basahnya. Tak ingin membuka pesan yang baru masuk tersebut, dirinya langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Beberapa menit berselang, gadis berambut panjang sepinggang itu telah siap dengan seragam putih abu-abu nya. Bibir nya yang tipis terlihat berwarna pink sebab lip balm rasa strawberry yang digunakan. Tak lupa juga ia menggunakan skin care lengkap untuk menghilangkan jerawat yang tumbuh di kedua pipinya.

Sekarang dirinya menatap kaca, senyum lebar itu tak kunjung pudar dari kemarin malam. Ia meraba pipinya yang tiba-tiba hangat, seketika wajahnya berubah merah seperti tomat rebus karena mengingat kencannya semalam. Masih dengan senyuman, dirinya memukul pelan kepalanya dan menyadari kekonyolannya pagi ini. Tanpa berlama-lama lagi di depan cermin, gadis kecil berusia 18 tahun itu mengambil kunci motor, ponsel dan tasnya. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri untuk mengecek ponsel yang sedari bangun tadi ia anggurin.

'Rin, untuk saat ini hubungan kita udahan dulu ya. Maaf udah buat kamu kecewa, maaf belum bisa ngertiin kamu dengan baik. Terima kasih untuk semua yang telah kamu berikan untuk aku. Sekali lagi maaf belum bisa bahagiain kamu. aku harap kamu bisa maklumi keputusanku, bye rina.'

Deg!

Tetes demi tetes bulir bening mulai mengalir di kedua pipi rina, rasa terkejut, marah dan juga kecewa bercampur aduk menjadi satu. Apalagi saat mengetahui rizal juga memblokir nomornya. Bagaimana rizal, kekasih yang amat ia cintai bisa tega melakukan ini padanya. Tanpa ada komunikasi, tanpa ada persetujuan, rizal telah memutuskan hubungan diantara mereka, padahal kemarin semua masih baik-baik saja.

"Enggak, ini pasti bukan kemauan rizal. Ini pasti ada orang yang nyuruh dia. Gue harus minta penjelasan rizal" Tanpa ba-bi-bu lagi, rina segera menuju halaman rumahnya tanpa pamit kepada sang tante yang melihatnya dari dapur.

"Rin, nggak sarapan dulu? " Teriakan sang tante tidak mendapat jawaban bahkan tidak di hiraukan. Dalam pikirannya hanya satu tujuan, apa alasan rizal memutuskannya.

...***...

Tap tap tap

Derap langkah kaki terdengar jelas berlari menyusuri lorong kelas. Para murid menatap pemilik suara itu dengan heran, bel masuk belum terdengar, tapi kenapa dia begitu terburu-buru? Pikir mereka. Namun semua itu tak di hiraukan oleh rina, sapaan dari kedua sahabatnya yang sudah menunggu di depan kelas pun ia acuhkan. Yang ia fokuskan sekarang hanya satu, penjelasan rizal.

"Rina mau kemana? " Tanya cica kepada desi ketika melihat rina melewati mereka begitu saja. Desi menggeleng tanda tak tahu. "Tapi kelihatannya dia habis nangis deh" Ucap cica kembali dengan lirih. Sedetik kemudian mereka tersadar.

"Jangan-jangan... " Ucapan desi tertahan.

"Ayo! " Mereka berdua mengikuti arah kemana rina pergi. Mereka tau kondisi rina sekarang pasti sedang tidak baik-baik aja. Ciri-ciri khas rina ketika sedang sakit hati sudah mereka hafal, pasalnya ini bukan pertama kali rina seperti ini. Mereka takut kejadian satu tahun lalu akan terulang lagi, melakukan hal nekat yang benar-benar sangat berbahaya.

XII IPS 5 merupakan kelas yang sedang rina tuju. Ia berdiri tegak menatap pintu kelas yang sedikit terbuka, dalam hatinya ia berharap agar rizal berada di kelasnya sehingga dirinya tidak perlu melakukan hal-hal aneh seperti sebelum-sebelumnya.

"Dimana rizal? " Tanya rina dengan aura dingin yang kuat, ia menyapu seluruh isi kelas, tidak ada tanda-tanda rizal di sana. Sekali lagi dirinya bertanya dengan sedikit lebih keras. "Dimana rizal!? "

Semua murid kelas itu terbengong, mereka tau gadis itu sedang emosi berat. Karena itu tidak ada yang berani menjawab, dan sebagian juga nggak tau sih dimana rizal. Ditengah-tengah ketegangan yang ada, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari belakang rina dengan meneriakkan sesuatu.

"Eh guys, katanya nanti bakal ada tawuran!! "

Deg!

Rizal pasti di situ.

"Dimana titik pertemuannya? " Tanya rina menatap tajam lelaki itu.

"Menurut info, mereka akan bertemu di jalan sepi deket bangunan kosong jalan sakura" Jawab lelaki itu dengan mimik wajah serius.

Tanpa mengatakan apapun, rina segera meninggalkan kelas yang senyap itu. Dirinya yakin jika rizal pasti berada di sana, bukan tanpa alasan rina yakin dengan pemikirannya, sebab rizal merupakan salah satu pemimpin tim sekolah mereka.

"Rin, lo mau kemana? " Hadang cica setelah sekian lama berjuang mencari sahabat keras kepala itu. Mulut rina terkatup, jika dirinya mengatakan pada kedua sahabatnya, kemungkinan besar rencananya akan gagal.

"Jawab rin! " Desak desi yang sudah tidak tahan akan alasan rina karena sudah sering menipunya.

"Gu-gue.... " Rina terbata. Ia bingung, sudah terlalu sering dirinya berbohong, tidak mungkin jika kedua sahabatnya akan percaya begitu saja dengan apa yang ia katakan.

"Jangan bohong lagi rin! " Desi memperingatkan. Sungguh ia sudah lelah dengan semua kebohongan rina yang membuatnya kebingungan tujuh keliling. "Untuk kali ini rin, plis jangan bohong. Gue mohon" Pinta desi berusaha membujuk rina agar jujur padanya.

Rina memejamkan matanya, sudah terlalu sering ia berbohong. Kali ini saat nya mulai berkata jujur, walau kemungkinan sahabatnya tidak akan mengizinkan dirinya pergi ke tempat berbahaya itu.

"Rizal mutusin gue"

"lagi? " Desi dan cica terkejut.

"Tanpa alasan" Ucap rina termenung.

" Rin, menurut gue ini udah nggak ngotak sih. Ini udah ke 3 kalinya lo di putusin, dan dengan mudahnya lo nerima dia balik lagi sama lo. Kalo sampek kali ini lo mau lagi, lo goblok! " Umpat desi bar-bar. Sungguh dirinya kecewa dengan sahabatnya yang terlalu bucin dengan cowok brengsek bernama rizal ini. Semenjak rina kenal rizal di bangku kelas 2, sikapnya menjadi aneh. Gampang di bohongi, sering nangis dan mudah di kontrol, terutama oleh rizal.

"Iya rin, dia udah nyakitin lo berkali-kali. Nggak capek apa harus ngalah mulu" Cica menasehati dengan lebih halus. Jujur dirinya sangat ingin menampar cowok sok kecakepan bernama rizal itu. Berulang kali cowok itu memutuskan hubungan dengan rina, dan dengan mudah kembali lagi hadir dalam kehidupan rina.

"Nggak! Sorry guys, tapi gue bakal tetep minta penjelasan ke dia. Dia mutusin gue tanpa alasan yang jelas, dan- dan gue nggak bisa terima itu. " Rina menatap kedua sahabatnya dengan mantap, ia tidak ingin niatnya gagal karena larangan sahabatnya.

"Lo gila rin!? Ini tawuran. Kalo lo sampek nyusul si rizal brengsek itu, sama aja lo nantang bahaya tau nggak. " Ujar desi berusaha menyadarkan rina. "Sekarang mending kita ke kelas, lupain rencana konyol lo itu." Desi menggapai tangan rina kemudian mengajaknya pergi ke kelas, namun langkah itu terhenti ketika rina tak mengikutinya.

"Sorry des, gue harus pergi" Rina melepas tautan tangannya. "Gue cinta sama dia" Rina mulai meneteskan air matanya, menghambur pelukan kepada desi yang dengan pengertian mengelus-elus rambutnya.

"Des... " Cica memberi desi tatapan yang susah di artikan, namun desi mengangguk mengerti dengan apa yang cica katakan walau dengan isyarat. Semua akan sulit jika rina sudah menangis, jalan satu-satunya hanya mengizinkannya pergi ke mana rina inginkan.

"Oke." Desi mengurai pelukannya. "Lo boleh pergi, tapi.... " Desi melirik cica. "Gue ikut"

"Iya rin, kita ikut" Cica menimpali.

"Enggak, gue nggak mau hidup kalian dalam bahaya" Tolak rina mentah-mentah. Dirinya tidak mungkin membuat nyawa kedua sahabatnya terancam hanya karena dirinya dan masalah cintanya yang buruk.

"Terus lo mau bahayain diri lo sendiri? Tanpa ada yang mendampingi? "

"Nggak, kalian nggak boleh ikut."

"Menurut lo, kita cuma harus nungguin, sedangkan diri lo dalam bahaya rin. Lo mikir nggak sih? " Ucap desi geram.

"Justru itu gue butuh bantuan kalian" Rina menatap kedua sahabatnya yang sedang kebingungan. "Izinin gue hari ini, kalo gue ketahuan bolos lagi... Bisa di hukum pak budi lagi gue. "

Desi menghembuskan nafas lelah, jika mereka bertiga bolos, siapa yang akan beralasan. Dan sialnya rina telah mendapat peringatan terakhir sebab seringnya ia membolos, jika tidak ingin masuk ke ruang kematian alias ruang BK lagi, mereka harus pintar mencari alasan. Pak budi merupakan guru fisik yang terkenal sangat galak, alasan rina yang selalu membolos di jam ini, karena rina tidak mengerti apapun tentang fisik dan para sekutunya.

"Okey, tapi alasan apa lagi yang harus gue buat? Kata-kata sakit udah nggak mempan kalo sama pak budi." Desi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, begitu juga dengan cica dan rina.

Mereka berpikir keras, sudah terlalu banyak alasan yang mereka gunakan untuk bolos hingga alasan itu tidak bisa di percaya lagi.

KRIIIINGGGG

Suara bel masuk telah berbunyi, para murid berbondong-bodong memasuki kelas karena jam pelajaran akan segera di mulai. Mereka bertiga terkejut, bagaimana bisa bel sudah berbunyi dan mereka masih belum memiliki alasan? Dan jika terlalu lama di sana mereka akan kepergok para guru yang akan berkeliling mengecek keadaan.

"Ah udah deh, terserah apa alasannya. Gue harus kabur sekarang. " Ucap rina tergesa-gesa, mereka panik, jika mereka ketahuan bisa-bisa mereka di hukum dan semua rencananya gagal. Desi dan cica hanya memandang dan harus mengikhlaskan rina pergi memanjat pagar belakang sekolah sendirian. Walaupun mereka ikut, rina akan tetap terancam dengan hukuman di sekolah.

Setelah memastikan rina selamat dalam misi melompat pagar, desi dan cica bergegas masuk kelas untuk memikirkan alasan izin rina, dan tentunya untuk menghindari hukuman telat masuk kelas seperti yang sering mereka lakukan.

Jangan lupa tinggalin jejak ya. 🤟🤟🤟

MEREPOTKAN

WIUUUU WIIIUUUU WIIUUU

"WOIII POLISII WOIII... MUNDUURRRR"

"CEPEEETTT CABUTT WOIII"

"MUUNDURRR SEMUAAA MUNDURR"

Suara sirine polisi terdengar jelas memecah konsentrasi anak-anak remaja yang tengah beradu pandang antar kelompok. Ratusan remaja itu berlarian sambil membawa senjata tajam. Semua panik saat mobil polisi itu datang menghampiri, semua berhamburan untuk menyelamatkan diri. Semak-semak, gang rumah warga, serta bangunan kosong di sekitar pun menjadi tempat persembunyian.

Seseorang tengah berlari menyusuri bangunan tua yang penuh dengan semak-semak. Kepalanya tak henti-henti menoleh kebelakang untuk memastikan polisi tidak mengikuti. Rasa was-was dan panik kini sedang menguasai dirinya, ia butuh tempat untuk bersembunyi, teman-temannya sudah lari terpencar entah kemana. Suara motor kini terdengar menjauh dengan cepat meninggalkan bangunan tua.

Ia terus berlari menyusuri bangunan kosong yang sangat luas, dirinya yakin jika polisi tidak akan pergi begitu saja dan sialnya ia malah memilih jalan yang salah dengan masuk ke bangunan yang terkesan angker itu. Kini satu-satunya pilihan adalah bertahan dengan bersembunyi sebaik mungkin atau menyerahkan diri.

Dirasa sudah agak aman, Ardi berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Ia clingak-celinguk mencari tempat persembunyian, hingga indra penglihatannya menangkap sebuah tembok yang ada sedikit celah untuk dirinya masuk, ia yakin tempat persembunyian ini akan aman, sebab tidak terlalu terlihat dari luar jika mata tidak jeli. Segera ia masuk dan berdiam diri berusaha tenang di sana.

5 menit...

7 menit...

10 menit...

Sekitar 15 menit ardi menunggu di sana, tidak ada tanda-tanda orang masuk ke dalam bangunan ini. Hatinya berkata untuk segera keluar, namun otaknya masih berpikir logis, bisa saja polisi itu masih mengecek di ruangan lain mengingat banyaknya ruangan yang ada di bangunan ini. Penasaran, ia menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat situasi dan kondisi.

Kosong...

Tidak ada orang di sana. Nuraninya sudah mantap jika 2 menit lagi tidak ada tanda-tanda seseorang datang, berarti semua aman. Baru saja ingin melangkahkan kaki untuk keluar, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang sedang berlari mendekati tempat persembunyiannya. Niat untuk kabur pun tidak jadi ia lakukan karena terlalu beresiko.

Suara langkah kaki itu semakin mendekat, jantung ardi berdetak kencang, keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Apa yang harus ia lakukan, bagaimana jika polisi menemukannya dan kemudian menangkapnya? Ini buruk.

GUBRAAAKK!!

"AWW!! "

Ardi yang sedari tadi sudah panik di balik tembok, kini mengernyitkan dahi. Suara cewek? Kenapa ada cewek disini? Apa dia juga ikut tawuran? Semua pertanyaan itu muncul di dalam kepala ardi, bagaimana bisa seorang perempuan nekat turun di medan tawuran? Itu sangat merepotkan.

Penasaran dengan apa yang terjadi, akhirnya ia memberanikan diri untuk mengintip. Benar saja, seorang gadis kecil dengan rambut yang sudah acak-acakan terlihat memegangi lututnya yang berdarah, gadis itu tidak bisa bangun, wajah ketakutan dari sang gadis sangat terlihat jelas.

Bagaimana ini, jika gadis itu terlihat di sana polisi akan menangkapnya. Dan polisi tidak akan pergi begitu saja, mereka akan lebih jeli dalam mengecek seluruh sudut lantai 4 ini.

Sial.

Dengan sedikit berlari, ardi menghampiri gadis itu, ekspresi terkejut menjadi hal pertama yang dilihat ardi saat wajah gadis itu terlihat. Raut ketakutan dan juga kesedihan tak luput dari penglihatan ardi, namun saat ini bukan waktu yang pas untuk basa-basi, suara polisi sudah mulai terdengar menaiki tangga. Tanpa mengatakan apapun ardi segera menarik gadis itu untuk bangun, lalu menggendongnya, membawanya ke tempat sempit persembunyian tadi.

Mereka sama-sama terdiam berdiri di balik tembok dengan nafas ngos-ngosan. Ardi berdiri di belakang sambil membekap mulut gadis itu agar tidak bersuara.

Terdengar suara gemuruh mulai mendekat, sepertinya polisi sedang menaiki tangga. Gawat! jika mereka terlihat semua akan bahaya. Tanpa berpikir panjang tiba- tiba ardi menarik pinggang gadis itu hingga badan mereka bersentuhan, keduanya terkejut, ardi juga tidak menyangka jika dirinya akan melakukan hal itu pada seorang gadis. Mereka sama-sama menutup mata untuk menghilangkan kegugupan, bahkan gadis itu sampai menggenggam erat seragam abu-abu putih milik ardi.

Beberapa menit dalam kegugupan, akhirnya suara polisi itu perlahan menghilang. Ardi melepaskan dekapannya, begitu juga dengan gadis itu yang melepas genggaman baju ardi.

"Huuuhhh... " Mereka melepaskan nafas kasar bersama-sama, tidak sengaja mereka bertemu pandang beberapa detik, kemudian membuang muka. Canggung, tidak ada percakapan apapun, hening dan sunyi.

Tanpa mengatakan apapun, ardi keluar dari tempat persembunyiannya meninggalkan gadis itu yang ternyata mengikutinya keluar dengan tertatih.

"Aww! " Suara gadis itu menghentikan langkah ardi, ia berbalik menatap dingin gadis yang tengah menunduk menahan sakit di lututnya. "**** men" Gumam gadis itu kesal.

"Maksud lo?" Tanya ardi sambil mendekati gadis yang telah mengatainya.

Gadis itu menatapnya sebentar kemudian melengos seakan tidak peduli. Ardi kemudian berjongkok, mengeluarkan sesuatu dari tas yang sedari tadi berada di punggungnya.

"Ngapain lo? " Tanya gadis itu dengan kaget. Tanpa menjawab ardi langsung membersihkan luka di lutut gadis itu.

"Aww! Brengsek! " Gadis itu meringis kesakitan karena obat yang dioleskan oleh ardi. Bahkan gadis itu sampai meremas rambut ardi dengan keras. "Bisa nggak sih pelan-pelan? " Tanya gadis itu dengan nada yang lumayan tinggi.

Ardi mendongak, menatap wajah yang sedang menahan rasa sakit itu. "Sakit kan? Kalo gitu kenapa lo nekad ikut tawuran, Mau kena bacok? " Ardi kemudian menempelkan plester sebagai tahap akhir pengobatannya.

"Lo nggak perlu tau" Gadis itu melengos menatap ke arah lain.

Ardi kemudian berdiri tepat di hadapan gadis yang hanya memiliki tinggi sedadanya. "Lo tu ngerepotin! "

"Maksud lo? " Tanya gadis itu geram, terlihat ia sangat tersinggung dengan perkataan ardi.

"Lo... " Ardi mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah gadis itu. " Cewek yang sok kuat, sengaja ikut tawuran karena cuma mau dapat perhatian dari cowok, biar di anggap berani gitu? Padahal is nothing. Heh.. Dasar merepotkan" Setelah mengatakan itu kemudian ardi berbalik, berjalan menuju arah tangga. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti ketika mendengar suara tawa dari gadis itu.

"Haha... Iya... Lo.. Bener banget. Relate banget emang sama hidup gue. Haha... " Gadis itu terbahak sangat kencang hingga dadanya terasa sesak dan penuh.

Ardi pun dibuat bingung kenapa gadis itu tiba-tiba tertawa. Namun ada kejanggalan dari tawa itu, seperti ada rasa sakit yang ikut serta menertawakan dirinya sendiri.

"Haha... Gue cuma beban buat semua orang. It is real" Tawa itu perlahan mulai terdengar lirih, bahu gadis itu bergetar, di barengi dengan tawa getir yang terdengar sangat memilukan.

" Gue.. Gue.. Emang beban, gue nggak berguna, gue nggak cantik, gue nggak pengertian, gue egois,gue nggak bisa kayak mereka, gue kalah di segala hal. Itu sebabnya dia mutusin gue." Perlahan tetes demi tetes air mata keluar membasahi pipi berjerawat itu. Rasa sesak dan juga kecewa tergambar jelas dalam wajahnya, banyak yang ia simpan di dalam hati hingga suara tangisannya pun merubah suasana hening menjadi pilu.

Ardi menunduk di tempatnya tanpa ingin menoleh ke belakang dimana gadis itu berada. Ia menghembuskan nafas pelan kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Kenapa? Apa cuma dia yang lo punya? " Tanya ardi dengan nada yang masih sama dinginnya dengan yang tadi.

"Ya, dia segalanya buat gue." Gadis itu terus saja menangis, ia tidak bisa menghentikan aliran air matanya, padahal dia sudah sering menangis tapi kenapa air matanya selalu keluar banyak.

"Heh.. Gue heran, kenapa cewek selalu mengganggap cowok itu segalanya. Apa lo nggak mikirin perasaan orang tua lo waktu turun ke lapangan tawuran?"

"Hah? Orang tua? Bahkan mereka tidak pernah peduli gue dimana" Gadis itu kembali tertawa di sela-sela tangisnya.

" Mereka hanya bisa menuntut, kau harus bisa ini itu, kau harus jadi ini itu, tapi mereka tidak pernah peduli dengan apa yang gue pengen. Mereka nggak peduli dengan kabar gue, Mereka nggak tau apa yang gue alami, yang gue rasain. Gue sakit atau sekarat, mereka nggak peduli. Yang mereka pedulikan hanya gimana caranya dapet uang, only that. I look so sad right?" Tangis gadis itu makin histeris, sepertinya gadis itu telah menyimpan luka yang teramat dalam, Tanpa ada yang tau dan menanyakan.

Ardi meneduhkan pandangannya, entah mengapa hatinya tiba-tiba menjadi sakit. Ia berusaha mengatur nafasnya kemudian tersenyum dengan masih membelakangi gadis yang kini berusaha menghapus air matanya. Setidaknya dengan tersenyum dirinya bisa mengontrol diri sepenuhnya kembali.

"Lo nggak bakal ngerti rasanya jadi anak yang punya keluarga tapi rasa broken home." Rina kembali terisak. "Apa sebenernya gue anak yang nggak di harapkan?" Pertanyaan gadis itu membuat ardi berbalik, menatap datar gadis yang sudah sangat terlihat kacau dengan air mata berlinang membasahi wajahnya. Kemudian ia mengambil nafas dalam dan menghembuskan kasar.

"lo mau es krim? "

🤟🤟🤟

KEMANA AKU HARUS PULANG?

Rina menatap es krim coklat yang hampir meleleh berada di genggamannya. Ia termenung seakan mengingat sesuatu, coklat adalah makanan yang paling ia sukai.

Beberapa waktu lalu rizal juga membelikannya satu cup es krim jumbo rasa coklat dengan topping choco chips favoritnya. Berjalan menyusuri indahnya taman kota sambil bergandeng tangan, bercengkrama, membicarakan masa depan yang indah untuk mereka berdua.

Namun kini semua hal manis itu hanya tinggal kenangan, semuanya hancur tak tersisa. Rina akui rizal adalah orang yang paling peduli dan pengertian padanya, lihai dalam menguntai kata-kata manis, tapi rizal juga sangat tenang dalam menyakiti hatinya berulang kali.

Air mata rina menetes kembali untuk ke sekian kalinya. Menangis dan terus menangis adalah salah satu usahanya untuk membebaskan beberapa masalah yang tersimpan di hatinya. Tidak peduli walau dirinya kini sedang berada di tempat umum, kini hatinya hanya ingin menangis tidak ingin lainnya.

"Lo nggak suka es krim? " Suara dingin itu kembali menyapa indra pendengarannya, pandangannya kini terfokus pada tangan yang sudah penuh lelehan es krim. Bergegas rina mengusap air matanya, dan memakan es krim yang sudah meleleh ke mana-mana.

"Kalo nggak suka nggak usah di paksa" Cowok dingin itu duduk di samping rina dengan menggenggam es krim yang sama.

"Siapa yang maksa, gue suka kok" Jawab rina menunjukkan stik es krimnya. Cowok itu melihat sekilas tanpa ingin membalas perkataan rina, hanya menikmati es krim dengan tenang.

"Btw, sorry udah ngerepotin" Ungkap rina sambil memainkan ujung jarinya. Ia sadar jika kedatangannya ke medan tawuran hanyalah beban, untung cowok ini mau menolongnya, jika tidak... Bisa di pastikan amarah orang tuanya akan lebih besar lagi.

"Lo marah? " Tanya rina karena hampir semua ucapannya di cuekin oleh cowok manis ini. Apalagi dirinya malah menangis di hadapan cowok yang tidak ia kenal, dan sepertinya cowok itu sangat tidak suka dengan sikap cengengnya itu.

Masih tidak ada jawaban, rina memberanikan diri untuk menatap cowok berhoodie hitam di sebelahnya. Cowok itu tampak biasa dengan terus memakan es krim yang dari tadi tidak habis-habis.

Merasa kesal karena tidak di anggap, rina membanting stik es krimnya hingga terjatuh di dalam selokan. "Lo budek apa gimana sih? Gue dari tadi ngajak lo ngomong dan lo cuma diem seakan gue nggak ada, kalo niat lo gitu kenapa lo ngajak gue? " Rina mulai mengeluarkan kata-kata pedasnya, kini rina yang galak dan bar-bar sudah muncul kembali.

Cowok itu menatap rina intens, masih dengan wajah yang datar ia mengeluarkan satu kalimat. "Ambil! "

"Apa!? " pekik rina terheran. "Lo nyuruh gue nyemplung got cuma buat ngambil stik es krim. Lo nggak lagi ngelawak kan? " Tanya rina sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak percaya cowok itu menyuruhnya masuk got hanya untuk mengambil stik es krim yang memang seharusnya di buang. Itu kan termasuk sampah.

Cowok itu berdiri, kemudian melempar stik es krimnya ke dalam tong sampah yang berada tepat di belakang rina. "Gimana mau bahagia, Kalo hidup lo aja jauh dari hal yang baik, kayaknya semua hal baik itu terlihat sepele di mata lo. this is real example" Secara bergantian, cowok itu menatap rina dan stik es krim yang tersangkut di antara bebatuan selokan.

Rina mengikuti arah pandang cowok itu, ia bingung dengan apa yang di maksud. Beberapa saat dirinya termenung hingga sadar jika cowok itu telah berjalan meninggalkannya.

"Apa maksudnya? " Rina masih berfikir sambil menatap stik es krim di selokan, namun sedetik kemudian otaknya mulai berfungsi dengan mengupgrade fitur-fitur baru. "Astaga rina, jadi ini yang di maksud. he is so right " Rina mengangkat kedua bahunya kemudian ia mengambil stik es krim itu dan membuangnya ke tempat sampah. Untung saja stik es krimnya tidak tenggelam begitu dalam, jadi rina masih sanggup menggapainya, walau kini tangannya bau air selokan yang sangat menyengat hati, pikiran, dan juga kehidupan.

"Btw ngapain lo ikut tawuran, sedangkan lo tau itu bahaya? " Tanya rina ketika berhasil menyamai langkah cowok tinggi berambut hitam pekat itu. Laki-laki itu terlihat menaikan salah satu alisnya.

"Lo sendiri ?"

"Hmm.. " Rina menunduk, dirinya merasa malu karena telah merepotkan orang lain. Walau dirinya memang bukan orang baik, tapi rina tetaplah manusia yang memiliki rasa bersalah seperti yang lainnya.

"Lalu? " Suara berat cowok itu kembali terdengar. Entah mengapa cowok ini sering berubah-ubah karakter, tadi diem mulu sekarang banyak ngomong.

"Apanya? "

"Cowok yang lo kejar sampek kesini"

"Gue... bakal kejar dia"

"Lagi?" Rina mengangguk. "Kayaknya dia udah mencuri sesuatu dari lo, sampek lo ngejar gitu"

Rina menunduk, dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri. Cowok itu benar, rizal memang telah mencuri sesuatu yang berharga di dalam hidupnya. Rina memang bodoh, ia akui dia sangat bodoh, hanya demi cinta dirinya rela menyerahkan sesuatu yang harus dirinya jaga.

" Lo bener banget. Gue emang bodoh, hidup gue udah kacau, dan dengan begonya gue nyerahin semua yang gue punya hanya demi dia, tapi... Kenapa dia tega ninggalin gue" Rina kembali mengucurkan air matanya, walau tidak sederas tadi namun air mata itu kembali menetes. Mengingat semua perkataan rizal hari ini benar-benar sedih. Dengan teganya rizal menyuruhnya pulang sendirian ketika tawuran akan dimulai, meninggalkannya ketika polisi datang. Menyedihkan.

Langkah cowok itu berhenti, kemudian menghadapkan tubuhnya pada rina yang tengah mengusap air mata. "Manusia memang suka mengorbankan apapun hanya demi cinta sesaat, entah itu baik atau buruk. Gue harap lo nggak ngelakuin hal konyol lagi demi siapapun dan apapun keputusan lo nanti, jangan pernah menyerah di tengah jalan." Rina mengangguk, entah dirinya akan melakukannya atau tidak, itu urusan belakangan. "Gue pergi"

"Tunggu" Langkah lebar itu terhenti ketika tangan rina menahan lengannya, cowok itu melirik kemudian rina melepaskan tangannya dengan kikuk. "Sorry gue nggak bermaksud tapi.... " Rina memberanikan diri memandang wajah datar itu.

"Gue Rina dari SMA jaya sakti. Mungkin lo udah tau dari seragam gue yang tidak lain siswi rival sekolah lo di tawuran ini. Dan....lo..? " Rina mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Apa itu penting? " Tanya cowok itu memutar bola matanya malas. Kelihatan sekali jika dia tidak suka berkenalan ataupun jabatan tangan.

"Izinkan gue mengingat lo, bukan cuma pertolongan tapi juga nama" Rina masih mengulurkan tangan, kali ini rina menjawab dengan senyuman. Kali aja es batu leleh.

"Ar... "

"Di..? " Mendengar penyambungan kata dari rina cowok itu menunduk, kemudian mengangkat kepalanya dan memakai kupluk hoodie.

"Gue pergi" Dengan sedikit berlari cowok itu menyebarang jalan di persimpangan yang hari ini cukup lenggang. Melihat ardi berlari rina melebarkan senyumnya, ia tidak habis pikir jika akan bertemu siswa keren sekolah lain yang merupakan rival dari sekolahnya, dan anehnya dia malah menolong. This is not a dream?

"Thanks Ardi" Rina berteriak dengan melambaikan tangannya ketika ardi masuk ke dalam angkot, ia menatap angkot itu pergi hingga menghilang. Ada perasaan aneh dalam diri rina ketika mengetahui nama cowok cuek tapi baik itu. Dalam lubuk hati terkecilnya, rina berharap akan dipertemukan lagi dengannya. Semoga.

Huuuhhh.... Rina meneruskan langkah kecilnya, tidak pernah ia pikirkan untuk terlibat dalam tawuran, tapi ternyata keberaniannya memang sangat besar.

Menyusuri jalanan indah nan asri, dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya, membuat rina tidak sadar dengan keadaannya saat ini.

Beberapa saat kemudian rina menyadari sesuatu.

"Lahhh, Ini kan jalan rumah gue!? " Rina tidak percaya jika langkah tanpa tujuan tadi dapat mengantarkannya pulang. Tapi... Bagaimana bisa ini bisa terjadi? Apakah ardi mengetahui rumahnya? Perasaan ardi tidak bertanya tentang tempat tinggal, atau ini hanya kebetulan?

Rina menatap rumahnya dengan nanar, pintu itu selalu tertutup. kenapa kebahagiaan tidak pernah terdapat pada bangunan yang cukup besar berwana putih itu.

Dari kecil hingga kini dirinya remaja, tidak pernah merasakan yang namanya cinta keluarga. Mungkin ini alasan dirinya yang selalu mengemis cinta kepada lawan jenis.

Tidak ada perhatian, kasih sayang maupun sapaan hangat dari orang tuanya. Mereka hanya sibuk mencari uang, uang dan uang, walau rina tau itu untuk menghidupinya, tapi rasanya ditinggal belasan tahun di luar negeri oleh orang tua itu sangat menyakitkan.

kenapa dirinya harus pulang? Ini masih jam sekolah, jika tidak ingin mendapatkan banyak pertanyaan dari tantenya, pilihan terbaik adalah pergi mengungsi dulu. Jika sampai orang tuanya tau, mereka tidak akan mengampuninya. Ini lah hidup rina, mengatasi semua masalahnya sendiri dengan caranya sendiri. Entah itu baik atau buruk, ia akan tetap melakukannya.

Huh... Sebenernya kemana gue harus pulang?

🤟🤟🤟

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!